Daftar Pustaka
Bangun Triandah, Hjj, Ani Idrus Sebagai Tokoh Wartwan Sumatera, Jakarta, Cv Haji Masagung, 1990.
Direja Gunawan Thaja, Chairul Tanjung Sianak Singkong, Jakarta : Kompas Gramedia, 2012.
Fu’ad Zulfikar, Menulis Biografi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008.
Gonggong Anhar, Abdul Qahar Mudzakar Dari Patriot Hingga Pemberontak Yogyakarta : Ombak, 2004.
Graves Elizabeth E. Elite Minangkabau Modern : Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad Xix. Jakarta Yayasan Obor, 2001.
Gootschalk Louis, Mengerti Sejarah ( Terjemahan Nugroho Notosusanto), Jakarta : UI-Press, 1985.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka. 2001.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Tiara Wacana 1994.
Nazir Moh, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Nusantara, 2009.
Pelzer. J Karl., Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani (Trj) Jakarta: Pustaka Sinar Harapan , 1991
Said Mohammad, Sejarah Pers Disuamatera Utara, Jakarta : Ui-Press, 1976.
_________, Soetan Koemala Boelan (Flora), Jakarta : Ui-Press____
Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia, 2001.
Supardi, Dasar-Dasar Ilmu Sosial. Yogyakarta: Ombak.2001
Soebagijo, Jagat Wartawan Indonesia, Jakarta : Gunung Agung, 1981.
Sinar T. Luckman. Denyut Nadi Revolusi Indonesia. Taufik Abdulah (Ed) Jakarta : PT Gramedia. 1992.
TWH Mohammad . Sejarah Perjuangan Pers Sumatera Utara . Medan Tanpa Penerbit 2001.
Karya Ilmiah
Agustono, Budi dan Oddi Arma, “ Penyerobotan Tanah: Sumatera Timur 1950-1960” Makalah, Naskah diketik.
Alexander, Robinson, Latar Belakang dan Perkembangan berdirinya Harian Umum Waspada di Kota Medan (1947-1950), Skripsi Sarjana Sejarah USU, 2000 Gusnandi, Peri, Aksi Penyerobotan Tanah Perkebunan di Sumatera Timur (
1950-1960). Skripsi Sarjana Sejarah USU, 2007.
Ritonga, Farida Hanum, Peranan Partai Politik Pada Peristiwa 3 Maret 1946 di Langkat, Skripsi Sarjana Sejarah USU, 1981.
Hutagalung, Jungjung, Partai Nasional Indonesia di Medan (1955-1966). Skripsi Sarjana Sejarah USU, 2001.
BAB III
PERANAN, AKTIVITAS DAN PEMIKIRAN MOHAMMAD SAID DALAM PERS
3.1 Peranan dan Aktivitas Mohammad Said di Dunia Pers
3.1.1 Keaadan Surat Kabar Sumatera Timur
Surat kabar di Sumatera Timur lahir dari tekanan pemerintah kolonial
terhadap rakyat. Pada awalnya pers yang berkembang dikota Medan dipelopori oleh
pemerintah kolonial Belanda. Surat kabar pertama yang berdiri di kota Medan adalah
Deli Courant yang terbit sejak tanggal 18 maret 1885. Pemilik dan pemimpin
redaksinya adalah Jaques Deen, yang berkebangsaan Belanda. Surat kabar ini terbit
dua kali seminggu yaitu pada hari rabu dan pada hari sabtu, dengan oplah 150
eksemplar setiap edisinya.31
Beritanya didominasi oleh aktivitas para investor asing yang bergerak dalam
bidang perkebuanan di Sumatera Timur. Disamping itu juga terdapat berita-berita
tentang perlawanan Aceh, silsilah sultan Deli dan juga legenda terjadinya tanah
Batak. Selain surat kaber Deli Courant juga terdapat surat kabar yang memberitakan
tentang perkembangan Eropa yang bernama De Sumatera Post yang diterbitkan oleh
J. Hallerman pada tahun 1899.32
31 Kurniawan Junaedhie. Ensiklopedi Pers Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,
1991. hal. 206.
32 H. Mohammad Said. Sejarah Pers Sumatera Utara. Medan : Percetakan Waspada, 1976.
Pada tahun 1902 terbitlah surat kabar yang berbahasa melayu yakni Pertja
Timoer dibawah pimpinan Mangaradja Salembue. Surat kabar ini banyak menyajikan
fakta tentang korelasi antara sultan Deli dengan pemeritah kolonial Belanda sehingga
menimbulkan sikap antipati di pihak kesultanan Deli dan pemerintah Belanda
terhadap keberadaan surat kabar ini, sehingga surat kabar ini berhenti terbit ditahun
1908.33
Dua tahun kemudian terbitlah surat kabar Pewarta Deli yang dikelola oleh Dja
Endar Moeda. Surat kabar ini mula-mula terbit secara mingguan kemudian menjadi
dua kali seminggu dan akhirnya terbit setiap hari. Surat kabar ini merupakan surat
kabar nasional pertama yang terbit dikota Medan. Surat kabar ini banyak
membicarakan tentang keadaan masyarakat pada waktu itu terutama nasib kuli
kontrak di Sumatera Timur. Sejak tahun 1932 surat kabar Perwarta Deli di pimpin
oleh Adinegoro sampai kedatangan tentara Jepang ke Indonesia.
Selain dari pada surat kabar tersebut masih banyak lagi surat kabar yang
bermunculan pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Medan, banyak yang
berumur panjang tetapi banyak juga yang berumur pendek baik yang berbahasa
Belanda maupun yang berbahasa Melayu dan juga ada yang berbahasa Tionghoa dan
juga ada yang memakai dwi bahasa seperti surat kabar Tionghoa Melayu yang
bernama "Tjin Po".
Mohammad Said setelah memulai karirnya banyak mengalami banyak
tantangan yang menjadikanya sebagai wartawan yang serba bisa dan berpengaruh
dijamanya. Mohammad said banyak memiliki peranan dan Aktivitas dalam
perkembangan surat kabar di Sumatera Timur seperti mendirikan surat-surat kabar
yang pro republik, menulis ulasan-ulasan yang yang memperjuangkan kepentingan
rakyat dan lainnya walaupun hal itu membahayakan nyawanya. Aktivitas dan peranan
Mohammad Said dalam dunia pers dapat kita lihat ketika Mohammad Said Memulai
Karirnya di Surat Kabar Tjin Po.
3.1.2 Perjalanan Karir Mohammad Said di Pers
Mohammad Said memulai karirnya di surat kabar Tjin Po pada tahun 1928.
Mohamamad Said melamar ke surat kabar ini dengan membawa contoh-contoh
tulisan yang pernah ditulisnya sebagai salah satu pertimbangan untuk mempekerjakan
seorang calon penulis disurat kabar. Itu adalah salah satu kebijakan yang sampai
sekarang masih tetap diberlakukan disetiap surat kabar yang ada di Indonesia
bilamana ingin mempekerjakan seseorang menjadi seorang pewarta atau penulis
disurat kabar.
Mohamamad said tidaklah lama bekerja di Tjin Po yang terbit tiga kali dalam
seminggu. Mohamamad Said bekerja di surat kabar ini hanya dua bulan, hal ini
karena sikap diskriminsi masih sangat kental di tubuh surat kabar tersebut. Surat
memberhentikannya karena beliau bukanlah seorang lulusan sekolah tinggi dan
seorang pribumi. Pemimpin surat kabar Tjin Po lebih mengutamakan suku Tionghoa
yang bekerja di surat kabar Tjin Po ini.
Setelah keluar dari surat kabar Tjin Po, Mohammad Said tidak patah arang
untuk mengeluti dunia jurnalistik dia melamar ke surat kabar Oetosan Sumatera yang
dipimpin oleh Soetan Parlindungan sebagai wartawan, yang dikemudian hari menjadi
pemimpin redaksi mengantikan Mohammad Idham yang berhenti secara tiba-tiba.
Oetosan Sumatera adalah surat kabar yang diterbitkan oleh percetakan Sjarikat
Tapanoeli yang awalnya bernama Pantjaran Berita.
Setelah berkarir di koran Oetosan Sumaetara yang dimulai sejak september
1928 Mohammad Said mulai mengenal perkumpulan politik, sosial maupun
keagamaan yang bersakala nasional secara langsung. Sebelumnya Mohammad Said
hanya mengetahui perkumpulan-perkumpulan itu ada dari koran yang dibacanya
selama bekerja di pemerintahan Belanda di Labuhan Batu yang kemudian
memberhentikanya karena tidak menyukai penindasan terhadap rakyat.
Partai Nasional Indonesia yang didirikan oleh dr. Tjipto Mangunkusunmo dan
Ir. Soekarno di kota Bandung tahun 1927 adalah perkumpulan nasional yang di ikuti
oleh Mohammad Said dan pernah menjadi pemimpin partai ini.
Setelah keluar dari Otesan Soematera Mohammad Said membuka praktek
kwaarnemer. Mohamamd said membuka praktek ini sebagi pekerjaan membantu
masyarakat terutama buruh perkebunan yang dirugikan oleh golongan pemilik modal
yang sering disebut dengan haves, selain dengan haves, buruh juga kerap kali
bermasalah dengan rentenir.
