• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Hinduisme a. Pengaruh Hindu

Pengaruh Hinduisme yang paling mengakar dalam adalah di Jawa, dan terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga Bali. Hinduisme memberikan tata tulis, perhitungan tahun Saka, serta sastra yang mengandung filsafat keagamaan beserta ajaran mistik yang cukup halus. Hinduisme memberikan dan mengangkat budaya intelektual selapis suku Jawa dan melahirkan kerajaan-kerajaan besar dengan budaya religi animisme dan dinamisme yang asli dan telah mengakar dengan berbagai macam tradisi dan aturan-aturan (hukum) adatnya.

Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa dalam abad ke-VI dan ke-VII Masehi terdapat beberapa negara Hindu di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Raja menjadi poros seluruh kerajaan. Sejarah lebih dari seribu tahun perkembangan kebudayaan Hindu-Jawa menghasilkan suatu pembagian masyarakat Jawa ke dalam rakyat di desa-desa di satu pihak dan keraton di lain pihak, yang daripadanya kekuasaan ghaib mengalir ke daerah membawa kesuburan, pembagian mana dalam pemisahan antara rakyat kecil dan elite terdidik tetap bertahan sampai sekarang. Apabila dalam lingkungan keraton mengalami banyak perubahan dari segi politik, budaya, dan keagamaan, sebaliknya desa Jawa justru mempertahankan ciri-ciri tradisionalnya seperti kepercayaan pada roh-roh, rasa kekeluargaan, dan konservativismenya, namun kedua lingkungan itu tidak bereksistensi berdampingan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan mereka juga saling melengkapi. Bentuk pertanian intensif yang berdasarkan persawahan merupakan prestasi asli orang Jawa. Sedangkan pengaruh-pengaruh kebudayaan India menunjang perkembangan lingkungan keraton ke arah yang telah diambil sebelumnya.

Hinduisme tidak mematikan budaya Jawa asli, akan tetapi justru memupuk dan menyuburkan kebudayaan Jawa asli. Tidak hanya itu, Hinduisme

commit to user

meningkatkan filsafat hidup dan wawasan tentang alam raya beserta teori-teori kenegaraan yang diperintahkan oleh raja-raja yang keramat sebagai wakil para dewa untuk mengatur kehidupan masyarakat yang diberkati oleh para dewa. Oleh karena itu, Hinduisme kemudian mengakar dalam dan menjadi penyangga kebudayaan priyayi Kejawen yang menjulang di lingkungan istana kerajaan-kerajaan, serta membentuk tradisi besar, sedangkan masyarakat desa Jawa yang hanya tersentuh sedikit kebudayaan Hinduisme tetap buta huruf dan mewujudkan tradisi kecil dalam budaya Jawa. Kebudayaan animisme dan dinamisme masyarakat Jawa tetap bertahan serta ikut menjiwai pula dalam pola kebudayaan priyayi di lingkungan tradisi besar (Simuh, 2000: 6).

Bagi Legge, dalam Franz Magnis ( 2001: 30) hubungan timbal balik antara desa dan raja merupakan sumbangan zaman Hindu Jawa yang menentukan kepada masyarakat Indonesia. Pada akhir zaman Hindu Jawa semangat Jawa asli semakin berjaya. Sesudah unsur-unsur berharga dari Siwaisme, Wisnuisme, dan Budhiisme ditampung, unsur-unsur itu dijadikan wahana bagi paham-paham Jawa asli seperti penghormatan terhadap nenek moyang, pandangan-pandangan tentang kematian dan penebusan, kepercayaan pada kekuasaan kosmis, dan mitos-mitos suku kuno. Agama-agama impor diresapi oleh kebudayaan Jawa sampai menjadi ungkapan identitas Jawa sendiri.

