i PERAN ASEAN DALAM MENANGANI ISU TERORISME DI KAWASAN
ASIA TENGGARA Skripsi
Disusun dan diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP)
Strata-I
Ilmu Hubungan Internasional
Oleh :
Indela Maymori NIM. 201010360311111
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
vi KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’ alamin, segala puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta izin – Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peran ASEAN dalam Menangani Isu Terorisme di Kawasan Asia Tenggara.” Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan
membimbing penulis, baik tenaga, ide – ide, maupun pemikiran. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :
1. Bapak Ruli Inayah Ramadhoan,M.Si dan Bapak M. Syaprin Zahidi,
MA sebagai Pembimbing yang memberikan arahan, ilmu pengetahuan,
pengalaman, dan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik.
2. Kedua Orang tua penulis, Bapak Yufendri dan Ibu Desmayarti yang tak hentinya berdo’a, memberikan dukungan dan semangat nya pada penulis. Maaf telah membuat mama sama bapak dirumah khawatir
dan menunggu hingga selesei. Terima kasih atas kasih sayangnya.
3. Uda tersayang satu – satunya di dunia ini Ray Farandi, terima kasih atas dukungan dan menjadi Uda yang baik. Cepat seleseikan skripsinya
Uda Randi.
4. Para narasumber yang banyak memberikan data, dimulai dari Mbah
Google hingga menyebar dan memberikan banyak data untuk
menyeleseikan penelitian ini, yap... dimulai dari google.
5. Bapak – bapak dan Ibu – ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional yang telah membimbing selama ini terima kasih banyak.
vii yasudahlah... dan kak Fani, serta teman – teman HI angkatan 2010 kelas A,B,C sama – sama berjuang juga. Terima kasih.
7. Kepada keluarga penulis ibuk Fatmawati, Uni Ija, Poppy, Uda Tomi
serta semua keluarga yang di Sumbawa, juga Bunda di padang, Mak
Uniang, Uni Nenen, Tiwi dan seluruh keluarga besar dipadang terima
kasih atas perhatian dan kepeduliannya, juga semua orang yang
penulis pernah kenal. Terima kasih
8. Semua pihak yang telah membantu dalam menyeleseikan skripsi ini
terima kasih banyak.
Semoga dengan segala bantuan yang diberikan mendapat imbalan di dari
Allah SWT sebagai amal ibadah, Amin. Penulis menyadari penulisan skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan – perbaikan kedepan.
Malang, 09 Desember 2014
viii DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR BAGAN ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 7
1.3Tujuan Penelitian ... 7
1.4Manfaat Penelitian ... 7
1.5Penelitian Terdahulu ... 8
1.6Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori ... 19
1.7Metodologi Penulisan ... 29
1.8Hipotesis ... 33
1.9Sismatika Penulisan ... 33
BAB II Isu Terorisme dan Peran ASEAN dalam Menangai Isu Terorisme 2.1Isu Terorisme di kawasan Asia Tenggara 2.1.1 Bentuk Terorisme di Asia Tenggara ... ..35
2.1.2 Kelompok Terorisme di Asia Tenggara ... 43
ix BAB III Alasan ASEAN dalam Perang Melawan Terorisme
3.1Peran ASEAN dalam menangani Isu Terorisme di kawasan Asia
Tenggara ... 67
3.2Alasan ASEAN fokus berperan terhadap Isu Terorisme di Asia
Tenggara melalui Rezim Internasional ...79
x DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Posisi Penulisan ... 17
Tabel 1.2 Kelompok Terorisme di Asia Tenggara ... 45
Tabel 1.3 Pemimpin – pemimpin kelompok Abu Sayyaf ... 52 Tebel 1.4 Badan yang dibentuk untuk membantas terorisme oleh Negara – negara Anggota ASEAN ... 64
xi DAFTAR BAGAN
Gambar A. Struktur Organisasi Jemaah Islamiyah ... 48
Gambar B. Hubungan Antara Kelompok Terorisme di Asia Tenggara ... 55
Gambar C. Terorisme Pada Perang Dingin, Setelah Perang Dingin dan Pasca 9/11
xii DAFTAR SINGKATAN
ASEAN Association South East Asian Nation
ARF ASEAN Regional Forum
ACCT ASEAN Convention on Counter Terrorism
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
KSAD Kepala Staf Angkatan Darat
ACAMM ASEAN Chief of Army Multilateral Meeting
AS Amerika Serikat
PBB Persatuan Bangsa – Bangsa
AMMTC ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime
CFT Convention on Financing Terrorism
JI Jemaah Islamiyah
ASG Abu Sayyaf Group
NPA New People's Army
MILF Moro Islamic Liberation Front
WTC World Trade Center
PULO Pattani United Liberation Organization
KMM Kumpulan Mujahidin Malaysia
PNP Phlippine National Police
ATTF Anti-Terrorism Task Force
AFP Armed Forces of Philippines
AMMTC+3 ASEAN Plus Three Ministerial Meeting on Transnational Crime
SOMTC+3 Senior Officials Meeting on Transnational Crime
JCLEC Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation
ACPoA on CT ASEAN Comprehensive Plan of Action on Counter Terrorism
xiii
ASM Asia-Europe Meeting
TTCTF Terrorisme and Transnational Crime Tassk Force
NSC The National Security Council
THAI – MECC Thailand Maritime Enforcement Coordination Center ISA Internal Security Act
AML/CFT Strategic anti – money Loundering and Countering the Financing of Terrorism
ARMM Autonomous Region of Muslim Mindanao
RCAF Royal Cambodian Army Forces
NCTC Cambodian National Counter Terrorism Committee
SEANWFZ South-East Asia Nuclear Weapon Free Zone
CTC Counter Terrorism Committee
ASEANPOL ASEAN Chiefs Of Police
VAP Viantiane Action Programme
WG on CT Working Group on Counter Terrorism
xiv DAFTAR PUSTAKA
Buku
Cipto, Bambang, 2007, Hubungan Internasional Di Asia Tenggara, Yogyakarta : Pustaka Pelajar (Hal 237)
Lasina, Aspek Hukum Pemberantasan Terrorisme di Indonesia , Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman
Soetriadi, Ewit, 2008, Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dengan Hukum Pidana, Universitas Diponogoro Semarang
Krasner, S. 1983. International Regime. Cornell University Press, Ithaca
Metodologi Penelitian, Perpustakaan Universitas Pendidikan Indonesia
Wibisono, Nuansa, 2014, Kelompok Abu Sayyaf dan Radikalisme di Filipina Selatan : Analisis Organisasi Terorisme – Asia Tenggara
Sulistyo,Adi, 2014, Crime - Terror Nexus di Asia Tenggara, Jakarta
Sudarto, 2009, Manajemen Krisis dalam Penanggulangan Terorisme
Amora,Media, 2010, Arti Strategis Metodologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Ahmad S.,Reza, 2010, Pembentukan Badan Metodologi, FISIP, UI.
Jurnal
Mardenis, Perkembangan Konstelasi Politik Internasional dan Implikasinya Terhadap Politik Hukum Nasional Indonesia dalam Pemberantasan Terorisme,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No.1 Januari 2011, Hal 161 - 174
Muh. Arsyad Maf’ul, Peran Komunitas Keamanan ASEAN dalam Menghadapi Masalah Terorisme, Humanis, Volume XII Nomor 2, Juli 2011, Universitas Negeri Makasar (hal. 145)
xv Mohamad Faisol Keling, Md. Shukri Shuib, Mohd Na’eim Ajis, and Achmad Dzariean Mohd Nadzr, The Problems of Terrorism in Southeast Asia, Journal of Asia Pacific Studies Vol 1, No 1,2009, Universitass Utara Malaysia, Hal. 27-48
Skripsi dan Tesis
Maya Damayanti, 2012 Kerja Sama ASEAN dalam Menghentikan Aliran Dana Operassional Terorisme Internasional di Asia Tenggara, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dewi Kueniawati (1006743506) , 2012, Peran Strategis Kerjasama Intelejen ASEAN dalam Upaya Pencenggahan Serangan Teroris di Indonesia (Studi Kasus : Kegagalan Intelejen Pada Bom Bali Pertamana 12 Oktober 2002, Tesis Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia Jakarta
Evely Adisa (1006743872), 2012, Rezim Non – Proliferasi Nuklir Internasional dan Program Nuklir Iran, Tesis Pascasarjana Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Jakarta
Danang Suko Wiyono, (05260116), 2010, Pengaruh 11 September 2001 terhadap Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat ke Indonesia dalam War On Terrorism,
Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang.
