• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN IBN AL-QAYYIM DAN KARYA-KARYANYA

D. Landasan Pemikirannya

Berbicara tentang pemikiran seseorang, tidak terlepas dari landasan yang dipakai sebagai dasar pemikiran, sebab tanpa landasan tertentu, maka maka pemikiran seseorang akan rapuh diterpa badai yang menghantam. Sehingg atidak dapat bertahan lama. Demikian juga dengan mengetahui landasan pemikiran seseorang, maka akan diketahui alasan dalam memunculkan pemikiran tersebut.

Adapun dasar pemahaman yang dipakai Ibn al-Qayyim dalam memahami hadis hukum adalah sebagai berikut: 42

1. Nas{ (Al-Qur‟an dan Sunah)

Al-Qur‟an dan Sunah merupakan dasar utama dalam memahami agama, termasuk hadis Nabi. Al-Quran sebagai dasar yang pertama, lalu hadis menjadi dasar kedua. Hal ini

42Abdul Fatah Idris, Menggugat Istinbath Hukum Ibnu Qoyyim, (Semarang Pustaka Zaman. 2007), 35.

disebabkan seluruh ayat al-Qur‟an diturunkan secara

mutawa<tir, sedangkan hadis bersifat a<h}a<d, hanya sedikit hadis

yang mutawa<tir. Konsekuensinya, adalah; terdapat hadis yang

maqbu<l (diterima), seperti hadis s}ah}i<h} dan h}asan. Ada juga hadis yang mardu<d (tertolak), yaitu hadis da’i<f (lemah) atau

maud}u<‟ (palsu).

Sebagai sumber ajaran kedua, posisi hadis tidak boleh bertentangan dengan ayat. Jika bertentangan dengan ayat maupun hadis yang lebih tinggi, maka derajadnya dihukumi da‟if. Konsekuensinya, tidak dapat dipakai sumber hukum.43Demikian juga pendapat Ibn al-Qayyim, hanya ia menerima hadis mursal sahaby, karena sangat dekat dengan Nabi.

Memang benar, hadis mursal sahaaby dapat dietrima sebagai sumber hukum apabila tidak bertentangan dengan hadis yang lebih tinggi derajadnya. Jika bertentangan maka keberadaannya dinilai da‟if. Hal ini mengandung makna bahwa keberadaan pendapat Sahabat dapat diterima apabila tidak bertentangan dengan hadis Nabi.

Menurut Ibn al-Qayyim, hubungan hadis dengan al-Qur‟an terdiri dari tiga bentuk, adakalanya sebagai penguat

(muqarrir), penjelas (mufassir), dan pengganti hukum (mubaddil) terhadap al-Qur‟an. Oleh karenanya peranan al-Qur‟an

43‘Nu<r al-Di<n It|r, Manhaj an-Naqd fi< ‘Ulu<m al-H{adi<>s| (Cet. II), (Beiru<t : Da>r al-Fikr. 1992), 32.

dan hadis sangat penting menjadi dasar pemahaman terhadap sebuah hadis.44

Bagi seorang mujtahid dalam mengistinbatkan hukum diperintahkan mengambil sumbernya yang ada dalam al-Qur‟an dan Hadis. Hal ini dikarenakan posisi keduanya sebagai sumber hukum. Oleh karenanya tidak mungkin mengambil hukum tanpa mendasarkan pada nash al-Qur‟an dan Hadis.

Menurut Ibn al-Qayyim, apabila ada dua hadis yang saling bertentangan, ia wajib memilih hadis yang lebih s}ah}i<h{ di antara hadis-hadis tersebut. Seorang mujtahid atau muftí<

dilarang mengambil istinba<t} hukum berdasarkan atas ijma<‟, karena pada kenyataannya sulit terwujud. Ia juga tidak boleh berdasarkan atas dalil-dalil yang bersifat z}anni<.45

Jadi, pendapat di atas sangat penting jika dikaitkan dengan pemahaman hadis Ibn al-Qayyim, karena al-Qur’an dan hadis sangat penting sebagai sumber dalam memahami hadis Nabi. Sebagaimana ynag terjadi di kalangan ulama hadis bahwa cara memahami hadis harus mengaitkan dengan ayat, hadis, dan pendapat Sahabat.

