• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788 1820(Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788 1820(Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820

(Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)

SKRIPSI

Oleh :

SITI ZULAIHAH

K4407040

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820

(Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)

Oleh:

SITI ZULAIHAH

NIM: K4407040

SKRIPSI

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar

Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

(4)

commit to user

(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

ABSTRAK

Siti Zulaihah. K4407040. ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli. 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta pada tahun 1788-1820, (2) Idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan yang ada di Keraton Surakarta tahun 1788-1820, (3) Dampak idealisme Paku Buwana IV di dalam pemerintahan Keraton Surakarta tahun 1788-1820.

Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis historis yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta sejarah.

(6)

commit to user

vi

ABSTRACT

Siti Zulaihah

. K4407040. ISLAMIZATION IN THE PALACE OF

SURAKARTA AN ANALYSIS (Islamic Political Thought of Paku

Buwana IV).

Thesis, Surakarta

:

Faculty of

Teacher Training and

Education

, Sebelas Maret

University ofSurakarta

,

July.2011.

The purpose of this study was to determine

:

(1)

A

religious life at the Surakarta Palace in the year 1788-1820, (2) Paku Buwana IV Idealism about religious life in Surakarta Palace in 1788-1820, (3) The impact of Paku Buwana IV idealism in the government of the palace of Surakarta in 1788-1820.

This study uses historical methods. The steps of the methods include heuristics, criticism, interpretation and historiography. The data used primary sources and secondary sources. Data collection techniques using technique of literature study. The Analytical techniques was accuracy historical analysis which emphasizes on the sharpen in interpreting historical facts.

(7)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

MOTTO

Bila Sejarawan mulai membisu, hilanglah kebesaran masa depan generasi bangsa. (Ahmad Mansur Suryanegara)

Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad Perhatikan sejarahmu untuk hari esok

(QS. Al-Hasyr : ayat 18)

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai….

(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan:

1. Ibunda tercinta yang selalu mendoakan disetiap sujud dan tahajudnya.

2. Buat kakakku: mbak Kurni dan mas Dwi, mbak Rahma dan mas Danang serta adikku tersayang, Febriana.

3. Teman-teman Motivasi: Anjar, Mufti, Desi, Djoko, Fitri, Margi, Duwi, Miko, mbak Tutut, mbak Septi dan semuanya yang selalu memberi semangat.

4. Buat Nadia, mbak Puji, Bety, Wulan, Iis, Dian, Nora, mas Iben’z, mas Andi dan semua teman2 Hiscom’07 yang tak bisa disebutkan satu persatu terimakasih.

(9)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah...

Puji syukur penulis panjatkan ke Illahi rabbi, atas rahmat dan hidayah-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan.

Banyak hambatan yang penulis hadapi dalam penyelesaikan penulisan

skripsi ini, namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi ijin penyusunan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program Pendidikan Sejarah dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan dan ijin penyusunan skripsi.

4. Prof. Dr. Mulyoto, M.Pd. selaku Pembimbing I atas arahan dan bimbingan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

5. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. selaku Pembimbing II atas arahan dan bimbingan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

6. Staf dan serta karyawan Reksa Pustaka Mangkunegaran, perpustakaan Monumen Pers Surakarta, perpustakaan UIN Yogyakarta, perpustakaan UGM Yogyakarta, perpustakaan Pusat UNS, dan perpustakaan Program Studi Sejarah, yang membantu penulis dalam memperoleh sumber data.

7. Temen-teman di Program Studi Sejarah dan kawan-kawan LPM Motivasi. 8. Berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih ada kekurangan

sehingga segala kritik dan saran senantiasa penulis harapkan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan.

(10)

commit to user

x

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK .. ...….. ... v

ABSTRACT . ... .... vi

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 9

1. Hinduisme ... . 9

2. Islamisasi ... 12

B. Kerangka Berfikir ... 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

B. Metode Penelitian... . 22

C. Sumber Data ... 23

D. Teknik Pengumpulan Data ... 24

(11)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

F. Prosedur Penelitian ... 26

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820... 31 1. Islamisasi di Keraton Surakarta ... 31

2. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Masa Paku Buwana IV (1788-1820)... 35

B. Idealisme Paku Buwana IV dalam Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820... 43 C. Dampak Idealisme Paku Buwana IV dalam Pemerintahan Keraton Surakarta Tahun 1788-1720... 48

1. Pengaruh Islam Terhadap Pemerintahan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 ... 52

2. Munculnya Kritik Akibat Idealisme Paku Buwana IV Pada Masa Pemerintahannya ………...………. 56

3. Dampak Idealisme Paku Buwana Terhadap Pemerintahan di Keraton Surakarta ... 59

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65

B. Implikasi ... 66

C. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(12)

commit to user

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Jawa Tahun 1760 ... 73

Lampiran 2. Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggulo... 74

Lampiran 3. Transkripsi Serat Wulang Reh Pupuh Dandanggulo... 78

Lampiran 4. Artikel Joko Lodang... 79

Lampiran 5. Struktur Birokrasi ... 81

Lampiran 6. Foto ... 82

Lampiran 7. Serat Wicara Keras Pupuh Sinom ... 88

Lampiran 8. Transkripsi Serat Wicara Keras Pupuh Sinom ... 92

Lampiran 9. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ... 95

(13)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kedatangan Islam pertama-tama di Jawa tidak diketahui dengan pasti dan sulit diteliti, karena kurangnya sumber data yang mendukung. Bukti-bukti proses Islamisasi baru dapat diketahui lebih banyak sejak akhir abad ke-13 hingga abad berikutnya. Pada waktu itu kebudayaan spiritual orang Jawa telah menyerap pikiran Hindu dan Budha Mahayana paling sedikit selama seribu tahun (MC.Ricklefs, 1984: 14).

Islam yang datang dan berkembang di Indonesia adalah Islam yang dipengaruhi oleh ajaran mistik, yaitu Islam Sufi bukan Islam Sunni yang syar’i. Islam Sufi mempunyai dasar pemikiran yang sejajar dengan religi asli animisme dan dinamisme. Ajaran budaya Hindu-Kejawen yang dikembangkan oleh kerajaan-kerajaan Jawa pedalaman juga bersifat mistik, sehingga dasar pemikirannya sejalan dengan Islam Sufi. Dasar pemikiran tersebut adalah manusia bisa menjalin hubungan langsung dengan daya-daya dan roh-roh gaib. Bahkan dalam mistik samadi atau perantaraan dzikir manusia bisa dikatakan makrifat (berhadapan dengan Allah) atau bahkan bisa mengalami manunggal (bersatu) kembali dengan Tuhan-nya (Simuh, 2000: 9).

Ajaran-ajaran Islam Sufi kemudian berakulturasi dengan ajaran-ajaran kebudayaan Jawa asli dan kebudayan Hindu-Kejawen, sehingga terbentuk Islam Kejawen. Di Indonesia pemeluk agama Islam merupakan golongan mayoritas. Dalam masa perkembangan agama Islam di Jawa muncul aliran yang mengarah ke agama Islam Kejawen, yaitu agama Islam hasil sinkretisme dari paham ajaran Hindu dan Islam. Proses Pengislaman Kejawen ini sudah berlangsung sejak masa Kesultanan Demak (Rustopo, 2007: 28-29).

(14)

commit to user

secara resmi memeluk agama Islam, namun dalam gaya kehidupan pengaruh tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol (Franz Magnis, 2001: 31).

Peran ulama dalam Islamisasi juga bisa dilihat dalam sejarah Jawa. Lebih dari sekedar mengislamkan raja, ulama di Jawa sekaligus sebagai raja. Kisah legenda walisongo, sembilan orang wali (ulama) yang diyakini paling berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-15 adalah penguasa di wilayah-wilayah pantai Utara Jawa yang memang tengah berkembang menjadi kota-kota dagang (Jajat Burhanudin dan Ahmad Baedowi, 2003:3).

