• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis a.Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pikirian melalui penelitian ini kepada peneliti – peneliti lainnya yang fokus pada isu terorisme. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu peneliti – peneliti untuk memahami sudut pandang yang berbeda tentang berbagai kasus yang menyeret keamanan negara dengan isu terorisme.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi pandangan baru tentang peran ASEAN dalam menangani isu terorisme yang berada di kawasan Asia Tenggara. Juga dapat mengubah anggapan ataupun cara pandang dalam menangani kasus terorisme yang berada di Asia Tenggara. Serta mampu memberikan kontribusi kepada masyarakat luas untuk memerangi terorisme untuk membantu negara serta ASEAN.

8 1.5 Penelitian Terdahulu

Berbagai penelitian telah dilakukan dengan fenomena atau isu yang relevan sama, namun sebuah peneltian akan berbeda dilihat dari setiap sudut pandang penelitian tersebut, maka dari itu untuk membedakan penelitian ini peneliti mengambil bebrapa penelitian terdahulu sebagai bahan pertimbangan dan berpedaan terkait ASEAN dan Isu terorisme.

Dalam penelitian pertama yang diteliti oleh Dewi Kurniawati8 meneliti tentang Peran Strategis Kerjasama Intelejen ASEAN dalam Upaya Pencenggahan Serangan Teroris di Indonesia (Studi Kasus : Kegagalan Intelejen Pada Bom Bali Pertamana 12 Oktober 2002. Berangkat dari latar belakang yang melihat tragedi 9/11 sebagai pencuat kembali isu terorisme dan disusul dengan aksiteroris berikutnya di Indonesia yaitu pada peristiwa Bom Bali menjadikan isu terorisme menghampiri Asia Tenggara dan menjadikannya sebagai “Terroris Haven” bagi jaringan terorisme sekaligus front kedua dalam perang global melawan teror. Permasalahan tidak berhenti sampai disana, serngan bom bali pertama 12 oktober 2002 bukanlah serangan teroro bom yang pertama dan terakhir. Hampir setiap setiap tahun setelah serangan di Bali tahun 2002, Indonesia secara beruntun diguncang oleh berbagai teror bom bunuh diri. Disamping hal tersebut latar belakang dalam penelitian Dewi melihat dari sudut pandang intelejen Indonesia yang dianggap gagal mengantisipasi terjadinya bom bali, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah “mengapa Intelijen Indonesia gagal

8

Dewi Kueniawati (1006743506) , 2012, Peran Strategis Kerjasama Intelejen ASEAN dalam Upaya Pencenggahan Serangan Teroris di Indonesia (Studi Kasus : Kegagalan Intelejen Pada Bom Bali Pertamana 12 Oktober 2002, Tesis Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia Jakarta

9 mengantisipasi terjadinya bom bali pertama tahun 2002, serta kemungkinan apa yangmuncul jika kerja sama intelejen di kawasan ASEAN sudah hadir sebelum kejadian tersebut?”. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut Dewi menggunakan penjabaran tipologi kegagalan intelejen dari Thomas Copeland, yaitu Problem With Warning Information, Organizational and Bureaucratic issues, dan Leadership and Policy Failures.

Kemudian dari tipologi tersebut maka Dewi Menarik kesimpulan kegagalan muncul diakibatkan karena para pengambil keputusan yang gagal untuk mengenali potensi permasalahan tersebut. Kegagalan ini terjadi diakibatkan karena pemimpin yang sedang berkuasa menyangkal terhadap keberadaan kelompok radikal, yang sudah di indikasi beroperasi aktif di Indonesia dengan afiliansi terhadap jaringan kelompok radikal global. Dilihat dari tahap kegagalan yang bersifat Organisasional dan Birokratis, kesulitan ini muncul ketika ada keengganan untuk berbagi informasi baik secara internal maupun eksternal. Dewi menemukan dua fakta yang bertolak belakang namun cukup menarik. Terlihat secara konsisten bahwa nara sumber yang berasal dari BIN pada dasarnya menyatakan mereka memiliki indikasi – indikasi, walaupun demikian tidak dapat mendapatkan soal kepastian kapan dan dimana bom akan meledak. Dan analisa terakhir keterkaitan dengan permasalahan berasal dari Analisa Intelejen ketegori pada bagian inibersifat sangat taktis, karena bergantung pada sumber daya manusia, yaitu agen intelejen di lapangan serta yang melakukan analisa pada bom Bali 2002. Untuk mengakhiri analisa dari penelitian ini peneliti menggunakan metode Counterfactual Reasoning hal yang dibahas dalam konteks