Pada tahun 1937 Mohammad Said bertemu dengan seorang tokoh politik yang
bernama Abdul Xarim MS yang baru bebas dari penjara Digul, Papua.34 Kedekatan
Mohammad Said dengan Abdul Xarim MS terjalin karena Mohammad Said aktif
dalam dunia pergerakan. Mereka berdua kemudian menerbitkan koran mingguan
dengan nama Penjedar, dan Mohammad Said sebagai pemimpin redaksinya. Namun
karena perbedaan paham dengan penerbit dan Abdul Xarim MS, Mohammad Said
akhirnya mengundurkan diri.
Setelah keluar dari Penjedar, Mohammad Said bertemu dengan Ani Idrus
seorang wartawati dari Sinar Deli. Dan pada sekitar tahun 1937 mereka menerbitkan
sebuah koran mingguan bergambar bernama “Soeruan Kita”. Tapi sekitar tahun 1939
terjadi peritiwa besar yang sangat berdampak bagi kehidupan manusia di seluruh
dunia yaitu perang dunia II. Masyarakat sangat tertarik akan berita tentang
perkembangan perang tersebut. Hal ini membuat koran Sinar Deli kalah dari koran
Pewarta Deli yang menyediakan berita yang sangat aktual dari peristiwa perang dunia
ke II. Koran ini dipimpin oleh seorang akademisi yang sangat mumpuni yaitu
Adinegoro. Adinegoro adalah orang pertama yang memimpin sebuah surat kabar di
Sumatera Timur yang berasal dari kalangan lulusan akademi jurnalistik. Adinegoro
merupakan alumni akademi jurnalistik di Munchen, Jerman.
Penurunan jumlah pembaca dan kerugian yang semakin menumpuk akibat
kalah bersaing dengan Pewarta Deli membuat Mohammad Said dan Ani Idrus
menutup surat kabar tersebut, dan mereka kembali menjadi wartawan freelance di
beberapa surat kabar yang masih terbit waktu itu.
Setelah Jepang menyerang pangkalan Amerika Serikat di Pearl Harbour
membuat daerah jajahan bangsa-bangsa yang tergabung dalam blok Sekutu jatuh
ketangan Jepang demikian juga dengan Indonesia. Setelah kedatangan Jepang ke
Indonesia membawa pengaruh yang sangat besar terhadap pers tanah air. Dunia pers
dikendalikan berdasarkan undang-undang penguasa (Osamu Seiri) No 16 tentang
badan-badan pengumunan dan penerangan menurut apsal 3 undang-undang itu
berbunyi :
“Terlarang Menerbitkan barang tjeatkan jang
berhoeboengandengan pengomoeman ataoe penerangan beroepa penerbitan setiap hari, setiap minggoe, setiap boelan maopoen penerbitan dengan tidak tertenttoe waktunya, ketjoelai oleh badan-badan yang soedah mendapat izin” 35
Berdasarkan ketentuan tersebut, semua surat kabar Belanda dan Cina diambil
alih oleh Jepang. Panglima militer Jepang kemudian menerbitkan beberapa buah surat
35 Tribuana Said. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. Jakarta : Haji
kabar sebagai pengganti surat kabar yang dilarang beredar. Mengenai surat kabar
yang diterbitkan Jepang selama masa pendudukan di Indonesia, dalam recent japaese
sources for Indonesia historiography” disebutkan :
Indonesia terbagi dalam dua bagian : Jawa dan Sumatera dikuasai angkatan
darta Jepang selam pendudukan sementara Kalimantan, Sulawesi dan daerah sebalah
timurnya dikuasai angkatan laut. Sebagai media komunikasi di daerah-daerah
tersebut, ada lima surat kabar yang diterbitakn dibawah pengawasan pemerintah
militer. Surat-suarat kabar tersebut adalah Jawa Shinbun di Jawa, Sumatera Shinbun
di Sumatera, Borneo Shinbun di Kalimantan, Celebes Shimbun di Sulawasi dan
Ceram Shimbun masing-masing diurus Asahi pres, Mainichi pers dan Yomiuri pres.
Domei Press mengurusi Sumatera Shinbun bekerja sama dengan surat-surat kabar
lokal domestik Jepang. Surat kabar tersebut berisi hal-hal penting yang berhubungan
dengan perkembangan pemerintahan milter sehari-hari.36
Surat Kabar Sumatera Shimbun merupakan satu-satunya surat kabar
diterbitkan Jepang di Sumatera.37 Surat kabar ini terbit dua edisi, yaitu edisi yang
berbahasa Indonesia dan edisi yang berbahasa Tionghoa . Edisi yang berbahsa
Indonesia dimpin oleh Adinegoro dengan staf redaksinya Mahmud Nasution, Hadely
Hasibuan, Bustaman dan Anwar Lukman. Sedangkan untuk yang berbahasa
36 Edward C Smith. Pembreidelan Pers Di Indonesia. Jakarta : Grafiti Press, 1983. hal. 17. 37 H. Mohammad Said . Waspada Harian Republiken di Daerah NICA. Medan. Tanpa Tahun
Tionghoa para stafnya redaksinya dari berbagai beberapa bekas harian China seperti
New China Times.
Harian Sumatera Shimbun terbit pada sore hari dan dicetak pada percetakan “
Sriganda bekas percetakan Varekamp” pada pemerintahan Belanda. Sebelum dicetak
isi berita di sensor lebih dahulu oleh dinas penerangan Jepang yang bernama
BUNKAKA.
BUNKAKA merupakan tempat Mohammad Said bekerja, Mohammad Said
bisa bekerja di dinas ini karena kedekatanya dengan Abdul Xarim MS yang bekerja
sebagi kotapraja Jepang untuk Medan. Mohammad Said bekerja di departeman
penerangan sebagai penyaring berita-berita yang akan diterbitkan oleh surat kabar.
Jika surat kabar tersebut menerbitkan berita yang mengkritik pemeritahan atau
menceritakan penderitaan rakyat Indonesia akibat tindakan Jepang maka berita
tersebut akan ditarik.
Setelah pers di kuasai oleh militer Jepang, pemberitaan menjadi Jepang
centris. Semua media baik itu surat kabar maupun radio hanya berisikan kepentingan
dari bangsa Jepang semata yaitu cita-cita Asia Timur Raya. Hal yang pada prakteknya
membuat wartawan Indonesia dalam surat kabar Jepang itu tidak lagi mengerjakan
pekerjaan jurnalistik, melainkan hanya sebagai pegawai.
Pada mulanya proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak diketahui di Medan
desus-desus bahwa tentara Belanda yang membonceng Sekutu akan segera mendarat.38
Tetapi itu hanya desas desus saja karena tidak ada berita resmi yang memberitahukan
keadaan yang sebenarnya. Pihak Jepang memang sengaja mengulur waktu untuk
tidak memberitahukan kekalahan mereka agar status jajahan bagi Indonesia tetap
diberlakukan. Setelah tanggal 22 agustus 1945, gubernur militer Jepang Sumatera
Timur Tetsuzo Nakashima mengumumkan secara resmi bahwa Jepang telah kalah
perang. Dalam hal ini Sekutu telah menginstruksikan kepada Jepang untuk
memelihara keamanan sampai tentara Sekutu berada didaerah ini dan rakyat harus
tetap patuh kepada Jepang dalam memelihara keamanan.
Pengumuman resmi itu merupakan jawaban bagi rakyat yang selama ini hanya
mendengar desus-desus. Namun berita itu tidak membawa perubahan yag berarti
karena Jepang masih berkuasa, sedangkan berita tentang proklamasi belum juga
terdengar. Penyiaran berita proklomasi sebenarnya telah berlangsung sejak tanggal 17
agustus 1945 melalui kantor berita Domei Jakarta, bahkan malam harinya radio India,
Australia dan San Fransisco telah menyiarkan berita proklamasi, sekaligus
memberitakan adanya bantahan dari pihak Jepang tentang kebenaran berita itu. 39
Dengan demikian berita tentang proklamasi kemerdekaan telah sampai keluar
negeri, tetapi tidak demikian halnya di kota Medan. Informasi dari kantor berita
Domei tidak diterima karena para operator yang bekerja pada kantor berita Domei
38 T. Luckman Sinar. Denyut nadi revolusi Indonesia. Taufik abdulah (ed) Jakarta ; PT
Gramedia, 1992. hal. 141.
Medan adalah orang-orang Jepang. Berita tentang proklamasi kemerdekaan
Indonesia di kota Medan baru terjadi setelah tiga orang perwakilan dari Sumatera
yang duduk didalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dipanggil ke
Jakarta untuk membicarakan tentang proklamasi kemerdekaan. Mereka adalah Mr.
Teuku Mohammad Hasan, Dr. Mohamad Amir dn Mr. Abdul Abbas. Setelah kembali
dari Jakarta mereka tidak segera menyiarkan informasi itu karena kondisi tidak
memungkinkan. Adanya desas-desus bahwa beberapa pemimpin rakyat Sumatera
Timur telah mengungsi keluar daerah membuat mereka ragu untuk merealisasikan
proklamasi kemerdekaan Indonesia di kota Medan.