Adhe Nuansa Wibisono (1206299023), Radilakisasi Mantiqi I : Kompetisi Internal dalam tubuh Jamaah Islamiyah, Universitas Indonesia.
Media Internet
Fakta Tentang Tragedi 11 September, dalam http://forum.viva.co.id/index2.php
(diakses pada 15 April 2014, 09.12 WIB)
Tentara ASEAN Bentuk Unit Kecil Atasi Terorisme, dalam
http://www.tempo.co/nasional/ (diakses pada 18 April 2014, Pukul 16.49 WIB)
Zuhairi Misrawi , Terorisme dan "Politik Kambing Hitam" dalam http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=521&coid=3&caid=22&gid=1 (diakses pada Tanggal 28 April 2014, Pukul 12. 41 WIB)
Lembar Pengertian Terorisme Sesuai UU.No.2 Tahun 2002, dalam
xvi
Pengertian Terorisme dan Menurut Para Ahli dan Organisasi Terorisme, dalam
http://www.lintas.me/go/sarjanaku.com/pengertian-terorisme-menurut-para-ahli (diakses pada tanggal 05 April 2014, Pukul 12.28 WIB)
Dian Kurnia, 2012, Apa Itu Terorisme?, dalam http://www.tnol.co.id/blog-anda/15707-apa-itu-terorisme.html (diakses pada tanggal 05 April 2014, Pukul 12.45 WIB)
Adeyaka Wuri Aksani Rezim dan Organisasi Internasional, dalam http://adeyaka-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-74596-Rezim Rezim Internasional-Rezim dan Organisasi Internasional.html (diakses pada Tanggal 10 Juni 2014, Pukul 11.05 WIB)
Euodia Rinthania Kristi, Rezim Internasional dalam http://rinthania-kristi-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-76772-Rezim%20Internasional (diakses pada Tanggal 10 Juni 2014, Pukul 09.33 WIB)
Krasner, Stephen D. 1982. “Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables.” International Organization 36/2 (Spring). Reprinted in Stephen D. Krasner, ed., International Regimes, Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983 Created by Euodia Rinthania Kristi dalam http://rinthania-kristi-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-76772-Rezim%20Internasional (diakses pada Tanggal 10 Juni 2014, Pukul 10.21 WIB)
Haggard, Stephan & Simmons, Beth A. 1987. “Theories of International Regimes”,International Organization, Vol. 41, No.3 (Summer, 1987). pp. 491-517, dalam http://mandayuanita-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-75033-Rezim%20Internasional-Teori%20Rezim%20Internasional.html (diakses pada Tanggal 10 Juni 2014, Pukul 16.42 WIB)
Fenomena Terorisme di Asia Tenggara, 2014, dalam
http://www.damailahindonesiaku.com/tinjauan/271-fenomena-terorisme-di-asia-tenggara.html (diakses pada tanggal, 02/09/2014, pukul 10.42 WIB)
Isu Terorisme di Asia Tenggara, 2014, dalam http://jurnalsrigunting.com/ (diakses pada tanggal 25/08/2004, Pukul 09.01 WIB)
Terorisme Di Indonesia: Jaringan Noordin Top ,2006, Crisis Group Asia Report (diakses pada Tanggal 25 Agustus 2014, Pukul 09.26 WIB)
xvii Baiq Wardhani, 2012, Iredentismes Islamis di Asia Tenggara, dalam http://baiq-
wardhani-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-64327-Umum-Iredentisme%20Islamis%20di%20Asia%20Tenggra.html (diakses pada tanggal 25/08/2014, Pukul 10.57 WIB)
Diane K. Mauzy and Brian L. Job, The U.S. War on Terror: Southeast Asia as a Second Front, U.S. Policy In Southeast Asia, Asian Survey, Vol. XLVII, No. 4,
July/August 2007 (hal 365 – 366) dalam
http://www.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/Burma_Mauzy_Job.pdf (diakses pada tanggal 16/08/2014, pukul 09.57 WIB)
Engel, Mathew. “US may turn attention to far east terror groups”, The Guardian, dikutip dari Dewitri, Arah Politik Keamanan Amerika Pasca 9/11 untuk Asia Tenggara, 2010, dalam http://dewitri.wordpress.com/about-international-studies/ (diakses pada tanggal 16/08/2014, pukul 10.05 WIB)
Meylysania, 2012, Jaringan Terorisme di Asia Tenggara, dalam
http://meylysania-o-d-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-49131-Umum-JARINGAN%20TERORISME%20DI%20ASIA%20TENGGARA.html (diakses
pada tanggal 01/09/2014, pukul 09.29 WIB)
Mengintip Struktur Jaringan Teroris Jamaah islamiyah, 2010, dalam
http://www.tribunnews.com/nasional/2010/09/24/mengintip-struktur-jaringan-teroris-jamaah-islamiah (diakses pada tanggal 01/09/2014, pukul 09.43 WIB)
Rommel C. Banlaoi, “Al (arakatul Al )slamiyah : Essays On the Abu Sayyaf Group”, Philippine Institute for Political Violence and Terrorisme Research, 2008, dikutip dari Adhe Nuansa Wibisono, S.IP, 2014, Kelompok Abu Sayyaf dan Radikalisme di Filipina Selatan : Analisis Organisasi Terorisme – Asia Tenggara
(diakses pada tanggal 02/09/2014, Pukul 10.56 WIB)
Asia Program Special Report, 2003, Fighting Terrorism On The Southeast Asian
Front, dalam
http://wilsoncenter.org/sites/default/files/Asia%20Report%20112.pdf (diakses pada tanggal 16/08/2014, pukul 12.05 WIB)
Ketahanan Human Security di ASEAN, dalam
xviii
Igor Dirgantara, Asean Charter, Asean Political Security Community & Isu
keamanan Non-tradisional, dalam
file:///C:/Users/S210/Downloads/Asean%20Charter,%20Asean%20Political%20S
ecurity%20Community%20&%20Isu%20keamanan%20Non-tradisional%20_%20One%20Southeast%20Asia.htm (diakses pada tanggal
10/10/2014, pukul 11.20 WIB)
Faustinus Andrea, 2003, Pasca Tragedi Marriott, dalam http://csis.or.id/ (diakses pada tanggal 10/10/2014, pukul 11.35 WIB)
Reza Ahmad Syaifulah, 2010, Pembentukan Badan Metodologi, FISIP, UI.