2.Islamisasi

a. Pengaruh Islam

Agama berasal dari kata a yang artinya tidak, dan gama yang artinya

rusak. Suatu keyakinan bila dipatuhi ajarannya tidak akan membuat pribadi dan masyarakat rusak. Agama dalam pandangan orang Jawa sama dengan busana, atau

ageman yang berarti pakaian. Warga negara yang mulia tentu akan

memperhatikan ajaran agama, ajaran leluhur sebagai yang tertera dalam Kitab Suci. Kewibawaan seorang pemimpin yang dituntun oleh ajaran agama akan terbebas dari perbuatan aniaya, nista dan hina yang dapat meruntuhkan derajat dan martabatnya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

Prinsip kepemimpinan orang Jawa menuntut agar pemimpin selain memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah dan adiluhung di depan pengikutnya. Kepemimpinan yang agamis selalu mementingkan kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah. Sehingga pada hakekatnya, orang Jawa lampau tidak membedakan antara sikap-sikap religius dan bukan religius. Bahkan interaksi-interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam. Sebaliknya sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevan sosial. Antara pekerja, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki (Fachry Ali, 1986).

Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rahmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia. Dalam Al-Qur’an surat Toha ayat 2 menerangkan bahwa “Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah”. Dari firman Allah tersebut menjelaskan bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an, akan dijamin oleh Allah kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.

Dalam penyebaran agama Islam ada dua lembaga yang memegang peranan penting, yakni langgar dan pesantren (Darusuprapto, 1976). Langgar merupakan pengajaran agama permulaan, sedangkan pelajaran lanjut dan mendalam diberikan di pesantren.

Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran –an, berati tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja (2004:26-27), yang dikutip oleh Haidar Putra Daulay, mengatakan pesantren dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunya arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengatakan pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu tentang agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian.

commit to user

Pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain pendidikan Islam merupakan suatu bentuk kepribadian utama yakni kepribadian muslim, kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih, memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri, berderajad tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan ajaran Allah (Djamaluddin, 1999:9)

Sejak masa muda Paku Buwana IV mempunyai hubungan dengan para ulama di sekitar Surakarta, dan ketika menjadi Sunan memudahkan membangun ikatan politik. Paku Buwana IV pernah memperdalam agama dengan Kyai Imam Syuhada (1745-1843) dari Pesantren Wanareja, Bekonang. Imam Syuhada adalah putra Kyai Trunasura, Bagelen, dan cucu Kyai Ageng Baidlowi, Purwareja. Imam Syuhada mendapat pendidikan keagamaan dari orangtuanya dan pesantren kakeknya di Purwareja. Imam Syuhada selanjutnya menimba ilmu di Pesantren Jatisaba asuhan Kyai Khotib Iman. Pemimpin Pesantren Jatisaba ini juga sebagai abdi dalem ulama Keraton Kasunanan bertugas menjadi Khatib Masjid Agung. Imam Syuhada ketika diperintah mendirikan pesantren di Wanareja, mendapat bantuan Paku Buwana IV, meliputi ompak (penyangga tiang), soko (tiang), mustaka (kubah), mimbar, dan lampu katrol (Supariadi, 2001: 146-159).

Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).

Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

kereta emas yang ada di Keraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan bagi orang- orang tua pada umumnya; 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier, 1985:55).

Santri merupakan unsur yang penting dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).

b. Hakekat Islam

Hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Menurut Fitzgerald bahwa: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain". Seperti yang dikemukakan oleh Gibb bahwa Islam bukanlah sekedar kepercayaan agama individual, namun ia

commit to user

meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi (Dhiauddin Rais, 2001:4-5).

Dalam sejarah Kerajaan di Surakarta, raja dan bangsawan menyukai Islam lokal daripada Islam trans-nasional. Penerimaan Islam lokal bukan disebabkan

menjalankan syariat, tetapi kekuatan Islam telah mengatasi sosial budaya, masalah sosial politik ekonomi dan sosial. Pembangunan Islam lokal menghasilkan tiga varian pemimpin yang cendekiawan muslim birokrasi, non-birokrasi, dan sinkretisme (Fachry Ali, 2004). Muslim birokrasi sarjana berada di istana, sementara sarjana Muslim non-birokrasi dan pemimpin sinkretisme mereka berada di masyarakat. sarjana Muslim non-birokrasi dan sinkretisme adalah oposisi dari istana dan pemerintah Belanda.