Taufik Abdullah (1987:119) mengatakan bahwa ”Islamisasi telah mencapai suatu proses konsolidasi politik yang lebih lanjut, dimana dagang, kekuasaan, dan agama telah terintegrasikan”. Maksudnya susunan kekuasaan yang dibangun bukanlah lagi semata-mata kekuatan dagang, melainkan juga kekuatan politik dan agama.

Hubungan antara Islam dan politik di Indonesia memiliki akar sejarah

yang sangat panjang, yakni sejak pertamakali Islam disebarkan di kepulauan

nusantara pada abad ke-13 dan 14 Masehi. Sepanjang perjalannnya tersebut, Islam

terlibat dalam masalah-masalah politik. Pada masa ini politik Islam memperoleh

bentuknya yang sangat nyata. Di bawah pengaruh kekuatan kolonialisme Barat

yang hegemonik secara politik, militer, ekonomi dan budaya, kekuatan Islam yang

laten dan tidak pernah mau tertundukkan dalam posisi tersudut, lebih

tertransformasi ke dalam bentuk politik dan ideologi. Dalam hal ini, bukan saja

pemimpin-pemimpin Islam tingkat lokal yang merupakan lawan utama serta

simbol perjuangan melawan penjajah. Namun di atas itu semua, Islam memiliki

kekayaan doktrinal dan pengalaman politik yang segera dapat ditransformasi atau

direkonstruksi menjadi ideologi dan keyakinan politik, tanpa harus meminjam

kepada ideologi manapun.

Islam juga mencoba untuk menjembatani berbagai partikularisme

kesukuan dan daerah, dengan melakukan persatuan Islam. Dalam konteks ini,

Islam berfungsi sebagai lambang pemersatu dan sekaligus sebagai ideologi

politik, sehingga menimbulkan kekuatan politik luar biasa. Seperti yang

(15)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

Perjuangan kaum Islam di Nusantara melawan penjajah Belanda dapat

dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, oposisi atau perlawanan yang dipimpin

para Sultan. Fase kedua, perlawanan yang dipimpin para bangsawan keraton. Fase

ketiga, perlawanan yang dipimpin para pemuka agama (ulama). Perang

Diponegoro (1825-1830), perang Banjarmasin (1858), dan Perang Aceh (akhir

abad ke-19 dan awal abad 20 ) merupakan bentuk nyata perlawanan terhadap

penguasa Belanda, meskipun Islam bukan satu-satunya alasan. Dengan

mengibarkan bendera Islam dan mengobarkan perang suci (jihad), Islam semakin

memperoleh peran dalam sejarah politik di Indonesia (Faisal Bakti, 1993:53-54).

Kasunanan Surakarta secara formal memang merupakan sebuah kerajaan

yang bercirikan keislaman. Ciri sebagai kerajaan Islam dapat dilihat dari adanya

jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya

peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan

gelar sayidin panatagama (artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur

Urusan Agama) oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton.

Disamping itu banyak upacara keraton yang juga mencerminkan sifat Islami,

seperti upacara garebeg yang dipandang sebagai upacara besar (Darsiti

Soeratman, 1989:139).

Nuansa keislaman telah mewarnai simbol-simbol budaya keraton

Kasunanan Surakarta, namun pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan

masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik, berbagai kepercayaan

pra Islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang, kepercayaan pada

makhluk halus, dan upacara ritual pra Islam lainnya merupakan bagian yang tidak

dapat dipisahkan dari kehidupan keagaman masyarakat keraton. Akhirnya

menjadi ciri keagamaan masyarakat keraton yang oleh para peneliti kemudian

dikenal dengan istilah Agami Jawa (Koentjaraningrat, 1956: 310).

Sifat Sinkretisme agama yang dihayati oleh masyarakat keraton

sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses Islamisasi di pedalaman Jawa itu

sendiri. Agama Islam masuk ke pedalaman Jawa tidaklah dalam bentuk murni

yang mementingkan hukum syariah, namun lebih banyak bercampur dengan

(16)

commit to user

Penekanan pada unsur mistik atau sufisme pada awal penyebaran Islam di pedalaman Jawa dapat dilihat dari tokoh-tokoh penyebarnya, seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Pandanaran (J.J. Raas, 1987: 56-60). Kedua tokoh penyebaran agama Islam ini memang mempunyai warna sufisme yang kental karena ingin menyesuaikan Islam dengan alam pemikiran masyarakat pedalaman Jawa. Oleh karena tekanannya pada tasawuf, maka proses Islamisasi di pedalaman Jawa tidak mengalami hambatan yang berarti. Hal ini berkaitan dengan adanya beberapa kesamaan antara pandangan dunia tradisional Jawa dan ajaran mistik atau tasawuf Islam.

Keharmonisan pola integrasi agama Islam di pedalaman Jawa dapat dilihat dari pandangan masyarakat Jawa terhadap para wali dan kyai penganjur agama Islam. Mereka tidak saja dianggap sebagai penyebar agama, melainkan juga dianggap sebagai penjaga budaya Jawa. Masyarakat Jawa bahkan percaya bahwa kesenian Wayang dan Gamelan merupakan sebagai puncak budaya Jawa merupakan karya para wali (Solochin Salam,1975). Ciri sufisme atau mistik Islam dengan demikian telah menemukan kecocokannya dalam pandangan dunia tradisional Jawa sehingga dapat mempercepat proses integrasi dan penyebaran agama Islam.

Sultan Agung berhasil meletakkan simbol Islam dalam sistem politik,

terlihat bahwa Sultan Agung untuk membuat kerjasama dengan birokrasi

non-sarjana Muslim. Ide Sultan Agung adalah bahwa Muslim non-sarjana non-birokrasi

dimanfaatkan untuk menghubungkan perbedaan politik antara Sultan Agung dan

bupati setelah invasi ke Batavia. Setelah kematian Sultan Agung, Amangkurat I

(1645-1677) dan Amangkrat II (1677-1703) mulai dekonstruksi sistem politik

Mataram. Maksudnya, politik keagamaan (religio-polical power) yang dibangun

oleh Sultan Agung, telah ditinggalkan oleh raja penerusnya dengan memilih

sistem sekularisme, sebagai upaya untuk mepertahankan perlengkapan

magis-religius dari pengaruh Islam.

Amangkurat I membunuh ulama dan santri (siswa di sekolah Islam

tradisional) di alun-alun kota Pleret (Karel A. Steenbrink, 1984 : 29-31).

(17)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

legitimasi politik dari ulama dan pesantren (tradisional Muslim sekolah),

meskipun pesantren yang mewakili basis massa dan memiliki ikatan perkawinan

dengan Mataram (Soemarsaid Moertono, 1985 : 37-39).

Raja yang sukses harus menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang

berlawanan di dalam kerajaannya tanpa mengurangi otonomi esensial mereka.

Bahkan suatu oposisi yang relative kecil jika tidak segera ditumpas, mungkin pada

akhirnya akan membawa pada keruntuhan total kekuasaan raja. Tiap raja yang

memerintah merasa berkewajiban untuk mengemban misi memperkuat dinasti,

sebab bilamana usahanya berhasil, maka itu sekaligus akan dapat memperkuat

kedudukannya sendiri di dalam dinasti. Para anggota dinasti Mataram akan

hormat kepada raja yang sedang memerintah bila ia berhasil membuat dinasti itu

jaya. Sebaliknya, kalau ia gagal mengemban misi, ia akan ditentang oleh sesama

anggota dinasti Mataram sendiri.

