• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Teor

Dalam dokumen Proposal Disertasi NEK change sdh di rev (Halaman 34-47)

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEOR

1.1. Landasan Teor

Pembangunan jaringan jalan berada pada ranah publik, sehingga tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan teori kebijakan publik. Selain itu, pembangunan jalan dilakukan dengan menggunakan anggaran pemerintah

yang merupakan bidang yang dipelajari di dalam ilmu keuangan publik. Dari segi dampaknya, pembangunan jalan diarahkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat dan menyelesaikan beragam persoalan pembangunan yang didiskusikan di dalam ilmu ekonomi pembangunan dan ilmu ekonomi regional. Akhirnya, pembahasan yang menyangkut pembangunan jalan memerlukan pemahaman terhadap aspek-aspek teknis yang menjadi bidang kajian ilmu transportasi (teknik sipil). Bervariasinya teori dan konsep yang digunakan memberikan ciri bagi penelitian ini sebagai suatu penelitian yang bersifat lintas bidang ilmu atau multidisiplin.

Dalam sudut pandang kebijakan publik, pembangunan jalan merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah untuk memenuhi kepentingan publik. Dye (1981: 1) menuliskan bahwa “Public Policy is whatever governments choose to do or not to do”. Lebih lanjut, menurut Dye (1981: 2), kebijakan publik berhubungan dengan beragam substansi, seperti pertahanan, energi, lingkungan, hubungan luar negeri, pendidikan, kesejahteraan, kepolisian, jalan raya, perpajakan, perumahan, jaminan sosial, kesehatan, peluang ekonomi, pembangunan perkotaan, inflasi, resesi, dan lain sebagainya. Definisi kebijakan publik selanjutnya mengalami evolusi dan dikemukakan dalam berbagai versi oleh beragam penulis sebagaimana antara lain dirangkum oleh Winarno (2011: 17-31).

Ruang lingkup publik menurut Bovaird dan Loffler (2003: 4) adalah

“the arena in which public choice is exercised in order to achieve a collective purpose”. Selanjutnya ditambahkan bahwa “The concept of ‘public’ generally means that the providers have to observe and satisfy some

form of public service obligation”. Parsons (2001: 3) menyatakan bahwa publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidak-tidaknya oleh tindakan bersama. Dalam pasal 62 ayat (1) butir c Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang jalan disebutkan bahwa masyarakat berhak memperoleh manfaat atas penyelenggaraan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan.

Singkatnya, setiap kebijakan publik yang dijalankan pemerintah, termasuk dalam pembangunan jalan, diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dunn (2004: 5) menyebutnya dengan istilah preferred policy. Kebijakan yang dipilih sepantasnya merupakan solusi terhadap persoalan yang dihadapi oleh publik. Dalam konteks penelitian ini, pengembangan jaringan jalan seyogyanya mampu mendukung perbaikan kesejahteraan rakyat di Kabupaten Kaimana.

Kebijakan adalah sebuah upaya atau tindakan pemerintah menjalankan fungsi administratif dan politis untuk menacapai tujuan tertentu sebagai tanggapan terhadap berbagai permasalahan publik yang terjadi. Untuk itu, kebijakan yang dibuat adalah sebuah mekanisme administratif dan membutuhkan keputusan politis. John Kingdon (1993) menyebutnya “Policy Windows“ atau jendela kebijakan dimana ada tiga aliran (stream) yang mempengaruhi terbukanya jendela kebijakan yaitu :

problem stream, policy stream dan political stream.

Definisi jalan sesuai pasal 1 butir 4 UU No. 38 Tahun 2004 tentang jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengka’pannya yang diperuntukkan

bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Selanjutnya pada pasal 5 dituliskan 3 peran jalan. Peran jalan yang pertama adalah sebagai bagian prasarana transportasi yang mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kedua adalah jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Peran yang ketiga adalah jalan yang merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia.

Untuk menjalankan peran tersebut, jalan telah dikelompokkan menurut peruntukkan, sistem jaringan jalan, fungsi, status, dan kelas. Peruntukkan jalan adalah untuk jalan umum dan jalan khusus, sedangkan sistem jaringan jalan terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. Selanjutnya, fungsi jalan terbagi menjadi jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Status jalan meliputi jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa. Adapun kelas jalan mencakup jalan bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang, dan jalan kecil.

Pasal 11 UU No. 38 Tahun 2004 menyebutkan bahwa bagian-bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan. Ruang manfaat jalan meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Ruang milik jalan meliputi ruang manfaat jalan dan

sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan. Sedangkan ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan.

