• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Filosofi,

BAB II Landasan Bimbingan Dan Konseling

A. Landasan Filosofi,

Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan dasar pijakan dan kacamata bagi konselor dalam melaksanakan dan mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Filsafat sebagai landasan bimbingan dan konseling bermakna bahwa filsafat menyediakan dasar pijakan bagi bimbingan dan konseling untuk berdiri. Filsafat berusaha membimbing, mengarahkan semua praktek konseling karena praktek konseling yang tidak memiliki landasan filosofis akan mengalami kekosongan makna.

Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis. Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang apakah manusia itu? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern.

Berarti landasan filosofis bimbingan dan konseling adalah asumsi filosofis yang dijadikan titik tolak dalam rangka studi dan praktek bimbingan dan konseling, asumsi tersebut adalah jawaban menyangkut pertanyaan tentang apakah makna hidup itu? Dari mana asal manusia dan ke mana perginya?, Siapa manusia itu? Dan pertanyaan sulit lainnya.

Fungsi filsafat dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa (1) setiap manusia harus mengambil keputusan atau tindakan, (2) keputusan yang diambil adalah keputusan diri sendiri, (3) dengan berfilsafat dapat mengurangi salah faham dan konflik, dan (4) untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia yang selalu berubah. Dengan berfilsafat seseorang akan memperoleh wawasan atau cakrawala pemikiran yang luas sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat.

Keputusan tersebut mempunyai konsekuensi tertentu yang harus dihadapi secara penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, keputusan yang diambil akan terhindar dari kemungkinan konflik dengan pihak lain, bahkan sebaliknya dapat mendatangkan kenyamanan atau kesejahteraan hidup bersama, walaupun berada dalam iklim kehidupan yang serba kompleks. (Yusuf, 2010).

Makna dan fungsi filsafat dalam kaitanya dengan layanan bimbingan dan konseling menurut Belkin (1975) dalam Prayitno dan Erman Amti (2015) merupakan pelayanan bimbingan dan konseling meliputi kegiatan atau tindakan yang semuanya diharapkan merupakan tidakan yang bijaksana. Untuk itu diperlukan pemikiran filsafat tentang berbagai hal yang tersangkut-paut dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Pemikiran dan pemahaman filosofis menjadi alat yang bermanfaat bagi pelayanan bimbingan dan konseling pada umumnya, dan bagi konselor pada khususnya, yaitu membantu konselor dalam memahami situasi konseling dalam mengambil keputusan yang tepat. Disamping itu pemikiran dan pemahaman filosofis juga memungkinkan konselor menjadikan hidupnya sendiri lebih mantap, lebih fasilitatif, serta lebih efektif dalam penerapan upaya pemberian bantuannya.

John J. Pietrofesa et.al. (1980: 30-31) dalam Yusuf, 2010) mengemukakan bahwa terdapat beberapa prinsip yang berkaitan dengan landasan filosofis dalam bimbingan, yaitu sebagai berikut: (1) Objective Viewing. Dalam hal ini konselor membantu klien agar memperoleh suatu perspektif tentang masalah khusus yang dialaminya, dan membantunya untuk menilai atau mengkaji berbagai alternatifi atau strategi kegiatan yang memungkinkan klien mampu merespon interes, minat atau keinginannya secara konstruktif. Dan (2) The Counselor must have the best interest of

the client at heart. Dalam hal ini konselor harus merasa puas

dalam membantu klien mengatasi masalahnya. Konselor menggunakan keterampilan untuk membantu klien dalam upaya mengembangkan keterampilan klien dalam mengatasi masalah

(coping) dan keterampilan hidupnya (life skills).

John J. Pietrofesa et.al. (1980) dalam Yusuf (2010) selanjutnya mengemukakan pendapat James Cribbin tentang prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan sebagai berikut:

1. Bimbingan hendaknya didasarkan pada pengakuan akan keilmuan dan harga diri individu (klien) dan atas hak-haknya untuk mendapat bantuan.

2. Bimbingan merupakan proses pendidikan yang berkesinambungan. Artinya bimbingan merupakan bagian integral dalam pendidikan.

3. Bimbingan harus respek terhadap hak-hak setiap klien yang meminta bantuan atau pelayanan.

4. Bimbingan bukan prerogratif kelompok khusus profesi kesehatan mental. Bimbingan dilaaksanakan melalui kerjasama, yang masing-masing bekerja berdasarkan keahlian atau kompetensinya sendiri.

5. Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam merealisasikan potensi dirinya.

6. Bimbingan merupakan elemen pendidikan yang bersifat individualisasi, personalisasi dan sosialisasi.

Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para penulis Barat (Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2015: 139-140) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :

1. Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.

2. Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.

3. Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan. 4. Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan

buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.

5. Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.

6. Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.

7. Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.

8. Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.

9. Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.

Menurut Pancasila dalam sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kemanusiaan adalah prinsip yang berisi keharusan untuk bersesuaian dengan hakikat manusia. Hakikat manusia menurut pancasila adalah manusia seutuhnya, yaitu monopluralisme, manusia adalah dari keseluruhan unsur-unsur hakiki yang berpasangan, monodualis raga jiwa, monodualis individu sosial, makhluk Tuhan-pribadi

mandiri. Yang kesemua unsur tersebut berstu secara organis, harmonis dan dinamis.

Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.