Bangsawan dan keraton adalah satu kesatuan integral yang saling

menguatkan kebangsawanan tidak akan berarti secara politis kalau ia tidak

dikokohkan oleh keraton. Bangsawan yang tidak memiliki keraton akan

mengalami kemerosotan status social. Demikian pula dengan keraton tidak akan

bisa menjadi institusi penting kalau tidak diperkuat oleh keterampilan politik dari

bangsawan yang setiap saat dengan daya kreasi mereka akan meningkatkan

“kewibawaan” keraton (Ari Dwipayana, 2004 : 245).

Perseteruan, intrik dan bahkan konflik dalam pergantian kekuasaan selalu

menyertai pergantian dalam sejarah Kerajaan di Jawa. Raja yang baru bertahta

selalu merasa terancam kedudukannya. Kekuasaan dianggap menjadi sesuatu

yang harus utuh dan bulat, tidak boleh tersaingi, terkotak-kotak ataupun

terbagi-bagi dengan orang lain. Keterlibatan Belanda dalam urusan-urusan Kesultanan

Mataram mencapai tahapnya yang kritis pada tahun 1740. Belanda tidaklah secara

konsekuen melaksanakan politik devide et empera di Mataram seperti halnya yang

mereka lakukan di Ternate dan Tidore. Percecokan dalam negeri antar

keluarga-keluarga kerajaan membuat setiap usaha Belanda untuk mengukuhkan sultan

(18)

commit to user

Di keraton Surakarta masalah-masalah intern terus berkembang. Ketidakcakapan Paku Buwana III secara umum, berbagai persengkokolan istana, dan perilaku pejabat-pejabat VOC mulai mengancam keamanan dan stabilitas istana, Pihak Belanda sepenuhnya mempercayai kesetiaan Paku Buwana III, tetapi mencemaskan kondisi kerajaan yang nyata-nyata lemah (M.C Ricklefs, 2002:

228). Paku Buwana III merasa sangat takut melukai perasaan VOC dan mudah

terpengaruh oleh VOC (sesungguhnya, ia mudah sekali dipengaruhi oleh hampir

semua orang).

Pada tahun 1788 Paku Buwana III wafat dan kedudukannya sebagai

Susuhunan Surakarta digantikan oleh putranya yang baru berusia 19 tahun, Paku

Buwana IV (1788-1820). Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat

Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga

dipercaya sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketaatan dalam

menjalankan agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat lima waktu, shalat

jumat, mengharamkan minuman keras dan candu sudah terlihat sejak muda ketika

masih berstatus sebagai putra mahkota.

Kegemaran Paku Buwana IV dalam mencari ilmu agama telah

mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai. Adakalanya

kyai dan guru agama mempunyai pengaruh kuat terhadap raja Surakarta, sehingga

tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya.

Pada awal tahun 1789, Paku Buwana IV mulai mengangkat kelompok

baru yang disenangi untuk menjadi pejabat-pejabat tinggi. Orang-orang ini

menganut ide-ide keagamaan yang ditentang oleh hierarki keagamaan yang sudah

mapan di Surakarta. Pengangkatan ulama bernama Bahman, Nur Saleh,

Wiradigda menjadi guru rohani keraton Surakarta. Pengaruh dan kekuasaan para

ulama tadi sangat besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya tindakan Paku

Buwana IV mengganti dua temenggung yaitu Mangkuyuda dan Pringgalaya,

diganti oleh Wiradigda dan Sujana Pura (Serat Tus Pajang, 1935:56).

Setiap kerajaan melakukan konsolidasi, apakah itu bersifat internal

maupun eksternal. Pengangkatan para ulama menjadi abdi dalem kinasih (abdi

(19)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

Buwana IV untuk memperkenalkan politik din Islam-Dawlah dalam birokrasi

kerajaannya. Paradigma Din-Dawlah merupakan keterkaitan antara agama dan

negara. Agama kebutuhan negara, karena melalui negara, agama memiliki

kemampuan untuk memperluas, dan Islam norma-norma dan nilai-nilai dapat

dibuat sebagai dasar etika dan juga politik moral.

Paku Buwana IV merupakan raja yang terkenal santri. Melalui pemikiran

atas dasar agama, Paku Buwana IV ingin menyeimbangkan antara agama dan

politik dalam menjalankan birokrasi kerajaannya. Berdasarkan latar belakang

masalah di atas maka penulis mengangkat suatu pokok penelitian dengan judul

ANALISIS ISLAMISASI DI KERATON SURAKARTA TAHUN 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820?

2. Bagaimana idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan keagamaan di

Keraton Surakarta tahun 1788-1820?

3. Bagaimana dampak idealisme Paku Buwana IV dalam pemerintahan

Keraton Surakarta tahun 1788-1820?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun

1788-1820.

2. Untuk mengetahui idealisme Paku Buwana IV dalam kehidupan

keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820.

3. Untuk mengetahui dampak idealisme Paku Buwana IV dalam

(20)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

a. Dapat memberikan gambaran mengenai kehidupan keagamaan di Keraton Surakarta tahun 1788-1820.

b. Dapat menambah referensi pengetahuan tentang peran Islam di Keraton Surakarta tahun 1788-1820.

Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

a. Memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana

pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

b. Bagi pembaca, khususnya mahasiswa Program Studi Sejarah FKIP

UNS agar digunakan sebagai bahan awal untuk meneliti tentang

Islamisasi yang terjadi di Keraton Surakarta pada umumnya dan

(21)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Hinduisme

a. Pengaruh Hindu

Pengaruh Hinduisme yang paling mengakar dalam adalah di Jawa, dan

terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga Bali. Hinduisme memberikan

tata tulis, perhitungan tahun Saka, serta sastra yang mengandung filsafat

keagamaan beserta ajaran mistik yang cukup halus. Hinduisme memberikan dan

mengangkat budaya intelektual selapis suku Jawa dan melahirkan

kerajaan-kerajaan besar dengan budaya religi animisme dan dinamisme yang asli dan telah

mengakar dengan berbagai macam tradisi dan aturan-aturan (hukum) adatnya.

Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa dalam abad ke-VI dan ke-VII

Masehi terdapat beberapa negara Hindu di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Raja

menjadi poros seluruh kerajaan. Sejarah lebih dari seribu tahun perkembangan

kebudayaan Hindu-Jawa menghasilkan suatu pembagian masyarakat Jawa ke

dalam rakyat di desa-desa di satu pihak dan keraton di lain pihak, yang

daripadanya kekuasaan ghaib mengalir ke daerah membawa kesuburan,

pembagian mana dalam pemisahan antara rakyat kecil dan elite terdidik tetap

bertahan sampai sekarang. Apabila dalam lingkungan keraton mengalami banyak

perubahan dari segi politik, budaya, dan keagamaan, sebaliknya desa Jawa justru

mempertahankan ciri-ciri tradisionalnya seperti kepercayaan pada roh-roh, rasa

kekeluargaan, dan konservativismenya, namun kedua lingkungan itu tidak

bereksistensi berdampingan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan mereka

juga saling melengkapi. Bentuk pertanian intensif yang berdasarkan persawahan

merupakan prestasi asli orang Jawa. Sedangkan pengaruh-pengaruh kebudayaan

India menunjang perkembangan lingkungan keraton ke arah yang telah diambil

sebelumnya.

Hinduisme tidak mematikan budaya Jawa asli, akan tetapi justru memupuk

(22)

commit to user

meningkatkan filsafat hidup dan wawasan tentang alam raya beserta teori-teori kenegaraan yang diperintahkan oleh raja-raja yang keramat sebagai wakil para dewa untuk mengatur kehidupan masyarakat yang diberkati oleh para dewa. Oleh karena itu, Hinduisme kemudian mengakar dalam dan menjadi penyangga kebudayaan priyayi Kejawen yang menjulang di lingkungan istana kerajaan-kerajaan, serta membentuk tradisi besar, sedangkan masyarakat desa Jawa yang hanya tersentuh sedikit kebudayaan Hinduisme tetap buta huruf dan mewujudkan tradisi kecil dalam budaya Jawa. Kebudayaan animisme dan dinamisme masyarakat Jawa tetap bertahan serta ikut menjiwai pula dalam pola kebudayaan priyayi di lingkungan tradisi besar (Simuh, 2000: 6).

