• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum

Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

1. Aspek Hukum Materiil Pengadilan Agama

Sebagaimana telah diterangkan di muka, bahwa sebelum dlberlakukannya Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Peradilan Agama di Indonesia memiliki dasar hukum dan kewenangan yang terluang dalam 3 peraturan perundang-undangan, yaitu Staatsblad 1882 Nomor 152 jo. Staatsolad 1937 Nomor 116, 610 dan Staatsblad 1937 638, 639, serta Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.

Pembicaraan mengenai hukum materiil yang berlaku di pengadilan agama sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tak bisa lepas dari kewenangan yang diberikan oleh ketiga peraturan perundangan tersebut di atas kepada semua Pengadilan Agama di Indonesia.

Dari ketentuan Staatsblad 1882 Nomor 152 Pasal 2 ayat 1 dijabarkan bahwa kewenangan Pengadialn Agama meliputi:

a. Memeriksa dan memutus perkara perselisihan antara suami dan istri yang beragama Islam.

b. Memeriksa dan memutus apakah suatu pernikahan dan rujuk sah atau tidak.

c. Memeriksa dan memutus perkara cerai talak dan cerai gugatan serta menyatakan talak yang digantungkan (ta'lik talak) sudah ada/memenuhi syarat.

d. Memeriksa dan memutus gugatan nafkah dan maskawin yang belum dibayar serta hak-hak bekas istri yang ditalak, seperti nafkah

commit to user

Penjabaran sebagaimana tersebut di atas, bila disimpulkan lagi, maka kewenangan Pengadilan agama itu adalah meliputi perkara-perkara nikah, talak dan rujuk dari suami istri yang beragama Islam, serta yang berhubungan dengan gugatan nafkah, mahar dan mut'ah. Kesemua yang dikemukakan itu adalah berdasarkan ketentuan Staatsblad 1882 Nomor 152 jo. Staatsblad 197 No. 116 dan 610.

Adapun untuk wilayah Kerapatan Qadi di Kalimantan Selatan dan Timur, pada dasarnya sama dengan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di Jawa dan Madura. Kewenangan Pengadilan Agama ini dirumuskan dalam Staatsblad 1937 Nomor 638 Pasal 3.

Dan kewenangan Mahkamah Syari'ah (Pengadilan Agama) untuk di luar Jawa dan Madura, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 Pasal 4 ayat 1. Dari rumusan Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa kewenangan Mahkamah Syari'ah (Pengadilan Agama) ini adalah:

a. Mengadili perkara dari suami istri yang beragama Islam.

b. Dalam bidang perkara talak, nikah, rujuk, lermasuk perkara fasakh dan syiqaq.

c. Menetapkan gugatan nafkah, mahar yang belum dibayar.

d. Mengadili perkara hadlanah, waris mewaris, wakaf, hibah, sadaqah, baitulmal dan lain-lain.

Yang penulis maksud adalah, perbedaan lapangan kewenangan absolut, otomatis akan mempengaruhi hukum materiil yang akan diterapkan oleh hakim yang mengadili suatu perkara. Sehingga dapat dipastikan bahwa hasil keputusan Pengadilan Agama dalam mengadili satu perkara tertentu.

Dalam ketiga peraturan perundang-undangan di atas, memang tidak disebut secara kongkrit tentang hukum materiil apa yang digunakan dalam mengadili perkara yang diajukan kepada PengadilanAgama. Pasal 2 ayat 1 Staatsblad Nomor 152 dan Pasal 3 Staatsblad 1937 nomor 638 lebih menekankan pada pcrsonalitas kcislaman para pihak yang berperkara,

bukn pada hukum materiil yang akan diterapkan di Pengadilan Agama. Lain halnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 untuk wilayah luar Jawa dan Madura, Kalimantan Selatan dan Timur. Pada Peraturan Pemerintah ini nampaknya menyatakan sedikit lebih tegas tentang hukum materiil yang diberlakukan di Pengadilan Agama, walaupun masih terdapat perbedaan pendapat dalam menafsirkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah tersebut.