Situasi demikian mendorong keinginan Mohammad Said untuk segera
mendirikan Pewarta Deli. Surat kabar ini diterbitkan oleh Mohammad Said dengan
Sjarikat Tapanuli sebagai percetakanya. Tiga minggu setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia, yaitu tanggal 29 September 1945 Mohammad Said
membuka kembali sekaligus memimpin surat kabar “Pewarta Deli” yang sebelumnya
dicabut izin penerbitanya pada masa penjajahan Belanda, Mohammad Said menjabat
sebagai pemimpin redaksi yang kosong ditinggal Djamaluddin Adi Negoro yang
pindah ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Berita headline Pewarta Deli telah membuka jalan mengetahui kebenaran
Said . Seandainya berita Pewarta Deli tidak ada, pastilah kumandang proklamasi itu
akan tersimpan di kantong safari Mr. Tengku Mohammad Hasan.40
Pertemuan pemuda dan Tengku Mohammad Hasan di gedung Taman Siswa41
yang dijadikan headline oleh Pewarta Deli menjadi topik yang selalu
diperbincangkan surat kabar ini,dan surat kabar yang lainya di Medan.
Setahun sebagai pemimpin redaksi di Pewarta Deli, Mohammad Said harus
kembali berhenti karena surat kabar ini di breidel oleh pasukan Sekutu dengan, mesin
pencetaknya di bom oleh Sekutu. Hal ini dilakukan karena surat kabar ini
menerbitkan berita dengan tajuk dan sentilan yang tajam dalam mengkritik
kekejaman penjajahan Belanda.
Adapun topik berita yang dijadikan headline oleh surat kabar ini adalah
mengenai barang-barang kalengan yang dibawa oleh tentara Inggris ke Medan
terdapat kalengan yang berisi dinamit. Walaupun berita ini benar tentara Inggris
kebakaran jenggot dan mendatangi kantor Pewarta Deli yang terletak dilantai dua dari
Percetakan Sjarikat Tapanuli tersebut untuk menangkap Mohammad Said, tetapi tidak
jadi karena para pemuda di sekitar kantor Pewarta Deli telah bersiap-siap mengejar
40 Lihat Lampiran V Tulisan Mohammad Said berjudul, Merdeka Diumumkan terlamabat di
Medan .
41 Mohammad TWH. Sejarah Perjuangan Pers Sumatera Utara, Medan: Tanpa Penerbit,
tentara Inggris tersebut jika kalau mereka menangkap pemimpin surat kabar
tersebut.42
Pada bulan September 1945 komando Asia Tenggara (Southheast Asia
Comand) dibawah pimpinan Lord Louis Mounthbatten memasuki wilayah Indonesia
untuk mengambil alih keamanan yang dipegang oleh tentara Jepang, sekaligus
membawa pasukan NICA yang ingin kembali berkuasa di Indonesia. Sejak Oktober
1945 pasukan NICA yang membocengi Sekutu mendarat di Medan. Sambutan
pesimis dari Mohammad Said dia tunjukkan melalui harian Pewarta Deli.
Mohammad Said dan surat kabarnya Pewarta Deli dianggap mendeskreditkan
Sekutu/Belanda. Yang akhirnya memaksa penguasa militer untuk mengambil
tindakan atas harian itu dan menghancurkan Percetakan Sjarikat Tapanuli.
Surat kabar Pewarta Deli kemudian terpaksa menghentikan penerbitanya atas
perintah pasukan Inggris. Ketika memberangus Pewarta Deli pada bulan Maret 1946,
Sekutu juga menangkap wakil pimpinan redaksi A.O Lubis dan pemimpin percetakan
Sjarikat Tapanuli Rahmat Nasution serta menghancurkan alat-alat cetak Sjarikat
Tapanuli. Sedangkan pemimpin Pewarta Deli ketika itu sedang berkunjung ke
Yogyakarta untuk memenuhi undangan dari pemerintah Republik.
Setelah dihancurkanya Pewarta Deli, maka surat kabar yang pro-Repulik tidak
ada lagi terbit di kota medan sehingga Mohammad Said mengusulkan supaya kantor
perwakilan Antara didirikan di kota Medan. Hal ini dilakukan mengingat perlunya
mass media yang mendukung Republik. Dengan usaha Mohammad Said bersama
para eks wartawan Pewarta Deli didirikanlah kantor cabang Antara yang mengambil
tempat di jalan pusat pasar no 126.
Situasi Keamanan yang tidak lagi menjamin pada saat itu menyebabkan
banyak warga yang mengungsi bahkan gubernur sendiri mengungsi ke Pamatang
Siantar dan kantor keresidenan harus pindah ke Tebing Tinggi. Dengan demikain
kantor berita antara kehilangan sumber bantuan. Apalagi pasukan Poh An Tui
bentukan Sekutu untuk meneror penduduk rakyat Indonesia di daerah pendudukan
telah membuat kubu perlawan disekitar kantor Antara. Maka Mohammad Said
menginstruksikan pemindahan kantor berita Antara ke Pematang Siantar. Mohammad
Said sendiri tetap tinggal di kota Medan yang telah diduduki NICA untuk tetap
melakukan perjuangan dengan media pers. Ditengah-tengah situasi keamanan yang
demikian, kaum pers tetap berkeinginan untuk menerbitkan suatu harian, terlebih lagi
dalam keadaan posisi dan strategi perjuangan yang semakin mendesak. Akhirnya
Mohammad Said memberanikan diri untuk menerbitkan surat kabar Republiken yang
diberi nama surat kabar Waspada pada tanggal 11 januari 1947.
3.1.3 Menerbitkan Waspada
Masa Perang kemerdekaan, kota Medan diblokir oleh Sekutu yang
sementara itu surat kabar Belanda dan Cina lebih menguasai informasi baik dari
dalam negeri maupun dari luar negeri. Untuk menandingi berita yang dikeluarkan
Belanda itu dirasakan perlu untuk menerbitkan suatu media informasi yang dapat
mengantisipasi berita-berita Belanda sesuai dengan gerak perjuangan. Oleh sebab itu
diterbitkanlah surat kabar Waspada dengan perhitungan bahwa rakyat yang terkepung
di daerah pendudukan akan membacanya dan hasil penerbitan itu dapat dimanfaatkan
untuk menutupi biaya hidup para pegawainya.43
Surat kabar tersebut diberi nama Waspada karena tidak terlepas dari situasi
dan keadaan kota Medan saat itu sedang menghadapi konflik dengan pihak Belanda.
Hal ini bertitik tolak dari persetujuan Linggar Jati. Dalam merealisasikan tujuan
tersebut telah dilaksanakan beberapa perundingan mengenai genjatan senjata antar
kedua belah pihak. Pada tanggal 6 desember 1946 dicapailah persetujuan yang
disebut persetujuan prinsip dua kilometer. Dalam penerimaan persetuujuan bersama
itu, pihak Republik dipengaruhi hasutan-hasutan untuk mempertentangkan sentimen
yang berkembang dikalangan masyarakat, kondisi tersebut dirancanakan pihak
Sekutu demi memecah belah ras dan persatuan. Hal ini menyebabkan Mohammad
Said tergugah untuk menamai surat kabar yang hendak diterbitkanya dengan nama
Waspada.
Begitu besarnya keinginan Mohammad Said untuk menerbitkan surat kabar
Waspada sehingga tanpa sadar bahwa persiapan belum ada sama sekali. Lima hari
sebelum surat kabar Waspada terbit, Mohammad Said mengunjungi kantor
percetakan Sjarikat Tapanuli di moskee straat. Kebetulan percetakan ini sedang
menganggur disebabkan kurangnya bahan yang akan dicetak dan karyawanya banyak
mengungsi kedaerah pedalaman. Mahmud Nasution selaku pimpinan percetakan ini
tetap bertahan dikota Medan dan tidak mau menggungsikan percetakanya
kepedalaman. Setelah Mohammad Said melakukan pembicaraan dengan Rahmat
Nasution sebagai pemimpin Sjarikat Tapanuli, diperoleh kata sepakat bahwa saat itu
sangat penting untuk mengumandangkan suara Republik.
Setelah Sjarikat Tapanuli setuju untuk menerbitkan surat kabar Waspada
diadakanlah persiapan-persiapan. Para pengecr surat kabar Waspada. Mereka
menyatakan sanggup membayar kontan seberapa banyak surat kabar yang dipesan.
Mohammad Said kemudian menemui rekan-rekanya sesama wartawan untuk
mempersiapkan berita-berita yang akan diturunkan pada surat kabar edisi pertama itu.
Para wartawan yang dicatat namanya ikut berjuang pada awal penerbitan surat kabar
Waspada adalah Djafar yang bertugas sebagai wakil pemimpin redaksi, Amir Daud,
Hasan Soemito dan D.I Lubis. Sedangkan Mohammad Said sendiri adalah sebagai
pemimpin redaksi dan penagung jawab surat kabar Waspada.
Pada saat sibuk mempersiapkan penerbitan pertama surat kabar Waspada,
Mohammad Said didatangi oleh wakil pemerintahan Belanda di kota Medan yaitu Dr.