2. Fatwa atau Ijma‟ Sahabat

Menurut Ibn al-Qayyim, fatwa Sahabat menjadi sumber yang harus dipakai dalam memahami hadis hukum, sebab mereka adalah orang yang memiliki keistimewaan dibanding

44 Ibn al-Qayyim , I’la<m al-Muwaqqi’i<n ..., 1994, 24.

45Abdul Fatah Idris, Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jawziyah

Tentang Penggunaan Hadis Dha’if Dalam Istinbath Hukum, Journal Al-Mana<hij, (Purwokerto: STAIN Purwokerto. 2012), 136.

kelompok lain. Hal ini didasarkan perintah al-Qur‟an dan Sunah Nabi, bukan semata-mata atas penalaran rasio.46Selain didasarkan perintah nash, posisi Sahabat sangat penting, karena mereka adalah pelaku sejarah pewahyuan, sekaligus berjuang mengamalkan syariat Islam.

Pada kenyataannya, pendapat para Sahabat tidak selamanya sama dalam mensikapi suatu masalah. Maka jika ada fatwa yang saling bertentangan, seorang mujtahid boleh memilih di antara pendapat yang paling mendekati dengan ayat maupun hadis Nabi. Namun, tidak ada keharusan mengambil fatwa mereka untuk dijadikan sebagai dasar hukum, selain ijma‟ sahabat. Jika terjadi ijma‟, kaum muslimin harus patuh kepadanya sesuai perintah Nabi.

Kaitannya dengan metode pemahaman hadis Ibn al-Qayyim adalah bahwa pendapat Sahabat dapat dijadikan

sebagai sumber pemahaman hadis mana kala, tidak bertentangan dengan ayat, hadis lain, serta terjadi ijma‟, terutama pada masalah ibadah. Jika berbeda-beda boleh memilih pendapat yang paling mendekati dengan wahyu. 3. Mengkompromikan pendapat Sahabat yang bertentangan

Mengkompromikan pendapat para Sahabat merupakan langkah yang tepat, hal sesuai dengan hadis Nabi. Namun apabila terjadi pertentangan pendapat di antara mereka, ia memilih pendapat yang lebih dekat dengan al-Qur‟an dan

Hadis.47Hal ini dikarenakan al-Qur‟an dan Hadis sebagai sumber ajaran yang tertinggi.

4. Hadis mursal dan hadis da‟if

Pendapat ini terkait dengan sikap Imam Ahmad, pendiri mazhab Hanbali. Ia menerima hadis da‟if dijadikan sebagai salah satu dasar hukum selama tidak ada hadis lain yang lebih tinggi, termasuk juga hadis mursal.48

Pendapat ini oleh Ibn al-Qayyim dipahami lain, karena hadis da‟if yang dimaksud itu sebenarnya adalah termasuk hadis h{asan (baik), karena pembagian hadis pada zaman Imam Ahmad terdiri dua hal, yaitu; hadis sahih dan hadis da‟if.49 Lalu pada masa berikutnya, Imam at-Tirmiz|i< (w. 303 H) menambahkan satu nomenklasi, yaitu hadis h}asan, sehingga terbagi menjadi tiga macam.

Demikian juga hadis mursal yang dimaksud di atas adalah hadis mursal s}ah}a<bi<, yaitu hadis mursal yang terjadi pada jalur sahabat. Sedangkan bentuk hadis mursal yang lain ditolak sebagai sumber hukum, karena termasuk hadis da‟if.50

Jadi, yang dimaksud hadis d{a‟if sebagai sumber hukum oleh mazhab Hambali tidak lain adalah hadis h}asan lighairih, yaitu hadis da‟if yang diperkuat oleh hadis lain yang sama atau

47Abdul Fatah Idris, Pemikiran Ibnu Qayyim...., 137.

48 Ibn al-Qayyim al-Jawzy, I’lam al-Muwaqqi’in..., Juz I, 61.

49 Ibn al-Qayyim, I’la<m al-Muwaqqi’i<n, Juz I ...., 1994, 61.

50Abu ‘Amr Ibn as}-S}ala<h, Muqoddimah Ibn as}-S}ala<h}, (Libanon: Da<r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1999), 32.

lebih tinggi derajadnya.51Demikian juga hadis mursal yang dimaksud termasuk kategori hadis mutasil, karena terbatas pada mursal S}ah}abi<. Dengan demikian hadis mursal yang dijadikan dasar adalah termasuk kategori hadis hasan.

Jadi, kaitannya dengan penggunaan hadis dhaif oleh Ibn al-Qayyim menunjukkan bahwa sebenarnya hadis yang dipakai sebagai sumber hukum adalah hadis h{asan, tetapi dalam bahasa pendahulunya diaktakan da’if.

5. Qiyas dalam keadaan darurat

Pada hakekatnya, pemahaman setiap ulama terhadap teks hadis tidak terlepas dari pemakaian logika (qiyas). Namun dalam prakteknya batasan tentang qiyas terjadi perbedaan, sehingga timbul sikap beragam terhadap eksistensinya sebagai sumber hukum.