Dalam Pasal 4 ayal 1 peraturan tersebut dinyatakan :

"Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan segala perkara menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafaqah, maskawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut'ah, dan sebagainya, hadlanah, perkara waris-mewaris, wakaf hibah, sadaqah, baitulmal, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan bahwa syarat taklik sudah berlaku."

Selanjutnya dalam memori penjelasan atas Peraturan ini, pada paragraf 16 dinyatakan :

“ . . . begitu pula urusan penetapan bahagian pusaka untuk ahli waris, soal-soal wakaf, hibah, sadqah dan baitul mal, yang harus diputus menurut hukum syariat Islam tidak mendapat pelayanan semestinya."

Dan pada paragraf 18 dinyatakan :

"... secara integral memberikan keseragaman penyelesaian perselisihan perkara perdata dari orang Islam diputus menurut hukum syari'at Islam."

Jadi menurut penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut jelaslah bahwa hukum materiil yang diberlakukan di Pengadilan Agama sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 adalah hukum Islam, karena hukum Islam dianggap hukum yang hidup di masyarakat saat itu.

commit to user

di sini adalah hukum yang bersumber dari Al-Qur'an dan As Sunnah. Landasan keputusan pengadilan agama terhadap materiil Pengadilan Agama sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama pada dasarnya menerangkan bahwa hukum materiil peradilan agama terkait dengan tindakan-tindakan hukum yang terkait dengan kegiatan memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan segala perkara menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafaqah, maskawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut'ah, dan sebagainya, hadlanah, perkara waris-mevvaris, wakaf hibah, sadaqah, baitulmal, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan bahwa syarat taklik sudah berlaku.

Selain itu dalam landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum materiil sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa terkait dengan penetapan bahagian pusaka untuk ahli waris, soal-soal wakaf, hibah, sadqah dan baitul mal, yang harus diputus menurut hukum syariat Islam tidak mendapat pelayanan semestinya.

Landasan keputusan pengadilan agama sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama menerangkan bahwa secara integral memberikan keseragaman penyelesaian perselisihan perkara perdata dari orang Islam diputus menurut hukum syari'at Islam. Dan pada dasarnya pandangan hukum Islam terhadap hukum materiil yang diberlakukan di Pengadilan Agama sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah hukum Islam, karena hukum Islam dianggap hukum yang hidup di masyarakat saat itu. Untuk itu pada saat itu hukum materiil yang wajib diterapkan oleh hakim Islam di pengadilan adalah hukum Islam.

Sedangkan hukum Islam yang dimaksud di sini adalah hukum yang bersumber dari Al-Qur'an dan As Sunnah dan Ar Ra'yu dari orang

yang memenuhi syarat untuk berijtihad dengan metode ijma, qiyas, istihsan, istidal, maslahah mursalah dan lain-lain.

Namun landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum materiil setelah pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Adapun mengenai hukum materiil sesuai dengan penjelasan umum undang-undang tersebut menerangkan bahwa Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama yang mempunyai tugas memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antar orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah berdasarkan hukum Islam.

Adapun mengenai hukum materiil pasca lahirnya Undang-undang Nomor.7 Tahun 1989, perlu penulis kutip kembali bunyi penjelasan umum undang-undang tersebut sebagai berikut:

"….. Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama utuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antar orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah berdasarkan hukum Islam."

Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum di Indonesia, maka penjelasan umum undang-undang di atas mempertegas lagi bahwa "hukum yang hidup" sebagaimana terdapat dalam memori penjelasan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957, adalah hukum Islam. Sedangkan hukum yang hidup yang mencerminkan teori resepsi yang dikumandangkan oleh Prof Snouck Nurgronye telah tamat riwayatnya. (Cik Hasan Bisri, 1997: 132).

