• Tidak ada hasil yang ditemukan

internasional. 4. Perkembangan Konstelasi Politik Internasional dan Implikasinya Terhadap Politik Hukum Nasional Indonesia dalam Pemberantasan Terorisme, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No.1 Januari 2011, Hal 161 - 174 Oleh : Mardenis Diskriptif Pendekatan : Kebijakan Luar Negeri K.J Holsti

(1) politik hukum nasional

Indonesia dalam

pemberantasan terorisme belum sesuai dengan prinsip – prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD – 1945, karena kurang menghormati dan melindungi hak – hak asasi manusia, berpotensi mengancam hak – hak asasi manusia, berpotensi mengancam integrasi bangsa, kurang menghormati nilai – nilai demokrasi dan kurang memenuhi rasa keadilan rakyat dan bangsa Indonesia. (2) Perkembangan konstelasi politik Internasional dalam

kaitannya dengan

pemberantasan terorisme, dalam hal ini sangat didominasi oleh kepentingan politik, ekonomi dan ideology AS, baik dalam regulasinya dalam berbagai konvensi internasional. (3) Perkembangan konstelasi politik internasional berimplikasi cukup signifikan terhadap politik hukum nasional Indonesia pemberantasan terorisme, baik dalam proses penerapan dan penegakan hukumnya.

1.6 Landasan Konsep dan Teori

Dalam melakukan suatu penelitian yang bersifat ilmiah, diperlukan seperangkat teori maupun konsep sebagai pijakan dasar untuk memulainya. Tentu

20 saja teori dan konsep di sini harus relevan dengan penelitian yang dilakukan. Peneliti memulai dengan tinjauan pustaka tentang Terorisme.

a. Terorisme

Persoalan keamanan lainnya yang seharusnya juga mandapat perhatian yang sama pentingnya adalah keamanan masyarakat atau manusia dalam sebuah negara. Persoalan keamanan demikian ini berkaitan dengan senjata ringan dan kaliber kecil, proliferasi dan penggunaanya dapat memberi pengaruh terhadap hak asasi manusia (keamanan dan kekerasan negara); proteksi minoritas dari konflik komunal dan represi, dan terorisme. Keamanan seperti ini sangat berbeda dari keamanan negara, misalnya keamanan dari gangguan-gangguan eksternal (intervensi). Banyak pendapat yang mendifinisikan Terorisme, satu diantaranya adalah pengertian yang tercantum dalam Pasal 14 ayat 1 The Prevention Of Terorrism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut : “terrorism means

the use of violence for political ends includes any use of violence for the purpose

putting the public or any section of the public in fear”. Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok, atau suatu bangsa. Perbuatan terror yang dilakukan apabila tidak ada jalan lain untuk ditempuh untuk melalsanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror.12

12 Lasina, Aspek Hukum Pemberantasan Terrorisme di Indonesia , Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman

21 Dalam mendefinisikan terorisme, kesulitan yang dihadapi adalah berubahnya wajah terorisme dari waktu ke waktu. Pada saat tertentu terorisme merupakan tindakan yang dilakukan negara, pada waktu yang lain terorisme dilakukan oleh kelompok non negara, atau oleh kedua-duanya. Walter Laquer menyatakan bahwa tidak akan mungkin ada sebuah definisi yang bisa meng-Cover ragam terorisme yang pernah muncul dalam sejarah.

Menurut T. P. Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation

terorisme didefinisikan sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme adalah faham yang berpendapat bahwa penggunaan cara-cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara-cara yang sah untuk mencapai tujuan.13

Penegertian Terorisme sesuai UU. No.2 Tahun 2002 adalah terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat Internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.14

13

Ewit Soetriadi, SH, 2008, Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dengan Hukum Pidana, Universitas Diponogoro Semarang

14

Lembar Pengertian Terorisme Sesuai UU.No.2 Tahun 2002, dalam

http://www.kodam-tanjungpura.mil.id/penpas/Edisi%2011%20Nopember%202011.pdf (diakses pada tanggal 05 April 2014, Pukul 11.13 WIB)

22 Seorang ahli bernama Jack Gibbs menyatakan, suatu tindakan dapat didefinisikan sebagai terorisme apabila merupakan suatu kejahatan atau suatu ancaman secara langsung terhadap kemanusiaan atau terhadap objek tertentu. Namun, hal tersebut menurut Gibbs masih merupakan definisi yang umum, artinya cakupan dari definisi tersebut masih terlalu luas dan masih mencakup juga definisi dari kejahatan biasa. (Dengan pengertian tersebut, definisi itu mencakup kejahatan biasa seperti pembunuhan atau perusakan gedung, sehingga tidak terlihat perbedaan antara kejahatan biasa (ordinary crime) dengan terorisme.15