Menurut Ibn al-Qayyim, keberadaan Qiyas di bawah al-Qur‟an dan Hadis, tidak boleh sejajar, karena antara wahyu

dan ra‟y mesti dimenangkan wahyu. Maka dari itu ia mendahulukan kedua dalil asal dibanding Qiyas dalam penetapan hukum, sehingga penggunaannya relatif kecil. Meskipun demikian qiyas tetap dipakai jika ada masalah yang tidak ada dalam Qur‟an, Hadis, dan pendapat Sahabat.52

Ibn al-Qayyim menjelaskan, pada prinsipnya Qiyas diterima selama tidak bertentangan dengan sumber asal, karena mendahulukan rasio daripada syari‟at termasuk mengikuti hawa nafsu (hawwan muttaba‟). Hal ini bertentangan dengan

51Nu<r ad-Di<n ‘It}r, Manhaj an-Naqd, Juz I, 23.

perintah Nabi. Contohnya kewenangan mencium istri pada waktu puasa diqiyaskan dengan kebolehan berkumur pada siang hari di bulan puasa. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Imam Muslim:

ضر رمع نع

ى

.

لاق

تلبق اميظع ارما .لص للها لوسر اي مويلا تعنص ول

سئبلا :تلقف .مئاص تناو ءابم تضمضتم ول تيارا ول لاقف .مئاص اناو

لص للها لوسر لاق . كلاذب

م

هاور( .مصف .

)دحما

“Diriwayatkan dari Umar bin Khattab dia berkata kepada Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, saya telah melakukan sesuatu yang sangat besar dosanya, yaitu mencium istri padahal dalam keadaan puasa.” Lalu beliau menjawab sambil bertanya: “Apakah dapat membatalkan puasa kalau kamu berkumur dengan air padahal dalam keadaan berpuasa?” Aku menjawab: “Tidak apa-apa melakukan perbuatan seperti itu.” Kemudian Rasulullah Saw., bersabda; “Lanjutkan puasa kamu (lalu ia melanjutkan)” (HR. Ahmad ).53

Jadi, cara membandingkan sesuatu kasus dengan kasus lainnya tidak bisa semata-mata didasarkan pada logika, melainkan harus melihat dalil lain yang ada. Jika tidak ada satupun hadis ataupun ayat, maka tidak dibenarkan memakai qiyas.54

Kaitannya dengan cara pemahaman hadis adalah untuk memahami hadis seseorang tidak boleh berpegang secara mutlak pada qiyas, kecuali dalam kedaruratan. Jika ada sebuah hadis lalau memenangkan qiyas maka seseorang akan dipandang lebih mengutamakan rasio daripada wahyu.

53 Imam Ahmad, Musnad Ah}mad..., I, 286.

6. „Urf

Menurut bahasa „urf artinya pengetahuan, sedangkan secara istilah Ushul fiqh, „urf ialah segala sesuatu yang menjadi kebiasaan masyarakat dan secara terus menerus dipergunakan, baik berupa perkataan maupun perbuatan.55 Unsur pembentukan „urf ialah konvensi di kalangan masyarakat secara berkesinambungan.

„Urf berbeda dengan ijma‟, sebab lebih berorientasi pada perilaku masyarakat di suatu daerah atau wilayah tertentu yang terikat secara konvensional. Sedangkan ijma‟ lebih berorientasi pada kesepakatan fuqaha yang ada di daerah tertentu.

Dilihat dan segi benar tidaknya, „urf dibagi menjadi dua yaitu: pertama, ‘urf s}ah<i<h|, yakni kebiasaan yang menjadi tradisi masyarakat dan tidak bertentangan dengan hukum syara‟,tidak menghalalkan yang haram, dan tidak membatalkan yang wajib. Misalnya, kebiasaan memberikan sesuatu sebagai hadiah sebelum pernikahan, bukan mahar.

Berdasarkan kenyataan itulah para ahli ushul menetapkan suatu kaidah:

ةمكمح ةداعلا

“Adat kebiasaan merupakan dasar penetapan hukum”.56

Kedua, ‘urf fa<sid, yakni kebiasaan yang telah menjadi tradisi masyarakat tetapi bertentangan dengan dalil syara‟. Misalnya,

55‘Abd al-Waha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l-al-Fiqh, (Kuwait: Da>r al-Kuwaitiyyah. 1968), 123.

kebiasaan memungut riba dalam transaksi bertentangan dengan syari‟at Islam.

