• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Lambung dan Usus Mencit (Mus musculus) .1 Lambung

Sistem pencernaan pada vertebrata terdiri atas dua bagian besar, yaitu saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan. Kelenjar pencernaan umumnya berupa kelenjar mukosa, hati, dan pankreas. Sistem pencernaan pada hewan-hewan vertebrata dibangun oleh pembuluh-pembuluh yang sifatnya sangat muskuler. Sistem pencernaan dimulai dari bagian mulut sampai ke anus. Adapun organ-organnya adalah rongga mulut, faring, esofagus, lambung, usus halus (duodenum, jejunum, dan ileum), usus besar yang terdiri atas kolon dan rektum, serta usus buntu yang pertumbuhannya rudimenter pada sebagian hewan (Ganong 2005). Fungsi motorik lambung, yaitu penyimpanan sejumlah besar makanan sampai makanan dapat diproses di dalam duodenum. Pencampuran makanan ini dibantu dengan sekresi dari lambung sampai membentuk suatu campuran setengah cair yang disebut kimus. Fungsi pengosongan makanan dengan lambat dari lambung ke dalam usus halus pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi yang tepat oleh usus halus (Guyton dan Hall 1997).

Secara histologi lambung terdiri dari beberapa bagian, yaitu mukosa, kelenjar lambung, dan tunika muskularis. Membran mukosa lambung membentuk lipatan longitudinal yang disebut rugae dan terdiri atas 3 komponen, yaitu epitelium, lamina propia, dan muskularis mukosa. Kelenjar lambung berbentuk sederhana dan bertipe tubular, serta mengandung berbagai jenis sel, yaitu sel parietal, sel utama (Chief cell), dan sel lendir leher (mucous neck cell). Sel parietal dapat ditemukan di daerah mukosa yang mengelompok di daerah proksimal kelenjar dan menghasilkan sekreta asam klorida (HCl) (Gartner dan Hiatt 2001).

Gambar 6 Histologi lambung secara 3 dimensi (sumber: NIPHE 2011).

Gambar 7 Sel parietal dan sel chief dengan pewarnaan HE. Keterangan (SP) sel parietal (SC) dan sel chief (sumber: SAHB 2009).

SP

SC

Sel utama (Chief cell) melapisi bagian bawah kelenjar lambung dan mengeluarkan enzim pepsinogen yang merupakan prekursor dari enzim pencernaan pepsin. Sel lendir leher terletak menyebar diantara sel-sel parietal pada bagian leher kelenjar dan berfungsi mensekresi mukus di permukaan. Tunika muskularis terdiri dari tiga lapisan otot. Lapisan dalam berupa lapisan otot miring, lapisan tengah berupa lapisan otot sirkuler, dan lapisan luar berupa lapisan otot longitudinal (Gartner dan Hiatt 2001).

2.6.2 Usus Halus

Intestinum merupakan salah satu organ sistem pencernaan. Fungsi utama saluran pencernaan, yaitu mencerna dan memecah makanan menjadi lebih kecil dan sederhana sehingga dapat diserap oleh sirkulasi tubuh guna menunjang kehidupan organisme. Secara makroskopis usus halus dibagi menjadi duodenum, jejunum, dan ileum. Ketiga bagian ini pada dasarnya mempunyai struktur histologi yang hampir sama. Lapisan-lapisan penyusun dinding usus halus mulai dari dalam ke luar lumen usus terdiri dari tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa (Frappier 2006). Histologi lapisan-lapisan penyusun dinding usus halus dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Histologi duodenum dengan pewarnaan HE. Keterangan (1) tunika mukosa, (2) tunika submukosa, (3) tunika muskularis, (4) tunika serosa, (5) vili, (6) kripta pada mukosa, (7) kelenjar Brunner pada submukosa (sumber: Gunin 2000).