Dalam sistem Kerajaan-kerajaan di Jawa mempunyai konsep bahwa kekuasaan raja adalah absolut (mutlak), dimana raja adalah segala-galanya. Raja memiliki kekuasaan yang sangat besar, tidak hanya seorang dari kawula-nya,

tetapi juga harta bendanya. Raja juga dianggap seorang wenang sisesa ing

sanagari, yang berwenang tertinggi di seluruh negeri, sehingga rakyat harus

dherek kersa dalem (mengikuti apa kehendak raja). Doktrin semacam itu kemudian melahirkan sistem pemerintahan yang mengarah pada tiran. Setiap raja akan berusaha sendiri-sendiri untuk menghadapai pesaing yang datang. Moedjanto (1987) menyebutkan dua alasan utama:

1) Hukum adat waris tahta tidak menjamin kedudukan penguasa atau raja yang

bersangkutan,

2) Sejarah membuktikan, bahwa raja Mataram yang memperoleh kedudukan

dengan melakukan pergeseran kekuasaan.

Proses alih kekuasaan di Kerajaan Mataram cukup bervariasi, dengan berbagai latar belakang konflik yang mengiringi. Tidak hanya dari internal kerajaan, campur tangan pihak luar pun juga dominan dalam proses pergantian tahta di Kerajaan Mataram. Tentu saja pihak luar itu mempunyai maksud untuk memuluskan kepentingan politik mereka. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan politik untuk mengungkapkan masalah-masalah yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

berhubungan dengan distribusi kekuasaan di antar berbagai kelompok masyarakat. Koalisi-koalisi politik, intrik-intrik, manuver-manuver politik, dan konflik-konflik yang ada.

Menurut Isjwara (1966: 344) “politik merupakan perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, teknik menjalankan kekuasaan, masalah-masalah pelaksanaan atau control kekuasaan, dan pembentukan atau penggunaan kekuasaan”. Ada beberapa konsep pokok dalam politik, seperti dijelaskan oleh Miriam Budiardjo (2004: 9) bahwa: “Politik mengandung konsep-konsep pokok, yaitu negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionmaking), kebijaksanaan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)”.

Menurut Miriam Budiarjo teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi itu teori selalu memakai konsep-konsep. Konsep itu lahir dalam pikiran manusia dan karena itu bersifat abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. Teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan perkataan lain teori politik adalah renungan atas: (a). Tujuan dari kegiatan politik; (b). Cara-cara mencapai tujuan itu; (c). Kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik yang tertentu; dan (d). Kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik itu.

Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup antara lain masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga Negara, perubahan social, pembangunan politik, modernisasi, dan sebagainya (Budiarjo, 2005: 3).

Dalam peter worsley 1973:247. berpendapat istilah politik adalah: … kita dapat dikatakan bertindak secara politis apabila kita mengahalangi orang lain sehingga mereka bertindak sesuai dengan apa yang kita inginkan dari mereka…. Dengan definisi ini , tindakan menghalangi dalam hubungan apa pun bersifat politis. Semua jenis tekanan, mulai dari perang massal penyiksaan yang terorganisir, sampai pada nilai-nilai yang tersembunyi dalam pembicaraan antar pribadi, semua itu merupakan dimensi yang bersifat politis.

commit to user

Setiap masyarakat mempunyai organisasi baik formal maupun non-formal, dan untuk menjalankannya dibutuhkan pelaksana. Pelaksana membutuhkan kekuasaan untuk mewujudkan rencana-rencana masyarakat. Kekuasaan diberikan untuk mengatur cara hidup bersama. Kekuasaan menjadi penting larena kekuasaan adalah kemampuan seorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Mariam Budiardjo, 1998:10).