10 ini yaitu, bahwa Indonesia seharusnya bisa lebih memanfaatkan keanggotaannya di ASEAN untuk membantu meningkatkan keamanan nasionalnya.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian pertama milik Dewi adalah penelitian ini lebih melihat peran ASEAN secara menyeluruh terhadap penanganan isu terorisme di Asia Tenggara, sedangkan Dewi lebih fokus pada isu terorisme di Indonesia dan peran dari Interlegen ASEAN dalam kasus Bom Bali. Masih dalam satu isu yaitu isu terorisme namun berbeda dalam kawasan dan penelitian ini lebih kepada kawasan Asia Tenggara.

Penelitian kedua menganalisis “Kerjasama ASEAN dalam Menghentikan

Aliran Dana Operasional Terorisme Internasional di Asia Tenggara” oleh Maya Damayanti9. Memandang Visi ASEAN 2020, yaitu menciptakan ASEAN sebagai komunitas negara – negara Asia Tenggara, yaitu mencita - citakan ASEAN sebagai komunitas negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil, dan sejahtera, saling peduli, diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis Tahun 2020. ASEAN menyatakan komitmen untuk memerangi terorisme sesuai dengan Piagam PBB, hokum Internasional lainnya, dan Ressolusi PBB yang relevan. ASEAN menetapkan delapan jenis kejahatan lintas negara yang ditangani dalam kerjasama ASEAN, yaitu terorisme, perompakan, penyelundupan manusia, perdagangan gelap, narkoba penyelundupan senjata, kejahatan ekonomi Internasional, pencucian uang, kejahatan internet/ dunia maya. Pemberantasan terorisme merupakan salah satu bentuk kerjasama di bawah mekanisme AMMTC.

9

Maya Damayanti (106083003630) , 2012, Kerjasama ASEAN dalam mengehentikan Aliran Dana Operasional Terorisme Internasional di Asia Tenggara, Skripsi Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

11 Untuk memperkuat kerjasama, ASEAN juga telah menyusun dan mendatangi

ASEAN Convention on Counter Terrorisme (ACCT), kerjasama ini memberikan dasar hukum yang kuat guna meningkatkan kerjasama untuk pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan terorisme. Kerjasama dan saling berbagi data intelijen diantara negara – negara ASEAN yang mengaruh pada penangkapan terorisme juga merupakan factor pendorong peningkat rasa percaya diri di kawasan. Kerjasama ASEAN di bidang pertukaran informasi intelejen selama ini telah berjalan sangat baik terutama setelah terbentuknya ASEAN Regional Forum (ARF) tahun 1994. Karena serangkaian serangan terorisme, teroris memerlukan dana unutk melakukan aksinya. Menurut Maya para teroris memerlukan banyak uang untuk menjalankan berbagai aksinya. Dengan Resolusi pada pertemuan ke empat tanggal 9 September 1999, Majelis Umum PBB mengadopsi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorsm yang selanjutnya disingkat sebagai Konvensi Pendanaan terorisme (Convention on Financing Terrorism/CFT, melarang segala tindakan untuk mendanai terorisme. Maka dari hal tersebut Maya mengajukan pertanyaan “bagaimanakan kerjasama ASEAN dalam menghentikan aliran dana operasional terorisme internasional di Asia Tenggara?”

Untuk menjawab pertanyaannya Maya menggunakan konsep kerjasama Internasional adalah sisi lain dari konflik Internasional yang juga merupakan salah satu aspek dalam hubungan Internasional. Isu keamanan regional dan global memerlukan keterlibatan aktif semua negara untuk mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia. Seperti yang dikemukakan oleh K.J Holsti, bahwa kerjasama

12 Internasional menjadikan hidup lebih mudah, nyaman, dan efisien. Berikutnya konsep keamanan dari Buzan dperkenalkan dimana substansi studi keamanan diperluas tanpa meninggalkan fokus utamanya pada aspek kekuatan militer.