„Urf fa<sid hanya diperbolehkan dalam keadaan terpaksa, sebagaimana kaidah Ushul yang menegaskan:

تاروظلمحا حيبت ةرورضلا

“K

eadaan terpaksa membolehkan hal-hal yang terlarang”. Yang termasuk dalam kategori ini adalah dalam keadaan kelaparan dibolehkan memakan bangkai untuk memenuhi kebutuhan hidup meski haram dimakan.57

„Urf yang tidak bertentangan dengan syara‟ dipakai untuk memahami hadis Nabi, seperti timbangan, takaran, jarak, waktu, kesehatan, dan lainnya. Bahkan, tanpa mempergunakan „urf tidak mungkin dapat memahami hadis tentang masalah tersebut58. Jadi, dalam masalah terentu „urf menjadi sumber hukum yang sangat penting, karena dapat menjelaskan terhadap hukum syara‟ itu sendiri.

7. Sad az|-zara<’i

Menurut bahasa kata sad, artinya memutus atau menutup, z|ara<i’ jamak dari kata z|ari<’ah, artinya al-wasi<lah (sarana). Jadi Sad az-Z|ara<’i artinya memutus jalan yang dapat menimbulkan kemungkaran.59Menurut ulama Ushul yaitu sesuatu yang menjadi jalan (al-wasi<lah) hukumnya sama dengan tujuan (ga<yah).

57‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l-al-Fiqh...., 123-124.

58 Ibn al-Qayyim, I’la<m al-Muwaqqi’i<n ..., 1994, Juz II, 297.

59

Muh}ammad bin ‘Ali< Asy-Syauka>ni>, Irsya<d al-Fuh}u<l ila< Tah}qi<q ‘Ilm al-Us}u<l, (Muassasah al-Kutub a||s|- S|aqa<fah. T.t), 300.

Misalnya, mengadakan ‘

h}aul

dilarang karena dapat menyebabkan pengkultusan pada seseorang. Oleh karenanya dengan pelarangan itu tidak akan terjadi pengkultusan terhadap seseorang.

Inti Z|ari’<ah terletak pada akhir perbuatan, jika perbuatan itu membawa hasil yang baik, maka termasuk perbuatan yang dituntut dilakukan. Sebaliknya, jika perbuatan itu membawa kepada perkara yang buruk, maka termasuk perkara yang dilarang tanpa mempedulikan kepada niat pelakunya.

Z|ari’<ah merupakan salah satu dasar hukum yang dipakai kelompok mazhab Maliki dan Hambali. Menurut mazhab

Hambali, kehujahan z|ari’<ah didasarkan pada ayat 104 Surat al-Baqarah. Di samping itu juga didasarkan pada hadis Nabi

tentang larangan menghina agama lain, karena mereka akan menghina agama Islam jika dihina. Metode ini sering dipakai Imam Ahmad dalam berbagai hal, lalu diikuti oleh para penerusnya, termasuk Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, terutama pada masalah ibadah.60 8. Istis}la<h

Is}t}is}la<h} menurut bahasa artinya mencari kebaikan, dalam arti konkret maupun abstrak. Misalnya perkataan “is}tas}{lah}}a badanahu”, artinya dia mencari maslahat pada badannya, contoh yang konkret. Sedangkan dalam arti abstrak, seperti pada kata: “is}tas}{lah}{a khuluqahu”, artinya dia mencari kemaslahatan akhlaknya.

Adapun pengertian is}tis}la<h} menurut ulama ushul adalah menetapkan hukum tentang suatu peristiwa hukum yang tidak disebutkan dalam nash dan ijma‟, tetapi berlandaskan pada prinsip kemaslahatan. Bentuk seperti ini juga dinamakan

mas}lahah} al-mursalah, yaitu mas{lah{ah yang tidak ada dalil syara‟ yang menunjukkan terhadap perkara itu.61

Sebagian ulama ada yang menamakan „urf dengan

is}t}isla<h}, seperti dipakai oleh golongan Hanabilah dan Malikiyah. Sedangkan kelompok Syafi‟iyah dan Hanafiyah menamakan mas{lah}ah al-mursaah.

Mas{lah{ah dibagi menjadi dua macam, yaitu mas{lah{ah mu’tabarah (maslaha yang dapat dipakai sebagai pelajaran) dan mas}lah}ah mulgah. Mas}lah}ah mu’tabarah adalah mas{lah{ah

yang tidak bertentangan dengan syariat. Misalnya, hukum pencatatan perkawinan (buku nikah) dan kelahiran (akta kelahiran). Sedangkan mas{lah{ah mulgah adalah mas{lah{ah

yang bertentangan dengan syari‟ah.62

Contohnya penetapan pembagian warisan sama antara laki-laki dan perempuan bertentangan dengan ayat al-Qur‟an.