Sesuai dengan semangat otonomi daerah, maka wewenang penyelenggaraan jalan telah dibagi menjadi wewenang pemerintah pusat, wewenang pemerintah provinsi, dan wewenang pemerintah kabupaten/kota. Wewenang ini pada dasarnya merupakan penguasaan atas jalan oleh negara sebagaimana dimaksudkan pada pasal 13 UU No. 38 Tahun 2004. Pemerintah pusat berwenang dalam penyelenggaraan jalan yang meliputi penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional. Wewenang yang dimaksud meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. Wewenang pemerintah provinsi meliputi penyelenggaraan jalan provinsi yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan provinsi. Dalam hal belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya, pemerintah provinsi dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah pusat. Wewenang pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kabupaten dan jalan desa, sedangkan wewenang pemerintah kota meliputi penyelenggaraan jalan kota. Wewenang penyelenggaraan jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. Dalam hal belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya, pemerintah kabupaten/kota dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada pemerintah provinsi.

Jalan dalam konteks penelitian ini tergolong sebagai barang publik murni. Dalam teori keuangan publik, sebagaimana dituliskan oleh Gruber (2011: 182), “Pure public goods are goods that are perfectly non-rival in consumption and are non-excludable”. Namun, dalam praktiknya, kebanyakan barang-barang yang dipandang sebagai barang publik sebenarnya tidak murni sebagai barang publik (impure public goods), yaitu memenuhi kedua kriteria pada tingkat tertentu.

Upaya pemerintah menyediakan barang publik secara umum diarahkan untuk menjawab empat pertanyaan keuangan publik yang dikemukakan oleh Gruber (2011: 3), yaitu:

“When should the government intervene in the economy? How might the government intervene? What is the effect of those interventions on economic outcomes? Why do government choose to intervene in the way that they do?”

Keempat pertanyaan tersebut sewajarnya juga menjadi pertanyaan bagi aparat Pemerintah Kabupaten Kaimana tatkala menyusun rencana dan strategi dalam membangun jalan.

Rencana dan strategi dimaksud harus mampu memastikan berlangsungnya pembangunan di berbagai bidang kehidupan masyarakat di Kabupaten Kaimana. Menurut Todaro dan Smith (2003: 22):

We may conclude that development is both a physical reality and a state of mind in which society has, through some combination of social, economic, and institutional processes, secured the means for obtaining a better life.”

Selanjutnya ditambahkan bahwa apapun komponen spesifik dari kehidupan yang lebih baik, pembangunan masyarakat setidak-tidaknya harus memiliki 3 tujuan, yaitu:

1. untuk meningkatkan ketersediaan dan distribusi yang lebih luas dari barang-barang yang diperlukan untuk mempertahankan hidup manusia, seperti makanan, hunian, kesehatan, dan perlindungan;

2. untuk meningkatkan tingkat kehidupan, seperti pendapatan yang lebih tinggi, penyediaan lebih banyak lapangan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan; serta

3. untuk memperluas kisaran pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi masyarakat.

Konsep yang dikemukakan Todaro dan Smith (2003) pada dasarnya sejalan dengan pandangan Blakely dan Bradshaw (2002) dalam konteks teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi regional atau daerah. Blakely dan Bradshaw (2002: 55) berpendapat bahwa pembangunan ekonomi daerah merupakan kombinasi di antara kapasitas daerah dengan sumber daya yang dimiliki oleh daerah. Oleh karena itu, pembangunan jalan diharapkan mampu mendorong pengembangan kapasitas daerah dan sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia. Bendavid-Val (1991: 21) telah lama mengingatkan bahwa:

“Regional development planning is not planning of a region; it is planning for a region. It is an effort organized to establish overall regional economics development objectives, collect and analyze information, and generate and evaluate project proposals within a strategic framework for regional development.”

Secara teknis, upaya membangun jaringan jalan yang efektif bagi pembangunan merupakan bagian dari penyelenggaraan jalan sebagaimana telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan. Pada pasal 1 butir 5 disebutkan bahwa penyelenggaraan jalan adalah

kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan. Selanjutnya yang dimaksudkan dengan pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, dan penyusunan peraturan perundang-undangan jalan. Sedangkan pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan jalan.

Pembangunan jalan dalam pasal 1 butir 8 PP No. 34 Tahun 2006 didefinisikan sebagai kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan. Kemudian pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan, dan pembangunan jalan. Penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya. Adapun sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarki.