Mukosa duodenum terdiri atas beberapa lapisan, yaitu epitelium, lamina propia, dan muskularis mukosa. Epitel duodenum merupakan epitel silindris sebaris yang terdiri dari beberapa sel, yaitu sel penyerap, sel goblet, dan sel DNES (Diffuse Neuroendocrine System). Sel penyerap mengandung beberapa enzim seperti alkalin posphatase, ATPase, maltase, dan amino peptidase. Sel goblet terletak menyebar diantara sel penyerap dan sel ini membuat musinogen yang merupakan komponen mukus lapisan pelindung lumen. Sel DNES memproduksi hormon parakrin dan endokrin (Gartner dan Hiatt 2001). Lamina propia terdiri atas jaringan ikat retikular dan fibroplastik yang longgar dan kaya pembuluh darah, saraf, maupun otot licin. Pencernaan di usus halus ditunjang oleh vili. Vili merupakan penjuluran mukosa yang berbentuk jari dan merupakan ciri khas usus halus. Tinggi vili ini bervariasi tergantung pada daerah dan jenis hewannya. Panjang vili usus halus pada mencit neonatus lebih pendek dibandingkan mencit dewasa (Shackelford dan Elwell 1999).

Gambar 9 Sel goblet pada duodenum tikus dengan pewarnaan HE (sumber: SAHB 2009).

Submukosa duodenum terdiri dari kelenjar Brunners yang mensekresikan lendir. Selain itu ditemukan pula serabut-serabut saraf dan sel ganglion yang disebut pleksus submukosa atau pleksus Meissner. Pleksus ini berperan dalam pengaturan sekresi dan aliran darah serta membantu beberapa fungsi sensorik

seperti menerima sinyal-sinyal terutama dari epitel usus dan dari reseptor regangan di dalam dinding usus (Guyton dan Hall 1997). Tunika muskularis dari duodenum terdiri dari lapis eksterna longitudinal dan lapis interna sirkular yang memiliki serabut otot halus berbentuk sirkuler. Diantara kedua lapis tersebut terdapat pleksus saraf parasimpatis yang disebut plexus Auerbach’s. Suplai darah untuk usus halus diberikan melalui cabang-cabang dari arteri mesenterica celiaca dan cranialis yang menembus tunika muskularis kemudian tunika submukosa. Lapisan terluar usus halus atau tunika serosa merupakan suatu lapisan jaringan penyambung yang tertutup mesotel (Frappier 2006).

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dimulai pada Juni 2010 dan berakhir pada Februari 2011. Tempat kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba, yaitu di Fasilitas Kandang Hewan Percobaan Bagian Patologi, FKH IPB. Kegiatan pembuatan dan pengamatan preparat histologi dilaksanakan di Laboratorium Histopatologi Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu hewan coba mencit (Mus musculus) berumur 4 minggu sebanyak 72 ekor (36 ekor jantan dan 36 ekor betina). Bahan yang digunakan dalam pemeliharaan mencit pada penelitian ini adalah pakan berupa pelet pakan mencit komersial, air mineral isi ulang untuk minum mencit, desinfektan, anthelmintik Albendazole® 5% produksi Sanbe dosis 10 mg/kg bobot badan, antibiotik Clavamox® 25 mg/ kg bobot badan (Gambar 11) dan anti protozoa Flagyl® 30 mg/kg bobot badan. Proses pembuatan preparat histologi dan pewarnaan HE (Haematoxylin Eosin) dibutuhkan Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, NaCl fisiologis, aquadest, alkohol konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 96%), alkohol absolut, xylol, HE, lithium karbonat, perekat albumin, dan parafin. Pewarnaan PAS dibutuhkan reagen schiff, air sulfit, Gill’s haematoxylin, larutan periodic acid 1%, dan aquadest. Bahan perlakuan berupa ekstrak minyak jintan hitam dan kombinasi ekstrak minyak jintan hitam dan madu dengan dosis yang berbeda untuk masing-masing perlakuan.

