• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.2.4 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Halim (2004:69) menyatakan bahwa “Pendapatan asli daerah yang sah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah”. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diterangkan tentang Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah sebagaimana dimaksud pada pasal 1 ayat 1 huruf d meliputi :

1. Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Tidak

Dipisahkan; 2. Jasa Giro;

3. Pendapatan Bunga;

4. Keuntungan Selisih Nilai Tukar Rupiah Terhadap Mata Uang Asing; dan

5. Komisi, Potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

2.1.3 Dana Alokasi Umum

Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Bab I Pasal 1 ayat 21, Dana Alokasi Umum selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.

Adapun cara menghitung DAU menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Bab VI pasal 27 adalah sebagai berikut:

1. DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.

2. DAU untuk daerah propinsi dan untuk Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari DAU sebagaimana ditetapkan diatas.

3. DAU untuk suatu Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk Kabupaten/Kota yang ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

4. Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di atas

merupakan proporsi bobot Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah dengan potensi daerah. DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada.

Menurut Darise (2009:39):

DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya suatu celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU yang relative kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU yang relatif besar.

2.1.4 Dana Alokasi Khusus

Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah bab I pasal 1, “Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk

membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.”

Dana alokasi khusus (DAK) merupakan salah satu mekanisme transfer keuangan Pemerintah Pusat ke daerah yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah sesuai prioritas nasional serta mengurangi kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah dan pelayanan antar bidang. DAK memainkan peran penting dalam dinamika pembangunan sarana dan prasarana pelayanan dasar di daerah karena sesuai dengan prinsip desentralisasi tanggung jawab dan akuntabilitas bagi penyediaan pelayanan dasar masyarakat telah dialihkan kepada pemerintah daerah .

Menurut Dirjen Perimbangan Keuangan mekanisme pengalokasian DAK adalah sebagai berikut :

1. Kriteria Pengalokasian DAK

a. Kriteria Umum, dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang tercermin dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja PNSD

b. Kriteria Khusus, dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah

c. Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang dapat menggambarkan kondisi sarana dan prasarana, serta pencapaian teknis pelaksanaan kegiatan DAK di daerah.

2. Penghitungan alokasi DAK dilakukan melalui dua tahapan, yaitu: a. Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK;

b. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masingdaerah.

3. Penentuan Daerah Tertentu harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.

4. Besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.

5. Alokasi DAK per daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

2.1.5 Dana Bagi Hasil

Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah bab I pasal 1, “Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.” misalnya Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (DBHBP). Dana bagi hasil dibagi berdasarkan persentase tertentu bagi pemerintah pusat dari eksploitasi sumber daya alamseperti minyak dan gas, pertambangan dan kehutanan dibagi dalam porsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsu, kabupaten dan kota.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri, Penerimaan yang dibagi hasilkan terdiri atas :

1. Dana Bagi Hasil Pajak :

a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

b. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) c. PPh Orang Pribadi

2. Bagi Hasil Bukan Pajak : a. Sektor Kehutanan

b. Sektor Pertambangan Umum c. Sektor Minyak Bumi dan Gas Alam d .Sektor Perikanan

2.1.6 Investasi

Menurut Erlina,dkk (2015:223) :

investasi merupakan instrumen yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk memanfaatkan surplus anggaran untuk memperoleh pendapatan dalam jangka panjang dan memanfaatkan dana yang belum digunakan untuk investasi jangka pendek dalam rangka manajemen kas.

Modul Pelatihan Standar Akuntansi Pemerintahan yang diterbitkan Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (2009) menjelaskan bahwa dalam rangka akuntansi dan pelaporan asset investasi pemerintah, investasi secara garis besar diklasifikasikan menjadi dua, yaitu investasi jangka pendek dan investasi jangka panjang. Investasi jangka pendek merupakan kelompok asset lancar, sedangkan investasi jangka panjang masuk pada kelompok asset nonlancar. Investasi jangka pendek adalah investasi yang dapat segera dicairkan dan dimaksudkan untuk dimiliki selama 12 bulan atau kurang. Investasi jangka panjang adalah investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki lebih dari 12 bulan.

1. Investasi Jangka Pendek Menurut PSAP no 6 Paragraf 10:

Investasi jangka pendek harus memenuh karakteristik, seperti dapat diperjualbelikan/dicairkan; investasi tersebut dijukan dalam rangka manajemen kas, artinya pemerintah dapat menjual investasi tersebut apabila timbul kebutuhan kas; dan berersiko rendah.

PASP no 6 Paragraf 12 menjelaskan bahwa investasi yang dapat digolongkan sebagai investasi jangka pendek, antara lain meliputi:

a) Deposito berjangka waktu tiga sampai dua belas bulan dan /atau yang dapat diperpanjang secara otomatis (revolving deposits).

b) Pembelian Surat Utang Negara (SUN) pemerintah jangka pendek oleh pemerintah pusat maupun daerah dan pembelian Setifikat Bank Indonesia (SBI).

2. Investasi Jangka Panjang

PSAP No 6 Paragraf 13-19 secara gambalang menjelaskan mengenai investasi jangka panjang. Investasi jangka panjang dibagi menurut sifat penanaman investasinya, yaitu permanen dan non permanen.

1) Investasi Permanen

Investasi permanen adalah investasi yang tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan, tetapi untuk mendapatkan dividend an/atau pengaruh yang signifikan dalam jangka panjang dan/atau menjaga hubungan kelembagaan. Investasi permanen dapat berupa:

a) Penyertaan modal pemerintah pada perusahaan Negara/daerah, badan internasional dan badan lainnya yang bukan milik Negara. Penyetaa modal dapat berupa surat berharga (saham pada suatu perseroan terbatas dan non surat berharga yang kepemilikan modal dalam bentuk saham pada perusahaan yang bukan perseroan.

b)Investasi lainnya yang dimiliki pemerintah untuk menghasilkan pendapatan atau meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Investasi ini merupakan bentuk investasi yang tidak bisa dimasukkan ke kelompok penyertaan modal, surat obligasi jangka panjang yang dibeli oleh pemerintah, dan penanaman modal dalam proyek pembangunan yang dapat dialihkan kepada pihak ketiga,

misalnya investasi dalam properti yang tidak tercakup dalam pernyataan ini.

2)Investasi nonpermanen

Investasi nonpermanen adalah investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan. Antara lain dapat berupa:

a) Pembelian obligasi atau surat utang jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki sampai dengan waktu jatuh temponya oleh pemerintah.

b)Penanaman modal dalam proyek pembangunan yang dapat dialihkan kepada pihak ketiga.

c) Dana yang disisihkan pemerintah dalam pelayanan masyarakat seperti bantuan modal kerja secara bergulir kepada kelompok masyarakat.

d)Investasi nonpermanent lainnya, yang sifatnya tidak dimaksudkan untuk dimiliki pemerintah secara berkelanjutan, seperti pernyataan modal yang dimaksudkan untuk penyehatan/penyelamatan perekonomian.

Menurut PSAP No.6 Paragraf 39-40 dapat disimpulkan bahwa hasil investasi yang diperoleh dari investasi jangka pendek, antara lain berupa bunga deposito, bunga obligasi dan dividen tunai, diakui pada saat diperoleh dan dicatat sebagai pendapatan.

Dokumen terkait