J.J Van de Velde yang didampingi seorang tentara KNIL yaitu letnan L. Manik.
saat berbincang-bincang letnan L.Manik menyela bahwa “ adalah janggal kota
dibakar musuh sedangkan kita pemiliknya membiarkan saja. Yang artinya janggal
kalau surat kabar Republik didaerah Belanda dibiarkan menghantam Belanda. Tetapi
sebelumnya Dr Van De Velde menangkap isyarat yang dimaksudkan oleh Letnan
Manik itu. Mohammad Said menjawab sekarang antar Republik Indonesia dan
Belanda terdapat kekuasaan gencantan senjata dimana secara de fakto adalah
Republik Indonesia atas seluruh wilayah Madura dan Jawa di akui oleh Sekutu dan
sejak November 1946 diserah terimakan dalam status quo kemudian Mohammad Said
memberikan pertanyaan “ apakah Belanda menguasai Medan dengan membawa
sistem kenaziannya atau dengan demokrasi ? Mendengar hal; tersebut Dr. JJ Van de
Velde tertegun dan berkata : hukum pers Hindia Belanda yang berlaku sekarang
undang-undang daruratnya adalah bahwa kita tidak meringtangi orang menerbitkan
surat kabar, tetapi kita berhak untuk melarangnya dan ini tergantung dengan isi surat
kabar yang telah disiapkan. Demikialah akhirnya Dr JJ. Van de Velde pulang dengan
tidak melarang terbit dan Mohammad Said tidak pernah meminta izin terbit 44.
Dengan semangat dan tekadnya, akhirnya Mohammad Said dapat menerbitkan
Waspada. Nomor perdana harian tersebut terbit dengan setengah lembar, dengan
jumlah oplah 1000 eksemplar. Pada nomor kedua dan ketiga satu halaman dan pada
penerbitan keempat terbit dengan dua halaman penuh. Demikian seterusnya beredar
mulai Senin sampai Sabtu, untuk hari Sabtu terbit dengan empat halaman.
44 H. Mohammad Said . Waspada Harian Republiken di Daerah NICA. Medan :Tanpa Tahun
Banyak kendala yang dialami oleh Waspada pada awal terbit, seperti kesulitan
dalam mencari pekerja, tidak adanya kertas di kota Medan dan juga adanya teror
terhadap pekerja Waspada yang di lakukan oleh Tentara Kolonial Belanda. Hal yang
paling susah diatasi adalah tidak adanya kertas di kota Medan sehingga membuat
Mohammad Said harus membeli sendiri kertas ke Tanjung Balai karena pada waktu
itu hanya Tanjung Balai daerah pelabuhan terdekat yang di kuasai oleh Republik.
Sepanjang tahun 1947- 1949 Waspada telah mengalami lima kali pembridelan
karena pemberitaan oleh pihak Kolonial Belanda. Adapun pembridelan yang terjadi
yaitu :
1. Tanggal 21-27 juli 1947 yaitu pada masa agresi militer Belanda. Kantor
Waspada digeledah dan diperiksa oleh kapten Been. Sambil menyerahkan
surat yang isinya terjadi “ Politionale Acti” Yaitu surat untuk mengamkan
wilayah pendudukan Belanda atas kota Medan
2. Tanggal 23 Juli 1948 Pasukan militer Belanda masuk kekantor Waspada
sambil menyerahkan secarik kertas yang ditandatangani oleh kolonel P.
Scholten. Yang isinya menyatakan bahwa Waspada dibreidel selama 14 hari
hingga 6 agustus 1948. Bersamaan dengan itu percetakan yang digunakan
oleh Waspada juga dilarang melakukan aktivitas percetakan. Hal itu dilakukan
karena Waspada menulis tulisan Rosihan Anwar yang Berjudul “ Merdeka,
Sepuhan Juragan” yang isinya mengenai 16 perwira Kon. Lenger di Garut
3. Tanggal 19 Agustus 1948 dilakukan oleh seorang rseiden yang bukan pihak
militer Belanda. alasan pembridelan ini adalah karena berita yang dimuat
Waspada tertanggal 2 agustus 1948 yaitu tentang pengurangan gaji dan
pembunuhan kuli yang melarikan diri oleh tuan-tuan kebun yang ada di
daerah pedalaman yang dirasa bahwa berita ini tidak benar dan merusak citra
Belanda yang dikenal demokratis.
4. Desember 1948 yaitu pada masa agresi militer Belanda II, semua surat kabar
yang tidak pro Belanda semuanya dibridel.45
5. 7 mei 1949 yaitu sewaktu berlangsungnya perjanjian Roem Royen, hal ini
dikarenakan dalam pemberitaanya Waspada selalu menyudutkan Negara
Sumatera Timur yang tergabung dengan RIS.
Ketika terjadi agresi militer Belanda keluarga Mohammad Said pernah disekap dalam
sebuah kamar layaknya seperti adegan film yang sering terjadi dalam sebuah film
perjuangan seperti yang pernah dituliskan oleh Mohammad Said sendiri :
“ Berita-berita yang dimuat tanggal 19 juli dan komentar radio telah mengarah kepada kemungkinan meletusnya aresi Belanda. pada pukul 0.00 malam masuk ke 21 juli, penulis baru saja masuk kekamar tidur, tiba-tiba seorang Belanda mendobrak pintu kami di loteng ke-3. Ketika telah terbuka, seorang kapten Belanda melompat kedalam cepat-cepat sambil menodongkan revolvernya.
Surat kuasa penggeledahan yang ditunjukkanya memperkenalkan namanya kapten been. Ia memberi tahu
bahwa sekarang dilancarkan “politioneele actie’ diseluruh jawa
dan sumatera. Kami sekeluarga didorong berkumpul dengan mengangkat tangan keatas.
Bunyi sepatu serdadu-serdadu yang hingar dibawah penggeledahan sedang dilakukan. Putra tertua saya melototkan matanya kearah perwira yang kelam kabut sendiri itu. Setelah sejam digeladah, rupanya tidak ada pemuda bersenjata bersembunyi kami pun dikumpul ke suatu kamar yang sempit dibagian bawah. Besok pagi-pagi kesatuan polisi Belanda menggantikan pengawalan dan kali ini cukup lama penggeledahan surat-surat dan arsip yang diperiksa...”46
Dari tulisan Mohammad Said ini menandakan bahwa Mohammad Said
berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di daerah Sumatera
Timur sehingga dia harus ditawan oleh Belanda bersama pembesar-pembesar
Republik lainya.
Pegalaman pahit lainya yang dialami oleh Mohammad Said pada jaman agresi
militer Belanda adalah ketika berkas-berkas dan buku-buku pentingnya disita.47
Buku-buku tersebut sangat penting bagi Mohammad Said karena buku tersebutlah
yang menjadi arsip dari pemikiran Mohammad Said.
Ketika terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA Mohammad Said juga
menunjukan loyalitasnya kepada NKRI melalui tulisannya yang dimuat di Waspada
pada tanggal 1 desember 1956 dalam artikel tulisanya Mohamad Said menolak tegas
adanya pemberontakan tersebut, akibatnya Waspada dilarang oleh pemberontak
46 Mohammad TWH, Op-Cit. hal. 137.
beredar di daerah Tapanuli dan Labuhan Batu yang dikuasai oleh pemberontak
hingga 1961.48
Mohammad Said adalah tokoh pers yang sangat loyal terhadap NKRI
sehingga Mohammad Said menjadi wartawan yang dibawa oleh pemerintah dalam
melakukan kunjunganya keluar negeri. Seperti pada tanggal 18 juli 1955 ketika
Soekarno melakukan lawatan ke Mesir Mohammad Said di bawa bersama Djawoto
yang menjabat sebagai pemimpin redaksi Antara dan Adinegoro sebagai direktur pers
biro Indonesia. Dalam lawatanya ini mereka juga bertolak ke Arab Saudi untuk
menunaikan ibadah haji yang setalah lawatanya ini Mohammad Said menambahkan
haji di depan namanya. Dalam Konfresi Meja Bundar Mohammad Said juga
diikutkan oleh pemerintah sebagai perwakilan pers dari Indonesia.
Pada tanggal 1 Agustus 1961 Mohammad Said menyerahkan jabatan
pimpinan redaksi dan penangung jawab direksi kepada istrinya Ani Idrus, sedangkan
pemimpin direksi masih dipegang oleh Mohammad Said. Pada September 1964
Mohammad Said menunjuk anaknya menjadi pemimpin redaksi dan menjadi
penangung jawab harian Waspada. Tetapi tanggal 24 februari 1965 Waspada dibredal
karena Tribuana Said yang menjadi pemimpin redaksi Waspada terlibat dalam
Barisan Pendukung Soekarno (BPS) yang di fitnah oleh golongan-golongan kiri yang
tergabung dalam pemerintahan.49
Pada 17 Agustus 1967 Waspada mulai terbit dibawah kepemimpinan
Mohammad Said. Mohammad Said benar-benar berhenti dari dunia pers pada tanggal
1 Februari ketika Mohammad Said menyerahkan jabatanya untuk kedua kalinya
kepada anaknya Tribuana Said. Mohamad Said berheti sebagai penggiat pers dan
konsen di bidang politik dan penulisan sejarah.
Semasa menjadi insan pers Mohammad Said banyak memperoleh
penghargaan, seperti penghargaan Satya Penegak Pers Pancasila pada tahun 1985,
penghargaan sebagai tokoh yang mendirikan serikat pernerbit surat kabar di solo yang
menjadi cikal bakal berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun
1946.