Secara umum istilah terorisme diartikan sebagai bentuk serangan (faham/ideologi) terkoordinasi yang dilancarkan oleh kelompok tertentu dengan maksud untuk membangkitkan perasaan takut di kalangan masyarakat. Badan Intelijen Pertahanan Amerika Serikat memberikan definisi terorisme sebagai berikut, “Bentuk tindak kekerasan apa pun atau tindak paksaan oleh seseorang untuk tujuan apa pun selain apa yang diperbolehkan dalam hukum perang yang meliputi penculikan, pembunuhan, peledakan pesawat, pembajakan pesawat, pelemparan bom ke pasar, toko, dan tempat-tempat hiburan atau yang sejenisnya, tanpa menghiraukan apa motivasi mereka.”

Menurut Oxfords Advanced Learners Dictionary terorisme adalah “Segala bentuk tindakan kekerasan untuk tujuan politis atau untuk memaksa sebuah pemerintah untuk melakukan sesuatu, khususnya untuk menciptakan ketakutan dalam sebuah komunitas masyarakat.” Selanjutnya, dengan mengutip dari Juliet

15

Pengertian Terorisme dan Menurut Para Ahli dan Organisasi Terorisme, dalam

http://www.lintas.me/go/sarjanaku.com/pengertian-terorisme-menurut-para-ahli (diakses pada tanggal 05 April 2014, Pukul 12.28 WIB)

23 Lodge dalam The Threat of Terrorism “teror” itu sendiri sesungguhnya merupakan pengalaman subjektif, karena setiap individu memiliki ambang ketakutannya masing-masing. Ada orang yang bertahan meski lama dianiaya. Ada orang yang cepat panik meski hanya karena ketidaktahuan. Di dalam dimensi subjektif inilah terdapat peluang untuk kesewenangan atigmatisasi atas pelaku terorisme (teroris).16

Dari beberapa definisi terorisme diatas dapat disimpulkan bahwa tindak terorisme adalah hal yang berbahaya yang mampu mengancam pihak lain demi tujuan tidak menentu, pelaku terorismepun biasanya adalah orang – orang yang memilih untuk tidak takut mati atas perbuatannya. Terorismepun didasari oleh organisasi – organisasi yang menjalankan suatu misi tertentu dan mengatasnamakan jalan kebenaran.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori yaitu Rezim Internasional, membahas tentang rezim internasional tidak lepas dari pembahasan organisasi atau lembaga internasional. Istilah Lembaga Internasional telah digunakan dalam beberapa dekade untuk menunjukan pada beberepa fenomena.’Lembaga Internasional’ selalu menunjuk pada orgaisasi internasional formal.

16 Dian Kurnia, 2012, Apa Itu Terorisme?, dalam http://www.tnol.co.id/blog-anda/15707-apa-itu-terorisme.html (diakses pada tanggal 05 April 2014, Pukul 12.45 WIB)

24

International Regime Theory

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori rezim internasional sebagai dasar untuk menganalisa ASEAN yang berperan dalam menangani isu terorisme di kawasan Asia Tenggara.

“…An international regime is viewed as a set of implicit and explicit principles, norms, rules, and procedures around which

actors’ expectation converge in a particulas issue –area..”.17

Menurut Barkin pendekatan institusional memandang rezim dari apa yang dilakukan para aktor dalam suatu organisasi internasional, sebaliknya, pendekatan rezim melihat organisasi internasional dari pengaruh perlakuan aktor terhadap norma, aturan, prosedur, dan prinsip pembuatan kebijakan serta keputusan. Pendekatan rezim melihat darimana organisasi internasional itu muncul dan bagaimana keefektifannya.18

Rezim internasional (International Regime) itu sendiri dapat ditentukan sebagai prinsip-prinsip, norma-norma, aturan, dan diantara pembuat keputusan yang dibuat aktor-aktor internasional dalam sebuah isu atau kasus. Pertanyaan mendasar dalam pembahasan rezim internasional ini adalah apa hubungan antara kekuatan, kepentingan, nilai serta rezim dalam pembelajaran ilmu hubungan internasional itu sendiri. Perkembangan dari rezim internasional dapat dikaji dari beberapa hal yaitu egoist self interest, political power, norms, and principles, habits and custom, and knowledge. Stein menegaskan bahwa egoist self interest ini suatu keadaan dimana aktor memaksakan kehendak atau kepentingan