Yanyan M. Yani, Keharmonisan Kerjasama Kontra Terorisme Negara – Negara Anggota ASEAN dalam Kerangka ASEAN Security Community, Volume 1 No. 2 Agustus 2012, dalam http://jurnal.unpad.ac.id/jsp/article/view/4103/2452 (diakses pada tanggal 11/10/2014, pukul 11.13 WIB)
Kerjasama ASEAN dan Mitra Wicara, dalam
http://www.kemlu.go.id/Documents/Kerjasama%20ASEAN%20dan%20Mitra%2
0Wicara/Kerjasama%20ASEAN%20dan%20Mitra%20Wicara.PDF (diakses pada
tanggal 10/10/2014, pukul 12.28 WIB)
Kerjasama Politik Keamanan ASEAN, dalam
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rj a&uact=8&ved=0CDQQFjAD&url=http%3A%2F%2Fkemlu.go.id%2FDocument s%2FKerjasama%2520Politik%2520Keamanan%2520ASEAN.doc&ei=ihMqVO oizfLxBd_cgsgM&usg=AFQjCNFxkA2aJJDpDEFC4gTlh6MluZmEqQ&sig2=b0 SlJcJSNze140eRqiJf5A (diakses pada tanggal 10/10/2014, pukul 16.23 WIB)
ASEAN Regional Forum, dalam
http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Luar%20Negeri/3%29%20Ke anggotaan%20Indonesia%20dalam%20Organisasi%20Internasional/1%29%20AS
EAN/Peranan%20Indonesia%20di%20ASEAN/ARF%20Indonesia.pdf (diakses
pada tanggal 20/10/2014, pukul 09.58 WIB)
ASEAN Charter/ Piagam ASEAN, dalam
http://www.kemlu.go.id/Documents/ASEAN%20CHARTER/PiagamASEAN.pdf
(diakses tanggal 20/10/2014, pukul 10.18 WIB)
KTT ASEAN Membahas Penanganan Terorisme, 2011, dalam
http://www.jpnn.com/ (diakses pada tanggal 29/08/2014, Pukul 09.32 WIB)
xix
Piagam ASEAN, dalam
http://www.kemlu.go.id/Documents/ASEAN%20CHARTER/PiagamASEAN.pdf
(diakses pada tanggal 10/09/2014, pukul 10.41 WIB)
Konvensi ASEAN soal Terorisme Perlu Diratifikasi,2012, dalam
http://www.tempo.co/politik/ (diakses pada tanggal, 29/08/2014, pukul 09.21 WIB)
Terorisme masih menjadi Isu Utama dalam Pertemuan ARF, 2004, dalam
http://tempo.co.id/hg/luarnegeri/ (diakses pada tanggal 10/10/2014, pukul 17.08 WIB)
Peran ASEAN dalam Memerangi Terorisme, dikutip dalam
http://www.aseansec.org/15060.htm (diakses pada tanggal 11/10/2014, pukul 08.41 WIB)
Direktorat Jendral Kerja sama ASEAN, 2010, ASEAN Selayang Pandang, Jakarta : Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Dikutip http://www.policylaundering.org/keyplayers/ASEAN-aseanapol.html
dalam Yanyan M. Yani, Keharmonisan Kerjasama Kontra Terorisme Negara – Negara Anggota ASEAN dalam Kerangka ASEAN Security Community, Volume 1 No. 2 Agustus 2012, dalam http://jurnal.unpad.ac.id/jsp/article/view/4103/2452
(diakses pada tanggal 21/10/2014, pukul 12.13 WIB)
A Kardiyat Wiharyanto, Proses Berdirinya ASEAN, dalam
https://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol24no2o
ktober2010/PROSES%20BERDIRINYA%20ASEAN%20kardiyat.pdf (diakses
pada tanggal 22/09/2014, pukul 11.23 WIB)
Keohane, Robert O. (1982). “The Demand for International Regimes”. Dalam Stephen D. Krasner (ed.), International Regimes, Hal. 325-355.. Cambridge University Press dikutip dalam http://muhammad-ahalla-
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu Terorisme mencuat kembali Pasca peristiwa 9/11 atau dengan
runtuhnya gedung World Trade Center di Amerika Serikat, peristiwa tersebut
menjadi hari buruk bagi pemerintah Amerika dan warganya. Saat itu Bush
Presiden AS kecewa atas kejadian tersebut dan menilai bahwa kejadian itu
merupakan tindakan pengecut untuk menyerang AS dan menyebutnya sebagai
tindakan “Terroris”. AS meyakini peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh Al – Qaeda1 yang dipimpin oleh Osama bin Laden2 yang kerap kali menjadi otak
diberbagai penyerangan seperti pembajakan pesawat ataupun peledakan bom yang
memakan korban tentara AS. Peristiwa 9/11 kerap menjadi pertanyaan bagi
banyak masyarakat di Amerika, mengapa gedung tersebut menjadi sasaran teroris
serta peledakan yang menggunakan pesawat hingga bom untuk menghancurkan
gedung tersebut. Dilansir pada media elektronik bahwa peristiwa tersebut di latar
belakangi oleh sekelompok teroris yang awalnya membajak 4 pesawat jet
penumpang milik AS, dua pesawat dijatuhkan di menara kembar WTC dan runtuh
dalam kurun waktu 2 jam dan pesawat ketiga ditabrakan ke Pentagon di
Arlington, Virginia. Pesawat keempat yang berusaha diambil oleh penumpang
dan berakhir jatuh di Shanksville, Pennsylvania yang semula ditujukan ke
1 Al – Qaeda adalah organisasi yang beratasnamakan Islam dengan tujuan melindungi hak – hak kaum Islam
yang tertindas di Dunia, menjadikan Jihad sebagai jalan terakhir untuk memerangi pihak – pihak yang menekan kaum islam.
2
2 Washington D.C. Menurut laporan dari tim investigasi 911 sekitar 3000 jiwa
tewas dalam serangan tersebut.
Fakta lain tentang peristiwa 9/11 adalah selain runtuhnya gedung kembar
WTC terdapat satu gedung lagi yang ikut runtuh yaitu menara WTC 7 yang
memiliki 47 lantai, namun rubuhnya gedung tersebut tidak terlalu terespos dan
dipicu oleh rembetan runtuhnya gedung kembar WTC. Total korban tewas dalam
tragedi 9/11 ini nyaris mencapai 3.000 orang. Korban tewas tersebut tidak hanya
berasal dari Amerika Serikat saja, namun juga negara lain. Korban tewas berasal
dari lebih 80 negara, antara lain Jepang, Irlandia, Inggris, Australia, Selandia
Baru, Swiss, India, Meksiko, Brasil, Afrika Selatan, Kanada, termasuk Indonesia.
Namun warga asing yang paling banyak menjadi korban berasal dari Inggris, di
mana dari total 372 warga asing yang tewas, sekitar 67 orang di antaranya
berkewarganegaraan Inggris.3
Terorisme menjadi penting sejak terjadinya peristiwa 9/11 kampanye anti
– terorisme yang dilancarkan presiden Bush telah menjadikan Asia Tenggara sebagai “Front Kedua” setelah Afghanistan. Asia Tenggara menjadi target kampanye terorisme karena dua hal pertama, mayoritas penduduk dikawasan ini
beragama Islam. Kedua, dikawasan Asia Tenggara terdapat beberapa kelompok
minoritas Islam yang cendrung keras dalam menyampaikan aspirasi mereka.
Selain di Indonesia aksi terorisme pun terjadi di Philipina dan Malaysia.4 Di
Indonesia isu terorisme berawal dari kasus pemboman yang terjadi di Bali 1 dan
3
Fakta Tentang Tragedi 11 September, dalam http://forum.viva.co.id/index2.php (diakses pada 15 April 2014, 09.12 WIB)
4
3 2, peledakan Hotel JW Marriot, peledakan beberapa gedung kedutaan, dan
peledakan beberapa tempat ibadah. Kemudian Malaysia yang warga negara
bermayoritas Islam serta Philiphina dan Thailand dengan kelompok kecil Islam
yang membentuk komunitas. Salah satu latar belakang tersebut tidak dipungkiri
adanya jaringan teroris yang terbentuk dan saling berkaitan.
Beberapa hal yang telah dilakukan ASEAN untuk menindak lanjuti isu
terorisme yang berkembang adalah dengan saling bertukar informasi antar setiap
negara tentang ancaman teroris, membentuk ruang diskusi yang disebut sebagai
ARF (ASEAN Regional Forum) yang bermanfaat menjalin komunikasi dan
bertukar informasi. ASEAN sepakat membentuk suatu kelompok kerja yang
disebut Inter- Sessional Meeting on Counter Terrorisme and Transnational Crime
untuk mengembangkan kerjasama ARF dalam memerangi Terorisme. Untuk
memperkuat kerjasama, ASEAN juga menyusun dan mentandatangani ASEAN
Convention on Counter Terrorisme (ACCT, Saat KTT ASEAN ke – 12 di Cebu – Filiphina pada tanggal 13 Januari 2007.5 Konvensi tersebut merupakan instrument
penting yang memberikan dasar hukum yang kuat guna meningkatkan kerjasama
untuk pencegahan penanggulangan dan pemberantasan Terrorisme.
Selain itu tahun 2004 tentara ASEAN sepakat membentuk unit kecil
untuk memberantas aksi Terroris. terutama untuk negara-negara yang berbatasan,
baik dalam bentuk bilateral maupun multilateral, guna mengantisipasi ancaman
terorisme. dari sembilan negara ASEAN lainnya, yaitu Malaysia, Singapura,
5 Maya Damayanti, 2012 Kerja Sama ASEAN dalam Menghentikan Aliran Dana Operassional Terorisme
4 Thailand, Filipina, Laos, Myanmar, Vietnam, Kamboja dan Brunei Darussalam
mengatakan, pembentukan unit-unit itu sebagai realisasi kerja sama tentara darat
ASEAN dalam menghadapi terorisme. Pertemuan KSAD (Kepala Staff Angkatan
Darat) ASEAN ini merupakan pertemuan rutin tahunan yang disebut ASEAN
Chief of Army Multilateral Meeting (ACAMM). Selain sepakat menghadapi
acaman terorisme, KSAD ASEAN juga sepakat meningkatkan kerja sama di
bidang militer, seperti tukar-menukar siswa (prajurit), informasi, lomba tembak,
diskusi militer dan kegiatan lainnya untuk meningkatkan profesionalisme dan
interaksi sesama prajurit ASEAN.6
Mengingat Konvensi ASEAN mengenai pemberantasan Terorisme bahwa
Isu terorisme tersebut tidak dapat di kaitkan oleh agama, kewarganegaraan,
ataupun kelompok etnis. Isu terorismepun menjadi isu yang serius yng dapat
mengancam hidup manusia apabila tidak di tindaklanjuti. Melihat dari Konvensi
yang dilakukan ASEAN sederet rangkaian telah di upayakan oleh ASEAN untuk
mengatisipasi pemberantasan aksi teroris, namun aksi tersebut tetap saja mampu
terjadi diluar kemampuan dan pengawasan pemerintah sehingga banyak pihak
yang menjadi terancam. Dalam konvensi ASEAN juga di jelaskan bahwa aksi
terorisme tidak boleh disangkut pautkan oleh agama tetapi yang terjadi justru
sebaliknya. Islam kerap disangka sebagai pelaku utama dalam aksi teroris. Belum
lagi beberpa pelaku yang berlatarkan muslim sehingga Amerika melihat bahwa
Asia Tenggara dalam sarang terorisme setelah peristiwa 9/11.