Kekuasaan erat sekali dengan kebijaksanaan atau kebijakan. Kekuasaan memunculkan kebijakan, dan kebijakan akan berlaku apabila disertai dengan kekuasaan. Dalam suatu kawanan politik (negara atau kerajaan), kekuasaan seseorang akan mempengaruhi kebijakasanaannya dalam mencapai suatu tujuan. Pencapai tujuan dilakukan melalui interaksi sosial, komunikasi politik dan hubungan lainnya dengan masyarakat yang dipimpinnya.

Sistem politik suatu masyarakat berkaitan dengan aktivitas-aktivitas lainnya. Di Jawa, para raja memerintah dipengaruhi oleh faktor kedudukan, status dan simbol-simbol tertentu yang tujuannya untuk memperkuat kekuasaan. Kekuasaan yang kuat mempunyai otoritas penuh untuk memerintah rakyat, kehidupan politik suatu masyarakat merupakan sistem aktivitas-aktivitas yang saling berkaitan. Di samping itu, politik erat kaitannya dengan wewenang. Suatu hak yang telah ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah yang penting untuk menyelesaikan pertentangan-pertentanga (Soerjono Soekanto, 1977:172). Para raja di Jawa mempunyai wewenang tak terbatas yang diperoleh dari rakyat, wong cilik yang dipimpinnya.

Kekuasaan dan wewenang menjadi unsur pokok dalam menjalankan suatu roda pemerintahan. Untuk memperolehnya diperlukan suatu kekuatan dari pemegang kekuasaan. Menurut pemikiran tradisional Jawa, kekuasaan terletak pada keberhasilan dan kegagalan para penguasa untuk memusatkan ”kuasa” batinnya melalui cara-cara tertentu (Benedict Anderson, 1983:3). Agar raja atau pemegang kekuasaan mempunyai kekuatan adi kodrati, supranatural bahkan cenderung mistik-mitologis.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Kuatnya kultus nenek moyang terutama para raja yang memerintah, mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Raja dianggap sebagai pusat dari kekuatan alam (kosmos). Keistimewaan raja mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap sosok raja, hal itu yang menimbulkan kekaguman, kewibawaan dan menambah bobot segala titahnya. Raja adalah pemimpin, oleh kerena itu jika berbicara harus dipikirkan benar, karena apa yang telah dikatakan

tidak boleh ditarik kembali. Itulah sebabnya ia disebut raja (Sabda Pandita Ratu)

(Depdikbud, 1992:158).

Setiap apa yang menjadi keputusan, perintah dan kebijakan raja bahkan segala macam benda pusaka yang bernilai bertuah “sakti”, karya sastra akan mempengaruhi kekuatan politik seorang raja. Kekuatan sastra raja juga dapat mempengaruhi politik, kultus terhadap raja menambah pamor dari karya sastra, karena ada anggapan karya sastra mempunyai sifat keramat, keyakinan tersebut tidak terlepas dari pandangan masyarakat pada waktu itu yang menganggap benda-benda termasuk karta sastra yang bersifat sacral (Maharsi, 2001: 102). Politik dapat mempengaruhi aktivitas-aktivitas manusia dibidang kehidupan lainnya termasuk dalam sastra.

Karya sastra sebagai cara memberi kesadaran dan motivasi kepada

orang-orang yang diperintah salah satu caranya dengan internalized motivations, yaitu

suatu pendekatan untuk memotivasi bawahan dan masyarakat yang memerlukan penanaman kerja kepada mereka…cara ini dapat bertahan sepanjang kesadaran itu muncul dari niat yang tulus (Inu Kencana Syafi’i, 1997:60).

Menurut Duverger (1993:XII-XIII), terdapat dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan, yaitu: 1). Orang melihat politik sebagai arena pertarungan atau medan pertempuran. Kekuasaan digunakan orang yang berhasil merebut dan mengotrol politik untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya di dalam masyarakat. Di samping itu, ada pihak lain yang ingin menentang dan merebut kekuasaan untuk tujuan yang sama sehingga kekuasaan memainkan peranan sebagai biang konflik politik. 2). Orang menganggap bahwa politik adalah suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum untuk melawan

commit to user

tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan, Sehingga kekuasaan memainkan peranan integrative, memihak, dan melindungi kepentingan bersama.