Alat yang dipergunakan selama penelitian ini berlangsung diantaranya, yaitu box plastik sebagai kandang dengan ukuran panjang 34.5 cm, lebar 28 cm, tinggi 12 cm, anyaman jaring kawat penutup kandang, kain alas, botol minum yang dilengkapi saluran air, box pakan, dispenser, sonde lambung (1.5 x 80 mm), spoit 1 ml (Gambar 10), sarung tangan, masker, sikat, hanger, timbangan digital (Precisa 3000 D), kertas label, tissue gulung, gelas ukur 50 ml, dan lemari

pendingin. Alat nekropsi yang digunakan adalah 1 paket alat bedah (gunting kecil, pinset, dan scalpel), kantung plastik hitam, spidol waterproof permanen, 1 gulung aluminium foil, 7 buah sterofoam, jarum pentul, dan botol plastik. Pembuatan preparat menggunakan tissue cassete, pensil, Sakura® automatic tissue processor, mikrotom, pencetak parafin, parafin blok console, pinset anatomis, gelas objek, gelas penutup, inkubator, mikroskop cahaya, digital electronic eyepiece camera, satu set komputer, dan perangkat lunak Image J®for Microsoft.

Gambar 10 Sonde lambung dan spoit. Gambar 11 Antibiotik Clavamox®.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Persiapan Laboratorium dan Kandang

Penelitian ini diawali dengan pengadaan peralatan dan fasilitas tempat tinggal untuk mencit seperti box plastik, tutup jaring, botol minum, dispenser, tempat pakan, kain alas, sikat, sarung tangan, spoit 1 ml, hanger, dan timbangan digital. Pakan yang akan diberikan kepada mencit ditimbang dan dibungkus ke dalam plastik. Tiap ekor mencit baik betina maupun jantan diberi pakan 5 g tiap ekornya dan air minum yang ad libitum. Pengadaan mencit sebanyak 72 ekor dilakukan setelah semua alat dan fasilitas lengkap.

3.3.2 Adaptasi dan Perlakuan pada Mencit

Aktivitas penelitian setelah proses persiapan dan pengadaan alat dan bahan, yaitu membersihkan box plastik, mencuci botol, mengganti air minum dua hari sekali, memberi pakan, dan mengganti kain alas pada box plastik. Kain yang digunakan sebagai alas pada box plastik dicuci setiap hari. Mencit yang baru datang diistirahatkan selama dua hari agar dapat beradaptasi dengan kandang baru. Mencit-mencit kemudian diberi pretreatment berupa anthelmintik Albendazole 5% dengan dosis 10 mg/kg bobot badan. Pemberian anthelmintik ini dilakukan sehari (single dose). Mencit dicekok antibiotik Clavamox 25 mg/ kg bobot badan selama 5 hari. Pretreatment selanjutnya adalah mencit dicekok anti protozoa Flagyl dengan dosis 30 mg/kg bobot badan selama 5 hari (Hrapkiewiez dan Mediana 2007).

Gambar 12 Mencit saat adaptasi kandang.

Mencit-mencit dibagi menjadi empat kelompok setelah pretreatment. Satu kelompok terdiri dari 9 ekor mencit betina dan 9 ekor mencit jantan. Kelompok 1 sebagai kelompok kontrol yang dicekok aquadest 0.1 ml/ekor/hari. Kelompok 2 sebagai kelompok dosis preventif yang dicekok ekstrak minyak jintan hitam sebanyak 0.1 ml/ekor/hari. Kelompok 3 sebagai kelompok dosis kuratif yang dicekok ekstrak minyak jintan hitam sebanyak 0.2 ml/ekor/hari. Kelompok 4 dicekok ekstrak minyak jintan hitam kombinasi madu dengan dosis sebanyak 0.3 ml/ekor/hari. Pemberian ekstrak minyak jintan hitam dan kombinasinya dengan madu pada mencit berlangsung selama 2 bulan. Penentuan dosis dilakukan

berdasarkan aturan pakai pada kemasan sediaan ekstrak minyak jintan hitam komersial yang telah dikonversikan pada bobot badan mencit.