6
5 Melihat dari rentetan peristiwa atau aksi teroris di Indonesia yang terjadi
seperti maraknya pemboman dan aksi bom bunuh diri, lalu beberapa pelaku
teroris yang telah diketahui identitasnya dan berada dalam kawasan Asia
Tenggara. Penangkapan Agus Budiman di Amerika Serikat dan Fathurrahman
Al-Ghazi di Manila, Filipina. Penangkapan Oskar Makawata di Manila dan
pemberitaan majalah Time tentang Umar Farouq yang diduga sebagai agen
jaringan Al Qaeda di Asia Tenggara.7
Dugaan yang dilakukan AS terhadap Asia Tenggara berdampak bagi
negara – negara lain, tentu saja negara lain menganggap negara yang terlibat aksi teroris menjadi ancaman bagi negara kelak. AS bisa saja meluncurkan peperangan
melawan teroris ke beberapa negara yang menjadi tuduhannya namun hal tersebut
tidak menjadi kuat karena AS bisa dikatakan hanya mencari kesalahan pada
negara – negara lain atau menjadikannya sasaran jika sudah dipandang dapat mengancam keamanan negaranya. Walaupun AS dipandang sebagai negara yang
kuat yang mampu berpengaruh dalam bidang apapun dan negara manapun atau
mampu mempengaruhi suatu kebijakan negara lain. Namun, tidak menjadikan AS
sebagai negara yang selalu didukung oleh negara lain.
AS dengan kekuatan yang dimilikinya mampu saja menjadikan negara – negara lain untuk mendukungnya tetapi tidak semua negara menganggap bahwa
AS adalah negara yang “baik” maksudnya adalah ketika nantinya lebih banyak negara yang kontra dengan AS dan membuat mereka bersatu maka hal tersebut
7
Zuhairi Misrawi , Terorisme dan "Politik Kambing Hitam" dalam
6 menjadi ancaman besar bagi AS. Bisa saja dalam “tuduhan” AS yang mengatakan bahwa negara di Asia Tenggara menjadi sarang Terorisme bagi Al – qaeda yang bisa menjadi ancaman bagi negara lain. Dengan dugaan seperti itu jelas
menjadikan citra negara Asia Tenggara jelek dimata negara lainnya dan
menjadikan Asia Tenggara sebagai ancaman bagi negara lainnya.
Negara – negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN tentu saja tidak hanya tinggal diam. ASEAN yang berperan besar dalam keamanan setiap
negaranya memiliki peran penting, maka disini peneliti ingin meneliti peranan
ASEAN dalam menangani Isu terorisme dalam kawasannya untuk meningkatkan
keamanan nasionalnya. ASEAN sebagai organisasi Internasional yang telah
dikenal di hubungan antar negara di kawasannya menjadikannya “Ibu” dari anggota – anggotanya. ASEAN juga menjadi jembatan bagi hubungan antar setiap negara dalam Asia Tenggara sendiri ataupun dengan negara lain.
Terbentuknya ASEAN ini menjadi pertimbangan banyak negara
anggotanya. ASEAN yang dibentuk dengan latarbelakang negaranya dan tujuan
yang sama. ASEAN yang selama ini terbentuk dengan 3 prinsip dasar yaitu tidak
ada intervensi terhadap negara anggota lainnya, ASEAN Way, dan Soft
Regionalism yang menjadi hambatan bagi ASEAN untuk segera menangani setiap
masalah yang ada di kawasan Asia Tenggara. Hal inilah yang menjadi menarik
bagi peneliti untuk meneliti peran ASEAN, dilihat dari AS yang menyebutkan
Asia Tenggara sebagai sarang terorisme, keterbatasan ASEAN untuk ikut dalam
menangani kasus terorisme dalam anggotanya. Maka disinilah peran ASEAN
7 sebagai Organisasi Regional yang mampu mengatasi Isu terorisme dalam
kawasannya.
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
Mengapa ASEAN fokus berperan terhadap penanganan Isu Terorisme di
kawasan Asia Tenggara?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisa fokus peran
ASEAN dalam menangani Isu Terorisme dalam kawasannya.
1.4 Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pikirian
melalui penelitian ini kepada peneliti – peneliti lainnya yang fokus pada isu terorisme. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu peneliti – peneliti untuk memahami sudut pandang yang berbeda tentang berbagai kasus yang menyeret
keamanan negara dengan isu terorisme.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi pandangan baru tentang
peran ASEAN dalam menangani isu terorisme yang berada di kawasan Asia
Tenggara. Juga dapat mengubah anggapan ataupun cara pandang dalam
menangani kasus terorisme yang berada di Asia Tenggara. Serta mampu
memberikan kontribusi kepada masyarakat luas untuk memerangi terorisme untuk
8 1.5 Penelitian Terdahulu
Berbagai penelitian telah dilakukan dengan fenomena atau isu yang
relevan sama, namun sebuah peneltian akan berbeda dilihat dari setiap sudut
pandang penelitian tersebut, maka dari itu untuk membedakan penelitian ini
peneliti mengambil bebrapa penelitian terdahulu sebagai bahan pertimbangan dan
berpedaan terkait ASEAN dan Isu terorisme.
Dalam penelitian pertama yang diteliti oleh Dewi Kurniawati8 meneliti
tentang Peran Strategis Kerjasama Intelejen ASEAN dalam Upaya Pencenggahan
Serangan Teroris di Indonesia (Studi Kasus : Kegagalan Intelejen Pada Bom Bali
Pertamana 12 Oktober 2002. Berangkat dari latar belakang yang melihat tragedi
9/11 sebagai pencuat kembali isu terorisme dan disusul dengan aksiteroris
berikutnya di Indonesia yaitu pada peristiwa Bom Bali menjadikan isu terorisme
menghampiri Asia Tenggara dan menjadikannya sebagai “Terroris Haven” bagi
jaringan terorisme sekaligus front kedua dalam perang global melawan teror.
Permasalahan tidak berhenti sampai disana, serngan bom bali pertama 12 oktober
2002 bukanlah serangan teroro bom yang pertama dan terakhir. Hampir setiap
setiap tahun setelah serangan di Bali tahun 2002, Indonesia secara beruntun
diguncang oleh berbagai teror bom bunuh diri. Disamping hal tersebut latar
belakang dalam penelitian Dewi melihat dari sudut pandang intelejen Indonesia
yang dianggap gagal mengantisipasi terjadinya bom bali, maka perumusan
masalah dari penelitian ini adalah “mengapa Intelijen Indonesia gagal
8
9 mengantisipasi terjadinya bom bali pertama tahun 2002, serta kemungkinan apa
yangmuncul jika kerja sama intelejen di kawasan ASEAN sudah hadir sebelum
kejadian tersebut?”. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut Dewi menggunakan penjabaran tipologi kegagalan intelejen dari Thomas Copeland,
yaitu Problem With Warning Information, Organizational and Bureaucratic
issues, dan Leadership and Policy Failures.
Kemudian dari tipologi tersebut maka Dewi Menarik kesimpulan
kegagalan muncul diakibatkan karena para pengambil keputusan yang gagal untuk
mengenali potensi permasalahan tersebut. Kegagalan ini terjadi diakibatkan
karena pemimpin yang sedang berkuasa menyangkal terhadap keberadaan
kelompok radikal, yang sudah di indikasi beroperasi aktif di Indonesia dengan
afiliansi terhadap jaringan kelompok radikal global. Dilihat dari tahap kegagalan
yang bersifat Organisasional dan Birokratis, kesulitan ini muncul ketika ada
keengganan untuk berbagi informasi baik secara internal maupun eksternal. Dewi
menemukan dua fakta yang bertolak belakang namun cukup menarik. Terlihat
secara konsisten bahwa nara sumber yang berasal dari BIN pada dasarnya
menyatakan mereka memiliki indikasi – indikasi, walaupun demikian tidak dapat mendapatkan soal kepastian kapan dan dimana bom akan meledak. Dan analisa
terakhir keterkaitan dengan permasalahan berasal dari Analisa Intelejen ketegori
pada bagian inibersifat sangat taktis, karena bergantung pada sumber daya
manusia, yaitu agen intelejen di lapangan serta yang melakukan analisa pada
bom Bali 2002. Untuk mengakhiri analisa dari penelitian ini peneliti
10 ini yaitu, bahwa Indonesia seharusnya bisa lebih memanfaatkan keanggotaannya
di ASEAN untuk membantu meningkatkan keamanan nasionalnya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian pertama milik Dewi adalah
penelitian ini lebih melihat peran ASEAN secara menyeluruh terhadap
penanganan isu terorisme di Asia Tenggara, sedangkan Dewi lebih fokus pada isu
terorisme di Indonesia dan peran dari Interlegen ASEAN dalam kasus Bom Bali.
