• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Landasan Teori

Sebelum mengutarakan teori yang akan dipergunakan, terlebih dahulu penulis akan mengulas tentang apa itu teori. Teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan argumentasi (Poerwadarminta, 2005:177).

Untuk mengkaji sebuah fenomena alam fisik atau sosial, dengan latar belakang masalah tertentu, ada yang relatif sederhana dan ada pula yang kompleks, maka para ilmuwan biasanya menggunakan teori-teori.

Teori menurut pendapat Marckward et al., memiliki tujuh pengertian, yaitu: (1) sebuah rancangan atau skema yang terdapat dalam pikiran saja, namun berdasar pada prinsip-prinsip verifikasi dengan cara eksperimen atau pengamatan; (2) sebuah bentuk prinsip dasar ilmu pengetahuan atau penerapan ilmu pengetahuan; (3) abstrak pengetahuan yang selalu dilawankan dengan praktik; (4) penjelasan awal atau rancangan hipotesis untuk menangani berbagai fenomena; (5) spekulasi atau hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang; (6) dalam matematika berarti sebuah rancangan hasil atau sebuah bentuk teorema, yang menghadirkan pandangan sistematis dari beberapa subjek; dan (7) ilmu pengetahuan tentang komposisi musik, yang membeda-kannya dengan seni yang dilakukan atau seni yang dieksekusi (Marckwardt et al. 1990:302).

Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud teori itu biasanya mengandung pengertian dalam tahapan yang abstrak. Teori mengarahkan ilmuwan untuk melakukan kerjanya dalam menganalisis permasalahan keilmuan yang ditemuinya.

Dalam pelaksanaannya, terutama untuk mencapai tujuannya, penelitian ini menggunakan sejumlah perangkat teori, prinsip pendekatan dan prosedur pemecahan masalah yang relevan yaitu sebagai berikut.

Untuk mengkaji sejarah tari Bello Mesusun yang ada di masyarakat Alas, penulis mempergunakan teori fenomenologis historis. Menurut Garraghan (1957), yang dimaksud sejarah itu memiliki tiga makna yaitu: (1) peristiwa-peristiwa mengenai manusia pada masa lampau; aktualitas masa lalu; (2) rekaman manusia pada masa lampau atau rekaman tentang aktualitas masa lampau;dan (3) proses atau tekhnik membuat rekaman sejarah tersebut berkaitan erat dengan disiplin ilmu pengetahuan. Lengkapnya sebagai berikut.

The term history stands for three related but sharply differentiated concepts: (a) past human events; past actuality; (b) the record of the same; (c) the process or technique of making the record. The Greek ιστορια, which gives us the Latin historia, the French histoire, and English history, originally meant inquiry, investigation, research, and not a record of data accumulated thereby—the usual present-day meaning of the term. It was only at a later period that the Greeks attached to it the meaning of “a record or narration of the results of inquiry.” In current usage the term history may accordingly signify or imply any one of three things: (1) inquiry; (2) the objects of inquiry;

(3) the record of the results of inquiry, corresponding respectively to (c), (a), and (b) above (Garraghan 1957:3).

Untuk menganalisis struktur tari Bello Mesusun dalam masyarakat Alas, penulis menggunakan teori morfologi struktural (Martin dan Pesovar,1961) Martin membuat sejumlah persyaratan yang melahirkan hubungan antara

morfologi dan struktural. Secara awal, keduanya menyatakan bahwa konstruksi organik tari bisa terukap hanya dengan memecahkannya ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil hal ini dianggap sebagai prasyarat untuk analisis struktural dalam mengenali dan membedakan bagian-bagian dan unit-unit dari sebuah susunan tari.

sesuatu yang mereka sebut elemen kinetik. Unit ini tak pernah muncul sendiri namun merupakan bagian organik dari suatu proses tari dan bisa dipandang sebagai hasil dari langkah deduksi semu. Elemen kinetik ini berfungsi dalam dua cara (1) beberapa elemen kinetik menyatu membentuk unit kecil tari, dan (2) elemen kinetik bisa disisipkan diantara unit-unit yang ada untuk menyambungkanya atau membentuk unit yang lebih besar. Dalam struktur tari, elemen kinetik bersama unit-unit lain yang mirif membentuk suatu katagori yang oleh Martin dan Pesovar disebut “bagian”. Didalam tingkatan berikutnya kita dapatkan “motif-motif,” yang merupakan unit organik tari terkecil, yaitu unit-unit terkecil yang bentuk pola ritmik dan kinetiknya tertutup serta strukturnya bisa diulang-ulang. Motif-motif yang ada dalam kesadaran penarinya, dapat diingat, dan diulangi didalam tari.