Gambar 13 Mencit saat perlakuan. Keterangan (A) di-handling saat akan dicekok, (B) dicekok dengan ekstrak minyak jintan hitam.

3.3.3 Nekropsi dan Pembuatan Preparat Histologi

Mencit-mencit dieuthanasi menggunakan metode dislokasio os atlas-ocipitale lalu dinekropsi untuk melihat gambaran patologi anatomi organ pencernaan mencit. Kadaver mencit diamati apabila ada kelainan patologinya secara makroskopis. Organ lambung dan usus halus dipisahkan dari organ lainnya. Organ-organ tersebut difiksasi dalam larutan BNF 10% selama 24-48 jam dan diberi nomor kode protokol.

Gambar 14 Prosedur euthanasi pada mencit.

Sampel jaringan kemudian di-trimming atau dipotong kecil setebal 0.5 cm dan dimasukkan ke dalam tissue cassette untuk dilakukan proses dehidrasi di dalam seri larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, dan 96%), alkohol absolut I, II, dan III masing-masing selama 2 jam. Proses dilanjutkan dengan clearing atau penjernihan. menggunakan xylol I, II, dan III masing-masing selama 40 menit. Proses selanjutnya adalah embedding ke dalam parafin I, parafin II, parafin III, dan parafin IV masing-masing selama 30 menit. Proses berlangsung secara otomatis di dalam Sakura®automatic tissue processor. Sampel organ yang telah berbentuk blok parafin disimpan dalam lemari es (suhu 4-6ºC) untuk mengeraskan parafin dan memudahkan pemotongan (sectioning) menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5µm. Preparat diberi kode protokol sesuai dengan nomor protokol pada spesimen. Hasil potongan berupa pita (ribbon) dimasukkan dengan pinset ke dalam air yang telah dihangatkan (45C). Hasil potongan diangkat dari permukaan air dengan object glass. Tahap selanjutnya adalah dilakukan pengeringan dan dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 60C selama semalam.

Pewarnaan jaringan mengunakan Haematoxylin-Eosin (HE) dan Periodic Acid Schiff (PAS). Tahap awal pewarnaan HE adalah deparafinisasi dan rehidrasi. Sediaan lalu direndam dalam Mayer’s haematoxylin selama 8 menit dan dibilas dengan air mengalir selama 30 detik. Sediaan direndam dengan lithium karbonat selama 15-30 detik lalu dibilas dengan air mengalir selama 2 menit. Perendaman dalam Eosin selama 2-3 menit lalu dibilas dengan air selama 30-60 detik. Teknik pewarnaan PAS, yakni sediaan yang sudah dideparafinisasi kemudian dicelupkan ke dalam asam asetat 1% selama 5 menit, sediaan dibilas dengan aquadest selama 5 menit. Sediaan dioksidasi ke dalam periodic acid 1% selama 5-10 menit dan dibilas dengan aquadest sebanyak tiga kali. Sediaan kemudian dimasukkan ke dalam Schiff reagent kira-kira 15-30 menit, dibilas dengan air sulfit sebanyak tiga kali, masing-masing pembilasan dilakukan selama 2 menit. Kemudian sediaan dibilas dengan air mengalir selama 10-15 menit dan dibilas dengan aquadest. Selanjutnya sediaan didehidrasi sampai dengan xylol. Setelah proses pewarnaan selesai, kemudian sediaan ditetesi perekat permount dan ditutup dengan gelas penutup lalu dikeringkan.