Masih dalam satu isu yaitu isu terorisme namun berbeda dalam kawasan dan
penelitian ini lebih kepada kawasan Asia Tenggara.
Penelitian kedua menganalisis “Kerjasama ASEAN dalam Menghentikan
Aliran Dana Operasional Terorisme Internasional di Asia Tenggara” oleh Maya
Damayanti9. Memandang Visi ASEAN 2020, yaitu menciptakan ASEAN sebagai komunitas negara – negara Asia Tenggara, yaitu mencita - citakan ASEAN sebagai komunitas negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil, dan
sejahtera, saling peduli, diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis Tahun
2020. ASEAN menyatakan komitmen untuk memerangi terorisme sesuai dengan
Piagam PBB, hokum Internasional lainnya, dan Ressolusi PBB yang relevan.
ASEAN menetapkan delapan jenis kejahatan lintas negara yang ditangani dalam
kerjasama ASEAN, yaitu terorisme, perompakan, penyelundupan manusia,
perdagangan gelap, narkoba penyelundupan senjata, kejahatan ekonomi
Internasional, pencucian uang, kejahatan internet/ dunia maya. Pemberantasan
terorisme merupakan salah satu bentuk kerjasama di bawah mekanisme AMMTC.
9
11 Untuk memperkuat kerjasama, ASEAN juga telah menyusun dan mendatangi
ASEAN Convention on Counter Terrorisme (ACCT), kerjasama ini memberikan
dasar hukum yang kuat guna meningkatkan kerjasama untuk pencegahan,
penanggulangan dan pemberantasan terorisme. Kerjasama dan saling berbagi data
intelijen diantara negara – negara ASEAN yang mengaruh pada penangkapan terorisme juga merupakan factor pendorong peningkat rasa percaya diri di
kawasan. Kerjasama ASEAN di bidang pertukaran informasi intelejen selama ini
telah berjalan sangat baik terutama setelah terbentuknya ASEAN Regional Forum
(ARF) tahun 1994. Karena serangkaian serangan terorisme, teroris memerlukan
dana unutk melakukan aksinya. Menurut Maya para teroris memerlukan banyak
uang untuk menjalankan berbagai aksinya. Dengan Resolusi pada pertemuan ke
empat tanggal 9 September 1999, Majelis Umum PBB mengadopsi International
Convention for the Suppression of the Financing of Terrorsm yang selanjutnya
disingkat sebagai Konvensi Pendanaan terorisme (Convention on Financing
Terrorism/CFT, melarang segala tindakan untuk mendanai terorisme. Maka dari
hal tersebut Maya mengajukan pertanyaan “bagaimanakan kerjasama ASEAN dalam menghentikan aliran dana operasional terorisme internasional di Asia
Tenggara?”
Untuk menjawab pertanyaannya Maya menggunakan konsep kerjasama
Internasional adalah sisi lain dari konflik Internasional yang juga merupakan salah
satu aspek dalam hubungan Internasional. Isu keamanan regional dan global
memerlukan keterlibatan aktif semua negara untuk mewujudkan perdamaian dan
12 Internasional menjadikan hidup lebih mudah, nyaman, dan efisien. Berikutnya
konsep keamanan dari Buzan dperkenalkan dimana substansi studi keamanan
diperluas tanpa meninggalkan fokus utamanya pada aspek kekuatan militer.
Dengan demikian Maya menyimpulkan beberapa poin yaitu dalam
pemberantasan terorisme, ASEAN memberikan secara khusus mengenai
bagaimana cara untuk memberantas organisasi terorisme, memberantas dukungan
infrasturtur yang menunjang terorisme seperti pendanaan terorisme, dan diajukan
ke pengadilan bagi pelaku kegiatan terorisme. Para pemimpin ASEAN juga
sepakat untuk mengembangkan program dalam rangka peningkatan kemampuan
negara anggota ASEAN untuk melakukan investigasi, deteksi, monitoring, dan
pelaporan kegiatan terorisme, membahas dan menggali ide – ide dan inisiatif yang praktis untuk meningkatkan peran ASEAN. Selanjutnya, kerjasama
pemberantasan terorisme dilakukan dengan membentuk ASEAN Convention on
Counter Terrorism (ACCT). Kerjasama berikutnya dilakukan untuk tukar
menukar informasi intelejen, koordinasi penegek hukum , pertukaran informasi
penggerakan kelompok teroris, modus operasi di teroris, penyidikan rekening
teroris di negara yang diduga teroris tersebut menyembunyikan uangnya mampu
melakukan pencucian uang, membekukan asset teroris, training/ pelatihan
menangani bagaimana mengontrol persebaran bahan – bahan peledak.
Menurut Maya kerjasama – kerjasama ASEAN tersebut belum efektif karena ASEAN belum efektif dalam pengambilan keputusan sehingga belum
mampu mengatasi perbedaan pendapat yang cukup mendasar dalam merumuskan
13 akan dihadapi ASEAN adalah mengatasi nilai – nilai historis yang selama ini telah tertanam, yaitu ketetapan mereka untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri
masing – masing negara.
Pada penelitian kedua Maya mengambil fokus penelitian tentang dana
operasional pelaku terorisme, dimana aksi terorisme lebih didukung dengan
peralatan yang lengkap dan canggih, ini pula yang membedakan penelitian milik
Maya dengan penelitian ini. Walaupun pada dasarnya ada Peran ASEAN dalam
penelitian Maya tersebut namun berbeda dengan penelitian ini yang mencari
alasan dari Peran ASEAN terhadap isu terorisme
Penelitian ketiga oleh Evely Adisa10 dengan penelitian yang berjudul
Rezim Non – Proliferasi Nuklir Internasional dan Program Nuklir Iran. Dalam
penelitian ini membahas fenomena lemahnya rezim non proliferasi nuklir
internasional dalam mengahadapi perilaku nuklir Iran. Negara tersebut dapat tetap
membangun program nuklirnya meskipun telah menandatangani Traktat Non – Proliferasi Nuklir (NPT). Teori signifikansi rezim Stephen D. Krasner
menyatakan adanya faktor factor yang mempengaruhi perkembangan rezim
internasional. Faktor – faktor tersebut yaitu egoistic self – interest, political power, dan norms and principles digunakan untuk membantu menjelaskan
fenomena ini. Maka hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah faktor – faktor seperti egoistic self – interest, political power, dan norms and principles
mempengaruhi rezim internasional . Rezim non – proliferasi nuklir internasional
10 Evely Adisa (1006743872), 2012, Rezim Non – Proliferasi Nuklir Internasional dan Program Nuklir Iran,
14 mengalami hambatan dalam mengatasi isu nuklir Iran karena (1) perilaku egoistic
self – interest Iran dalam mendahulukan kepentingannya yang diwujudkan dalam
program nuklirnya; (2) Iran memiliki kekuatan politik (politic power) yang
diwujudkan dalam kemampuan diplomasinya; dan (3) Iran tidak mentaati norma
dan prinsip (norms and principles) yang terdapat dslam rezim non – ploriferasi nuklir internasional. Kepemilikan material nuklir oleh negara yang kurang dapat
memfasilitasi keamanan dari material tersebut dapat menimbulkan ancaman bagi
negara itu sendiri, negara tetangga dan juga dunia. Keamanan dari material nuklir
merupakan hal yang utama mengingat partikel – partikel radioaktif yang terkandung di dalam material tersebut sangat berbahaya bagi manusia.
Pada penelitian ketiga milik Evely ada perbedaan kasus atau isu yang
dibahas dengan penelitian ini namun menggunakan teori yang sama untuk
menjawab fenomena atau isu yang diangkat yaitu menggunakan Rezim
Internasional.
