• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

B. Idealisme Paku Buwana IV dalam Kehidupan Keagamaan di

1. Pengaruh Islam Terhadap Pemerintahan di Keraton

Menurut Geertz, agama adalah sebagai: “Suatu sistem simbol yang

bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi

secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri amnesia, dengan cara

memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku

umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata” (Clifford Geertz, 1989: xi). Sedangkan hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Menurut Fitzgerald

bahwa: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan

sebuah sistem politik (a political system) (Dhiauddin Rais, 2001:4-5). Maksudnya

Islam adalah agama yang dalam ajarannya terdapat tentang masalah-masalah keduniawian (politik), selain itu Islam juga agama yang mencintai kesamaan, solidaritas dan kekeluargaan.

Lawan politik masyarakat Islam Indonesia adalah penjajah Barat yang mencoba mengembangkan ajaran agama Katolik dan Protestan melalui pengembangan imperialisme. Dari berbagai kebijakan politik kolonial, yakni dengan mengkondisikan pribumi sebagai bangsa terjajah dan bodoh. Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberi fasilitas pendidikan untuk anak bangsawan dan

anak raja seta anak Eropa. Pesantren dijadikan target serangannya ruthless

operation (operasi yang tidak kenal belas kasih). Kyai dan ulama digantung. Bangunan dan sarana pendidikan lainnya dibakar dan dirusak. Santri-santri ditangkap dan dibuang jauh dari tempat tinggalnya.

Latar belakang ini menjadikan pesantren berfungsi sebagai pusat pembelajaran Islam. Menjadikan sentra pembangkit kesadaran nasional dan ulama sebagai pemimpinnya, mengajarkan kepada santri dan masyarakat pendukungnya tentang perlunya mempertahankan tanah air, menyelamatkan bangsa dan merebut kemerdekaan. Tantanngan penjajah Barat yakni imperialisme barat pada abad

ke-perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

16 M, dijawab oleh ulama dan santri denagan masyarakat pesantren , bersama para Sultan dengan kekuasaan politik Islam. (Ahmad mansur Suryanegara, 2009: 138-140).

Di keraton Surakarta, Paku Buwana IV dalam menghadapi persoalan masih mudah emosional. Namun demikian dibalik kelabilan emosinya, Paku Buwana IV mempunyai sikap yang teguh , tegas dan keras serta taat menjalankan ibadah agama Islam. Ketegasan dan keteguhan Paku Buwana IV ditunjukkan kepada raja Kasultanan Yogyakarta (Hamengku Buwana I) dan VOC, Inggris maupun Belanda. Rasa ketidaksenangan ini, dikarenakan Paku Buwana IV selalu berusaha untuk membebaskan kerajaannya dari campur tangan pihak asing.

Sunan Paku Buwana IV merupakan raja ketiga yang bertahta di keraton Surakarta. Sunan Paku Buwana IV diangkat menjadi raja Surakarta pada tanggal 29 September 1788. Sebelum dinobatkan menjadi penguasa tertinggi di Surakarta, raja ini memang telah berstatus sebagai putra mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Nagara Sudibya Rajputra Mataram (II) sehingga proses penobatannya tidak banyak menimbulkan gejolak politik, baik di lingkungan keraton Surakarta sendiri maupun di luar keraton. Akan tetapi, karena saat dinobatkan menjadi raja usianya masih muda (19 tahun) sehingga sering disebut sebagai Nata Taruna Narpati atau Prabu Taruna. Nama kecil Paku Buwana IV adalah Bendara Raden Mas Subadya, lahir dari permaisuri Sunan Paku Buwana III yang bernama Gusti Ratu Kencana, pada hari Kamis Wage, 18 Rabiul Akhir 1694 Saka atau 2 September 1768 Masehi. Memegang pemerintahan selama 32 tahun (1788-1820), dan wafat pada hari Senin Pahing, 25 Besar 1747 Saka atau 2 Oktober 1820 M (Purwadi, 2007:81).

Sunan Paku Buwana IV ketika masih sebagai putra mahkota, sikap keagamaannya banyak dipengaruhi oleh Wiryakusuma, seorang guru agama yamg mempunyai kecenderungan anti kompeni. Wiryakusuma adalah putra R.M. Kreta (saudara seayah dan lain ibu Mangkunegara 1) yang dilahirkan dan dibesarkan di Cape Town, Afrika Selatan (M.C. Ricklefs, 1974:270). Cape Town pada masa itu menjadi tempat pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang menentang dominasi kompeni. Melalui kegemaran Sunan Paku Buwana IV dalam mencari

commit to user

ilmu agama, mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai. Ada kalanya kyai dan guru agama ini mempunyai pengaruh kuat terhadap raja Surakarta. Sehingga tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya. Peristiwa Pakepung yang terjadi di awal pemerintahannya merupakan suatu bukti adanya pengaruh kyai dan guru agama terhadap sikap politik yang dijalankannya.