17 Krasner, S. 1983. International Regime. Cornell University Press, Ithaca

18

Adeyaka Wuri Aksani Rezim dan Organisasi Internasional, dalam

http://adeyaka-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-74596-Rezim Rezim Internasional-Rezim dan Organisasi Internasional.html (diakses pada Tanggal 10 Juni 2014, Pukul 11.05 WIB)

25 pribadinya dalam suatu sistem anarki, hal ini yang membentuk suatu rezim internasional.19

Variabel yang terdapat dalam rezim internasional adalah kekuatan politik atau political power ,dimana variable ini memiliki andil dalam penjelasan mengenai perkembangan rezim. Ada dua orientasi dapat mebuat power menjadi berbeda, yaitu cosmopolitan dan instrumental. Kekuatan ini digunakan aktor untuk meningkatkan nilai yang terdapat dalam sistem Negara tersebut. Dengan kekuatan, sebuah Negara dapat mengelola negaranya sesuai dengan kehendaknya demi mencapai kebaikan bersama. Variabel selanjutnya ialah norma dan prinsip. Prinsip menjadi kepercayaan yang menjadi dasar dari pembuatan aturan tersebut diiringi oleh norma yang menjadi standard tingkah laku yang diharapkan diaplikasikan dalam tindakan yang disatukan dalam sebuah aturan yang kemudian dipraktikan dalam mengimplementasikannya.20

Pemikir lainnya Robert Jervis berpendapat bahwa konsep rezim bukanlah hanya sebagai norma – norma dan harapan yang timbul untuk memfasilitasi sebuah kerjasama, namun dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kerjasama yang lebih dari sekedar kepentingan nasional dalam jangka pendek. Rezim dapat mengatur koordinasi dari perilaku negara sehingga dapat diraih hasil yang diinginkan pada area isu tertentu yang nantinya akan menguntungkan bagi dunia internasional. Rezim dapat dinyatakan lemah apabila dalam prakteknya didunia

19

Euodia Rinthania Kristi, Rezim Internasional dalam

http://rinthania-kristi-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-76772-Rezim%20Internasional (diakses pada Tanggal 10 Juni 2014, Pukul 09.33 WIB)

20

Euodia Rinthania Kristi, Rezim Internasional dalam

http://rinthania-kristi-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-76772-Rezim%20Internasional (diakses pada Tanggal 10 Juni 2014, Pukul 10.21 WIB)

26 nyata tidak konsisten dengan prinsip, norma, aturan, dan prosedur yang berlaku dalam suatu rezim.21

Dari berbagai macam definisi yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa rezim dapat diartikan sebagai sebuah media yang digunakan untuk mengatur aktor-aktor dalam bertindak dalam sistem internasional. Atau dalam pengertian lain, rezim merupakan aturan main yang digunakan oleh para aktor hubungan internasional dalam mengelola negara dalam sebuah sistem yang anarki serta Rezim internasional menjadi instrument vital dalam sistem internasional yang dapat digunakan untuk menjalankan fungsi hubungan internasional dalam mengakomodasi kerjasama antar negara.22

Menurut Stephen D. Krasner, rezim internasional adalah seperangkat prinsip, norma aturan, dan prosedur pengambilan keputusan dimana harapan dari aktor – aktor yang terlibat didalamnya difokuskan pada satu area tertentu dalam hubungan internasional. Dalam konteks ini, prinsip adalah kepercayaan akan fakta, hubungan sebab – akibat, dan juga nilai – nilai kejujuran yang dianggap benar. Berikutnya norma adalah standar perilaku mengenai hak dan kewajiban. Sedangkan aturan adalah kewajiban dan larangan yang diberlakukan secara spesifik. Kemudian prosedur pengambilan keputusan adalah ketentuan yang

21

Ibid., hlm 12

22 Krasner, Stephen D. 1982. “Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables.” International Organization 36/2 (Spring). Reprinted in Stephen D. Krasner, ed., International Regimes, Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983 Created by Euodia Rinthania Kristi dalam http://rinthania-kristi-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-76772-Rezim%20Internasional (diakses pada Tanggal 10 Juni 2014, Pukul 10.21 WIB)

27 berlaku dalam pembuatan dan pengimplementasian pilihan ataupun keputusan kolektif.23

Rezim timbul karena adanya kerjasama dari negara – negara anggota dan menjadi kuat apabila dilatarbelakangi oleh komitmen masing – masing negara untuk menaati prinsip, norma dan aturan dalam suatu rezim yang telah disepakati bersama dengan harapan negara – negara anggota lainnya akan melakukan hal yang sama sehingga kepentingan bersama dapat tercapai.