Kemudian penelitian keempat, Mardenis11 dengan jurnalnya yang berjudul Perkembangan Konstelasi Politik Internasional dan Implikasinya
Terhadap Politik Hukum Nasional Indonesia dalam Pemberantasan Terorisme.
Sedikit banyaknya jurnal ini membahas politik luar negeri AS dengan menjadikan
Isu Terorisme sebagai agenda utama. Tahun 2001 AS yang menjadi korban dari
aksi besar – bearan teroris dengan meledakan gedung kembar yaitu WTC atau lebih di kenal dengan peristiwa 9/11 membuat AS siap siaga dengan keamanan
11
15 negaranya. Pasca peristiwa tersebut AS sangat memerangi aksi terorisme yang
membuat banyak korbannya. Berdasarkan cara berpikir demikian, AS kemudian
secara sistematis membangun opini internasional bahwa kampanye anti terorisme
yang dipeloporinya merupakan upaya membela kemanusian. Berdasarkan ini
pulahlah AS melegitimasi aksinya keseluruhan dunia, seperti menyerang ke
Afganistan dan invansi ke Irak, mengelompokan group atau orang tertentu
sebagai teroris, menangkap, membekukan aset dan tindakan lain yang dianggap
penting oleh AS, termasuk menekan negara – negara lain (khususnya negara – negara berkembang, termasuk Indonesia). Dengan menanggapi respon AS yang
menjadi korban aksi terorisme maka, banyak negara yang ikut memerangi
terorisme mengubah kebijakan negaranya terhadap isu terorisme. K.J Holsty
menyatakan bahwa kebanyakan studi politik internasional (World Politics)
merupakan studi mengenai kebijakan politik luar negeri, di mana kebijakn ini
didefinisikan sebagai keputusan – keputusan yang merumuskan tujuan menentukan presiden, atau melakukan tindakan – tindakan tertentu, dan tindakan – tindakan yang diambil untuk mengimplementasikan keputusan – keputusan it. Studi – studi ini memusatkan perhatian pada usaha – usaha menggambarkan tindakan dan elemen – elemen kekuasaan negara – negara besar.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah (1) politik hukum nasional
16 menghormati nilai – nilai demokrasi dan kurang memenuhi rasa keadilan rakyat dan bangsa Indonesia. (2) Perkembangan konstelasi politik Internasional dalam
kaitannya dengan pemberantasan terorisme, dalam hal ini sangat didominasi oleh
kepentingan politik, ekonomi dan ideology AS, baik dalam regulasinya dalam
berbagai konvensi internasional. (3) Perkembangan konstelasi politik
internasional berimplikasi cukup signifikan terhadap politik hukum nasional
Indonesia pemberantasan terorisme, baik dalam proses penerapan dan penegakan
hukumnya.
Penelitian keempat milik Mardenis membahas tentang isu terorisme
menjadi poliki internassional oleh AS, serta berpengaruhnya terhadap politik
internasional dan implikasinya terhadap hukum di Indonesia untuk memberantas
terorisme. Dalam isu penelitian milik Mardenis dan penelitian ini sama yaitu Isu
terorisme, namu berbeda fokus yang diambil. Mardenis memilih pemberantasan
terorisme dapat mempengaruhi politik internasional dan hukum pada suatu negara
yaitu AS dan Indonesia inilah yang membedakannya dengan penelitian ini.
Peneliti memberikan empat penelitian terdahulu sebagai bahan
perbandingan pada penelitian ini. Pada penelitian pertama, kedua, dan keempat
masih dalam fenomena yang sama yaitu isu terorisme di Asia Tenggara. Di
penelitian ketiga fenomena yang dibahas berbeda dengan peneliti, tetapi landasan
teori yang digunakan sama dengan peneliti gunakan. Maka dari itu yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian – penelitian sebelumnya adalah penelitian ini mengambil sudut pandang Peran ASEAN yang concern terhadap isu
17 Tabel 1.1 Posisi Penelitian
No. Judul dan Nama Peneliti
Jenis Penelitian
dan Alat Analisa Hasil
1. Peran Strategis Kerjasama Intelejen ASEAN dalam Upaya
Pencenggahan Serangan Teroris di Indonesia (Studi Kasus : Kegagalan Intelejen Pada Bom Bali Pertama 12 Oktober 2002
Oleh : Dewi Kurniawati Eksplanatif Pendekatan : tipologi kegagalan intelejen dari Thomas Copeland dan Counterfactual Reasoning
Metode Counterfactual Reasoning hal yang dibahas dalam konteks ini yaitu, bahwa Indonesia seharusnya bisa lebih memanfaatkan keanggotaannya di ASEAN
untuk membantu
meningkatkan keamanan nasionalnya. Kegagalan Intelejen yang ditujukan melalui tipilogi Thomas Copeland sebelumnya jelas memperlihatkan bahwa pada saat Indonesia mengalalami situasi transisional pasca pergantian rezim.Hal – hal
yang diakibatkan
olehpergantian rezim itu memperlihatkan bahwa kegagalan dapat terjadi secara berlapis – lapis dan tahapan yang bersifat politis, kepemimpinan, maupun isu birokratiss dinas intelejen haruslah dapat dipecahkan secara domestic melalui jalur demokratis yang sudah dipilih sebagai jalan bersama, sebelum Indonesia bisa bergerak keluar dan memberikan pengaruh secara regional di Asia Tenggara.
2. Kerjasama ASEAN
dalam Menghentikan
Aliran Dana
Operasional Terorisme
Internasional di Asia Tenggara
Deskriptif
Pendekatan: Kerjasama Internasional oleh
K.J Holsti dan Konsep Keamanan Barry
18 Oleh : Maya
Damayanti
Buzan sepakat untuk
mengembangkan program dalam rangka peningkatan kemampuan negara anggota ASEAN untuk melakukan investigasi, deteksi, monitoring, dan pelaporan kegiatan terorisme, membahas dan menggali ide – ide dan inisiatif yang praktis untuk meningkatkan peran ASEAN dan keikutsertaan ASEAN bersama masyarakat. Selanjutnya, kerjasama pemberantasan terorisme dilakukan dengan membentuk
ASEAN Convention on
Counter Terrorism,
mencangkup berbagai program program kerjasama termasuk bagaimana menghentikan pembiayaan terorisme.
3 Rezim Non –
Proliferasi Nuklir Internasional dan Program Nuklir Iran
Oleh : Evelyn Adisa
Eksplanatif Pendekatan : Rezim Internasional Stephen D. Krasner
Faktor – factor seperti egoistic self – interest, political power,
dan norms and principles
mempengaruhi rezim internasional .Rezim non – proliferasi nuklir internasional mengalami hambatan dalam mengatasi isu nuklir Iran karena (1) perilaku egoistic self – interest Iran dalam mendahulukan
kepentingannya yang diwujudkan dalam program nuklirnya; (2) Iran memiliki kekuatan politik (politic power) yang diwujudkan
dalam kemampuan
19 internasional.
4. Perkembangan
Konstelasi Politik Internasional dan Implikasinya Terhadap Politik Hukum Nasional Indonesia dalam Pemberantasan Terorisme, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No.1 Januari 2011, Hal 161 - 174
Oleh : Mardenis
Diskriptif Pendekatan : Kebijakan Luar Negeri K.J Holsti
(1) politik hukum nasional
Indonesia dalam
pemberantasan terorisme belum sesuai dengan prinsip – prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD – 1945, karena kurang menghormati dan melindungi hak – hak asasi manusia, berpotensi mengancam hak – hak asasi manusia, berpotensi mengancam integrasi bangsa, kurang menghormati nilai – nilai demokrasi dan kurang memenuhi rasa keadilan rakyat dan bangsa Indonesia. (2) Perkembangan konstelasi politik Internasional dalam
kaitannya dengan
pemberantasan terorisme, dalam hal ini sangat didominasi oleh kepentingan politik, ekonomi dan ideology AS, baik dalam regulasinya dalam berbagai konvensi internasional. (3) Perkembangan konstelasi politik internasional berimplikasi cukup signifikan terhadap politik hukum nasional Indonesia pemberantasan terorisme, baik dalam proses penerapan dan penegakan hukumnya.
1.6 Landasan Konsep dan Teori
Dalam melakukan suatu penelitian yang bersifat ilmiah, diperlukan
20 saja teori dan konsep di sini harus relevan dengan penelitian yang dilakukan.