Aspek kreatif dari kajian Martin dan Pesover terletak dalam analisis struktural yang merupakan perkembangan dari analisi morfologi rinci yang dilakukannya. Pada saat mereka melihat hubungan-hubungan antar bagian, mereka mempertanyakan tata aturan yang mengatur penggabungan antar bagian dan unit yang menghasilkan aturan-aturan pola tari yang ada. Begitu tata aturan didapatkan, mereka tertarik dengan variasi dan proses kreatif yang ada pada tari.

Untuk melihat makna yang terkandung dalam tari Bello Mesusun penulis menggunakan teori makna dalam tari, (Perteson Royee, 2007), ketika berbicara mengenai makna tari, perteson menawarkan hal hal yang tersirat di dalam tari dengan membandingkan aspek-aspek komunikasi dari perilaku tari melalui media ekspresi yang lain. Kapasitas ekspresi tari yang kadang-kadang membuatnya menjadi efektif sebagai pembawa makna.

Semiotik juga selalu digunakan oleh para ilmuwan seni dan budaya didalam pengkajian seni pertunjukan. itu sendiri merupakan wahana komunikasi yang begitu kompleks, karena ia melibatkan hubungan diantara para pemain dengan para penonton. Proses menghasilkan makna dalam pertunjukan seni, ini mengacu sepenuhnya kepada sistem-sistem tertentu yang biasanya akan melibatkan gabungan dari pada berbagai lambang lisan dan lambang bukan lisan.

Oleh karena seni persembahan merupakan media yang unidimensional, satu-satu unit lambang itu tidak boleh berdiri dengan sendirinya untuk menggambarkan sesuatu pesan. Ia harus dilihat sebagai satu gabungan yang menyeluruh dengan lambang-lambang lain dalam konteks tertentu. Misalnya gerak isyarat, mimik muka dan bahasa digabung dan digunakan serentak untuk menampakkan makna secara keseluruhan. Satu lagi contoh ialah penggunaan keris. Bagi masyarakat Melayu, keris bukan saja merupakan senjata untuk mempertahankan diri, tetapi juga melambangkan kekuatan dan kuasa. Jika diselipkan dipinggang, keris itu bisa ditafsirkan sebagai lambang kegagahan karena gambaran pakaian seorang perwira Melayu dalam masyarakat Melayu

tradisional tidak lengkap jika tidak ada keris dipinggang. Pemancaran makna keris itu juga tertuju kepada cara ia dipergunakan.

Kajian dengan menggunakan pendekatan semiotik mengupas segala unsur simbolik yang terdapat dalam sesebuah karya. Dalam hal yang berkaitan dengan kampil dan cerane tari Bello Mesusun, bukan saja cara pemakaiannya, tetapi rupa bentuknya juga berkaitan dengan kepercayaan dalam masyarakat Alas.

Mukarovsky,(1975) telah memulakan kajian semiotik dalam teater (Elam, 1983). Bagi Mukarovsky sesebuah teks persembahan merupakan lambang makro yang maknanya hanya dapat difahami dalam rentetan lambang-lambang lain secara keseluruhan. Dalam teater, lambang atau isyarat memberikan makna yang simbolik. Oleh karena semua yang terdapat diatas pentas merupakan lambang (Jiri Veltrusky, dipetik dalam Elam, 1983:7), maka segala objek dan perlakuan penyaji diatas pentas harus mempunyai hubungan dengan objek yang dimaksudkan. Ini bermakna, lambang bukan literal harus dapat berfungsi seperti yang literal supaya khalayak mampu menafsirkan pesan yang disampaikan. Suatu objek mungkin boleh diwakili oleh penggunaan beberapa lambang jika lambang-lambang itu mampu menunjukkan kehadiran objek tersebut (Brusak dipetik dalam Elam, 1983:9). Misalnya, lambang-lambang yang dihasilkan melalui pergerakan anggota badan boleh digantikan seorang pemain atau penari menjadi benda lain seperti seekor burung garuda yang sedang terbang, sepohon pokok yang bergoyang ataupun seekor gajah yang garang. Disebabkan makna sesuatu lambang tidak sama bagi semua orang, maka kembali kepada kreativitas pihak

sumber untuk memilih lambang yang sesuai untuk menggambarkan pesan yang dikehendaki.