3.3.4 Pengamatan Preparat Histologi

Proses pengamatan preparat digunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 200x dan 400x (20x dan 40x lensa objektif serta 10x lensa okuler) dan digital electronic eyepiece camera. Organ yang diamati adalah lambung bagian fundus dan usus halus bagian duodenum dengan luasan 240 000 µm2. Pengamatan pada lambung dilakukan untuk mengamati sel-sel jaringan lambung mulai dari lumen hingga lapisan serosa seperti jumlah sel chief, sel parietal, sel mukus permukaan dan sel radang. Pengamatan pada duodenum terdiri dari tinggi vili, jumlah kripta, sel goblet, dan sel radang pada lapisan mukosa. Data kuantitatif diperoleh menggunakan perangkat lunak Image J sebanyak 10 lapang pandang. Selain itu terdapat data bobot badan mencit yang dihitung tiap minggu saat sebelum dan setelah perlakuan. Hasil perhitungan parameter-parameter tersebut dapat dijadikan indikator dari efek pemberian ekstrak minyak jintan hitam maupun kombinasinya dengan madu terhadap gambaran histologi organ lambung dan usus halus mencit.

3.4 Analisis Data

Hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk foto dan angka hasil perhitungan (kuantitatif). Data kuantitatif yang terdiri dari jumlah sel parietal, sel chief, sel mukus permukaan pada lambung, jumlah kripta, sel goblet, sel radang, dan tinggi vili usus halus disajikan dalam bentuk Mean ± Standar Deviation menggunakan metode One Way ANOVA. Data dilanjutkan dengan Duncan test untuk membandingkan tiap kelompok perlakuan. Kebermaknaan dalam perbedaan hasil didapatkan dengan metode one way ANOVA untuk menilai perbedaan antara kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi perlakuan ekstrak minyak jintan hitam pada tingkat dosis yang berbeda dan kelompok perlakuan ekstrak minyak jintan hitam kombinasi madu. Nilai p< 0.05 ditetapkan hasilnya bermakna atau signifikan berbeda nyata (Murti 1996).

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Lambung

Mencit-mencit yang telah dinekropsi, organ lambung dan usus halus diamati patologi anatominya. Organ lambung mencit kelompok kontrol dan kelompok perlakuan tampak normal. Mukosa lambung berwarna rose, konsistensi kenyal, dan permukaan yang licin. Selain itu pada bagian ini tidak ditemukannya adanya perdarahan dan kebengkakan pada semua kelompok baik jantan maupun betina. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan kesehatan hewan coba baik dan tidak ditemukannya efek dari suatu malfungsi organ. Gambaran histologi lambung berupa jumlah sel parietal, sel chief, sel mukus permukaan, dan sel radang pada lapisan mukosa lambung diamati menggunakan perangkat lunak Image J. Data yang diperoleh kemudian diuji secara statistik dengan ANOVA.

A. Sel Parietal

Hasil uji statistik ANOVA dan uji lanjut Duncan terhadap jumlah sel parietal dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil uji menunjukkan perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan yang diberi ekstrak minyak jintan hitam dan kombinasi madu (p<0.05).

Tabel 7 Rataan jumlah sel parietal mencit yang diberi ekstrak minyak jintan hitam Jenis

kelamin

Perlakuan

Kontrol JH preventif JH kuratif JH + madu

Jantan 44.75 ± 24.85a 161.53 ± 98.04b 167.50 ± 83.82b 174.60 ± 49.9b Betina 76.70 ± 47.97a 128.77 ± 72.55b 152.73 ± 73.36c 170.87 ± 3.98bc

Keterangan : Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) antar kelompok perlakuan.

Pemberian ekstrak minyak jintan hitam menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah sel parietal pada kelompok perlakuan dosis preventif, kuratif, dan ekstrak minyak jintan hitam kombinasi madu. Gambar 15 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah sel parietal dan sel chief pada kelompok yang diberi ekstrak minyak jintan hitam dan kombinasinya dengan madu.