Ketika Mohammad Said menjadi wartawan di surat kabar dijaman kolonial
Belanda Mohammad Said pernah mengalami delik pers yaitu akibat dari sebuah
tulisan yang dianggap memberi malu atau menghina orang. Untuk kealpaanya itu dia
didenda dua puluh lima gulden, karena dituduh melanggar pasal 310 kitab
undang-undang hukum pidana, wtboek van strafrecht voor nederlands indie. Mohammad Said
adalah penulis yang sangat hati-hati karena dia suka membaca buku-buku yang
menyangkut hukum. Dia sering menyaksikan orang sering kali disiksa dan dicambuk
kala mendapat hukuman.50
Pada jaman orde baru Mohammad Said juga memiliki pandangan tersendiri
mengenai kebebasan pers yang pada waktu itu cukup ketat. Mohammad said pernah
menyampaikannya ketika wawancara dengan Soebagijo.
“Tidak sepenuhnya bebas. Namun kebebasanya ada, karena
masih bisa orang menulis tanpa disensor terlebih dahulu. Mengenai makna “ tidak sepenuhnya bebas ialah karena adanya wewenang penguasa untuk mencabut izin terbit surat kabar, jadi beda dengan peraturan yang lazim yakni mereka yang terkena ranjau pers. Hanya akan dihukum berdasar
kesalahanya“.51
Dari pendapat Mohammad Said ini menandakan bahwa sebenarnya pers
dijaman penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang lebih berat penderitaanya dan
hukumanya dibanding jaman orde baru.52
50 Soebagijo, Op-Cit. hal. 281. 51 Ibid, hal. 282.
BAB IV
MOHAMMAD SAID SEBAGAI POLITISI DAN SEJARAWAN
4.1 Mohammad Said Sebagai Politisi
4.1.2 Keadaan Politik di Sumatera Timur
Bagi daerah Sumatera Timur dan Tapanuli (sekarang Sumatera Utara),
perkembangan atau interaksi dengan organisasi yang ada di Jawa terbatas oleh
kondisi atau interaksi dengan organisasi yang lain oleh kondisi setempat yang yang
berbeda-beda. Pada umumnya kehidupan berorganisasi di daerah ini dimulai abad ke
20, yang mendapat rintangan yang sangat berat. Tidak sedikit orang-orang terdidik
yang berjuang terutama karena melihat penderitaan kaum buruh atau kuli kebun.
Tetapi kegiatan mereka terhalang oleh tindakan pemilik-pemilik modal di
perkebunan.
Organisasi-organisasi yang tumbuh dan berkembang di pula Jawa Juga ikut
tumbuh dan berkembang di sumatera Timur Seperti Budi Utomo yang didirikan di
Medan tahun 1908 oleh orang-orang Jawa yang tinggal di daerah perkebunan. Serekat
Islam juga didirikan di Sumatera Timur oleh ulama-ulama, Dr. Pringadi adalah salah
satu penggagas supaya Budi Utomo didirikan di Sumatera Timur. Dan untuk Sjarekat
Organisasi-organisasi pemuda yang hidup daerah Sumatera Timur tahun 20-an
selain organisasi yang bersifat nasional ada juga organisasi yang bersifat lokal seperti
: Jong Islamaten Bond, Indonesia Muda, Organisasi Gereja, Organisasi Islam Al
Jamiatul Wasliyah. Organisasi ini bergerak dibidang keagaman dan Pendidikan.
Dikalangan penduduk pada jaman kolonial dulu terdapat kelompok kuli
perkebunan, kelompok masyarakat yang dikuasai sultan-sultan dibeberapa kerajaan
yaitu kerajaan Langkat, Deli, Asahan dan lainya, kemudian di daerah Karo
pedalaman dan Simalungun terdapat raja-raja kecil. Sedangkan di Tapanuli rakyat
langsung diperintah oleh penguasa kolonial melalui kepala-kepala nagari.
Terhadap kuli perkebunan, pemerintah kolonial Belanda tidak secara langsung
menguasainya, karena sebenarnya mereka itu dikuasai oleh kaum ondernamers.
Kaum ondernamers melalui koelei ordonatie menjadikan kaum buruh sebagai sapi
perahan dan mengisolasikan kehidupan buruh itu dari perkembangan masyarakat
sekitar. Tujuannya adalah menjadikan kelompok buruh ini turun temurun menjadi
kuli. Kehidupan kuli perkebunan sangat terikat oleh kontrak yang selalu diperpanjang
dan praktis mereka mereka tidak mungkin meninggalkan pekerjaan itu untuk
mengubah nasib mereka. Kaum kuli sudah dibiasakan hidup royal pada hari gajian
dengan demikian selalu berkekurangan, lalu setiap kali terpaksa memperpanjang
Ada juga yang menginginkan perubahan nasib, tapi tidak mungkin dilakukan
dengan organisasi. Kegiatan organisasi terlarang keras diperkebunan. Jalan yang
dapat ditempuh ialah melalui tulisan pada surat kabar tetapi tetap saja tidak merubah
nasib buruh diperkebunan. Di Medan pada tahun 1919 berdiri serikat pekerja DSM
dibawah pimpinan Muhammad Samin bernama da crediet. Serikat pekerja ini
melakukan mogok kerja untuk meminta kenaikan upah tetapi tidak berhasil.
Bagi daerah Sumatera Timur, pada umumnya telah banyak pemimpin
organisasi antara tahun 1926-1927. Para pemimpin itu pada umumnya berasal dari
golongan petani maju, pedagang, golongan intelek, golongan agama. Mereka inilah
yang punya sikap tertentu yang mempunyai kesadaran politik, punya dasar
kebangsaan dan juga mempunyai tujuan. Mereka ada yang kooperasi dan ada yang
non kooperasi dan mereka cenderung berjuang melalui surat kabar.
Organisasi Kepartaian juga tumbuh dan berkembang di Sumatera Timur
seperti organisasi lainya. Di Sumatera Timur ada beberapa organisasi kepartaian yang
memiliki basis cukup kuat disumatera seperti PKI, PNI, PESINDO dan masih banyak
lagi.
Pada Sekitaran tahun 30-an masyarakat Sumatera Timur telah mengenal
beberapa taktik perjuangan, yaitu melalui pendidikan politik, dengan jalan melakukan
pertemuan-pertemuan rahasia yang dilakukan oleh hanya beberapa orang yang sangat
dan meneguhkan sikap serta menentukan taktik menghadapi pengawasan keras dan
penangkapan-penangkapan yang semakin sering dilakukan kolonial Belanda.
kelompok-kelompok ini terdiri dari berbagi jenis lapisan masyarakat dan sering kali
masyarakat yang bukan anggota partai ikut. Pada tahun 30-an seni berpolitik di
daerah ini bermacam-macam kode untuk menentukan apakah orang berdekatan
dengan kita itu lawan atau kawan seperti cara bersalaman, cara menegur seseorang,
