Wawancara kepada Bagus Paramanandana selaku Project Coordinator Ocean Clean Up Indonesia dari PT Royal Haskoning, dilakukan pada tanggal 26 September 2020 pada pukul 10:00 di layanan telpon “Whatsapp”.
N : Narasumber
P : Pewawancara
P : Menurut mas Bagus, Apa itu pencemaran air?
N : Kalau menurut saya, pencemaran air itu ketika ada satu bahan tambahan atau polutan yang masuk ke badan air yang tidak bisa terdegradasi di air itu sendiri, dan biasanya pencemaran air itu umumnya dibagi 2, ada pencemaran dari solid (padat) seperti sampah yang berbahan padat, dan berbentuk cair atauliquid.
Makanya, pencemaran air itu tergantung kita mau lihatnya dari mana nih. Dari tinjauan solid waste atau nggak liquid waste. Sementara kalau misalkan kita bilang sedimentasi, itu tidak termasuk dalam pencemaran air, itu masuk ke siklus alam yang berbeda lagi. Pencemaran air sendiri artinya di badan air itu kemasukan suatu badan tambahan yang tidak bisa terdegradasi di lingkungan.
P : Tadi apa mas yang tidak termasuk, sedimentasi?
N : Nah, sedimentasi itu kan kayak lumpur yang terbawa dari hulu ke hilir.
Nah, ketika orang awam melihat “wah ini lumpur, sungainya jadi keruh nih, jadi
liii
kotor nih, berarti tercemar nih airnya” gitu. Belum tentu, karena sedimentasi sendiri kan proses alam yang terbawa dari hulu ke hilir, dan kebanyakan itu lumpur, tanah. Seperti itu. Jadi, itu menurut saya bukan termasuk dalam kategori pencemaran air. Kecuali, kalau sedimennya itu berupa bahan berbahaya, contohnya ya misalkan tanah buangan atau bekas yang berbahaya untuk alam, itu kan bisa termasuk ke dalam pencemaran. Tanah tersebut kan jadi masuk ke solid waste / sampah solid.
P : Menurut mas sendiri, kenapa pencemaran air itu bisa terjadi pada badan air?
N : Faktornya sebetulnya ada banyak ya. Kita lihat dulu dari faktor lingkungannya sendiri dulu. Misalnya lingkungannya itu ada di pinggiran atau bantaran sungai, terus abis itu ada danau, atau misalnya waduk itu termasuk dalam badan air. Nah, kenapa pencemaran air itu sendiri bisa masuk ke situ, pertama, satu, biasanya penanganan sampah- nah ini kita bicara soal limbah padat dan limbah cair. Nah, kalau limbah cair kan kalau misalkan kalau di waduk itu kan banyak pabrik-pabrik kain, bikin-bikin bahan kain itu kan akan mengeluarkan limbah cair, makanya sungainya jadi berwarna-warni. Sementara-biasanya bisa terjadi seperti itu, karena penanganan di daratnya sendiri tidak tertangani dengan baik. Baik limbah cair, maupun limbah padat.
Kalau limbah cair itu kan, aturannya sudah cukup jelas, ketika memang ada suatu industri/pabrik ingin membuang limbah cairnya ke badan air, itu mereka harus melalui suatu proses pengelolaan airnya itu sendiri, mengembalikannya lagi itu harus dalam kondisi yang sama (dengan badan air). Limbah cairnya itu diolah di darat, nanti dikembalikan ke sungai. Sementara kalau limbah padat, seperti yang kita tahu, kalau ada sampah di selokan atau misalkan di jalan, yang habis itu tidak tertangani dengan baik. Habis itu kena hujan, itu akan mengalir masuk ke sungai.