Menurut para ulama, mas{lah{ah tidak berlaku pada semua hal, terutama ibadah, karena tidak ada peluang memakai rasio pada ibadat, sifatnya ta‟abbudi<. Sama halnya pada hukum tentang h}ad, kafa<rat, batas prosentase warisan, dan „iddah. Semua hukum yang ditetapkan dengan batasan tertentu oleh

61 Muh}ammad bin ‘Ali Asy-Syauka>ni>, Irsyadul Fuhul ..., 301.

Sya<ri‟ tidak ada kemaslahatan, karena Dia yang mengetahui kemaslahatannya.63Sedangkan sesuatu yang terkait dengan hukum-hukum selain yang tersebut di atas, seperti; mu‟amalat, sanksi pidana ta‟zi<r, tata laksana usaha, maka diperbolehkan mendasarkan pada istis}la<<h}.

Jadi, mas{lah{ah berlaku pada persoalan tertentu di luar ketentuan yang ditetapkan al-Qur‟an dan Sunah. Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa is}t{is{la<h {merupakan salah satu metode yang dipakai untuk menggali hukum yang

tidak terdapat dalam nash atau ijma‟. Demikian juga Ibn al-Qayyim sebagai pengikut H}ana<bilah menerima status

kehujahannya, terutama masalah muamalah.64

Bahkan dalam persoalan ini sangat diperlukan penggunaan kaedah tersebut. 9. Istis}h}a<b

Menurut bahasa istis}h}a<b artinya pengakuan adanya hubungan. Sedangkan menurut para ulama ushul ialah menjadikan lestari keadaan yang sudah ditetapkan pada masa lalu sebelum ada dalil yang merubahnya.65

Jadi, apabila sudah suatu perkara ditetapkan pada waktu tertentu, maka ketentuan hukumnya tetap seperti itu, sebelum ada dalil baru yang mengubahnya. Sebaliknya, jika suatu perkara ditolak pada suatu waktu, maka penolakan tersebut berlaku sampai akhir masa, sebelum terdapat dalil yang

63Muh}ammad bin ‘Ali Asy-Syauka>ni >, Irsya<d al-Fuh}u<l, 301.

64 ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l-al-Fiqh..., 116.

menerimanya. Istis{ha<b diterima di kalangan tokoh mazhab Hambali sebagai sumber hukum, termasuk Ibn al-Qayyim, argumentasinya adalah ;66

a. Bahwa kelestarian suatu hal yang sudah ada di masa lalu adalah suatu hal yang fitri dalam praktik kehidupan manusia. Misalnya; ketetapan hukum bagi suami-istri di masa lalu tetap berlaku di masa berikutnya sebelum adanya hukum baru yang meniadakannya.

b. Penelitian terhadap hukum syara‟ membuktikan bahwa

Sya<ri’ memutuskan hukum tetapnya keadaan yang sudah ditetapkan sebelum terjadi ketentuan yang mengubahnya. Misalnya; khamr tetap haram hukumnya sebelum berubah menjadi cuka. Namun jika sudah berubah menjadi cuka, maka hukumnya juga berubah, yaitu halal.

Contoh lain adalah sabda Rasulullah Saw. tentang ru’yat al-hila<l;

اْوُمْوُص

اْوُرَطْفاَو ِوِتَيْؤُرِل

مغ ْنِءاَف ِوِتَيْؤُرِل

َناَبْعَش َةَّدِع اْوُلِمْكاَف ْمُكْيَلَع

اًمْوَ ي َْيِْثَلاَث

راخبلا هاور(

ى

)

“Berpuasalah kamu sebab melihat bulan, dan berbukalah karena melihatnya pula. Namun, jika kamu terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya‟ban menjadi tiga puluh hari” (HR. Al-Bukha<ri<).67

Hadis di atas menunjukkan bahwa ketetapan puasa sudah ada sebelum pelaksaan kewajiban. Demikian juga

66 ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l-al-Fiqh.., 128.

lebaran sudah ada sebelumnya. Maka pelaksanaan kewajiban itu muncul terlebih dahulu sebelum ada dalil.

Berbagai sumber pemahaman di atas menunjukkan

bahwa dasar pemahaman hadis hukum yang dipakai Ibn al-Qayyim sangat lengkap baik yang terkait dengan sumber

asli maupun sumber metodologi. Sumber asli meliputi al-Qur‟an dan Hadis, sedangkan sumber metodologi meliputi

Qaul Sahabat, Qiyas, „Urf, Sad az|-Z|ari‟ah, Istis}la<h, dan Istis}h{a<b.68