Peneliti memulai dengan tinjauan pustaka tentang Terorisme.
a. Terorisme
Persoalan keamanan lainnya yang seharusnya juga mandapat perhatian
yang sama pentingnya adalah keamanan masyarakat atau manusia dalam sebuah
negara. Persoalan keamanan demikian ini berkaitan dengan senjata ringan dan
kaliber kecil, proliferasi dan penggunaanya dapat memberi pengaruh terhadap hak
asasi manusia (keamanan dan kekerasan negara); proteksi minoritas dari konflik
komunal dan represi, dan terorisme. Keamanan seperti ini sangat berbeda dari
keamanan negara, misalnya keamanan dari gangguan-gangguan eksternal
(intervensi). Banyak pendapat yang mendifinisikan Terorisme, satu diantaranya
adalah pengertian yang tercantum dalam Pasal 14 ayat 1 The Prevention Of
Terorrism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut : “terrorism means
the use of violence for political ends includes any use of violence for the purpose
putting the public or any section of the public in fear”. Kegiatan Terorisme
mempunyai tujuan untuk membuat orang merasa ketakutan sehingga dengan
demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok, atau suatu bangsa. Perbuatan
terror yang dilakukan apabila tidak ada jalan lain untuk ditempuh untuk
melalsanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis
untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memaksa masyarakat atau
kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror.12
12 Lasina, Aspek Hukum Pemberantasan Terrorisme di Indonesia , Fakultas Hukum, Universitas
21 Dalam mendefinisikan terorisme, kesulitan yang dihadapi adalah
berubahnya wajah terorisme dari waktu ke waktu. Pada saat tertentu terorisme
merupakan tindakan yang dilakukan negara, pada waktu yang lain terorisme
dilakukan oleh kelompok non negara, atau oleh kedua-duanya. Walter Laquer menyatakan bahwa tidak akan mungkin ada sebuah definisi yang bisa
meng-Cover ragam terorisme yang pernah muncul dalam sejarah.
Menurut T. P. Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation
terorisme didefinisikan sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang
dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan
cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman
kekerasan. Terorisme adalah faham yang berpendapat bahwa penggunaan
cara-cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara-cara yang sah untuk mencapai
tujuan.13
Penegertian Terorisme sesuai UU. No.2 Tahun 2002 adalah terorisme
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah
satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah
merupakan kejahatan yang bersifat Internasional yang menimbulkan bahaya
terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat
sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan
sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.14
13
Ewit Soetriadi, SH, 2008, Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dengan Hukum Pidana, Universitas Diponogoro Semarang
14
Lembar Pengertian Terorisme Sesuai UU.No.2 Tahun 2002, dalam
22 Seorang ahli bernama Jack Gibbs menyatakan, suatu tindakan dapat
didefinisikan sebagai terorisme apabila merupakan suatu kejahatan atau suatu
ancaman secara langsung terhadap kemanusiaan atau terhadap objek tertentu.
Namun, hal tersebut menurut Gibbs masih merupakan definisi yang umum,
artinya cakupan dari definisi tersebut masih terlalu luas dan masih mencakup juga
definisi dari kejahatan biasa. (Dengan pengertian tersebut, definisi itu mencakup
kejahatan biasa seperti pembunuhan atau perusakan gedung, sehingga tidak
terlihat perbedaan antara kejahatan biasa (ordinary crime) dengan terorisme.15
Secara umum istilah terorisme diartikan sebagai bentuk serangan (faham/ideologi) terkoordinasi yang dilancarkan oleh kelompok tertentu dengan
maksud untuk membangkitkan perasaan takut di kalangan masyarakat. Badan
Intelijen Pertahanan Amerika Serikat memberikan definisi terorisme sebagai
berikut, “Bentuk tindak kekerasan apa pun atau tindak paksaan oleh seseorang untuk tujuan apa pun selain apa yang diperbolehkan dalam hukum perang yang
meliputi penculikan, pembunuhan, peledakan pesawat, pembajakan pesawat,
pelemparan bom ke pasar, toko, dan tempat-tempat hiburan atau yang sejenisnya,
tanpa menghiraukan apa motivasi mereka.”
Menurut Oxfords Advanced Learners Dictionary terorisme adalah “Segala bentuk tindakan kekerasan untuk tujuan politis atau untuk memaksa sebuah
pemerintah untuk melakukan sesuatu, khususnya untuk menciptakan ketakutan
dalam sebuah komunitas masyarakat.” Selanjutnya, dengan mengutip dari Juliet
15
Pengertian Terorisme dan Menurut Para Ahli dan Organisasi Terorisme, dalam
23 Lodge dalam The Threat of Terrorism “teror” itu sendiri sesungguhnya
merupakan pengalaman subjektif, karena setiap individu memiliki ambang
ketakutannya masing-masing. Ada orang yang bertahan meski lama dianiaya. Ada
orang yang cepat panik meski hanya karena ketidaktahuan. Di dalam dimensi
subjektif inilah terdapat peluang untuk kesewenangan atigmatisasi atas pelaku
terorisme (teroris).16
Dari beberapa definisi terorisme diatas dapat disimpulkan bahwa tindak
terorisme adalah hal yang berbahaya yang mampu mengancam pihak lain demi
tujuan tidak menentu, pelaku terorismepun biasanya adalah orang – orang yang memilih untuk tidak takut mati atas perbuatannya. Terorismepun didasari oleh
organisasi – organisasi yang menjalankan suatu misi tertentu dan mengatasnamakan jalan kebenaran.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori yaitu Rezim
Internasional, membahas tentang rezim internasional tidak lepas dari pembahasan
organisasi atau lembaga internasional. Istilah Lembaga Internasional telah
digunakan dalam beberapa dekade untuk menunjukan pada beberepa
fenomena.’Lembaga Internasional’ selalu menunjuk pada orgaisasi internasional formal.
16 Dian Kurnia, 2012, Apa Itu Terorisme?, dalam
24
International Regime Theory
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori rezim internasional
sebagai dasar untuk menganalisa ASEAN yang berperan dalam menangani isu
terorisme di kawasan Asia Tenggara.
“…An international regime is viewed as a set of implicit and explicit principles, norms, rules, and procedures around which
actors’ expectation converge in a particulas issue –area..”.17
Menurut Barkin pendekatan institusional memandang rezim dari apa yang
dilakukan para aktor dalam suatu organisasi internasional, sebaliknya, pendekatan
rezim melihat organisasi internasional dari pengaruh perlakuan aktor terhadap
norma, aturan, prosedur, dan prinsip pembuatan kebijakan serta keputusan.
Pendekatan rezim melihat darimana organisasi internasional itu muncul dan
bagaimana keefektifannya.18
Rezim internasional (International Regime) itu sendiri dapat ditentukan
sebagai prinsip-prinsip, norma-norma, aturan, dan diantara pembuat keputusan
yang dibuat aktor-aktor internasional dalam sebuah isu atau kasus. Pertanyaan
mendasar dalam pembahasan rezim internasional ini adalah apa hubungan antara
kekuatan, kepentingan, nilai serta rezim dalam pembelajaran ilmu hubungan
internasional itu sendiri. Perkembangan dari rezim internasional dapat dikaji dari
beberapa hal yaitu egoist self interest, political power, norms, and principles,
habits and custom, and knowledge. Stein menegaskan bahwa egoist self interest
ini suatu keadaan dimana aktor memaksakan kehendak atau kepentingan
17 Krasner, S. 1983. International Regime. Cornell University Press, Ithaca 18
Adeyaka Wuri Aksani Rezim dan Organisasi Internasional, dalam
25 pribadinya dalam suatu sistem anarki, hal ini yang membentuk suatu rezim
internasional.19
Variabel yang terdapat dalam rezim internasional adalah kekuatan politik
atau political power ,dimana variable ini memiliki andil dalam penjelasan
mengenai perkembangan rezim. Ada dua orientasi dapat mebuat power menjadi
berbeda, yaitu cosmopolitan dan instrumental. Kekuatan ini digunakan aktor
untuk meningkatkan nilai yang terdapat dalam sistem Negara tersebut. Dengan
kekuatan, sebuah Negara dapat mengelola negaranya sesuai dengan kehendaknya
demi mencapai kebaikan bersama. Variabel selanjutnya ialah norma dan prinsip.