Atau pun memang ada juga kebiasaan manusia yang masih membuang sampah sembarangan langsung ke sungai. Karena, kalau kita melihat history-nya sendiri, sungai itu kan sebetulnya sungai itu mempunyai sifat sebagai tempat
‘pembuangan’. Nah, mungkin pada zaman dulu, ketika berbicara tentang pembuangan, ya orang belum berbicara tentang plastik atau bahan kimia dan lain-lainnya. Jadi, kalau kita disitu ngomongin saluran pembuangan ya akhirnya akan terdegradasi lagi. Karena misalkan dulu kita makan pake daun pisang. Daun pisang sendiri kan lama-lama bisa dikomposkan, bisa jadi kembali ke alam. Nah, seiring berjalannya waktu, produk pembungkus makanannya pun sudah berubah bentuknya, terus habis itu alamnya sendiri kan tidak berubah, nah sifat manusianya sendiri juga tidak berubah, tapi bahannya berubah, jadi mengotori lingkungan. Dipikirnyakan ketika dia (manusia) buang, nah terus dia (sampah) akan terdegradasi sendiri di lingkungan. Ternyata tidak.
P : Oh, jadi walaupun bahan yang dipakai berubah, tapi kebiasaan manusianya tetap sama ya mas?
lv
N : Iya, dan kebiasaan itu sebetulnya harus ada edukasi atau sosialisasi, karena kan semakin ke sini- kita bicaranya sekarang lebih makro atau lebih global, mungkin pada zaman dulu penanganan sampah masih level-nya/scope-nya kecil gitu. Misalnya level perumahan, tapi sekarang ketika itu jadi semakin banyak berarti kan haru ditangani sampai levelkota atau kan level daerah. Itu kan butuh penanganan yang lebih kompleks lagi dan di situ kan juga dimasukkan faktor, ya itu ada sosialisasi, ada edukasi juga ke masyarakat dan segala macamnya.
Mungkin masih ada masyarakat yang percaya kalau ini (buang limbah di sungai) gak apa-apa lah kalau di buang ke luar, tapi kan yang nyata kan dampaknya itu bisa berbahaya buat lingkungan.
P : Bagaimana polutan tersebut bisa mencemari air, menurut mas Bagus?
N : Gimana bisa mencemari itu sebetulnya seperti yang tadi saya bilang di awal sih. Ketika dia tidak bisa terdegradasi, itu akan mencemari sendiri kan. Dari produk limbahnya sendiri kan dia tentu akan berbahaya kan, misalkan limbah cair, gitu. Seharusnya di sungai kan bisa buat hidup biota sungai, cuman karena ada tambahan konsentrasi limbah cair yang berlebihan, jadinya kan malah berbahaya buat biota disitu kan, jadi akhirnya mencemari. Harusnya, kadar oksigennya masih cukup, tapi dengan adanya limbah cair ini akan jadi perusak dan lain-lainnya.
Kalau, misalkan limbah padat, misalnya styrofoam, gitu. Styrofoam kan juga berbahaya gitu kan, nah ketika dia masuk setelah sekian lama, bahannya bisa mengeluarkan produk kimia yang lainnya yang bisa mencemari air.
P : Menurut mas Bagus, apa dampak dari polusi air itu ke masyarakat dan lingkungan? baik yang dekat dengan badan air atau jauh dari badan air?
N : Okei, dampak yang paling nyata itu, jelas kesehatan ya. Karena itu kan langsung terpapar (dengan air yang tercemar). Ya, kita semua tahu lah 70% dari tubuh manusia itu kan terdiri dari air, dan ketika air yang masuk itu tidak bersih/tidak sehat, tentu itu akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia itu. Jadi dampak langsungnya sih itu. Kalau dampak lingkungannya sendiri, tentu ketika tadi yang saya bilang; limbah cair dan biota sungainya jadi berkurang; dan biota di sungai sendiri sebenarnya bertransformasi, lho. Artinya, misalnya dulu waktu sungai masih bersih, itu mungkin lebih bervariasi biotanya, tapi akhirnya sekarang yang bertahan tinggal beberapa biota, dan biota yang bertahan hidup sendiri itu pun bisa jadi tubuhnya sudah menyerap zat kimia yang banyak, jadi yang tadinya itu sehat dan bisa dikonsumsi, tapi sekarang jadi tidak bisa dikonsumsi. Atau mungkin karena himpitan ekonomi, ya tetap dikonsumsi, tapi yang dikonsumsi itu sudah tercemar. Itu dampak langsungnya sih. Lalu, dampak tidak langsungnya itu impact-nya banyak ya. Karena ketika bicara pemanfaatan sungai sendiri bisa macam-macam juga. Kayak, misalnya sumber airnya bisa dipakai untuk mencuci baju, bisa buat kebutuhan sehari-hari. Nah, ketika sungai atau sumber air dari sungai itu tercemari, tentu proses akan lebih kompleks, lebih rumit, lebih panjang,
lvii
lebih mahal. Nah, ketika lebih mahal kan tentu akan dibebankan juga ke pengguna. Pengguna juga akan kena charge tambahan lagi kan. Terus, habis itu kalau misalkan tidak diolah dengan baik sumber airnya, akhirnya kan yang masuk ke masyarakat bukan kualitas air yang memenuhi standar. Misalkan, mas Ivan pergi ke Jakarta Utara, mungkin di daerah yang padat penduduk, mereka bisa jadi belom tersentuh dengan jaringan air atau PAM, berarti kan mereka ambilnya dari sumber air tanah, ketika air tanahnya sendiri sudah tercemar, jadi sehari-hari pakai itu. Jadi air lebih payau, lebih bau. Nah itu kan dampak tidak langsungnya yang panjang (berjangka).