Bagi Legge, dalam Franz Magnis ( 2001: 30) hubungan timbal balik antara desa dan raja merupakan sumbangan zaman Hindu Jawa yang menentukan kepada masyarakat Indonesia. Pada akhir zaman Hindu Jawa semangat Jawa asli semakin berjaya. Sesudah unsur-unsur berharga dari Siwaisme, Wisnuisme, dan Budhiisme ditampung, unsur-unsur itu dijadikan wahana bagi paham-paham Jawa asli seperti penghormatan terhadap nenek moyang, pandangan-pandangan tentang kematian dan penebusan, kepercayaan pada kekuasaan kosmis, dan mitos-mitos suku kuno. Agama-agama impor diresapi oleh kebudayaan Jawa sampai menjadi ungkapan

identitas Jawa sendiri.

2.Islamisasi

a. Pengaruh Islam

Agama berasal dari kata a yang artinya tidak, dan gama yang artinya

rusak. Suatu keyakinan bila dipatuhi ajarannya tidak akan membuat pribadi dan

masyarakat rusak. Agama dalam pandangan orang Jawa sama dengan busana, atau

ageman yang berarti pakaian. Warga negara yang mulia tentu akan

memperhatikan ajaran agama, ajaran leluhur sebagai yang tertera dalam Kitab

Suci. Kewibawaan seorang pemimpin yang dituntun oleh ajaran agama akan

terbebas dari perbuatan aniaya, nista dan hina yang dapat meruntuhkan derajat dan

(23)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

Prinsip kepemimpinan orang Jawa menuntut agar pemimpin selain memimpin secara formal juga pemimpin agama agar berkah dan adiluhung di depan pengikutnya. Kepemimpinan yang agamis selalu mementingkan kepentingan orang banyak dan menyantuni orang lemah. Sehingga pada hakekatnya, orang Jawa lampau tidak membedakan antara sikap-sikap religius dan bukan religius. Bahkan interaksi-interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam. Sebaliknya sikap terhadap alam sekaligus mempunyai relevan sosial. Antara pekerja, interaksi dan doa tidak ada perbedaan prinsip hakiki (Fachry Ali, 1986).

Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rahmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia. Dalam Al-Qur’an surat Toha ayat 2 menerangkan bahwa “Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah”. Dari firman Allah tersebut menjelaskan bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an, akan dijamin oleh Allah kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.

Dalam penyebaran agama Islam ada dua lembaga yang memegang peranan penting, yakni langgar dan pesantren (Darusuprapto, 1976). Langgar merupakan pengajaran agama permulaan, sedangkan pelajaran lanjut dan mendalam diberikan di pesantren.

(24)

commit to user

Pendidikan Islam yaitu bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain pendidikan Islam merupakan suatu bentuk kepribadian utama yakni kepribadian muslim, kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih, memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri, berderajad tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan ajaran Allah (Djamaluddin, 1999:9)

Sejak masa muda Paku Buwana IV mempunyai hubungan dengan para ulama di sekitar Surakarta, dan ketika menjadi Sunan memudahkan membangun ikatan politik. Paku Buwana IV pernah memperdalam agama dengan Kyai Imam Syuhada (1745-1843) dari Pesantren Wanareja, Bekonang. Imam Syuhada adalah putra Kyai Trunasura, Bagelen, dan cucu Kyai Ageng Baidlowi, Purwareja. Imam Syuhada mendapat pendidikan keagamaan dari orangtuanya dan pesantren kakeknya di Purwareja. Imam Syuhada selanjutnya menimba ilmu di Pesantren Jatisaba asuhan Kyai Khotib Iman. Pemimpin Pesantren Jatisaba ini juga sebagai abdi dalem ulama Keraton Kasunanan bertugas menjadi Khatib Masjid Agung.

Imam Syuhada ketika diperintah mendirikan pesantren di Wanareja, mendapat bantuan Paku Buwana IV, meliputi ompak (penyangga tiang), soko (tiang), mustaka (kubah), mimbar, dan lampu katrol (Supariadi, 2001: 146-159).

Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).

(25)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

kereta emas yang ada di Keraton Yogyakarta; 2. Gelar kehormatan bagi orang- orang tua pada umumnya; 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier, 1985:55).

Santri merupakan unsur yang penting dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri

tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).

b. Hakekat Islam

(26)

commit to user

meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi (Dhiauddin Rais, 2001:4-5).

Dalam sejarah Kerajaan di Surakarta, raja dan bangsawan menyukai Islam lokal daripada Islam trans-nasional. Penerimaan Islam lokal bukan disebabkan

menjalankan syariat, tetapi kekuatan Islam telah mengatasi sosial budaya, masalah

sosial politik ekonomi dan sosial. Pembangunan Islam lokal menghasilkan tiga

varian pemimpin yang cendekiawan muslim birokrasi, non-birokrasi, dan

sinkretisme (Fachry Ali, 2004). Muslim birokrasi sarjana berada di istana,

sementara sarjana Muslim non-birokrasi dan pemimpin sinkretisme mereka

berada di masyarakat. sarjana Muslim non-birokrasi dan sinkretisme adalah

oposisi dari istana dan pemerintah Belanda.

Dalam sistem Kerajaan-kerajaan di Jawa mempunyai konsep bahwa

kekuasaan raja adalah absolut (mutlak), dimana raja adalah segala-galanya. Raja

memiliki kekuasaan yang sangat besar, tidak hanya seorang dari kawula-nya,

tetapi juga harta bendanya. Raja juga dianggap seorang wenang sisesa ing

sanagari, yang berwenang tertinggi di seluruh negeri, sehingga rakyat harus

dherek kersa dalem (mengikuti apa kehendak raja). Doktrin semacam itu

kemudian melahirkan sistem pemerintahan yang mengarah pada tiran. Setiap raja

akan berusaha sendiri-sendiri untuk menghadapai pesaing yang datang.

Moedjanto (1987) menyebutkan dua alasan utama:

1) Hukum adat waris tahta tidak menjamin kedudukan penguasa atau raja yang

bersangkutan,

2) Sejarah membuktikan, bahwa raja Mataram yang memperoleh kedudukan

dengan melakukan pergeseran kekuasaan.

Proses alih kekuasaan di Kerajaan Mataram cukup bervariasi, dengan

berbagai latar belakang konflik yang mengiringi. Tidak hanya dari internal

kerajaan, campur tangan pihak luar pun juga dominan dalam proses pergantian

tahta di Kerajaan Mataram. Tentu saja pihak luar itu mempunyai maksud untuk

memuluskan kepentingan politik mereka. Oleh karena itu, penelitian ini

(27)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

berhubungan dengan distribusi kekuasaan di antar berbagai kelompok masyarakat. Koalisi-koalisi politik, intrik-intrik, manuver-manuver politik, dan konflik-konflik yang ada.

Menurut Isjwara (1966: 344) “politik merupakan perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, teknik menjalankan kekuasaan, masalah-masalah pelaksanaan atau control kekuasaan, dan pembentukan atau penggunaan kekuasaan”. Ada beberapa konsep pokok dalam politik, seperti dijelaskan oleh Miriam Budiardjo (2004: 9) bahwa: “Politik mengandung konsep-konsep pokok, yaitu negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionmaking), kebijaksanaan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)”.