Dengan demikian Maya menyimpulkan beberapa poin yaitu dalam pemberantasan terorisme, ASEAN memberikan secara khusus mengenai bagaimana cara untuk memberantas organisasi terorisme, memberantas dukungan infrasturtur yang menunjang terorisme seperti pendanaan terorisme, dan diajukan ke pengadilan bagi pelaku kegiatan terorisme. Para pemimpin ASEAN juga sepakat untuk mengembangkan program dalam rangka peningkatan kemampuan negara anggota ASEAN untuk melakukan investigasi, deteksi, monitoring, dan pelaporan kegiatan terorisme, membahas dan menggali ide – ide dan inisiatif yang praktis untuk meningkatkan peran ASEAN. Selanjutnya, kerjasama pemberantasan terorisme dilakukan dengan membentuk ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT). Kerjasama berikutnya dilakukan untuk tukar menukar informasi intelejen, koordinasi penegek hukum , pertukaran informasi penggerakan kelompok teroris, modus operasi di teroris, penyidikan rekening teroris di negara yang diduga teroris tersebut menyembunyikan uangnya mampu melakukan pencucian uang, membekukan asset teroris, training/ pelatihan menangani bagaimana mengontrol persebaran bahan – bahan peledak.

Menurut Maya kerjasama – kerjasama ASEAN tersebut belum efektif karena ASEAN belum efektif dalam pengambilan keputusan sehingga belum mampu mengatasi perbedaan pendapat yang cukup mendasar dalam merumuskan strategi yang diperlukan untuk memerangi terorisme, dan tantangan terbesar yang

13 akan dihadapi ASEAN adalah mengatasi nilai – nilai historis yang selama ini telah tertanam, yaitu ketetapan mereka untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri masing – masing negara.

Pada penelitian kedua Maya mengambil fokus penelitian tentang dana operasional pelaku terorisme, dimana aksi terorisme lebih didukung dengan peralatan yang lengkap dan canggih, ini pula yang membedakan penelitian milik Maya dengan penelitian ini. Walaupun pada dasarnya ada Peran ASEAN dalam penelitian Maya tersebut namun berbeda dengan penelitian ini yang mencari alasan dari Peran ASEAN terhadap isu terorisme

Penelitian ketiga oleh Evely Adisa10 dengan penelitian yang berjudul

Rezim Non – Proliferasi Nuklir Internasional dan Program Nuklir Iran. Dalam penelitian ini membahas fenomena lemahnya rezim non proliferasi nuklir internasional dalam mengahadapi perilaku nuklir Iran. Negara tersebut dapat tetap membangun program nuklirnya meskipun telah menandatangani Traktat Non – Proliferasi Nuklir (NPT). Teori signifikansi rezim Stephen D. Krasner menyatakan adanya faktor factor yang mempengaruhi perkembangan rezim internasional. Faktor – faktor tersebut yaitu egoistic self – interest, political power, dan norms and principles digunakan untuk membantu menjelaskan fenomena ini. Maka hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah faktor – faktor seperti egoistic self – interest, political power, dan norms and principles

mempengaruhi rezim internasional . Rezim non – proliferasi nuklir internasional

10 Evely Adisa (1006743872), 2012, Rezim Non – Proliferasi Nuklir Internasional dan Program Nuklir Iran, Tesis Pascasarjana Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Jakarta

14 mengalami hambatan dalam mengatasi isu nuklir Iran karena (1) perilaku egoistic self – interest Iran dalam mendahulukan kepentingannya yang diwujudkan dalam program nuklirnya; (2) Iran memiliki kekuatan politik (politic power) yang diwujudkan dalam kemampuan diplomasinya; dan (3) Iran tidak mentaati norma dan prinsip (norms and principles) yang terdapat dslam rezim non – ploriferasi nuklir internasional. Kepemilikan material nuklir oleh negara yang kurang dapat memfasilitasi keamanan dari material tersebut dapat menimbulkan ancaman bagi negara itu sendiri, negara tetangga dan juga dunia. Keamanan dari material nuklir merupakan hal yang utama mengingat partikel – partikel radioaktif yang terkandung di dalam material tersebut sangat berbahaya bagi manusia.