dan cara berpakaian.53
4.1.3 Mohammad Said Sebagai Pemimpin PNI Cabang Medan
Partai Nasional Indonesia masuk ke Medan dibawakan oleh Mr. Iwa Kusuma
Sumantri dan Mr. Sunaryo.54 Awal masuknya pengaruh Partai Nasional Indonesia di
Medan adalah bermula saat pemrintahan kolonial Belanda masih berkuasa di negara
Sumatera Timur. Adapun tujuan dari Partai Nasional Indonesia adalah untuk
mewujutkan kemerdekaan di wilayah Sumatera dan menghapus adanya perbedaan
status sosial yang dimilki masyarakat Medan secara khusus dan secara umum untuk
memerdekakan Indonesia dari penindasan yang dilakukan oleh kolonial Belanda
masuknya Partai Nasional di wilayah Sumatera tepat pada tahun 1929, dua tahun
setelah berdirinya partai politik ini yaitu 4 juli 1927, dulunya partai nasional
Indonesia bernama Perserikatan Nasional Indonesia, tetapi setelah kongres di
53 Wawancara dengan Mohammad TWH. Medan 26-1-2013.
54 Suprayitno, Mencoba Lagi Menjadi Indonesia, Yogyakarta, Yayasan Untuk Indonesia,
Surabaya namanya diganti. Partai Nasional Indonesia masuk ke daerah Medan di
bawakan oleh Mr. Iwa Kusuma Sumatri dan Mr. Sunaryo.55
Tujuan Partai Nasional Indonesia didirikan didasarkan munculnya kesadaran
yang sangat tinggi diantara para pelajar indonesia dalam menciptakan konsep negara
nasional Indonesia, bahasa nasional Indonesia, kebudayaan nasional Indonesia dan
bendera nasional Indonesia serta lagu nasional. Perkembangan partai ini di wilayah
sumatera bahkan wilayah lain sangat mengkwatirkan pemerintah kolonial Belanda
pada saat itu. Apalagi tokoh-tokoh partai ini berasal dari kalangan intelektual yang
mempunyai kesadaran yang sangat tinggi terhadap penindasan yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Akibat dari kekwatiran inilah pemerintah kolonial
Belanda membubarkan segala aktivitas partai politik ini tahun 1931. Walaupun partai
ini dibubarkan namun sumbangsih pemikiran dalam konsep nasionalisme tetap
dijalankan oleh tokoh-tokohnya baik terhadap partai lain, misalnya dengan
membangkitkan gerakan nasionalisme terhadap Gerakan Rakyat Indonesia
(GERINDO) dan Partai Indonesia Raya (PARINDRA)
Ketika Indonesia mengalami penindasan yang dilakukan oleh Jepang, suasana
dalam mewujudkan Indonesia merdeka seperti yang diinginkan oleh Partai Nasional
Indonesia dalam konsep nasionalismenya semakin tertutup, terlihat dari banyaknya
organisasi yang diciptakan Jepang sendiri, seperti Bushito dan lain-lain. Saat
kemerdekaan Indonesia diplokamirkan tanggal 17 agustus 1945 oleh Soekarno dan
M. Hatta atas persetujuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
diikuti oleh penyetujuan bentuk pemerintah negara RI meliputi Jawa Barat, Jawa
Timur, Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan, Sulawsai, Maluku, serta Nusa Tenggara
Timur56, semenjak ini pula pembenahan terhadap sistem politik dilakukan. Setelah
sekian lama Partai Nasional Indonesia dibekukan atau tidak melakukan aktivitas
partai. Maka pada tahun 1946 tepatnya tanggal 29 januari di kota Kediri kembali
partai ini masuk arena perpolitikan Indonesia. Munculnya kekuatan Partai Nasional
Indonesia saat itu merupakan warisan dari ideologi Partai Nasional Indonesia 1927.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa Partai Nasional Indonesia di daerah
Medan telah ada jauh sebelum Indonesia melepaskan diri dari kolonial Belanda.
ketika Partai Nasional Indonesia dipimpin oleh Sarmidi Mangoensarkoro,
pembentukan dewan daerah untuk Sumatera dilakukan yang diketuai Dr. Ak Gani.
Pembubaran terhadap Partai Nasional Indonesia terjadi lagi tetapi aktivitas
partai di daerah sumatera tetap berjalan sehingga pada wal bulan november 1946
Partai Nasional Indonesia dipimpin oleh Saleh Umar, pada saat ini revolusi sosial di
Sumatera Timur terjadi dalam menghilangkan hak-hak istimewa kelompok
bangsawan. Ketika berbentuk propinsi Sumatera Utara (Gabungan Sumatera Timur
Dan Tapanuli) pada bulan april 1948 dengan ibukotanya Medan maka segala
peraturan daerah tidak lagi berkaitan dengan kebijakan Negara Sumatera Timur. Saat
terbentuknya propinsi Sumatera Utara Pimpinan Partai Nasional Indonesia dijabat
oleh Mohamamad Said menggantikan Saleh Oemar.
Pada Awal kemerdekaan Republik Indonesia Mohammad Said melakukan
kegiatan politik yang aman yaitu tidak terlibat kepada organisasi manapun tetapi
sejak ditanda tanganinya persetujuan Renvile antara RI-Belanda awal januari 1948
dan awal dari terbentuknya Negara Sumatera Timur yang merupakan ciptaan
gubernur jenderal Dr Van Mook dengan mendapat dukungan dari segelintir orang
Indonesia. Membuat Mohammad Said yang sedari awalnya sangat mencintai NKRI
membuat dia menunjukan eksistensi politiknya dengan menjadi orang yang terdepan
menentang adanya keberadaan Negara Sumatera Timur dengan dibantu oleh istrinya
Ani Idrus. 57
Ani Idrus menghimpun kekuatan dari kaum wanita untuk menentang Negara
Sumatera Timur yang digabungkan dalam Organisasi Wanita Demokrat Sumatera
Utara. Kegiatan-kegiatan dari organisasi wanita ini cukup banyak antara lain
menyokong perjuangan Republik Indonesia untuk keutuhan negara.
Mohammad said menjadi pemimpin PNI di Sumatera Timur pada tahun 1948,
yang menjadi salah satu kendaraan politik yang digunakan oleh Mohammad Said
untuk mempertahankan keutuhan NKRI dari rongrongan kolonial Belanda yang
dibantu oleh pasukan militer Inggris. Dalam perkembanganya memasuki tahun
an PNI mengalami kemajuan yang cukup pesat yang pada waktu itu dipimpin oleh
Mohammad Said. Strategi yang digunakan oleh mohammad said adalah dengan
membangun opini-opini masyarakat melalui surat kabar yang dipimpinnya waktu itu.
Harian waspada menjadi corong partai untuk menyebarkan paham, gagasan, ide-ide
dan kegiatan partai kepada rakyat.
Kekuatan Partai Nasional Indonesia di Medan sangat nyata dalam mengawasi
berbagai penyelewengan yang dilakukan pemerintah daerah. Seperti peritiwa
jatuhnya gubernur A. Hakim yang merupakan kader Masyumi pada tahun 1953.
Kejatuhan gubernur ini tidak terlepas dari pengaruh PNI yang dipimpin oleh
Mohammad Said. Mohammad Said Bersama Partai Nasional Indonesia Menentang
dekrit yang memberikan hak benda untuk 125.000 hektar kepada perusahaan
tembakau yang dikeluarkan oleh A. Hakim yang memuncak pada peristiwa
Tanjungmorawa 1953.58 Dalam peristiwa ini Mohammad Said memainkan peranan
politik PNI dengan memberikan pembelaan kasus tanah yang dialami oleh penduduk
Sumatera Utara dalam peralihan dari tanah kolonial terhadap tanah rakyat. Untuk
masalah tanah dari seluruh kader PNI yang ada di Indonesia hanya PNI Sumatera
Utara yang berpihak kepada kaum buruh dan petani dan ini tidak terlepas dari
pemahaman Mohammad Said yang benar-benar mendukung kaum buruh dan tani
yang sudah dia jalani semasa pemerintahan Kolonial Belanda.
58 Feri Gusnandi. Aksi Penyerobotan Tanah Perkebunan di Sumatera Timur 1950-1960,
Aktivitas politik dari Mohammad Said semakin menonjol menjelang
berlangsungnya Konfrensi Meja Bundar yang berlangsung dari September hingga
Desember 1949 di Deen Hagg, Belanda. Seperti yang diketahui pada waktu itu,
secara nasional akan terbentuk Republik Indonesia Serikat sebagai buah dari
konfrensi Meja Bundar. Dengan lahirnya Republik Indonesia Serikat itu berarti
keberadaan negara-negara boneka ciptan Van Mook seperti Negara Sumatera Timur,
Negara Sumatera Selatan, Negara Indonesia Timur , Banjar dan lainya diakui.
Disamping Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Demikian juga
dalam masalah ketata negaraan, kepegawaian ekonomi keuangan dan kemiliteran dan
lain-lain pasti akan dihadapi dan harus dapat ditanggulangi supaya tidak terjadi
gejolak yang membahayakan bangsa dan negara. Khusus sumatera Timur pada akhir
1949 itu disadari penuh oleh Mohammad Said dan pemimpin-peminpin organisasi
lain, muncul masalah yang cukup rumit dan memerlukan perhatian istimewa.
Salah satu tuntutan diantara permasalahan aktual pada waktu itu ialah
menderasnya tuntutan agar Negara Sumatera Timur dibubarkan, dilebur kedalam
Republik Indonesia. Tuntutan rakyat membubarkan Negara Sumatera Timur semakin
menderas lagi begitu Republik Indonesia Serikat berdiri tanggal 27 Desember 1949.
Sebagai insan politik Mohammad Said seusai menyelengarakan dan
mensukseskan Kongres Rakyat berkecimpung penuh di Partai Nasional Indonesia dan
juga sebagai pemimpin harian Waspada. Sewaktu menjabat sebagai ketua
ketua bagian penerangan dan propaganda aktif dalam menggiatkan penerangan
kepada massa Marhaen sampai pelosok Sumaetara Utara dan mereka menerbitkan
buletin bulanan partai bernama Banteng. Semasa kepemimpinan Mohammad Said di
PNI Mohammad Said juga memberikan sebuah contoh demokrasi yang baik dalam
perkembangan partai dengan menyelenggarakan Konfrensi Tingkat Daerah PNI yang
pertama di Sibolga.
Tantangan terbesar yang Mohammad Said hadapi ketika memimpin PNI
adalah banyaknya anggapan yang bahwa partai ini adalah partai orang Jawa sehingga
etnis lain yang ada di Sumatera Utara masih banyak yang mau bergabung. Tetapi
kecakapan Mohammad Said terbukti bahwa partai ini akhirnya bisa diterima
masyarakat pada pemilu 1955 di wilayah Sumatera Utara PNI mendapat suara
terbanyak kedua setelah Masyumi.59
Dalam Pemilihan tahun 1955 PNI Sumetera Utara memperoleh suara yang
cukup memuaskan yaitu 3 kursi yang pada waktu itu di wakili oleh M. Saleh Umar,
Dr. Lumban Tobing dan Slamet Ginting. Untuk posisi ketua DPRD Sumatera Utara
jatuh kapada ketua PNI yaitu Mohammad Said, tetapi Mohamad Said menolaknya
dan menyerahkanya kepada sekretaris PNI Adnan Nur Lubis, dikarenakan terjadinya
pertentangan di antara kalangan partai yang menginginkan calon-calon dari
daerahnya yang menjadi wakil di parlemen.