Teori rezim internasional oleh Stephen D. Krasner menunjukan bahwa terdapat variable – variable kausal dasar yang dapat digunakan untuk melihat hubungan kausal (sebab – akibat) antara faktor – faktor tertentu dengan keberadaan suatu rezim internasional. Maka dari itu, rezim merupakan sesuatu yang bersifat dependent karena dipengaruhi oleh variable – variable kausal dasar.24

Sebuah rezim keamanan hanya terbentuk dan bertahan apabila memenuhi empat persyaratan, yaitu : (1) Pendirian rezim harus minimal didukung oleh persetujuan dari negara – negara kuat, dan bahwa seluruh negara calon anggota cukup puas dengan “status quo” (2) aktor – aktor yang bereda didalamnya bersama – sama menjunjung nilai yang berdasarkan pada kerjasama dan keamanan timbal – balik, (3) rezim keamanan tidak akan dapat terbentuk apabila ada aktor di dalamnya yang menganggap bahwa keamanan hanya dapt dicapai

23 Evely Adisa (1006743872), 2012, Rezim Non – Proliferasi Nuklir Internasional dan Program Nuklir Iran, Tesis Pascasarjana Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm 12

24

28 dengan melakukan ekspansi, (4) perang dan penyediaan keamanan secara individu harus dianggap memiliki resiko tinggi.25

Terdapat empat pendekatan dalam rezim yaitu :

1. Pendekatan Struktural menjelaskan khususnya teori stabilitas hegemoni mencoba menunjukkan bagaimana kondisi internasional dalam melakukan kerjasama.

2. Pendekatan game-theoretic merupakan teori yang menjelaskan kondisi di mana rezim mungkin timbul sebagai turunan dari perilaku kooperatif dan juga dapat menunjukkan kondisi yang kondusif untuk menstabilkan kepatuhan, tetapi memiliki kesulitan menjelaskan bentuk organisasi, ruang lingkup, atau perubahan

3. Pendekatan functional Teori fungsional menjelaskan kekuatan rezim, terutama teka-teki mengapa kepatuhan terhadap rezim cenderung bertahan bahkan ketika struktural kondisi yang awalnya memunculkan perubahan. 4. Pendekatan cognitif merupakan pendekatan yang ada karena adanya

pembelajaran dari pendekatan-pendekatan sebelumnya, yaitu structural,

game-theoretic dan functional, kerjasama yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan tanpa mengacu pada ideologi, nilai-nilai aktor, keyakinan yang mereka pegang tentang saling ketergantungan isu, dan tersedia bagi mereka pengetahuan tentang bagaimana mereka dapat mewujudkan tujuan

25

29 tertentu. Kerjasama dipengaruhi oleh persepsi dan mispersepsi, kapasitas dalam proses informasi, dan pembelajaran.26

Seperti yang dijelaskan diatas rezim internasional memiliki empat pendekatan, dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yang pertama yaitu pendekatan struktural khususnya teori stabilitas hegemoni mencoba menunjukan bagaimana kondisi internasional dalam melakukan kerjasama. Negara – negara kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN menjalin kerjasama dalam berbagai bidang demi mencapai tujuan dan stabilitas negara masing – masing. Tentu saja ASEAN berperan dalam menangani berbagai isu global salah satunya adalah isu terorisme. Dianalisa melalui pendekatan tersebut ASEAN yang berperan dalam menangi isu terorisme selain mengajak negara anggotanya bekerjasama menanangi teroris juga menunjukan bahwa ASEAN adalah organisasi yang mampu menunjukan kekuatannya dalam regional Asia Tenggara. Indikator dalam peran ASEAN menangani isu terorisme adalah dengan membentuknya suatu kelompok kerja yang disebut Inter- Sessional Meeting on Counter Terrorisme and Transnational Crime untuk mengembangkan kerjasama dalam ASEAN Regional Forum (ARF) yang membahas dan menghasilkan Konvensi tentang terorisme dan berlaku untuk negara anggotanya. Dengan adanya Konvensi tersbut memberikan pengaruh baru bagi negara – negara kawasan Asia Tenggara dalam memerangi aksi terorisme, seperti pertukaran informasi satu sama

26Haggard, Stephan & Simmons, Beth A. 1987. “Theories of International Regimes”,International Organization, Vol. 41, No.3 (Summer, 1987). pp. 491-517, dalam

http://mandayuanita-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-75033-Rezim%20Internasional-Teori%20Rezim%20Internasional.html (diakses pada Tanggal 10 Juni 2014, Pukul 16.42 WIB)

30 lain terhadap informasi aksi teroris dan menempatkan pelaku teroris dalam hukum yang ditetapkan.

Dokumen terkait