Sejauh mana penggunaan lambang-lambang dapat menjelaskan makna sebenar bergantung kepada konvensi semantik yang terdapat dalam lambang-lambang yang dipilih. Makna lambang-lambang-lambang-lambang ditentukan oleh cara perlambangan. Jika lambang yang digunakan jelas hubungannya dengan objek yang diwakilinya, maka jelas makna yang dimaksudkan. Sebaliknya jika hubungan lambang dengan objek atau rujukan tidak jelas, maka akan menjadi kabur. Dengan itu setiap aspek persembahan dalam teater seperti setting, perlakuan dan pertuturan saling bergantungan untuk menyumbang kepada pemaparan makna.

Mengikut Elam (1983) tidak ada hubungan yang mutlak antara sesuatu lambang dengan apa yang dilambangkan, karena lambang itu merupakan sesuatu yang dinamik. Pada prinsipnya lambang-lambang yang digunakan diatas pentas boleh digunakan untuk mewakili fenomena apa saja. Misalnya, adegan yang dramatik tidak semestinya digambarkan menerusi ruang, seni bina ataupun gambar, tetapi boleh ditunjukkan dengan gerak isyarat (seperti mimos), lisan dan juga kesan bunyi. Makna juga dikaitkan dengan konteks. Sesuatu lambang akan memberikan makna yang lain dalam konteks yang berbeda. Misalnya gerak tari yang meniru gaya burung terbang boleh melambangkan seekor burung. Dalam konteks yang lain gerak itu melambangkan kebebasan. Dalam shamanisme, gerak itu dikaitkan dengan air dan semangat yang hilang (Danaan, 1985:50). Dengan kata lain, pergerakan yang menggambarkan seekor burung, mempunyai makna

berlainan dalam konteks yang berbeda. Pentas lazimnya merupakan lambang ruang alam. Begitu juga dengan pedang yang selalu digunakan dalam cerita-cerita klasik Inggeris lazimnya digunakan untuk menentang musuh. Pada masa yang lain boleh digunakan sebagai pengayuh perahu, dengan hanya menukarkan cara memegangnya. Sifat arbitrari lambang membenarkan berbagai sistem lambang dikombinasikan untuk memberikan gambaran yang hampir serupa dengan objek atau pesan yang dimaksud.

Dalam teater, lambang bukan lisan itu terdapat dalam sistem-sistem lambang yang merangkumi ciri-ciri fisik, mimik muka, gerak-gerik, sentuhan, artefak, serta penggunaan ruang dan waktu. Semua ciri ini menjadikan tarian sebagai lambang yang penting dalam teater. Selain untuk menarik perhatian khalayak, tarian juga digunakan untuk menyampaikan pesan, karena tarian merupakan himpunan lambang-lambang komunikasi yang kompleks (Hanna, 1979:26). Mengikut pendapat Hanna, semua tarian mempunyai tujuan. Sekurang-kurangnya tarian berupa hasil pergerakan yang melahirkan gagasan tertentu dengan menggunakan anggota badan sebagai mediumnya, (Bagi Hanna,1979:25-26) tarian itu boleh mengatasi kemampuan media audiovisual dalam menyampaikan maklumat kepada khalayak.

De Danaan (1985) yang mengkaji tarian Menghadap Rebab mendapati gerak tari dan lirik dalam lagu tersebut saling melengkapi. Lambang-lambang gerak tari dalam menghadap rebab menggambarkan “beberapa perenggan”

penyataan. Integrasi lirik lagu dan gerak tarinya menghasilkan satu penyataan yang lengkap karena lirik menggambarkan pergerakan dan seterusnya pergerakan

menampakkan makna pada lirik. Menurut (Danaan,1985) hubungan antara lirik dengan pergerakan dalam tarian Menghadap Rebab sangat rapat. Sukar bagi seseorang untuk memahami pesan dalam tarian tersebut jika tidak meneliti gerak tarian dan lirik lagunya.