Selain ketentuan-ketentuan umum, PP No. 34 Tahun 2006 sebagai salah satu instrumen kebijakan publik mengatur berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan jalan yang pada dasarnya juga merupakan harapan terhadap kemanfaatan pembangunan jaringan jalan. Misalnya, dinyatakan bahwa penyelenggaraan jalan umum dilakukan dengan mengutamakan pembangunan jaringan jalan di pusat-pusat produksi serta jalan-jalan yang

menghubungkan pusat-pusat produksi dengan daerah pemasaran. Lebih jauh lagi, penyelenggaraan jalan umum diarahkan untuk pembangunan jaringan jalan dalam rangka memperkokoh kesatuan wilayah nasional sehingga menjangkau daerah terpencil.

Secara lebih spesifik, penyelenggaraan jalan umum diarahkan untuk mewujudkan peri kehidupan rakyat yang serasi dengan tingkat kemajuan yang sama, merata, dan seimbang serta daya guna dan hasil guna upaya pertahanan keamanan negara. Diingatkan bahwa penyelenggara jalan umum wajib mengusahakan agar jalan dapat digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, dengan mengusahakan agar biaya umum perjalanan menjadi serendah- rendahnya. Penyelenggara jalan umum wajib mendorong ke arah terwujudnya keseimbangan antardaerah, dalam hal pertumbuhannya mempertimbangkan satuan wilayah pengembangan dan orientasi geografis pemasaran sesuai dengan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional yang dituju. Selanjutnya, penyelenggara jalan umum wajib mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah yang sudah berkembang agar pertumbuhannya tidak terhambat oleh kurang memadainya prasarana transportasi jalan, yang disusun dengan mempertimbangkan pelayanan kegiatan perkotaan.

Pada pasal 4 ayat (4) PP No. 34 Tahun 2006 tertulis bahwa dalam usaha mewujudkan pelayanan jasa distribusi yang seimbang, penyelenggara jalan umum wajib memperhatikan bahwa jalan merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan. Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan

jaringan jalan yang terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hierarki. Sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu pada rencana tata ruang wilayah dan dengan memperhatikan keterhubungan antarkawasan dan/atau dalam kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan. Kemudian pada pasal 7 tertera bahwa sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut:

1. menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan; dan 2. menghubungkan antarpusat kegiatan nasional.

Adapun sistem jaringan jalan sekunder (pasal 8) disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil.

Selanjutnya dalam pembangunan jaringan jalan pada bab X pasal 34 UU 38 Tentang jalan, menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam menentukan pilihan terhadap penetapan lokasi pembangunan jalan menjadi sesutau yang tidak bisa diabaikan dan merupakan wujud dari pendekatan partisipatif dalam proses perencanaan pembangunan yang inklusif.

Jaarsma (2000: 4) mengemukakan suatu pendekatan baru dalam perencanaan jaringan jalan yang berbentuk segitiga. Ide ini bersumber dari perlunya sinkronisasi di antara perencanaan penggunaan lahan secara berkelanjutan dengan perencanaan pembangunan jalan perdesaan. Untuk mendapatkan suatu sistem perjalanan yang aman dan efisien, pertama-tama dibutuhkan penetapan klasifikasi fungsi dari jaringan jalan. Penetapan fungsi jalan perdesaan yang menghubungkannya dengan jalan regional sudah seharusnya didasarkan pada inventori dan kondisi saat ini, rencana transportasi regional, dan penggunaan lahan. Selanjutnya dilakukan harmonisasi di antara fungsi yang diinginkan, aspek teknis, dan karakteristik perjalanan. Pada tahap terakhir, karakteristik dari setiap jalan, seperti volume dan kecepatan mobil, dibandingkan dengan karakteristik yang dimiliki jalan sebagaimana penetapan fungsinya.

Gambar 2.1. Hubungan Antara Fungsi, Desain, dan Penggunaan Jalan

Sumber: Jaarsma (2000: 4).

Selain dengan melihat pada fungsinya, pengelolaan jaringan jalan juga dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan nilai aset. Konservasi nilai aset inheren dari jaringan jalan seringkali diekspresikan dalam bentuk

Pengguna an Jalan Desain Jalan Fungsi Jalan

uang. Ide dasarnya menurut Howe (1999: 14) sangat sederhana. Pertama, nilai aset saat ini dari setiap jaringan jalan pada titik waktu tertentu dapat diestimasi dalam bentuk moneter dengan tingkat akurasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, minimnya pemeliharaan akan merusak kondisi fisik jaringan jalan yang disebabkan oleh pengaruh cuaca dan penggunaan jalan atau akaibat beban repetisi kendaraan. Kondisi ini akan mengurangi nilai aset jalan secara terus-menerus. Ketiga, investasi yang dilakukan untuk merehabilitasi jaringan jalan yang rusak atau membangun jalan baru akan meningkatkan nilai aset jaringan jalan, namun seringkali hanya merupakan kompensasi dari rusaknya jaringan jalan yang tidak dipelihara.