Menurut penjelasan M. Yahya Harahap, ketentuan Pasal 2 dan penjelasan umum angka 2 alinea ketiga, serta pasal 49 ayat 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, khususnya menyangkut asas personalitas

commit to user

di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wakaf dan shadaqah.

c. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. (M. Yahya Harahap, 1989 : 38)

Seperti yang penulis jelaskan di muka, bahwa pembicaraan mengenai perkembangan hukum materiil di lingkungan Peradilan Agama di Indonesia pasca diberlakukannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tak bisa leepas dari lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991 (ada masa lebih kurang 1 tahun 6 bulan setelah lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).

Sebagaimana diketahui bahwa KHI terdiri dari tiga buku : buku 1 tentang Perkawinan, buku 11 tentang Kewarisan, dan buku 111 tentang Perwakafan. KHI bertujuan antara lain untuk merumuskan secara sistematis hukum Islam di lingkungan Pengadilan Agama, dan guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di lingkungan Pengadilan Agama, serta sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang lebih seragam dalam lalu lintas pergaulan masyarakat Islam Indonesia.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa hukum materiil sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun, 2006 bersumber dari hukum Islam dan secara prinsip, sesuai dengan hukum Islam, walaupun terbatas dan masih dianggap sebagai hukum yang tidak tertulis di Indonesia.

Sedangkan hukum materiil setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 juga berdasarkan hukum Islam dan sesuai dengan hukum Islam khususnya dengan lahirnya KHI, sebagai wujud bahwa hukum Islam dalam perkembangan hukum di Indonesia meningkat menjadi hukum tertulis yang secara sah diterapkan di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan masyarakat Indonesia.

Dan usaha ulama dan umara dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 serta KHI, merupakan cerminan dari usaha mempersiapkan bangsa Indonesia (khususnya yang beragama Islam) untuk tetap memegang teguh ajaran agama dalam kehidupan bernegara, terutama dalam perkara perdata tertentu seperti yang tertuang dalam Undang-undang tersebut.

Lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan KHI tentunya semakin mendekatkan Pengadilan Agama yang ada di Indonesia selama ini kepada hukum Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah beliau.

Landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum materiil setelah berlakunya Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dijelaskan dalam Pasal 2 dan penjelasan umum angka 2 alinea ketiga, serta Pasal 49 ayat 1 Udang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa dalam asas personalitas keislaman dalam keputusan peradilan agama terkait masalah 1) Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam; 2) Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wakaf dan shadaqah; dan 4) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. (M. Yahya Harahap, 1989 : 38).

Perkembangan hukum materiil di lingkungan Peradilan Agama di Indonesia pasca diberlakukannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tak bisa leepas dari lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991 (ada masa lebih kurang 1 tahun 6 bulan setelah lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).

commit to user

lingkungan Pengadilan Agama, dan guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di lingkungan Pengadilan Agama, serta sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang lebih seragam dalam lalu lintas pergaulan masyarakat Islam Indonesia.

Dapat disimpulkan bahwa hukum materiil sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun, 2006 bersumber dari hukum Islam dan secara prinsip, sesuai dengan hukum Islam, walaupun terbatas dan masih dianggap sebagai hukum yang tidak tertulis di Indonesia. Sedangkan hukum materiil setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 juga berdasarkan hukum Islam dan sesuai dengan hukum Islam khususnya dengan lahirnya KHI, sebagai wujud bahwa hukum Islam dalam perkembangan hukum di Indonesia meningkat menjadi hukum tertulis yang secara sah diterapkan di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan masyarakat Indonesia. Lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan KHI tentunya semakin mendekatkan Pengadilan Agama yang ada di Indonesia selama ini kepada hukum Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah beliau.

2. Aspek Hukum Formil Pengadilan Agama

Peradilan Agama adalah peradilan negara yang sah. Di samping sebagai peradilan khusus, yakni sebagai peradilan Islam di Indonesia, yang diberi peraturan perundang-undangan negara, untuk mewujudkan hukum materiil Islam dalam batas-batas kewenangannya.

Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum dan keadilan) maka sebelum lahirnya Undang-undang Nomor. 3 tahun 2006, ia menggunakan hukum formulir yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga hukum formil Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan di

Indonesia. (Raihan A. Rasyid, 1995 : 20).