Menurut Miriam Budiarjo teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai

beberapa fenomena. Dalam menyusun generalisasi itu teori selalu memakai

konsep-konsep. Konsep itu lahir dalam pikiran manusia dan karena itu bersifat

abstrak, sekalipun fakta-fakta dapat dipakai sebagai batu loncatan. Teori politik

adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan

perkataan lain teori politik adalah renungan atas: (a). Tujuan dari kegiatan politik;

(b). Cara-cara mencapai tujuan itu; (c). Kemungkinan-kemungkinan dan

kebutuhan-kebutuhan yang ditimbulkan oleh situasi politik yang tertentu; dan (d).

Kewajiban-kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan politik itu.

Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik mencakup antara lain

masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban,

kemerdekaan, lembaga-lembaga Negara, perubahan social, pembangunan politik,

modernisasi, dan sebagainya (Budiarjo, 2005: 3).

Dalam peter worsley 1973:247. berpendapat istilah politik adalah:

(28)

commit to user

Setiap masyarakat mempunyai organisasi baik formal maupun non-formal, dan untuk menjalankannya dibutuhkan pelaksana. Pelaksana membutuhkan kekuasaan untuk mewujudkan rencana-rencana masyarakat. Kekuasaan diberikan untuk mengatur cara hidup bersama. Kekuasaan menjadi penting larena kekuasaan adalah kemampuan seorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Mariam Budiardjo, 1998:10).

Kekuasaan erat sekali dengan kebijaksanaan atau kebijakan. Kekuasaan memunculkan kebijakan, dan kebijakan akan berlaku apabila disertai dengan kekuasaan. Dalam suatu kawanan politik (negara atau kerajaan), kekuasaan seseorang akan mempengaruhi kebijakasanaannya dalam mencapai suatu tujuan. Pencapai tujuan dilakukan melalui interaksi sosial, komunikasi politik dan hubungan lainnya dengan masyarakat yang dipimpinnya.

Sistem politik suatu masyarakat berkaitan dengan aktivitas-aktivitas lainnya. Di Jawa, para raja memerintah dipengaruhi oleh faktor kedudukan, status dan simbol-simbol tertentu yang tujuannya untuk memperkuat kekuasaan. Kekuasaan yang kuat mempunyai otoritas penuh untuk memerintah rakyat, kehidupan politik suatu masyarakat merupakan sistem aktivitas-aktivitas yang

saling berkaitan. Di samping itu, politik erat kaitannya dengan wewenang. Suatu hak yang telah ditetapkan dalam suatu tata tertib sosial untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah yang penting untuk menyelesaikan pertentangan-pertentanga (Soerjono Soekanto, 1977:172). Para raja di Jawa mempunyai wewenang tak terbatas yang diperoleh dari rakyat, wong cilik yang dipimpinnya.

(29)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Kuatnya kultus nenek moyang terutama para raja yang memerintah,

mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Raja dianggap sebagai pusat dari

kekuatan alam (kosmos). Keistimewaan raja mempengaruhi pandangan

masyarakat terhadap sosok raja, hal itu yang menimbulkan kekaguman,

kewibawaan dan menambah bobot segala titahnya. Raja adalah pemimpin, oleh

kerena itu jika berbicara harus dipikirkan benar, karena apa yang telah dikatakan

tidak boleh ditarik kembali. Itulah sebabnya ia disebut raja (Sabda Pandita Ratu)

(Depdikbud, 1992:158).

Setiap apa yang menjadi keputusan, perintah dan kebijakan raja bahkan

segala macam benda pusaka yang bernilai bertuah “sakti”, karya sastra akan

mempengaruhi kekuatan politik seorang raja. Kekuatan sastra raja juga dapat

mempengaruhi politik, kultus terhadap raja menambah pamor dari karya sastra,

karena ada anggapan karya sastra mempunyai sifat keramat, keyakinan tersebut

tidak terlepas dari pandangan masyarakat pada waktu itu yang menganggap

benda-benda termasuk karta sastra yang bersifat sacral (Maharsi, 2001: 102).

Politik dapat mempengaruhi aktivitas-aktivitas manusia dibidang kehidupan

lainnya termasuk dalam sastra.

Karya sastra sebagai cara memberi kesadaran dan motivasi kepada

orang-orang yang diperintah salah satu caranya dengan internalized motivations, yaitu

suatu pendekatan untuk memotivasi bawahan dan masyarakat yang memerlukan

penanaman kerja kepada mereka…cara ini dapat bertahan sepanjang kesadaran itu

muncul dari niat yang tulus (Inu Kencana Syafi’i, 1997:60).

Menurut Duverger (1993:XII-XIII), terdapat dua corak pengaruh yang

ditimbulkan oleh kekuasaan, yaitu: 1). Orang melihat politik sebagai arena

pertarungan atau medan pertempuran. Kekuasaan digunakan orang yang berhasil

merebut dan mengotrol politik untuk berkuasa dan mempertahankan

kekuasaannya di dalam masyarakat. Di samping itu, ada pihak lain yang ingin

menentang dan merebut kekuasaan untuk tujuan yang sama sehingga kekuasaan

memainkan peranan sebagai biang konflik politik. 2). Orang menganggap bahwa

politik adalah suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Kekuasaan

(30)

commit to user

tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan, Sehingga kekuasaan

memainkan peranan integrative, memihak, dan melindungi kepentingan bersama.

Kedua dimensi kekuasaan tersebut selalu muncul dalam kehidupan politik.

Kekuasaan sebagai biang konflik atau perpecahan selalu disertai oleh kekuasaan

sebagai benih integrasi. Jadi, kekuasaan bisa mendorong orang untuk berkonflik,

tetapi pada waktu yang sama juga bisa mendorong kerjasama atau integritas.

Menurut Webster (1966), istilah conflict di dalam bahasa aslinya berarti perkelahian, peperangan, atau perjuangan, yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Menurut Webster lebih lanjut, konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.

Dalam sejarah konflik politik antara Paku Buwana II, Pangeran

Mangkubumi, dan Raden Mas Said, juga menyeret orang ke dalam konflik politik.

Konflik butuh waktu lama dan tidak bisa selesai, dan juga mengajak koloni untuk

menjadi bagian dari konflik ini. Akibat dari konflik tersebut Mataram terbagi

menjadi tiga bagian, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan

Kadipaten Mangkunegaran.

Di Surakarta, masalah-masalah intern terus berkembang. Ketidakcakapan

Paku Buana III secara umum, berbagai persengkokolan istana, dan perilaku

pajabat-pejabat VOC yang buruk telah mengancam keamanan dan kestabilitas

kerajaan. Keresahan politik dan ekonomi akibat pembagian kekuasaan Mataram

memaksa Paku Buwana IV memperkenalkan pemikiran Politik Islam dalam

menjalankan pemerintahannya. Pengangkatan para ulama menjadi abdi dalem

kinasih (abdi dalem kepercayaan) merupakan upaya konsolidasi yang dilakukan

oleh Paku Buwana IV untuk memperkenalkan politik din Islam-Dawlah dalam

birokrasi kerajaannya. Konsolidasi internal adalah meminta seluruh sentana dan

abdi dalem untuk memperkuat nilai-nilai Islam sebagai pedoman hidup,

sementara konsolidasi eksternal membuat hubungan politik dengan pesantren di

sekitar Surakarta. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Paku Buwana IV mencoba

membangun kekuatan berdasarkan keseimbangan antara kekuasaan politik dan

(31)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

pergi ke masjid dan memberikan khotbah (Aan Kumar, 1990:105). Melalui

idealisme Paku Buwana IV ini, Islam dijadikan legitimasi politik yang awalnya

dipengaruhi oleh para ulama kharismatik yang ada di Keraton.