Sebagai implementasi terhadap suatu kebijakan, pembangunan jaringan jalan diharapkan mendatangkan manfaat yang besar. Namun, tidak jarang suatu kebijakan justru mengakibatkan pemborosan dan tanpa manfaat yang jelas. Den Bosch dan Cantillon di dalam Moran, Rein, dan Goodin (2006: 296) bahkan menuliskan “Certainly, mistaken policies can have disastrous results”. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut, maka sebagai pembelajaran, para analis kebijakan telah mengembangkan beragam pendekatan untuk menilai dampak kebijakan. Beberapa diantaranya adalah: 1. social experiments;

2. difference-in-difference approach atau before-after approach; dan 3. cross-sectional method atau comparative method.

Dalam praktik analisis dampak kebijakan, khususnya untuk penerapan kebijakan di bidang ekonomi, Den Bosch dan Cantillon di dalam Moran, Rein, dan Goodin (2006: 313-314) mengingatkan bahwa suatu teori, terutama teori ekonomi, secara umum tidak memadai untuk memperkirakan

dampak dari kebijakan. Teori dapat menjadi panduan untuk mengidentifikasi hal-hal yang ingin dicari, tetapi seringkali arah dari pengaruh, dan hampir selalu besarannya, hanya dapat ditemukan melalui kajian empirik.

Penilaian dampak kebijakan pada dasarnya merupakan bagian dari evaluasi terhadap suatu kebijakan tertentu. Evaluasi kebijakan menurut Bovens, Hart, dan Kuipers dalam Moran, Rein, dan Goodin (2006: 319) mengacu pada penilaian ex post terhadap kekuatan dan kelemahan dari berbagai proyek dan program kebijakan. Wildavsky (1987) mengemukakan bahwa “Policy analysis’s mission to “speak truth to power” is laudable, and should be continued forcefully, ...” (Moran, Rein, dan Goodin, 2006: 319). Dalam konteks analisis kebijakan yang ideal, evaluasi kebijakan merupakan suatu alat yang sangat diperlukan untuk keperluan umpan balik, pembelajaran, dan perbaikan.

Evaluasi kebijakan seringkali tidak hanya mampu menunjukkan derajat efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan suatu atau beberapa kebijakan, namun juga mampu menunjukkan berbagai bias atau kendala dalam perencanaan dan implementasi kebijakan. Salah satu kendala yang menonjol dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan jaringan jalan di daerah, termasuk di Kabupaten Kaimana, adalah menyangkut koordinasi antarlembaga, khususnya di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten. Situasi ini dapat didiskusikan melalui pendekatan analisis jaringan kebijakan.

Rhodes menuliskan bahwa analisis jaringan hadir dalam beragam kedok dan sudah merupakan fenomena yang umum dalam semua disiplin ilmu sosial (Moran, Rein, dan Goodin, 2006: 425). Beberapa bentuk analisis jaringan yang dikenal selama ini adalah:

1. social network analysis (Scott, 2000);

2. network society created by the information revolution (Castells, 2000); 3. actor-centered networks of technological diffusion (Callon, Rap, dan Rip,

1986); dan

4. cross-cultural analysis (Linn, 1999).

Suatu jaringan kebijakan merupakan salah satu klaster dari konsep yang memfokuskan pada hubungan pemerintah dengan aktor-aktor sosial lainnya.

Terminologi jaringan kebijakan pada umumnya digunakan dalam 3 cara utama pada berbagai literatur, yaitu (Rhodes dalam Moran, Rein, dan Goodin, 2006: 426):

1. sebagai suatu deskripsi pemerintah dalam bekerja;

2. sebagai suatu teori untuk menganalisis pembuatan kebijakan pemerintah; dan

3. sebagai suatu preskripsi untuk mereformasi manajemen publik.

Sebagai suatu deskripsi, analisis jaringan kebijakan mencakup jaringan sebagai intermediasi kepentingan, analisis lintas lembaga, dan tata kelola. Sedangkan sebagai suatu teori, analisis jaringan kebijakan mendiskusikan ketergantungan kekuatan dan pilihan rasional.

Dalam dokumen Proposal Disertasi NEK change sdh di rev (Halaman 34-47)

Dokumen terkait