Mohammad Said menjadi kader dari PNI dari dibentuknya partai ini hingga
dimulainya pemerintahan orde baru yaitu setalah menjabat sebagi MPRS yang
direkomendasikan oleh PNI Osa Usep dan berhenti setahun kemudian dan resmi juga
berhenti menjadi kader dari PNI karena Mohammad Said tidak menyukai intervensi
militer di tubuh PNI. Setelah berhenti dari aktivitas politik Mohammad Said
menjalani hidupnya sebagai penulis sejarah hingga akhir hayatnya.
4.1.4 Mohammad Said Memimpin Kongres NST
Pada tanggal 30 Juli 1947, sepuluh hari setelah agresi militer belanda I,
sebuah rapat umum diadakan di Medan untuk menutut berdirinya daerah otonomi
Sumatera Timur dalam rapat itu hadir komandan Brigade Z (Kolonel Scholten)
residen Sumatera Timur (Mr. J. Gerristen) penasihat pemerintahan Dr. J.J. Van de
Velde.60 Dalam Rapat ini maka dibentuklah Komite Istimewa Sumatera Timur yang
menjadi cikal bakal menjadi sebuah negara federasi yang bernama Negara Sumatera
Timur.
Negara Sumatera Timur resmi didirikan oleh Van Mook dari dekrit resminya
yang menyatakan bahwa daerah istimewa Sumatera Timur diakui sebagai sebuah
negara. Pembentukan Negara Sumatera Timur bagi pihak belanda adalah sebuah
upaya untuk menguasai kembali segala sumber daya alam yang sangat melimpah
seperti perkebunan tembakau, perkebunan karet, dan tambang minyak bumi. Disisi
lain, orang-orang penduduk asli memanfaatkan Negara Sumatera Timur untuk
memulihkan posisi mereka seperti sedia kala yang pernah mereka rasakan pada
pemerintahan Kolonial Belanda. Selain motif tersebut ada juga penduduk yang
mendukung Negara Sumatera Timur karena mendapat perlakuan yang tidak baik dari
pihak Republik.
Pada proses dinamika pemerintahan Negara Sumatera Timur para
pemimpinya tidak dapat memperoleh dukungan dari masyarakat karena mereka
cenderung lebih berusaha memperdalam jurang status sosial antara bangsawan dan
penduduk. Pemimpin-pemimpin Negara Sumatera Timur selalu berusaha untuk
memulihkan kekuasaan kaum bangsawan melayu yang benar-benar tidak diinginkan
rakyat pada masa tersebut. Selain itu kemampuan politik dari pemimpin Negara
Sumatera Timur yang masih dibawah pemimpin yang pro republikan membuat
Negara Sumatera Timur kehilangan dukungan dari penduduk asli seperti Simalungun,
dan Karo yang menjadi berbalik menuntut supaya Negara Sumatera Timur
dibubarkan.61
Selain tekanan dari penduduk yang menuntut Negara Sumatera Timur
dibubarkan terdapat juga pertentanggan diantara para pemimpin Negara Sumatera
Timur yang selalu menonjolkan kelompoknya. Seperti pertentangan Kesultanan Deli
dan Asahan yang meminta keluarganya kembali berkuasa.
Setelah Agresi Militer Belanda Ke-II di Sumatera, Membuat Negara Sumatera
Timur semakin kehilangan dukungan dari penduduk, dan juga karena peristiwa ini
membuat perang baru dimulai yaitu perang gerilya yang melibatkan seluruh unsur
masyarakat, terutama masyarakat desa yang bertujuan untuk menghancurkan
kekuatan militer Belanda dan pemerintah Negara Sumatera Timur.62
Selain perang para penduduk juga melakukan tuntutan untuk membubarkan
Negara Sumatera Timur melalui demonstrasi. Demonstrasi yang dilakukan oleh
penduduk Sumatera Timur mendapat perlakuan yang tidak baik dari militer Belanda
dan pemerintah Negara Sumatera Timur sehingga membuat semakin hilangnya
wibawa pemerintah Negara Sumatera Timur.
Tuntutan pembubaran Negara Sumatera Timur terjadi diseluruh daerah yang
menjadi daerah Sumatera Timur. Aksi rakyat itu memuncak pada bulan Januari dan
Februari 1950. Yang membuat tokoh-tokoh yang berpengaruh pada waktu itu seperti
Mohammad Said, Ani Idrus, Sugondo Kartoprojo, Jahja Jacob, Udin Sjamsudin, G.B.
Jasua untuk membentuk sebuah wadah yang bernama Kongres Rakyat Se-Sumatera
Timur.
Atas kesepakatan bersama dari wakil-wakil rakyat seluruh kabupaten di
Sumatera Timur maka sebagai ketua umum terpilihlah Mohammad Said yang juga
menjabat sebagai ketua Partai Nasional Indonesia dan pemimpin harian umum
Waspada. Waspada adalah harian yang terkenal sebagi koran Republik selama perang
kemerdekaan.63
62 Ibid, hal. 169.
Pada Kongres ini Mohammad Said menyadari benar, betapa besarnya
tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya. Sebab pada dirinyalah diberikan
kepercayaan untuk mensukseskan Kongres Rakyat Sumatera Timur yang
diprogramkan dihadiri lebih dari 1000 utusan sedangkan waktu untuk persiapan
cukup pendek. Pegurusan segala sesuatu bagi suksesnya di emban oleh Mohammad
Said, tetapi dalam urusan teknis Mohammad Said banyak dibantu oleh istrinya Ani
Idrus.
Peristiwa kongres ini merupakan peristiwa kongres rakyat terbesar di
Sumatera Timur sampai sekarang sudah berganti menjadi Sumatera Utara. Karena itu
panitia pusat kongres rakyat bekerja ekstra keras siang dan malam tanpa mengenal
lelah. Baik dalam menentukan aturan tentang pemilihan para utusan ke kongres dari
daerah-daerah yang pada waktu itu setiap 2500 orang diwakili oleh satu orang utusan,
menyusun tata tertib sidang, akomodasi peserta kongres, mengundang tamu-tamu dari
pusat, seperti pemerintah pusat. DPRS, RIS, Korps Diplomatik, Pembesar-Pembesar
RIS dan Negara Sumatera Timur. Panitia cukup kewalahan dalam mempersiapkan
kongres ini karena kongres dilakukan di Medan yang merupakan ibu kota dari Negara
Sumatera Timur.
Sebagai ketua panitia kongres rakyat yang pelaksanaanya cukup dekat maka
Mohammad Said mengerahkan segala kemampuanya sekaligus juga mengerahkan
kemampuan istrinya dalam memperoleh dana. Istrinya Ani Idrus sangatlah lihai dan
Said yang memiliki pengaruh yang cukup besar pada waktu itu benar-benar
bermanfaat untuk mengundang para peserta kongres, baik dari pihak Republikan dan
juga pihak Negara Sumatera Timur. Kongres rakyat Sumatera Timur berlangsung di
Medan dari tanggal 27 sampai 30 april 1950, dihadiri 417 utusan dan puluhan orang
peninjau.
Jauh sebelum kongres rakyat berlangsung di daerah telah terjadi pemilihan
utusan yang akan dikirm dalalam kongres tersebut, pemilihan kongres tersebut cukup
demokratis dan dilaksanakan pada umumnya di depan kantor camat. Pemilihan ini
cukup menarik perhatian rakyat, ribuan orang berbondong-bondong datang ke kota
untuk melakukan pemilihan, mereka banyak yang datang berjalan kaki puluhan
kilometer membawa bekal sendiri, menginap di tanah lapang dan kantor
pemerintahan seperti yang terjadi ditanah Karo.64
Kongres ini berlangsung di bangsal Medan-kongres65 yang memilki banyak
fungsi pada saat kongres karena selain tempat berlangsungya kongres tempat ini juga
dijadikan pemondokan bagi para peserta kongres. Di luar bangsal ini , terdapat
bangsal kecil yang digunakan sebagai press room bagi wartawan yang ingin
mengirim beritanya dan disamping bangsal ini diadakan kantor pos pembantu, bagi
wartawan yang ingin mengirim surat. Pada dingding gedung Medan kongres tersebut
terdapat slogan-slogan yang intinya adalah “suara rakyatlah penentunya”. Bangsal ini
64 Triandah Bangun, Op-Cit. hal. 168.
dihiasi dengan warna merah putih, dibelakang meja pimpinan terpampang gambar
presiden Soekarno yang besar, dihiasi bendera merah putih.
Kongres ini dihadiri oleh peninjau-peninjau resmi yang datang pada saat
kongres seperti Mr. Tambunan, Wangsa Wijdajda, Roeslan Abdul Gani, Suska,
Purbujo Kolopaking, Suparto, M. Natsir, M. Junan Nasution, Zainal Abidin,
Wondoamisemo, dan Sumarto. Pada malam resepsi hadirlah Gubernur militer dan
teritorium Sumatera, Kolonel Simbolon beserta opsir-opsirnya dan juga tampak hadir
opsir-opsir Belanda beserta opsir-opsir NICA. Selain para kalangan militer tampak
hadir juga orang-orang terkemuka dari berbagai kalangan seperti kalangan pedangang
dan juga perkebunan. Dari pihak Negara Sumatera Timur yang hadir dalam kongres
ini yaitu Mr. Abbas, Jaksa Agung Sumatera Timur Dt. Hafiz Haberman, kepala
wilayah Deli dan Serdang merangkap wakil walikota Medan, R.M. Sarsidi, Kepala
Departemen Lalu Lintas, F.H. Rotty.