Dengan mengikuti pendekatan semiotik, dua pakar persembahan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis daripada Perancis, mengaplikasikannya dalam persembahan. Kowzan menawarkan 13 (tiga belas) sistem lambang dari sebuah persembahan teater. 8 (delapan) berkaitan langsung dengan pemain dan 5 (lima) berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mimik, gestur, gerak, make-up, gaya rambut, kostum, properti, setting, lighting, musik dan efek suara.

Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lentur dan terperinci untuk mengkaji sebuah persembahan. Pertanyaan-pertanyaannya menekankan perlunya dijelaskan bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian. Pertanyaan ini menekankan pentingnya sebuah proses persembahan. Adapun pertanyaan-pertanyaan itu adalah yang mencakup: (1) diskusi mengenai persembahan, yang meliputi: (a) unsur-unsur apa yang mendukung persembahan, (b) hubungan di antara sistem-sistem persembahan, (c) koherensi dan inkoherensi, (d) prinsip-prinsip estetis produksi, (e) kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah momennya kuat, lemah atau membosankan; (2) skenografi, yang meliputi: (a) bentuk ruang pertunjukan-mencakup: seni bina, gestural, keindahan, imitasi tata ruang, (b) hubungan antara tempat penonton dengan panggung persembahan, (c) sistem pewarnaan dan konotasinya, (d) prinsip-prinsip

organisasi ruang yang meliputi hubungan diantara on-stage dan off-stage dan keterkaitan antara ruang yang diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama; (3) sistem tata cahaya; (4) properti panggung: tipe, fungsi, hubungan diantara ruang dan para pemain; (5) kostum: bagaimana mereka mengerjakannya serta bagaimana hubungan kostum antar pemain; (6) persembahan: (a) gaya individu atau konvensional, (b) hubungan diantara pemain dan kelompok, (c) hubungan diantara teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pemain dan lakonan, (d) kualiti gestur dan mimik, (e) bagaimana dialog dikembangkan; (7) fungsi musik dan efek suara; (8) tahapan persembahan: (a) tahap keseluruhan, (b) tahap-tahap tertentu sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum, gestur, dan lain-lain, tahap persembahan yang tetap atau berubah tiba-tiba; (9) interpretasi cerita dalam persembahan: (a) cerita apa yang akan dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa yang dipilih, (c) apa yang menjadi ambiguiti dalam persembahan dan hal-hal apa yang dijelaskan, (d) bagaimana struktur plot, (e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana pementasannya, (f) termasuk genre apakah teks dramanya; (10) teks dalam persembahan: (a) terjemahan skenario, (b) peranan yang diberikan teks drama dalam produksi, (c) hubungan antara teks dan pesan; (11) penonton: (a) dimana pertunjukan dilaksanakan, (b) perkiraan penonton tentang apa yang akan terjadi dalam pertunjukan, (c) bagaimana reaksi penonton, dan (d) peranan penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna; (12) bagaimana mencatat produksi persembahan secara teknikal, (b) pesan apa yang menjadi fokus; (13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda persembahan: (a) apa yang tidak dapat

diinterpretasikan dari sebuah persembahan, (b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna persembahan (dan mengapa), (14) apakah ada masalah-masalah khusus yang perlu dijelaskan serta berbagai-bagai komentar dan saran lebih lanjut untuk melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi persembahan.

Untuk menganalisis bentuk tari Bello Mesusun dan hubungannya dengan budaya masyarakat Alas penulis menggunakan teori antropologi tari Getrude Prokosch Kurath, Kurath menggunakan 20 tahun pertama karirnya sebagai penari dan produser pertunjukan budaya, tetapi kemudian menceburkan dirinya dibidang penelitian etnologi tari. Menurutnya, metode penelitian etnologi tari terdiri dari tiga tahap: (1) melakukan studi secara aktif dan mendatangi upacara-upacara masyarakat yang diteliti; (2) mentransfer pola-pola tari ke dalam bentuk tulisan seperti pola gerak, motif, garis, arah, dan repetisi tari, dengan deskripsi verbal dan layout visual; dan (3) menginterpretasikan fakta-fakta yang telah diorganisasikan.

Dokumen terkait