Sumber hukum acara yang dimaksud di alas antara lain adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi inti hukum acara Peradilan Umum, yaitu :

a. HIP atau disebut juga RIB

b. R.Bg atau disebut juga Reglemen untuk daerah luar Jawa dan Madura. c. Rsv. yang zaman Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie. d. BW atau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum Perdata Eropa. e. Undang-undang Nomor 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum.

Di samping itu, adalah hukum acara yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang sama-sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama yaitu :

a. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

b. Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. c. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut. (Ibid, 21).

d. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Secara umum prinsip-prinsip yang terkandung dalam 8 sumber-sumber hukum acara tersebut di atas tidaklah bertentangan dengan asas-asas hukum formil dalam Peradilan Islam. Sebagai ilustrasi, berikut penulis kemukakan beberapa asas hukum acara yang dimaksud tersebut: a. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. (Pasal

4 ayat 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004)

b. Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membedakan orang. (Pasal 5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004). Hal ini sesuai dengan maksud ayat Al-Qur'an surag An Nisa' ayat 105 yang berbunyi :

commit to user

kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat." (Depag RI, 1990 : 189).

c. Peradilan dilakukan berbeda dari pengaruh dan campur tangan dari luar, semata-mata demi terwujudnya kebenaran dan keadilan melalui penegakan hukum (Pasal 4 (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004). Asas ini juga sejalan dengan ayat Al-Qur'an di atas.

d. Persidangan terbuka untuk umum (Pasal 19 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004). Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur'an surah An Nur ayat 2 :

Artinya : "Dan hendaklah (pelaksanaan) hukum mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman." (Depag RI, 1990 : 543).

e. Hakim mendengarkan kedua belah pihak (Pasal 121 HIR/142 R.Bg.) Kedua belak pihak diperlakukan sama di muka sidang. Asas ini cocok sekali dengan Hadits Rasulullah : (Sunan At Tirmidzi, 1978 : 395). Artinya : "Apabila dua orang mengajukan perkara kepada engkau, maka kanganlah engkau putuskan untuk si penggugat hingga engkau mendengarkan pembicaraan dan tergugat. Maka kelak engkau mengetahui bagaimana engkau memutuskannya."

f. Pihak termohon atau tergugat wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dengan kekuatan hukum yang tetap (Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004). Asas ini juga sejalan dengan kaidah fiqh : (Muslih Usman, 1996 : 202).

Artinya : "Pada dasarnya seseorang itu bebas dari tanggungan."

g. Putusan harus disertai alasan (Pasal 25 (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Pasal 178 (1) H1R). Asas ini sejalan maksudnya dengan kaidah flqih : "Penetapan sesuatu hukum diperlukan adanya dalil."(Muslih Usman, 1996 : 202).

Sebab para ulama sepakat bahwa penetapan hukum harus didasarkan atas suatu dalil, baik dari nash maupun dalil ijtihad.

a. Pelaksanaan putusan wajib menjaga terpeliharanya perikemanusiaan dan perikeadilan (Pasal 36 (4) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004). b. Hakim wajib mendamaikan para pihak (Pasal 130 HIR, yasal 39 (2)

Undang-undang nomor 1 tahun 1974).

Sedangkan hukum formil Pengadilan Agama setelah berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, secara kongkrit terkandung dalam Pasal 54 Undang-undang tersebut, yaitu :

"Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini."

Hal itu menunjukkan bahwa hukum formil yang berlaku adalah hukurn tertulis sebagaimana yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, di samping adanya kekecualian dan kekhususan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Kekhususan tersebut meliputi prosedur cerai talak, cerai gugat, cerai dengan alasan zina dan biaya perkara. (Cik Hasan Bisri, 1997 : 133).

Dalam undang-undang tersebut prosedur cerai talak diatur dalam paragraf 2, yaitu Pasal 66 sampai dengan (Pasal 72. Di sini cerai talak menjadi hak suami, karena itu ia menjadi pihak pemohon. Suami yang akn menceraikan istnnya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Permohonan itu diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, yaitu pihak istri.