P : Menurut mas Bagus, dari pemerintah ada regulasi yang sudah nyata dan dirasakan oleh masyarakat gak mas?
N : Regulasinya sudah banyak, sudah cukup bisa mengcover, katakanlah, kemungkinan-kemungkinan yang ada di masa depan. Artinya kayak edukasi tentang pengelolaan air di limbah cair itu sudah ada, cuman ya yang jadi tantangan itu implementasinya, jadi penerapannya di lapangan. Itu memang sulit, karena itu kan butuh proses ya. Contoh sederhana nih, misalnya regulasi ke luar (buang sampah). Misalnya mas Ivan punya pabrik, masih pakai teknologi yang lama, ternyata standar airnya harus lebih tinggi lagi, kan mas Ivan butuh proses lagi nih buat pengadaan alat baru, pengadaan buat teknologinya, proses dari produksinya mas Ivan juga harus disesuaikan. Nah itu kan bagian dari implementasi dari regulasi yang ada.
Namun, memang itu butuh proses, tapi memang pemerintah sudah mencanangkan,
‘Oke, tahun ini kita akan tetapkan regulasinya’, nah itu kan ada beberapa tahun setelah itu di mana proses untuk penerapannya. Nah, kalau terkait dengan kegiatan yang pernah saya jalani sendiri, itu lebih ke regulasi mengurangi sampah plastik yang masuk ke laut. Nah, nanti mas Ivan bisa googlingperpres pengurangan 70%
sampah plastik yang masuk ke laut di tahun 2025. Jadi dari perpres itu sebetulnya kegiatan yang saya pernah terlibat. Tapi, kalau untuk regulasi yang lain terkait dengan pengelolaan air dan pencemaran itu banyak sekali.
P : Dari pengalaman mas Bagus, ada gak cerita atau fakta menarik mengenai mengatasi polusi air atau mengurangi polusi air?
N : Ini secara general ya, kalau untuk cara mencegah polusi air itu banyak banget. Kita lihat dari skalanya, bisa dari individu, bisa dari skala kecil misalnya perumahan atau daerah ataupun industri dan skala global sekalipun. Ketika mas Ivan bilang ini polusi atau pencemaran air, ini luas banget. Nah kalau dari individu, yang gampang ketika kita-jangan membuang sampah sembarangan.
Walau kita sudah buang di tempatnya, tapi kan ternyata hujan, dan terbawa aliran air dan masuk ke sungai. Atau misalkan kita tidak sengaja buang sampah di-mungkin bukan kita ya, misalnya orang di luar sana yang belum paham akan dampaknya itu kan. Mungkin dia buang sampah di selokan atau di mana. itu kan menjadi polusi sendiri.
lix
Kalau untuk menariknya sendiri itu, bagaimana kita bersama-sama punya pemahaman yang sama terkait penanganan ini, karena kalau sampahnya, limbahnya sendiri semua orang sudah paham, sudah terlihat jelas di mata mereka bahwa air ini mencemari, baik air yang ada di sungai atau air tanah sekalipun, apalagi di Kota Jakarta. Mungkin dulu orang tua kita, bisa dapat air di kedalaman tertentu sudah dapat air yang bersih, mungkin sekarang sumur bornya harus lebih dalam lagi, walaupun sudah dalam ternyata menimbulkan bau yang tidak sedap.