Kedua dimensi kekuasaan tersebut selalu muncul dalam kehidupan politik. Kekuasaan sebagai biang konflik atau perpecahan selalu disertai oleh kekuasaan sebagai benih integrasi. Jadi, kekuasaan bisa mendorong orang untuk berkonflik, tetapi pada waktu yang sama juga bisa mendorong kerjasama atau integritas.

Menurut Webster (1966), istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti perkelahian, peperangan, atau perjuangan, yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Menurut Webster lebih lanjut, konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.

Dalam sejarah konflik politik antara Paku Buwana II, Pangeran

Mangkubumi, dan Raden Mas Said, juga menyeret orang ke dalam konflik politik. Konflik butuh waktu lama dan tidak bisa selesai, dan juga mengajak koloni untuk menjadi bagian dari konflik ini. Akibat dari konflik tersebut Mataram terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran.

Di Surakarta, masalah-masalah intern terus berkembang. Ketidakcakapan Paku Buana III secara umum, berbagai persengkokolan istana, dan perilaku pajabat-pejabat VOC yang buruk telah mengancam keamanan dan kestabilitas kerajaan. Keresahan politik dan ekonomi akibat pembagian kekuasaan Mataram memaksa Paku Buwana IV memperkenalkan pemikiran Politik Islam dalam

menjalankan pemerintahannya. Pengangkatan para ulama menjadi abdi dalem

kinasih (abdi dalem kepercayaan) merupakan upaya konsolidasi yang dilakukan

oleh Paku Buwana IV untuk memperkenalkan politik din Islam-Dawlah dalam

birokrasi kerajaannya. Konsolidasi internal adalah meminta seluruh sentana dan

abdi dalem untuk memperkuat nilai-nilai Islam sebagai pedoman hidup, sementara konsolidasi eksternal membuat hubungan politik dengan pesantren di sekitar Surakarta. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Paku Buwana IV mencoba membangun kekuatan berdasarkan keseimbangan antara kekuasaan politik dan kekuasaan sosial. Paku buwana IV politiknya pro-Islam dan anti Belanda dengan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

pergi ke masjid dan memberikan khotbah (Aan Kumar, 1990:105). Melalui

idealisme Paku Buwana IV ini, Islam dijadikan legitimasi politik yang awalnya dipengaruhi oleh para ulama kharismatik yang ada di Keraton.

B. Kerangka Berpikir Keterangan:

Masuknya agama Islam ke keraton Surakarta, turut membantu dalam pembentukan perpolitikan yang terjadi di dalam kerajaan Surakarta. Mulai dari Sultan Agung, Islam menjadi dasar untuk melakukan dan menyebarkan legitimasi kekuasaan. Setelah turunnya Sultan Agung, agaknya politik yang dibangun atas dasar Islam mulai lemah dan menurun. Seiring dengan menurutnya kredibilitas raja yang cenderung memihak dan bersekutu dengan VOC. Melihat kondisi seperti itu, Paku Buwana IV mulai bangkit dan mengembalikan Islam sebagai kekuatan politik dengan mengadakan konsolidasi Islam, yakni dengan melakukan kerjasama dengan ulama kharismatik yang ada di Surakarta. Paku Buwana IV

berharap melalui idealismenya, konflik yang terjadi setelah palihan nagari

Ulama Kharismatik Paku Buwana IV Keraton Surakarta Pesantren Konsolidasi Belanda Islamisasi

commit to user

mampu diredam serta ingin mengangkat kekuasaan atas Keraton Kasunanan Surakarta yang telah mengalami penurunan sejak palihan nagari.

Selain itu pemikiran Paku Buwana IV tentang politik Islam melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dengan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan Negara betul-betul organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam. Tipologi ini, Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik.

Di tengah kondisi keraton yang tidak stabil akibat adanya intrik dan provokasi dari VOC serta adanya perseteruan baik intern maupun ekstern

Dokumen terkait