Pada penelitian ketiga milik Evely ada perbedaan kasus atau isu yang dibahas dengan penelitian ini namun menggunakan teori yang sama untuk menjawab fenomena atau isu yang diangkat yaitu menggunakan Rezim Internasional.

Kemudian penelitian keempat, Mardenis11 dengan jurnalnya yang berjudul Perkembangan Konstelasi Politik Internasional dan Implikasinya Terhadap Politik Hukum Nasional Indonesia dalam Pemberantasan Terorisme.

Sedikit banyaknya jurnal ini membahas politik luar negeri AS dengan menjadikan Isu Terorisme sebagai agenda utama. Tahun 2001 AS yang menjadi korban dari aksi besar – bearan teroris dengan meledakan gedung kembar yaitu WTC atau lebih di kenal dengan peristiwa 9/11 membuat AS siap siaga dengan keamanan

11

Mardenis, Perkembangan Konstelasi Politik Internasional dan Implikasinya Terhadap Politik Hukum Nasional Indonesia dalam Pemberantasan Terorisme, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No.1 Januari 2011, Hal 161 - 174

15 negaranya. Pasca peristiwa tersebut AS sangat memerangi aksi terorisme yang membuat banyak korbannya. Berdasarkan cara berpikir demikian, AS kemudian secara sistematis membangun opini internasional bahwa kampanye anti terorisme yang dipeloporinya merupakan upaya membela kemanusian. Berdasarkan ini pulahlah AS melegitimasi aksinya keseluruhan dunia, seperti menyerang ke Afganistan dan invansi ke Irak, mengelompokan group atau orang tertentu sebagai teroris, menangkap, membekukan aset dan tindakan lain yang dianggap penting oleh AS, termasuk menekan negara – negara lain (khususnya negara – negara berkembang, termasuk Indonesia). Dengan menanggapi respon AS yang menjadi korban aksi terorisme maka, banyak negara yang ikut memerangi terorisme mengubah kebijakan negaranya terhadap isu terorisme. K.J Holsty menyatakan bahwa kebanyakan studi politik internasional (World Politics)

merupakan studi mengenai kebijakan politik luar negeri, di mana kebijakn ini didefinisikan sebagai keputusan – keputusan yang merumuskan tujuan menentukan presiden, atau melakukan tindakan – tindakan tertentu, dan tindakan – tindakan yang diambil untuk mengimplementasikan keputusan – keputusan it. Studi – studi ini memusatkan perhatian pada usaha – usaha menggambarkan tindakan dan elemen – elemen kekuasaan negara – negara besar.

Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah (1) politik hukum nasional Indonesia dalam pemberantasan terorisme belum sesuai dengan prinsip – prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD – 1945, karena kurang menghormati dan melindungi hak – hak asasi manusia, berpotensi mengancam hak – hak asasi manusia, berpotensi mengancam integrasi bangsa, kurang

16 menghormati nilai – nilai demokrasi dan kurang memenuhi rasa keadilan rakyat dan bangsa Indonesia. (2) Perkembangan konstelasi politik Internasional dalam kaitannya dengan pemberantasan terorisme, dalam hal ini sangat didominasi oleh kepentingan politik, ekonomi dan ideology AS, baik dalam regulasinya dalam berbagai konvensi internasional. (3) Perkembangan konstelasi politik internasional berimplikasi cukup signifikan terhadap politik hukum nasional Indonesia pemberantasan terorisme, baik dalam proses penerapan dan penegakan hukumnya.

Penelitian keempat milik Mardenis membahas tentang isu terorisme menjadi poliki internassional oleh AS, serta berpengaruhnya terhadap politik internasional dan implikasinya terhadap hukum di Indonesia untuk memberantas terorisme. Dalam isu penelitian milik Mardenis dan penelitian ini sama yaitu Isu terorisme, namu berbeda fokus yang diambil. Mardenis memilih pemberantasan terorisme dapat mempengaruhi politik internasional dan hukum pada suatu negara yaitu AS dan Indonesia inilah yang membedakannya dengan penelitian ini.