B. Kerangka Berpikir

Keterangan:

Masuknya agama Islam ke keraton Surakarta, turut membantu dalam

pembentukan perpolitikan yang terjadi di dalam kerajaan Surakarta. Mulai dari

Sultan Agung, Islam menjadi dasar untuk melakukan dan menyebarkan legitimasi

kekuasaan. Setelah turunnya Sultan Agung, agaknya politik yang dibangun atas

dasar Islam mulai lemah dan menurun. Seiring dengan menurutnya kredibilitas

raja yang cenderung memihak dan bersekutu dengan VOC. Melihat kondisi

seperti itu, Paku Buwana IV mulai bangkit dan mengembalikan Islam sebagai

kekuatan politik dengan mengadakan konsolidasi Islam, yakni dengan melakukan

kerjasama dengan ulama kharismatik yang ada di Surakarta. Paku Buwana IV

berharap melalui idealismenya, konflik yang terjadi setelah palihan nagari

Ulama Kharismatik Paku

Buwana IV

Keraton Surakarta

Pesantren Konsolidasi Belanda

(32)

commit to user

mampu diredam serta ingin mengangkat kekuasaan atas Keraton Kasunanan Surakarta yang telah mengalami penurunan sejak palihan nagari.

Selain itu pemikiran Paku Buwana IV tentang politik Islam melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dengan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan Negara betul-betul organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam. Tipologi ini, Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik.

Di tengah kondisi keraton yang tidak stabil akibat adanya intrik dan provokasi dari VOC serta adanya perseteruan baik intern maupun ekstern membuat Paku Buwana IV melakukan strategi politik dengan mengadakan hubungan dengan para kyai (ulama) di Pesantren di sekitar Surakarta. Keleluasaan kyai di dunia pesantren, baik dari segi politik maupun sosial-keagamaan, telah menjadikan mereka dengan mudah tampil sebagai kelompok elit dengan seperangkat ideologi dan aura kebesaran, yang kerap dirumuskan dalam

terma-terma keagamaan. Selain itu Paku Buwana IV yang sejak kecil sudah mendalami ilmu agama dengan pergi ke masjid untuk memberikan khotbah dan dekat dengan

para kyai, hal itu membuat mudah untuk melakukan politik konsolidasi. Politik Islam tersebut oleh Paku Buwana IV diharapkan mampu mengatasi masalah yang sedang terjadi di Kerajaan akibat dari palihan nagari. Mulai dari masalah intern kerajaan, yakni adanya peristiwa pakepung tahun 1790 serta campurtangannya

VOC dalam setiap kebijakan yang diluarkan raja. Konsolidasi tersebut yakni

dengan meminta seluruh sentana dan abdi dalem untuk memperkuat nilai-nilai

Islam sebagai pedoman hidup, dan menjalin hubungan politik dengan pesantren di

(33)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penelitian yang berjudul ”Analisis Islamisasi Di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Politik Islam) dilakukan dengan metode studi pustaka melalui literatur-literatur yang ada di perpustakaan, koleksi pribadi maupun perseorangan. Adapun tempat untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain:

a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS

b. Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta c. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta

d. Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran e. Museum Keraton Kasunanan Surakarta f. Yayasan Sastra Jawa Surakarta

g. Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta h. Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

(34)

commit to user

Sesuai dengan tabel di atas, waktu yang diperlukan dalam penelitian ini adalah selama 7 bulan (bulan ke-1 sampai bulan ke-7) yaitu dimulai dengan kegiatan pembuatan proposal penelitian, pengumpulan sumber, kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menganalisis sumber yang diperoleh dengan menguraikan kemudian menyatukan, dan tahap terakhir menyusun laporan hasil penelitian.

B. Metode Penelitian

Dalam penyusunan rencana penelitian, peneliti akan dihadapkan pada pemilihan metode atau teknik pelaksanaan penelitian. Metode penelitian merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan penelitian dengan menggunakan teknik tertentu. Dengan kata lain, metode adalah cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah yang menyangkut masalah kerja, yaitu cara untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1983: 7).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode historis, karena obyek kajiannya berupa peristiwa masa lampau. Menurut Gilbert J. Garraghan yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 43). Metode historis berarti

”seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Metode sejarah dapat juga berarti sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang autentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya (Louis Gottschalk, 1983 : 32).

Gottschalk (1983:18), mensistematisasikan langkah-langkah metode penelitian sejarah sebagai berikut:

1) Pengumpulan obyek yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahan-bahan tertulis dan lisan yang relevan;

2) Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak autentik;

(35)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

Metode penelitian sejarah ini bertumpu pada empat langkah kegiatan: heuristik, kritik atau verifikasi, interpretasi, dan historiografi.

Menurut Basri MS (2006:35), yang dimaksud metode historis adalah seperangkat aturan atau prinsip-prinsip dasar yang sistematis yang digunakan dalam proses pengumpulan data atau sumber-sumber, mengerti dan menafsirkannya serta menyajikan secara sintesis dalam bentuk sebuah cerita sejarah (historiografi). Sedangkan tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat (Sumadi Suryabrata 1997: 16).

Berdasarkan masalah di atas penulis akan merekonstruksikan peristiwa yang terjadi di keraton Surakarta pada masa Paku Buwana IV, yaitu “Analisis Islamisasi di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820 (Pemikiran Paku Buwana IV Tentang Pilitik Islam). Sedangkan untuk obyek penelitian dan waktu terjadinya peristiwa yang diteliti adalah Serat Wulang Reh karangan Paku Buwana IV berisi tentang ajaran beragama yang lebih menekankan pada ajaran moral dan etika, dalam arti berusaha memperbaiki akhlak berdasarkan pada ajaran syariah agama

Islam. Dari sikap Paku Buwana IV tersebut membuat Paku Buwana IV dekat dengan para ulama atau kyai kharismatik di sekitar Surakarta, sehingga dalam pemerintahannya pun dipengaruhi oleh para ulama. Hal itu membuat kompeni membenci Paku Buwana IV dan mempengaruhi Ksultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran untuk melakukan pengepungan terhadap Keraton Surakarta, peristiwa ini dijelaskan dalam babad Pakepung terjemahan Endang Saparinah.

C. Sumber Data

(36)

commit to user

kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality).

Menurut bahannya, sumber sejarah dapat dibagi menjadi dua yaitu tertulis dan tidak tertulis atau dokumen dan artifact (artefak). Sedangkan menurut penyampaiannya dibagi menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer apabila disampaikan oleh saksi mata. Sumber sekunder ialah yang disampaikan oleh orang bukan saksi mata, misalnya buku-buku (Kuntowijoyo, 1995:96).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah serat Wulang Reh karangan Paku Buwana IV. Sumber sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku literatur yang relevan dengan penelitian ini. Melalui pengumpulan data berdasarkan sumber data yang ditetapkan yaitu teknik studi pustaka, yakni mengumpulkan data tertulis dengan menggali data dari serat dan babad, buku-buku literatur dan bentuk pustaka lainnya yang mendukung. Sumber-sumber ini diperoleh melalui kunjungan pustaka dan analisis. Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku literatur yang relevan dengan penelitian, antara lain: ”Masyarakat Istana Jawa dan Politik Dalam Akhir Abad ke-18” karangan Aan Kumar, ”Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah

Pembagian Jawa” karangan M.C Ricklefs, ”Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939” Darsiti Soeratman, ”Kyai dan Priyayi di Masa Transisi” karangan Supariadi, ”Babad Pakepung” terjemahan Endang Saparinah.

D. Teknik Pengumpulan Data

(37)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

Dalam penelitian ini, kegiatan studi pustaka dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Mencari dan mengumpulkan sumber primer maupun sekunder dari perpustakaan, koleksi pribadi maupun perseorangan.