Limbah itu sendiri sudah di depan mata, orang juga sudah cukup paham. Nah, cuman yang menarik itu, tadi bagaimana bersama-sama punya pemahaman ini (polusi air) harus ditangani sesegera mungkin. Nah mungkin orang belom merasakan sampai skala individu bagaimana itu diterapkan dengan efektif dan efisien. Contoh misalkan pas mas Ivan pergi ke Singapur, gak pengen tuh buang sampah sembarangan. Walaupun sudah diterapkan sanksi yang tegas, misalnya buang sampah kena berapa ribu dolar. Tapi, melihat behaviour dan lingkungan yang mendukung, orang jadi segan. Di Indonesia, mungkin itu awareness atau rasa kesadaran itu masih rendah, jadi memang perlu ditingkatkan lagi. Makanya perlu sosialisasi, perlu kerja sama, bukan hanya tugas pemerintah itu sendiri, tapi juga bagaimana pemerintah dan masyarakatnya pun mau bersama-sama buat menangani ini sih. Jadi yang menarik di lapangan itu, inisiatifnya banyak, tapi karena kompleksitas dari masalah dan kompleksitas dari struktur sosial dan masyarakatnya sendiri membuat penanganan ini terkesan tidak bergerak, padahal sudah banyak penanganan. Misalnya inisiatif dan gerakan dari lingkungan. Tapi,
yang belum tersentuh itu dampaknya buat mereka apa, sosialisasinya masih kurang. Tapi, sekarang industri besar seperti Danone dan seperti Nestle juga kerjasama dengan kemendikbud menciptakan suatu kurikulum yang terkait dengan penanganan sampah. Jadi mulai mengenalkan tentang sampah itu dari level sekolah. Mungkin kalau zaman sebelumnya, mungkin 20 tahun yang lalu,
‘Oiya, jangan buang sampah sembarangan’, tapi ‘apa’ sampah itu kan belum mulai dibahas, tapi sekarang sudah mula inisiatif seperti itu mulai bermunculan, terus apalagi misalkan banyak gerakan seperti diet kantong plastik dan lain-lainnya sudah banyak. Cuman, bagaimana bisa bersama-sama untuk itu.
Karena masyarakat di Indonesia itu kan struktur sosialnya kan itu kompleks ya.
Ada yang katakanlah kita disuruh bawa kantong belanjaan dari rumah, itu mungkin bisa untuk orang yang di level atas, tapi buat yang level bawah itu mungkin belom kepikiran seperti itu. Jadi balik lagi, fakta menarik di lapangan ya itu, ketika semua ingin bersama-sama untuk menangani ini, tapi memang semua ini proses.
P : Oke, pertanyaan terakhir ya mas. Unsur apa yang harus saya tekankan di board game saya, terutama mengenai polusi air dan penanganannya?
N : Sebenarnya dari yang saya lihat, satu, mas Ivan juga sudah cukup bagus nih targetnya itu anak 7-12 tahun, itu anak SD kan ya. Itu kalau boleh saya kasih masukan, saya gak tahu, tapi mas Ivan juga sudah kepikiran kali ya.