Jumlah sel parietal pada kelompok kontrol mencit jantan maupun betina lebih rendah daripada kelompok perlakuan yang diberi ekstrak minyak jintan hitam dan kombinasi madu. Kelompok perlakuan mencit jantan yang diberi ekstrak minyak jintan hitam kombinasi madu lebih responsif daripada kelompok perlakuan lainnya. Kelompok ini memiliki jumlah sel parietal yang paling tinggi. Peningkatan jumlah sel parietal ini dapat disebabkan pengaruh senyawa timoquinon yang terkandung di dalam ekstrak minyak jintan hitam. Senyawa ini berperan sebagai antioksidan. Timoquinonyang terkandung dalam ekstrak minyak Gambar 15. Fotografi mikro perbandingan sel parietal dan sel chief pada

lambung mencit dengan pewarnaan HE.

Keterangan: (A) Kontrol, (B) JH preventif, (C) JH kuratif, JH+ madu.

A

D

C

SC

SP

SC

SC

SP

SP

SC

B

SP

Nigella sativa memiliki aktivitas antioksidan yang memegang peranan sangat penting sebagai protektor radikal bebas (Thippeswammy dan Naidu 2005).

Radikal bebas merupakan molekul yang dapat menyebabkan peroksidasi lipid pada mukosa lambung sehingga meningkatkan permeabilitas membran sel. Peningkatan permeabilitas sel tersebut akan memudahkan terjadinya difusi kembali asam lambung sehingga keasaman lambung dapat meningkat. Aktivitas antioksidan sebagai protektor radikal bebas dari timoquinon dapat menghambat peroksidasi lipid pada mukosa lambung dan mencegah peningkatan permeabilitas sel. Keadaan permeabilitas sel yang terjaga dengan baik menyebabkan sel parietal dapat bertahan hidup lebih lama dan jumlahnya meningkat serta terhindarnya difusi kembali asam lambung.

Sekresi HCl dari sel parietal di dalam lambung berguna untuk misalnya pepsin (enzim untuk mencerna protein) memerlukan pH relatif rendah yakni sekitar 2-3. Selain itu lingkungan asam adalah kondisi yang bagus bagi mikroorganisme menguntungkan dan sebaliknya akan berpengaruh negatif terhadap mikroorganisme patogen (Ulfah 2006). Peningkatan jumlah sel parietal akan menjaga kondisi lambung tetap asam sehingga dapat memperkecil kemungkinan infeksi dari mikroorganisme patogen. Selain itu sintesis protein oleh pepsin juga berjalan lancar pada kondisi asam sehingga kecernaan zat-zat makanan khususnya protein menjadi lebih baik.

B. Sel Chief

Sel chief atau sel zymogen merupakan sel yang bertugas dalam sekresi pepsinogen, lipase, dan kimosin. Sel ini terletak di dasar kelenjar lambung, memiliki sitoplasma yang basofilik dan inti bulat. Sekresi pepsinogen dipengaruhi beberapa faktor seperti aktivitas kolinergik dari nervus vagus dan kondisi asam dalam lambung. Aktivitas sel chief berhubungan dengan sel parietal. Pepsinogen yang dihasilkan sel chief diubah menjadi pepsin dalam suasana asam (Rafsanjani et al. 2006).

Gambar 16. Fotografi mikro (SP) sel parietal dan (SC) sel chief lambung mencit dengan pewarnaan HE.

Hasil pengolahan data jumlah sel chief pada lambung mencit dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil uji statistik ANOVA dan uji lanjut Duncan terhadap jumlah sel chief pada lambung mencit diperoleh hasil perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan (p<0.05). Perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan ini terjadi baik pada mencit jantan maupun mencit betina. Pemberian ekstrak minyak jintan hitam menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah sel chief pada kelompok perlakuan dosis preventif, kuratif, dan ekstrak minyak jintan hitam kombinasi madu. Kelompok perlakuan mencit jantan yang diberi ekstrak minyak jintan hitam kombinasi madu memiliki jumlah sel chief paling tinggi.