2. Membaca, mencatat, meminjam dan menfotokopi sumber-sumber yang penting dan relevan dengan tema penelitian, terutama untuk sumber-sumber yang diperoleh dari perpustakaan.

E. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data sejarah. Teknik analisis data sejarah adalah analisis data yang mengutamakan ketajaman dalam melakukan interpretasi data sejarah. Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah tidak bisa berbicara sendiri. Kategori dari fakta-fakta sejarah bersifat sangat kompleks, sehingga suatu fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri. Fakta merupakan bahan utama yang digunakan sejarawan dalam menyusun historiografi, dan fakta itu sendiri merupakan hasil pemikiran dari para sejarawan, sehingga fakta terkumpul mengandung kadar subyektifitas.

Sartono Kartodirjo (1992) berpendapat bahwa untuk menganalisis suatu

(38)

commit to user

dari penelitian sejarah tentang Islamisasi di Keraton Surakarta tahun 1788-1820, pemikiran Paku Buwana IV tentang politik Islam.

F. Prosedur Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, perlu dibuat prosedur penelitian karena dapat mempermudah cara kerja dan memperlancar jalannya proses penelitian. Prosedur penelitian adalah langkah-langkah secara rinci dalam penelitian dari awal sampai akhir. Langkah pertama dalam prosedur penelitian ini adalah membuat proposal untuk mengurus perijinan penelitian. Setelah judul penelitian ditentukan dan disetujui, dilanjutkan dengan penulisan proposal yang berisi rumusan masalah yang akan diteliti. Langkah selanjutnya yaitu mengadakan penelitian dengan menggunakan metode penelitian sejarah. Secara lebih jelas metode penelitian sejarah tersebut dapat disajikan dalam bagan berikut:

Tabel 2. Bagan Prosedur Penelitian

Keterangan:

Penelitian ini adalah penelitian sejarah, maka prosedur penelitian ini pun menggunakan 4 tahapan dalam metode sejarah (Sartono, 1993: 60-62) yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi dengan penjelasan sebagai berikut:

Heuristik

Intern

Kritik

Fakta Sejarah Ekstern

(39)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

1. Heuristik

Heuristik adalah suatu proses mencari dan menemukan sumber-sumber atau data-data baik dokumen hasil wawancara maupun buku-buku. Sumber-sumber tertulis dalam penelitian ini diperoleh dari: perpustakaan Program Studi Sejarah FKIP UNS, perpustakaan pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, perpustakaan Monumen Pers Surakarta, perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran, perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Pada tahapan ini ditemukan sumber-sumber yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti dengan studi kepustakaan. Sumber primer berupa serat Wulang Reh yang diperoleh dari hasil penelusuran ke berbagai perpustakaan. Sedangkan sumber sekunder seperti ”Masyarakat Istana Jawa dan Politik Dalam Akhir Abad ke-18” karangan Aan Kumar, ”Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa” dan ”Sejarah Indonesia Modern 1200-2004” karangan M.C Ricklefs, ”Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939” Darsiti Soeratman, ”Kyai dan Priyayi di Masa Transisi” karangan Supariadi, ”Babad Pakepung” terjemahan Endang Saparinah.

2. Kritik

Kritik sumber yaitu memilih dan memilah sumber yang akurat dan

menyeleksi sumber-sumber yang ada untuk memperoleh informasi yang valid.

Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah untuk menyeleksi data menjadi sebuah

fakta. Kritik terhadap sumber ini terdiri dari dua jenis yaitu kritik intern dan kritik

ekstern.

a). Kritik Intern

Kritik intern dilakukan untuk mencari kesahihan. Kritik ini digunakan

untuk membuktikan apakah kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber dapat

dipercaya atau tidak. Dalam penelitian ini kritik intern dilakukan dengan cara

(40)

commit to user

satu dengan sumber lain sehingga didapatkan fakta sejarah yang relevan dengan tema penelitian.

Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap buku yang satu dengan yang lain, terdapat perbedaan penjelasan yakni gambaran kepribadian Paku Buwana IV. Dalam babad Tutur banyak memuat sikap dan kepribadian dari Sunan Paku Buwana IV yang positif, meskipun Paku Buwana IV dalam menghadapai persoalan-persoalan mudah emosional, namun raja ini mempunyai sikap yang teguh, watak yang tegas dan keras, serta taat menjalankan ibadah agama Islam, sedang dalam buku The Sepoy Conspiracy of 1815 in Java karangan Peter carey, menurut Raffles menjelaskan tentang sikap dan kepribadian Sunan Paku Buwana IV sebagai laki-laki yang berjiwa lemah, tidak punya pendirian, berakal licik dan kejam. Sehingga untuk menghindari kesalahan dan keterangan yang kurang akurat, maka diperlukan kehati-hatian supaya tidak mengandalkan data dari satu sumber saja melainkan perlu sumber yang lain sebagai pelengkap dan pembanding. Supaya hasil dari penelitian bersifat obyektif.

b). Kritik Ekstern

Adalah kritik terhadap keaslian sumber yang berkenaan dengan

keberadaan sumber, apakah sumber tersebut dikehendaki atau tidak, masih asli atau sudah jiplakan. Kritik ekstern juga memberikan penilaian terhadap

kredibilitas sumber dengan melihat sumber itu utuh atau sudah diubah. Uji keaslian sumber minimal dilakukan dengan pertanyaan berupa: kapan, dimana, siapa, bahan apa, serta bentuknya bagaimana sumber dibuat. (Dudung Abdurrahman, 1999: 38).

(41)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

Keaslihan dan kesahihan sumber dilakukan guna menghasilnya penulisan sejarah yang valid, dengan melalui kritik terhadap sumber data yang didapat.

3. Interpretasi

Interpretasi yaitu menafsirkan keterangan yang saling berhubungan dengan fakta-fakta yang diperoleh setelah melakukan kritik baik itu kritik intren maupun kritik ekstern. Maka penulis berusaha menjelaskan apa yang telah diperolehnya dari data-data dokumen dengan pemikiran dan analisis. Karena fakta itu terletak pada pikiran seseorang maka itu menjadi bagian dari waktu sekarang. Sehingga interpretasi masing-masing sejarawan berbeda-beda (Dudung Abdurrahman, 1999: 22).

Tahapan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu analisis dan sintesis. Analisis adalah menguraikan data dengan memperhatikan aspek kualitas, sedangkan sintesis adalah penyatuan keduanya. Teknis Analisis data merupakan proses pencarian dan perancangan sistematis semua data yang telah diperoleh (terkumpul), sehingga peneliti mengetahui makna yang telah ditemukan dan disajikan kepada orang lain secara jelas dan utuh. Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis historis, yaitu penyusunan cerita sejarah

berdasarkan fakta sejarah yang berhasil dikumpulkan dengan menulis sekumpulan data yang akurat dengan obyek penelitian, kemudian dianalisis dan disusun yang

akhirnya didiskripsikan kedalam bentuk cerita sejarah. Menurut Nugroho Notosusanto analisis historis adalah analisis sejarah dengan menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang dibutuhkan untuk mengadakan penulisan sejarah (Louis Gottchalk, 1983: 36)

4. Historiografi

Historigrafi adalah penyusunan atau penulisan sejarah atau historiografi,

yaitu menyusun fakta-fakta dalam suatu sintesis sebagai suatu kesatuan yang utuh.