lxi
Coba diskusi atau interview dengan guru SD, kira-kira dari sisi mereka, apa sih permasalahan anak SD terkait lingkungan atau sampah. Karena kalau kita ngomongin polusi air itu berdampak dan air itu variabel lingkungan. Walaupun variabel lingkungan ada udara dan lain-lainnya, tapi ketika ngomong sama anak SD kan, ‘oke, pencemaran air’ paling gampang ya itu, buang sampah sembarangan sama tadi ada pabrik dan limbah cairnya. Atau misalkan kita mencuci mobil, itu kan airnya masuk ke selokan tuh. Nah, gimana proses pengolahan air di perumahan tersebut kan kita juga kan sudah terintegrasi, karena kalau mungkin perumahan yang sekarang ini pengolahan limbahnya sudah teratur, jadi ketika dibuang lagi ke sungai mereka sudah baik. Tapi kan mungkin, selokan yang langsung masuk ke sungai kan, bekas cuci baju, bekas cuci mobil kan limbahnya langsung masuk ke sungai. Nah, mungkin kalau saran, bisa coba diskusi dengan guru SD, tentang sudah sejauh mana sih pemahaman anak SD itu pada limbah ini. Terus yang kedua, yang menarik buat mereka itu apa, karena ini kaitannya dengan psikologis dari anak tersebut. Jadi misalkan, anak SD tuh senengnya kayak gimana sih, mungkin kalau kita diajarkan jangan buang sampah sembarangan dari TK, tapi kalau mas Ivan ada waktu juga coba diskusikan dengan guru dari 2 atau 3 backgroundyang berbeda, contoh SD negri, SD swasta, dan SD internasional. Itu pasti akan beda-beda tuh. Terus, kalau mungkin ada channel atau network orang tua murid, orang tua di pemukiman padat penduduk yang secara ekonomi di bawah rata-rata, terus orang tua yang di middle class, atau memang orang tua yang di upper class. Karena mereka akan memberikan insight
yang berbeda-beda, karena board game ini akan menjadi media yang sangat efektif buat sosialisasi lingkungan ini. Mungkin dalam bentuk fisik, danone day dalam bentuk apps. Terus, yang perlu ditekankan lagi juga, mungkin orang kita (indonesia) tuh selalu berpikirnya langsung advancegitu, ‘ada sampah ini, pakai teknologi ini’. Itu kalau pendekatannya aspek teknologi, tapi mas Ivan harus menekankan aspek mana nih. Aspek teknologi, aspek kelembagaan, aspek sosial atau aspek regulasi. Soalnya kalau berbicara tentang teknologi itu gampang.
Misalnya, ‘Okei, ada sampah plastik atau apapun di sungai’, ya kita taruh aja alat penangkap sampah di sungai. Nah itu kalau pendekatannya teknologi. Tapi kalau pendekatannya sosial, nah harus sosial ke lapangan, membuat sosialisasi, bekerjasama dengan pemerintah, katakanlah pemerintah membuat bank sampah.
Nah bank sampah itu biar orang tertarik di situ ada gajinya. Nah kan itu pendekatannya berbeda lagi tuh. Gak semata-mata pendekatan teknologi. Nah, misalnya kalau di luar negri mereka sudah lebih jauh ke depan, karena mereka sudah melewati prosesnya lebih dulu dari Indonesia. Mungkin hasil dari diskusinya dari sekolah atau orang tua, bisa jadi ditemukan temuan-temuan baru, seperti ‘oh, anak SD tuh belum kepikiran buat menciptakan teknologi penanganan sampah, tapi mereka baru berpikir bahwa sampah itu jangan dibuang dulu atau dalam tahapan mengenal sampah’, nari dari situ mungkin buat di board game-nya mas Ivan, mungkin cukup di level beginner-nya,
lxiii
mereka cukup mengenal apa sih itu perbedaan limbah cair dan limbah padat, baru penanganannya seperti apa, jadi ini harus berjenjang tidak bisa secara langsung
‘ada sampah, kita tangani’, karena kita perlu tahu juga proses di dalamnya seperti apa. Lalu, saran saya yang perlu ditekankan lagi juga, itu terkait gimana sampah ini bisa dimanfaatkan lagi untuk ke depan. Jadi, kita tidak hanya mengetahui sampah, lalu bagaimana mengolahnya, namun bisa bermanfaat lagi. Kan kalau paling sederhananya bekas plastik atau kain perca bisa jadi tas atau jadi bahan baru, tapi kan bisa jadi kalau setelah tahu sampah ini dikelola, bisa mendaur ulang sampahnya lagi. Nah, bagaimana itu bisa sustainable di kemudian hair, melihat sustainability-nya juga sih.
P : Baik, itu pertanyaan terakhir dari saya.