Peristiwa Pakepung terjadi pada tahun 1790, ketika Sunan Paku Buwana IV baru dua tahun dinobatkan sebagai raja Surakarta. Peristiwa ini tidak saja mempunyai latar belakang politis yaitu adanya persaingan antara kerajaan-kerajaan penerus dinasti Mataram, melainkan juga latar belakang keagamaan. Kuatnya latar belakang keagamaan dalam peristiwa pakepung karena tokoh-tokoh utama yang menggerakkkan kejadian ini mempunyai sikap dan semangat keagamaan yang tinggi, khususnya agama Islam.

Pada masa Sunan Paku Buwana IV menempatkan ulama kepercayaan pada posisi sentral dalam birokrasi kerajaan, yakni diartikan sebagai simbol identitas dan kepentingan politik. Tindakan ini ditafsirkan sebagai simbol identitas dan kepentingan politik (Endang Saparinah, 1989:24-37). Membangun politik dengan ulama dilandasi kenyataan bahwa: 1) Selama ini tidak ada hubungan harmonis antar ulama birokrasi dan non-birokrasi. Sunan sebagai pemimpin agama tidak berusaha menjembatani hubungan kedua ulama, sehingga mereka hidup dalam atmosfer struktur politik dan struktur social yang terpisah. 2) Ketika masyarakat pingiran menghadapi tekanan politik dan ekonomi, tidak ada usaha ulama birokrasi membelanya, tetapi justru ulama non-birokrasi berada di baris depan untuk melakukan gerakan protes.

Sikap Paku Buwana IV yang membenci kompeni, sejalan dengan sikap para kyai, yakni berusaha mengangkat wibawa kerajaan dengan cara menjadikan Surakarta sebagai yang dipertuan bagi dua bekas kerajaan Mataram yang lain, dan mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan kompeni. Bertemunya dua sikap yang mempunyai kesamaan inilah yang menjadi dasar penyebab terjadinya krisis politik di Surakarta pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana IV.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

Dalam pemikiran Politik Paku Buwana IV, kerajaan yang sedang rapuh, secara politis akan melakukan konsolidasi dengan kekuatan politik yang dimiliki, misalnya melakukan ikatan politik dengan ulama yang memiliki basis massa kuat. Dengan landasan konsolidasi politik tersebut diharapkan dapat menciptakan keseimbangan kekuatan politik anta kerajaan hasil palihan nagari.

Selain adanya konsolidasi politik Islam dalam Serat Wulang Reh karangan Paku Buwana IV juga mengajarkan tentang ajaran etika manusia ideal yang ditujukan kepada keluarga raja, kaum bangsawan dan hamba di keraton Surakarta. Ajaran etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang terdapat di dalamnya merupakan etika yang ideal, yang dianggap sebagai pegangan hidup yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat Jawa pada waktu itu, khususnya di lingkungan Keraton Surakarta. Ajaran etika yang ditujukan kepada keluarga, abdi dan rakyat tersebut diharapkan mampu mempererat hubungan sehingga mendatangkan kekuatan untuk melawan penjajah Belanda.

Selain sebagai usaha untuk mendatangkan kekuatan massa, pada masa Paku Buwana IV Islam juga mampu memunculkan tradisi di lingkungan keraton, yakni dalam rangka menjawakan masyarakat yang bernuansa Islam, antara lain sebagai berikut:

1) Busana prajurit yang sebelumnya seperti busana prajurit Belanda diganti dengan busana prajurut Jawa.

2) Setiap hari Jum’at, Sunan bersembahyang di Masjig agung. 3) Setiap hari sabtu diadakan latihan warangan.

4) Setiap abdi dalem yang menghadap raja diwajibkan berbusana santri. Apabila mereka yang tidak patuh dipecat.

5) Mengangkat adik-adiknya menjadi Pangeran, seperti Raden Mas Tala menjadi Pangeran Mangkubumi; Raden Mas Sayidi menjadi Pangeran arya Buminata tanpa izin sultan, Magkunegara, atau Kompeni (Mulyanto, dkk. 1990).

Dari sikap dan tradisi yang dibuat Paku Buwana IV mendapat tentangan dari pihak kompeni yang merasa dirugikan karena sikap Islam yang cenderung membenci kompeni (orang kafir). Orang Islam menganggap kompeni identik dengan orang kafir yang harus dimusnahkan dari muka bumi (keraton Surakarta).

commit to user

Gerakan Islam sangat ditakuti kompeni, karena gerakan tersebut dibalut dengan pemikiran agama yang meliputi etika, kemanusiaan, dan ideologi (Hasan Hanafi, 2007:2). Ajaran yang terkandung dalam serta Wulang Reh pun disesuaikan dengan ajaran yang terdapat dalam agama Islam. Demikian itu merupakan idealisme Paku Buwana IV yang diwujudkan dalam karya sastra akibat pengaruh Islam yang telah menjiwai Paku Buwana IV. Selain berpengaruh terhadap sikap, Islam juga mejadi alat konsolidasi dengan para ulama, untuk menjalankan roda pemerintahan selama tiga puluh dua tahun tonggak kepemimpinanannya.

2. Munculnya Kritik Akibat Idealisme Paku Buwana IV

Dokumen terkait