Tabel 8 Rataan jumlah sel chief pada setiap mencit yang diberi ekstrak minyak jintan hitam (JH)

Jenis kelamin

Perlakuan

Kontrol JH preventif JH kuratif JH + madu

Jantan 168.30 ± 43.23 a 247.30 ± 48.82 b 249.20 ± 59.16 b 281.03 ± 57.01 c Betina 178.40 ± 78.94 a 211.53 ± 36.50 b 245.07 ± 41.63 c 249.03 ± 43.03 c

Keterangan : Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) antar kelompok perlakuan.

Hasil uji statistik ANOVA menunjukkan bahwa jumlah sel chief pada lambung kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Peningkatan jumlah sel chief dipengaruhi senyawa yang terkandung di dalam

SP

ekstrak minyak jintan hitam. Timoquinon, dithimoquinon, timohidroquinon, dan timol yang terkandung dalam ekstrak minyak Nigella sativa memiliki aktivitas farmakologi. Secara khusus timoquinon memiliki efek antioksidan, anti mikroba, hipoglikemik, anti tumor, efek hepatoprotektif, inhibisi generasi eikosanoid dan peroksidasi membran lipid. Aktivitas antioksidan memegang peranan sangat penting sebagai protektor radikal bebas (Thippeswammy dan Naidu 2005). Adanya senyawa timoquinon dalam ekstrak minyak jintan hitam sebagai antioksidan dan anti mikroba dapat menghambat peroksidasi lipid sehingga radikal bebas dapat terikat dan integritas membran sel tetap terjaga (Diamita 2009). Selain itu vitamin E yang terkandung dalam madu juga berperan sebagai antioksidan. Jadi tidak hanya timoquinon dari ekstrak minyak jintan hitam tetapi juga vitamin E yang terkandung di dalam madu memiliki aktivitas antioksidan. Oleh karena itu kelompok perlakuan yang diberi ekstrak minyak jintan hitam kombinasi madu memiliki jumlah sel chief yang paling tinggi.

Sel parietal dan sel chief bekerja sama dalam mencerna zat-zat makanan di dalam lambung. Sel chief berperan dalam sekresi pepsin, lipase, dan kimosin, yakni enzim untuk mencerna protein dan lemak. Enzim-enzim ini bekerja dalam kondisi lambung yang asam. Kondisi asam pada lambung dipengaruhi oleh HCl yang disekresikan oleh sel parietal. Adanya peningkatan jumlah sel chief dan sel parietal dapat meningkatkan zat-zat makanan yang dicerna. Enzim-enzim yang disekresikan dapat mensintesis protein dan lemak dari makanan sehingga nilai kecernaan dari zat-zat makanan pun dapat meningkat. Aktivitas antioksidan dari timoquinon dan vitamin E dapat mengikat radikal bebas yang dapat meyebabkan peroksidasi lipid pada mukosa lambung. Antioksidan dapat mencegah peroksidasi lipid dan menjaga integritas membran sel sehingga kinerja sel parietal dan sel chief tetap terjaga dari radikal bebas. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan jumlah sel parietal dan sel chief pada kelompok mencit yang diberi ekstrak minyak jintan hitam kombinasi madu.

C. Sel Mukus Permukaan

Hasil uji statistik ANOVA dan uji lanjut Duncan terhadap jumlah sel mukus permukaan lambung dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Rataan jumlah sel mukus permukaan lambung yang diberi ekstrak minyak jintan hitam (JH)

Jenis kelamin

Perlakuan

Kontrol JH preventif JH kuratif JH + madu

Jantan 28.40 ± 7.71b 17.67 ±7.55 a 17.33 ± 8.78 a 13.10 ± 8.13 a Betina 21.45 ± 10.16b 10.33 ± 7.34 a 12.67 ± 8.22 a 13.47 ± 6.19 a

Keterangan : Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05) antar kelompok perlakuan.

Hasil uji menunjukkan antara kelompok mencit kontrol dengan kelompok mencit perlakuan yang diberi ekstrak minyak jintan hitam dan kombinasi madu

Dokumen terkait