Pada tahap ini merupakan langkah terakhir dalam prosedur penelitian sejarah

yaitu berupa penulisan, pemaparan, atau penyusunan fakta sejarah menjadi suatu

(42)

commit to user

(43)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Kehidupan Keagamaan di Keraton Surakarta Tahun 1788-1820

Kondisi struktur budaya masyarakat Kasunanan Surakarta merupakan proses sedimentasi dari masuknya budaya-budaya besar (Hindu-Budha) percampuran antara budaya asli (Jawa). Proses pengislaman dengan model asimilasi budaya oleh beberapa ahli menyebabkan munculnya tradisi sinkretisme. Secara universal pengertian sinkretisme adalah percampuran antara tradisi Hindu dengan tradisi Islam tanpa melihat apakah percampuran tersebut benar atau salah, murni tidaknya suatu agama. Paham ini hanya menekankan bahwa semua agama dipandang sebagai baik dan benar (Simuh, 1988:12). Pola ini pula yang meletakkan seni budaya sebagai medium dari ajaran Islam, khususnya yang dilakukan oleh kerajaan.

Kenyataan tersebut akhirnya menempatkan keraton sebagai pusat pemerintahan dan aktivitas keagamaan, dan juga sebagai sentral pengembangan budaya. Pola kebudayaan Hindu Jawa, seperti pertunjukan wayang, tari-tarian, musik, gamelan masih dominan mewarnai setiap kegiatan. Percampuran warna

Islam dengan Hindu tersebut secara nyata dapat dilihat pada peringatan hari-hari besar Islam, tetapi isi kegiatan yang dilakukan tetap saja berpola budaya

Hindu-Jawa. Perayaan sekaten, grebeg, maupun malam satu Sura yang masih berlaku sampai sekarang.

1. Islamisasi di Keraton Surakarta

Pada jaman kerajaan, Rustopo (1986) menerangkan bahwa keraton

merupakan sumber, pembina dan penyebaran kebudayaan kerajaan. Sehingga

segala sesuatu yang dipancarkan oleh keraton (istana), apalagi kalau sumber yang

menciptakan adalah raja, akan dianut oleh para kawula bukan saja yang ada di

bawah naungan kerajaan melainkan menyebar luas ke daerah-daerah yang

(44)

commit to user

Menurut Moedjanto (1987), dalam segala persoalan, raja memiliki kekuasaan tertinggi sehingga tergambarkan kekuasaan itu sentralistik tidak terbagi-bagi dan merupakan kebulatan yang tunggal serta tidak mampu menandingi diungkapkan dalam bahasa Jawa, endi ana surya kembar, berarti tidak membenarkan adanya kekuasaan lain yang sederajat dengannya (Mari, 1995). Menurut Wirodiningrat, ada tujuh pengertian makna keraton atau saptaweda: 1) Keraton berati kerajaan. 2) Keraton berarti kekuasaan raja yang mengandung dua aspek: kenegaraan dan magischreligieus. 3) Keraton berarti penjelmaan wahyu nurbuwat dan oleh sebab itu menjadi pepunden dalam kajawen. 4) Keraton berarti istana, kedaton atau datulaya. 5) Bentuk bangunan keraton yang unik dan khas mengandung makna simbolik yang tinggi, yang menggambarkan perjalanan jiwa ke arah kesempurnaan. 6) Keraton sebagai cultuur historische instelling atau lembaga sejarah kebudayaan yang menjadi sumber dan pemancar kebudayaan. 7) Keraton sebagai badan juridische instellingen, artinya keraton mempunyai barang-barang hak milik atau wilayah kekuasaan sebagai dinasti (Ageng Pangestu Rama, 2007: 344-345).

Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan yang bercirikan keislaman. Yakni dilihat dari adanya jabatan penghulu dan abdi dalem ngulama dalam birokrasi kerajaan, berlakunya peradilan surambi yang didasarkan pada hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar sayidin panatagama (artinya Pemimpin dan sekaligus sebagai Pengatur Urusan Agama) oleh sunan, dan berdirinya Masjid Agung di lingkungan keraton. Disamping itu banyak upacara yang juga mencerminkan sifat Islami, seperti upacara garebeg yang dipandang sebagai upacara besar, namun pada kenyataannya perilaku dan sikap keagamaan masyarakatnya masih menampakkan sifat Islam sinkretik atau oleh para peneliti kemudian dikenal dengan istilah Agami Jawi (Koentjaraningrat, 1984:310).

(45)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

naik ke surga (minggah suargi) dan sebaliknya jika berbuat dosa akan dibuang ke neraka. Mereka tahu akan adanya Kitab Al-qur’an dan Hadist sebagai pedoman hidup, namun mereka juga yakin pada konsep-konsep keagamaan lain, pada makhluk-makhluk ghaib, serta kekuatan sakti dan mereka juga melakukan berbagai ritus dan upacara keagamaan yang tidak ada atau sangat sedikit sangkut-pautnya dengan doktrin-doktrin agama Islam yang resmi. Seterusnya Koentjaraningrat mengatakan bahwa ”Para pujangga dan cendekiawan keraton Mataram yang berusaha menjaga kelestarian peradaban Jawa Hindu-Budha kuno itu, dengan demikian dihadapkan suatu agama Islam sinkretik yang berasal dari daerah pedesaan ....” (Koentjaraningrat, 1994:312).

Munculnya Islam sinkretik menurut Kuntowijoyo (1987), menyatakan bahwa dalam penyiaran Islam para wali banyak memberikan kelonggaran dan toleransi terhadap tradisi yang sudah berlaku di masyarakat. Hal demikian merupakan usaha para penyebar agama Islam (para wali) agar Islam dapat diterima oleh masyarakat tanpa harus ada gesekan antara kedua tradisi (Hindu-Jawa) yang dapat mempengaruhi kestabilan kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.

Sebagai agama resmi kerajaan, Islam yang dikembangkan lebih banyak

muncul melalui media seni budaya. Seni yang begitu dominan dalam proses keagamaan di kerajaan Hindu, akhirnya mendominasi pula proses ritualisme Islam. Tari-tarian yang selama masa Hindu sering dikaitkan prosesi ritual atau keagaman, dan dikembangkan pula pada jaman Islam. Contohnya, tari Bedhaya Ketawang atau musik gendhing seperti Gadung Melati juga gamelan pada acara sekaten yang dianggap sakral merupakan bukti bahwa dalam masa kerajaan Islam, seni budaya tidak lepas dari prosesi keagamaan.

Gambar

Tabel 2. Bagan Prosedur Penelitian
gambaran tentang figur guru yang baik (guru utama), Pupuh Dandanggula: 4,

Referensi

Dokumen terkait

Jika hasil aviditas < 0,3 berarti infeksi sebelum terjadi kehamilan, sedangkan > 0,3 berarti terjadi infeksi saat hamil, maka perlu terapi yang.. adekuat.Jika ada

Menurut anda semakin banyak pilihan merk yang ditawarkan produk AMDK malah membuat anda bingung menentukan keputusan

Our study addresses the recent phenomenon of psychological cost of dispute in Sabah Malaysia, and is motivated by the curiosity on whether dispute in Sabah between Malaysia

Pada penelitian yang dilakukan Saleh (2003), tentang pematahan dormansi benih aren secara fisik pada berbagai lama ekstraksi buah, perlakuan ekstraksi 30 hari menunjukkan

2) Pamong Saka Bakti Husada. 3) Instruktur Saka Bakti Husada... Dikwartir cabang, kwartir daerah dan kwartir Nasional dibentuk Pimpinan Saka Bakti Husadasebagai unsur

Beberapa penelitian diatas menjadi isyarat terkait perlunya pemantapan dan ketegasan arah pendidikan kewarganegaraan dalam menghadapi pandemic covid-19, tujuan utama

PTBA melakukan diversifikasi bisnis dan hilirisasi industri Batu Bara dengan pengembangan sektor energi baru dan terbarukan, yang juga merupakan fokus pemerintah dalam

Dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti, fenomena yang terjadi diatas pada siswa kelas VII, terkait dengan kemampuan komunikasi interpersonal adalah