Sedangkan prosedur cerai gugat diatur dalam paragraf 3 yaitu Pasal 73 sampai dengan Pasal 86. Cerai gugat menjadi hak istri yang diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali jika penggugat dengan sengaja

commit to user

dengan aturan pelaksanaannya dalam Bab V Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.Namun di situ terasa agak memberatkan pihak istri dalam mengajukan gugat cerai. Sebagai gantunya, dituangkan dalam Pasal 73 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang berjudul Tata Cara Perceraian.

Menurut M. Yahya Harahap, pergaulan itu dimaksudkan untuk menyesuaikan dinamika tata cara pemeriksaan perkara perkawina ke arah menjembatani tuntutan praktek dan kesadaran masyarakat, terutama untuk melindungi pihak istri dalam mengajukan penjelasan Pasal 73 ayat 1 undang-undang tersebut.

Pengkhususan perlindungan terhadap wanita, dalam hal ini pihak istri, baik sebagai termohon maupun sebagai penggugat, menunjukkan bahwa dalam kehidupan keluarga, istri berada dalam posisi yang lemah dibanding laki-laki baik dilihat dari segi fisik, mental, kejiwaan dan lain-lain. Hal ini sebenarnya telah diisyaratkan oleh ketentuan Al Qur'an surat An Nisa' ayat 34

Artinya: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (Depag. RI. 1990:123).

Selain itu, telah dimaklumi bersama bahwa otoritas suami sebagai kepala keluarga, pada umumnya lebih besar daripada istri. Pengambilan keputusan lebih dominan ditentukan oleh sumai daripada istri. Dengan demikian pengkhususan dalam bentuk perlindungan terhadap wanita ini tidaklah bertentangan dengan ayat al-Qur'an di atas.

Selanjutnya, yang menyangkut pengkhususan hukum acara setelah berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah masalah cerai dengan alasan zina. Dalam undang-undang tersebut prosedur cerai dengan alasan zina diatur dalam paragraf 4, yaitu Pasal 87 ayat 1 dinyatakan: "Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat menyanggah

alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti itu tidak mungkin lagi diperoleh, baik dari pemohon atau penggugat maupun termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah."

Apabila sumpah itu dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya hanya dapat dilakukan dengan cara li'an. Dan apabila sumpah itu dilakukan istri, penyelesaiannya dilakukan dengan hukum acara yang berlaku.

Tata cara perceraian .dengan alasan zina, kemudian diselesaikan dengan cara li'an ini (jika suami yang bersumpah) adalah wujud nyata pelaksanaan ketentuan Al Qur'an surat An Nur ayat 6 sampai dengan 9, yaitu:

Artiuya: "Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada saksi-aksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar (6). Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta (7). Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta (8). Dan (sumpah) yang kelima; bahwa la'nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar (9). (Depag. RI. 1990:544)

Adapun tentang biaya perkara diatur dalam bagian ketiga, yaitu dalam Pasal 89, 90 dan 91. Menurut ketentuan Pasal 89 ayat 1, dinyatakan:

"Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon."

commit to user

kekhususan hukum acara pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, pengadilan yang berfungsi sebagai pemutus dan penyelesai keretakan keluarga, baik antara suami dan istri, maupun antara orang tua dengan orang tua dengan anak. la merupakan suatu peradilan keluarga (family court), yang mempertimbangkan aspek-aspek sosial dan psikologis dalam lingkungan keluarga. (Cik Hasan Bisn, 1997:133-134).

Dan semua penjelasan penulis tentang hukum formil di Pengadilan Agama di atas, dapatlah disimpulkan bahwa hukum formil baik sebelum maupun sesudah lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 secara prinsip tidaklah bertentangan dengan hukum Islam. Hanya saja kekhususan hukum formil pasea Undang-undang tersebut yang meliputi prosedur cerai talak, cerai gugat, cerai dengan alasan zina dan biaya perkara, tampak lebih tegas dan jelas daripada peraturan

Dokumen terkait