Dalam pembukaan kongres ini terlihat sikap Mohammad Said yang
mengkritik pemerintah Republik Indonesia Serikat yaitu :
“bahwa persoalan utama pada masa itu adalah bukan pada paham federalis dan unitaris, tetapi sisa-sisa kolonialis yang masih bertahan di tengah-tengah masyarakat Sumatera Timur. Kongres yang berlangsung selama tiga hari ini dan dihadiri oleh kira-kira 3.000 orang telah menghasilkan resolusi mendukung penggabungan Sumatera Timur kedalam Republik
Indonesia dan menghapuskan NST...”66
Resolusi dan pidato ini secara panjang lebar adalah sebuah kritik kepada
pemerintahan Republik Indonesia Serikat yang sangat lamban untuk melaksanakan
mosi Yamin dan yunan yang disampaikan dalam rapat Republik Indonesia Serikat.
Demikianlah kongres ini berlangsung selam tiga hari dan mengalami
perdebatan-perdabatan yang mengkerucutkan bahwa kongres memutuskan bahwa Negara
Sumatara Timur kembali kepangkuan NKRI. Sebagai insan politik Mohammad Said
seusai menyelengarakan dan mensukseskan Kongres Rakyat berkecimpung penuh di
Partai Nasional Indonesia dan juga sebagai pemimpin harian Waspada.
4.2 Mohammad Said Sebagai Sejarawan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sejarawan adalah orang yang ahli
serta mengkususkan untuk meneliti dan menulis sejarah.67Sejarawan dapat
digolongkan menjadi dua jenis yaitu sejarawan akademisi dan sejarawan atodidak.
Sejarawan akademisi artinya yaitu orang yang ahli dalam meneliti dan menuliskan
sejarah dengan menempuh studi khusus dibidang sejarah dan sejarawan autodidak
adalah orang yang ahli menuliskan dan meneliti sejarah dengan belajar sendiri.
Perkembangan sejarawan di Indonesia dimulai dari jaman penjajahan Belanda
telah banyak orang-orang yang meneliti sejarah baik secara atodidak maupun dengan
cara menempuh dunia pendidikan tinggi. Pada masa kemerdekaan sejarawan atodidak
di Indonesia banyak sekali yang berkembang tidak terkecuali di Sumatera Timur yang
67 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, 2012.
juga banyak menghasilkan sejarawan atodidak dan salah satunya adalah Mohammad
Said.
Mohammad Said banyak menuliskan karya-karya sejarah tanpa pernah
mengikuti pendidikan khusus bidang sejarah seperti kuliah di perguruan tinggi.
Secara kuantitas karya yang dihasilkan oleh Mohammad Said tidak kalah dengan
yang dihasilkan oleh lulusan perguruan tinggi. Tetapi dari segi kualitas karya dari
Mohammad Said masih perlu untuk di kaji ulang lagi, baik dari segi metode
penelitian maupun dari tata cara penulisanya. Dari isi dan ide penulisan yang terdapat
pada buku-buku Mohammad Said tidaklah salah hanya perlu di perbaiki di sisi
pemilihan kata-kata dan juga dari segi penentuan sumber-sumber primer dalam
penelitian tersebut. Salah satu kekurangan dari tulisan-tulisan Mohammad Said yang
dapat kita lihat adalah seringnya Mohammad Said terpengaruh tentang mitos-mitos
yang jelas-jelas bukan sejarah
Kemampuan Mohammad Said untuk berbahasa asing seperti bahasa Inggris
dan bahasa Belanda serta di tunjang dengan kemapuan menulis telah menciptakan
Mohammad Said menjadi seorang penulis sejarah yang sangat produktif.
Kemampuan bahasa Inggris dan Belandanya dia pergunakan untuk mempelajari
literatur-literatur tentang sejarah bangsa ini yang pada umumnya menggunakan
bahasa Belanda dan bahasa Inggris seperti karyanya yang berjudul Aceh Sepanjang
Abad yang banyak menggunakan sumber-sumber yang berbahasa Belanda dan bahasa
Mohammad Said adalah seorang sejarawan yang memiliki sifat cendikiawan,
kecendikiawanya dalam menulis sejarah terlihat dari karya-karya Mohammad Said
banyak yang menyinggung tentang denyut kehidupan sosial, politik dan budaya
masyarakat sekitar. Kemampuan Mohammad Said menulis karya sejarah yang
menyetuh nadi kehidupan masyarakat menjadikan karyanya sering dijadikan sumber
penelitian dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu karya Mohammad Said yang
terkenal dengan nadi kehidupan masyarakat yaitu karya yang berjudul Koeli Kontrak
Tempo Doleloe.
Uraian-urain yang disuguhkan oleh Mohammad Said dalam karya-karyanya
memberikan gambaran tentang babakan sejarah yang terjadi. Seperti dalam karyanya
yang berjudul Aceh Sepanjang Abad yang menggambarkan babakan sejarah di Aceh
walaupun dalam karyanya terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki seperti metode
penelitian yang digunakan.
Dewasa ini banyak orang menuliskan sejarah di media massa dan
menjadikanya sebagai bahan utama. Salah satu media yang menjadikan sejarah
sebagai bahan utama adalah majalah historia. Hal seperti ini juga sudah dilakukan
oleh Mohammad Said semasa hidupnya. Mohammad Said banyak menulis sejarah
tentang masa kolonial Belanda ketika memimpin harian Waspada. Tulisan sejarah
Mohammad Said mencapai ratusan di surat kabar. Banyak karyanya yang diterbitkan
secara bersambung dan sering digunakan sebagai bahan diskusi di kalangan akademik
Selain menghasilkan karya dalam bentuk buku, Mohammad Said juga
seringkali meghasilkan tulisan berupa makalah-makalah sejarah. Makalah-makalah
tersebut tidak jarang di seminarkan diberbagai daerah dan dihadiri dari berbagai
kalangan, seperti seminar masuknya agama islam ke Indonesia yang diselenggarakan
di dua kota besar yaitu Aceh dan Medan. Selain seminar tentag islam Mohammad
Said juga pernah menjadi pembicara kunci dalam seminar sejarah pers tiga jaman di
Jakarta dan seminar Tuanku Tambusi di Medan.
Mohammad Said bukanlah penulis yang bagaikan pohon pisang, yang hanya
berbuah satu kali. Pada usia Mohammad Said sudah semakin senja, dengan beragam
kendala yang harus dia lalui Mohammad Said tetap bisa membuktikan jati dirinya
sebagai seorang penulis yang akan terus berkarya. Beliau membuktikan bahwa sakit
dan penyakit bukanlah penghalang untuk berkarya. Meskipun Mohammad Said harus
berada di atas kursi roda akibat penyakit yang dideritanya sejak berhenti dari
Waspada, tidak berarti kegiatannya menyusut.
Tidak hanya dalam mengikuti perkembangan dunia dan menuangkan hasil
renungan dalam tulisan Mohammad Said masih melakukan penelitian dan aktif
didalam pengembangan ilmu tulis menulis kepada warga dilingkungan tempat tinggal
Mohammad Said. Gaya bicaranya yang selalu meledak-ledak sebagai ciri khas orang
Semasa hidupnya yang sudah mengidap berbagai penyakit Mohammad Said
bersama istrinya sering kali berkunjung keperpustakaan dan bercerita dengan orang
yang ada di perpustakaan mengenai pers dan sejarah yang dia ketahui. Mohammad
Sering menolak istirahat dikala istrinya Usmariati memintanya ber istirahat dengan
ucapan“… masak hanya karena sakit macam ini lantas tidur melulu. Harus tidur dengan siapa?”. 68
Mohammad Said tidak pernah membatasi kegiatan dan aktivitasnya. Bedanya,
kalau dulu orang akan selalu melihat lelaki bertubuh tambun dengan kacamata tebal
tersebut hadir sendirian. Dimasa tuanya Mohammad Said tidak seperti itu lagi.
Penampilannya sama, namun ada orang yang membantunya untuk mendorong kursi
roda, menaik turunkan ke kendaraan, dan membantu keperluannya. “… maunya saya,
ya, masih macem dulu, bisa keluyuran ke mana-mana sendirian “. Tetapi, kan tidak
semua tempat umum di medan ini yang bisa diakses dengan bebas oleh orang seperti saya?” katanya kepada Shobiran Siregar ketika bercerita dengan Mohammad Said.69
Sebagai sejarawan, Mohammad Said menerima berbagai penghargaan yaitu
dari Pemerintah Daerah Istimewa Aceh yang pada waktu itu dijabat oleh Gubernur
Ali Hasjmy berupa Sarakata Pancacita dan Medali Pancacita dan penghargaan dari
Majelis Ulama Indonesia berupa Sarakata Ulama dan Medali Ulama untuk peran