Peneliti memberikan empat penelitian terdahulu sebagai bahan perbandingan pada penelitian ini. Pada penelitian pertama, kedua, dan keempat

masih dalam fenomena yang sama yaitu isu terorisme di Asia Tenggara. Di penelitian ketiga fenomena yang dibahas berbeda dengan peneliti, tetapi landasan teori yang digunakan sama dengan peneliti gunakan. Maka dari itu yang membedakan penelitian ini dengan penelitian – penelitian sebelumnya adalah penelitian ini mengambil sudut pandang Peran ASEAN yang concern terhadap isu terorisme di Asia Tenggara.

17 Tabel 1.1 Posisi Penelitian

No. Judul dan Nama Peneliti

Jenis Penelitian

dan Alat Analisa Hasil

1. Peran Strategis Kerjasama Intelejen ASEAN dalam Upaya Pencenggahan Serangan Teroris di Indonesia (Studi Kasus : Kegagalan Intelejen Pada Bom Bali Pertama 12 Oktober 2002 Oleh : Dewi Kurniawati Eksplanatif Pendekatan : tipologi kegagalan intelejen dari Thomas Copeland dan Counterfactual Reasoning Metode Counterfactual Reasoning hal yang dibahas dalam konteks ini yaitu, bahwa Indonesia seharusnya bisa lebih memanfaatkan keanggotaannya di ASEAN

untuk membantu

meningkatkan keamanan nasionalnya. Kegagalan Intelejen yang ditujukan melalui tipilogi Thomas Copeland sebelumnya jelas memperlihatkan bahwa pada saat Indonesia mengalalami situasi transisional pasca pergantian rezim.Hal – hal

yang diakibatkan

olehpergantian rezim itu memperlihatkan bahwa kegagalan dapat terjadi secara berlapis – lapis dan tahapan yang bersifat politis, kepemimpinan, maupun isu birokratiss dinas intelejen haruslah dapat dipecahkan secara domestic melalui jalur demokratis yang sudah dipilih sebagai jalan bersama, sebelum Indonesia bisa bergerak keluar dan memberikan pengaruh secara regional di Asia Tenggara.

2. Kerjasama ASEAN dalam Menghentikan Aliran Dana Operasional Terorisme Internasional di Asia Tenggara Deskriptif Pendekatan: Kerjasama Internasional oleh K.J Holsti dan Konsep Keamanan Barry Memberantas organisasi terorisme, memberantas dukungan infrasturtur yang menunjang terorisme seperti pendanaan terorisme, dan diajukan ke pengadilan bagi pelaku kegiatan terorisme. Para pemimpin ASEAN juga

18 Oleh : Maya

Damayanti

Buzan sepakat untuk

mengembangkan program dalam rangka peningkatan kemampuan negara anggota ASEAN untuk melakukan investigasi, deteksi, monitoring, dan pelaporan kegiatan terorisme, membahas dan menggali ide – ide dan inisiatif yang praktis untuk meningkatkan peran ASEAN dan keikutsertaan ASEAN bersama masyarakat. Selanjutnya, kerjasama pemberantasan terorisme dilakukan dengan membentuk

ASEAN Convention on

Counter Terrorism,

mencangkup berbagai program program kerjasama termasuk bagaimana menghentikan pembiayaan terorisme. 3 Rezim Non Proliferasi Nuklir Internasional dan Program Nuklir Iran

Oleh : Evelyn Adisa

Eksplanatif Pendekatan : Rezim Internasional Stephen D. Krasner

Faktor – factor seperti egoistic self – interest, political power,

dan norms and principles

mempengaruhi rezim internasional .Rezim non – proliferasi nuklir internasional mengalami hambatan dalam mengatasi isu nuklir Iran karena (1) perilaku egoistic self – interest Iran dalam mendahulukan

kepentingannya yang diwujudkan dalam program nuklirnya; (2) Iran memiliki kekuatan politik (politic power) yang diwujudkan

dalam kemampuan

diplomasinya; dan (3) Iran tidak mentaati norma dan prinsip (norms and principles) yang terdapat dalam rezim non – ploriferasi nuklir

Dokumen terkait