Prinsip menjadi kepercayaan yang menjadi dasar dari pembuatan aturan tersebut
diiringi oleh norma yang menjadi standard tingkah laku yang diharapkan
diaplikasikan dalam tindakan yang disatukan dalam sebuah aturan yang kemudian
dipraktikan dalam mengimplementasikannya.20
Pemikir lainnya Robert Jervis berpendapat bahwa konsep rezim bukanlah
hanya sebagai norma – norma dan harapan yang timbul untuk memfasilitasi sebuah kerjasama, namun dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kerjasama yang
lebih dari sekedar kepentingan nasional dalam jangka pendek. Rezim dapat
mengatur koordinasi dari perilaku negara sehingga dapat diraih hasil yang
diinginkan pada area isu tertentu yang nantinya akan menguntungkan bagi dunia
internasional. Rezim dapat dinyatakan lemah apabila dalam prakteknya didunia
19
Euodia Rinthania Kristi, Rezim Internasional dalam
http://rinthania-kristi-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-76772-Rezim%20Internasional (diakses pada Tanggal 10 Juni 2014, Pukul 09.33 WIB)
20
Euodia Rinthania Kristi, Rezim Internasional dalam
26 nyata tidak konsisten dengan prinsip, norma, aturan, dan prosedur yang berlaku
dalam suatu rezim.21
Dari berbagai macam definisi yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa
rezim dapat diartikan sebagai sebuah media yang digunakan untuk mengatur
aktor-aktor dalam bertindak dalam sistem internasional. Atau dalam pengertian
lain, rezim merupakan aturan main yang digunakan oleh para aktor hubungan
internasional dalam mengelola negara dalam sebuah sistem yang anarki serta
Rezim internasional menjadi instrument vital dalam sistem internasional yang
dapat digunakan untuk menjalankan fungsi hubungan internasional dalam
mengakomodasi kerjasama antar negara.22
Menurut Stephen D. Krasner, rezim internasional adalah seperangkat
prinsip, norma aturan, dan prosedur pengambilan keputusan dimana harapan dari
aktor – aktor yang terlibat didalamnya difokuskan pada satu area tertentu dalam hubungan internasional. Dalam konteks ini, prinsip adalah kepercayaan akan
fakta, hubungan sebab – akibat, dan juga nilai – nilai kejujuran yang dianggap benar. Berikutnya norma adalah standar perilaku mengenai hak dan kewajiban.
Sedangkan aturan adalah kewajiban dan larangan yang diberlakukan secara
spesifik. Kemudian prosedur pengambilan keputusan adalah ketentuan yang
21
Ibid., hlm 12
22 Krasner, Stephen D. 1982. “Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening
27 berlaku dalam pembuatan dan pengimplementasian pilihan ataupun keputusan
kolektif.23
Rezim timbul karena adanya kerjasama dari negara – negara anggota dan menjadi kuat apabila dilatarbelakangi oleh komitmen masing – masing negara untuk menaati prinsip, norma dan aturan dalam suatu rezim yang telah disepakati
bersama dengan harapan negara – negara anggota lainnya akan melakukan hal yang sama sehingga kepentingan bersama dapat tercapai.
Teori rezim internasional oleh Stephen D. Krasner menunjukan bahwa
terdapat variable – variable kausal dasar yang dapat digunakan untuk melihat hubungan kausal (sebab – akibat) antara faktor – faktor tertentu dengan keberadaan suatu rezim internasional. Maka dari itu, rezim merupakan sesuatu
yang bersifat dependent karena dipengaruhi oleh variable – variable kausal dasar.24
Sebuah rezim keamanan hanya terbentuk dan bertahan apabila memenuhi
empat persyaratan, yaitu : (1) Pendirian rezim harus minimal didukung oleh
persetujuan dari negara – negara kuat, dan bahwa seluruh negara calon anggota cukup puas dengan “status quo” (2) aktor – aktor yang bereda didalamnya bersama – sama menjunjung nilai yang berdasarkan pada kerjasama dan keamanan timbal – balik, (3) rezim keamanan tidak akan dapat terbentuk apabila ada aktor di dalamnya yang menganggap bahwa keamanan hanya dapt dicapai
23 Evely Adisa (1006743872), 2012, Rezim Non – Proliferasi Nuklir Internasional dan Program Nuklir Iran,
Tesis Pascasarjana Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Jakarta. Hlm 12
24
28 dengan melakukan ekspansi, (4) perang dan penyediaan keamanan secara individu
harus dianggap memiliki resiko tinggi.25
Terdapat empat pendekatan dalam rezim yaitu :
1. Pendekatan Struktural menjelaskan khususnya teori stabilitas hegemoni
mencoba menunjukkan bagaimana kondisi internasional dalam melakukan
kerjasama.
2. Pendekatan game-theoretic merupakan teori yang menjelaskan kondisi di
mana rezim mungkin timbul sebagai turunan dari perilaku kooperatif dan
juga dapat menunjukkan kondisi yang kondusif untuk menstabilkan
kepatuhan, tetapi memiliki kesulitan menjelaskan bentuk organisasi, ruang
lingkup, atau perubahan
3. Pendekatan functional Teori fungsional menjelaskan kekuatan rezim,
terutama teka-teki mengapa kepatuhan terhadap rezim cenderung bertahan
bahkan ketika struktural kondisi yang awalnya memunculkan perubahan.
4. Pendekatan cognitif merupakan pendekatan yang ada karena adanya
pembelajaran dari pendekatan-pendekatan sebelumnya, yaitu structural,
game-theoretic dan functional, kerjasama yang tidak dapat sepenuhnya
dijelaskan tanpa mengacu pada ideologi, nilai-nilai aktor, keyakinan yang
mereka pegang tentang saling ketergantungan isu, dan tersedia bagi
mereka pengetahuan tentang bagaimana mereka dapat mewujudkan tujuan
25
29 tertentu. Kerjasama dipengaruhi oleh persepsi dan mispersepsi, kapasitas
dalam proses informasi, dan pembelajaran.26
Seperti yang dijelaskan diatas rezim internasional memiliki empat
pendekatan, dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yang pertama yaitu
pendekatan struktural khususnya teori stabilitas hegemoni mencoba menunjukan
bagaimana kondisi internasional dalam melakukan kerjasama. Negara – negara kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN menjalin kerjasama dalam
berbagai bidang demi mencapai tujuan dan stabilitas negara masing – masing. Tentu saja ASEAN berperan dalam menangani berbagai isu global salah satunya
adalah isu terorisme. Dianalisa melalui pendekatan tersebut ASEAN yang
berperan dalam menangi isu terorisme selain mengajak negara anggotanya
bekerjasama menanangi teroris juga menunjukan bahwa ASEAN adalah
organisasi yang mampu menunjukan kekuatannya dalam regional Asia Tenggara.
Indikator dalam peran ASEAN menangani isu terorisme adalah dengan
membentuknya suatu kelompok kerja yang disebut Inter- Sessional Meeting on
Counter Terrorisme and Transnational Crime untuk mengembangkan kerjasama
dalam ASEAN Regional Forum (ARF) yang membahas dan menghasilkan
Konvensi tentang terorisme dan berlaku untuk negara anggotanya. Dengan adanya
Konvensi tersbut memberikan pengaruh baru bagi negara – negara kawasan Asia Tenggara dalam memerangi aksi terorisme, seperti pertukaran informasi satu sama
26Haggard, Stephan & Simmons, Beth A. 1987. “Theories of International Regimes”,
International Organization, Vol. 41, No.3 (Summer, 1987). pp. 491-517, dalam
30 lain terhadap informasi aksi teroris dan menempatkan pelaku teroris dalam hukum
yang ditetapkan.
1.7 Metodologi Penelitian
1.7.1 Variabel Penelitian Dan Level Analisa
Terdapat dua variable penelitian yaitu variable dependen dan variable
independen :
a. Variable dependennya adalah Peran ASEAN sebagai
Organansasi Regional di Asia Tenggara.
b. Variable independennya adalah Peran ASEAN menangani
Isu Terorisme di Asia Tenggara.
Pada penelitian ini level analisa yang peneliti ambil adalah korelasionis,
yaitu tingkat unit eksplanasinya dan unit analisanya adalah sama. Dalam
penelitian ini unit eksplanasinya adalah Isu Terorisme dan unit analisanya adalah
ASEAN yang menjadi sistem sehingga kedudukannya sama.
1.7.2 Metode/ Tipe Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah adalah jenis eksplanatif, yaitu metode
yang digunakan untuk menjelaskan hubungan kaussal antara variable – variable melalui penguji hipotesis. Menurut Kriyanto (2006) periset perlu melakukan
kegiatan berteori untuk menghasilkan dugaan awal (hipotesis) antar variable yang
satu dengan yang lainnya. Sama halnya dengan penjelasan Bungin (2001) bahwa
kuantitatif eksplanatif adalah penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan
31 Penelitian eksplanatif dilakukan terhaddap sample dan hasil penelitian tersebut
dapat digeneralisasikan terhadap populassinya.27
1.7.3 Teknik Analisa Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik analisa data yang
disebut dengan yaitu data men