• Tidak ada hasil yang ditemukan

Banyak permasalahan kompleks dan sulit yang harus dihadapi oleh pelajar sebagai generasi penerus sekaligus pengisi kemerdekaan. Stresor-stresor yang sering dialami oleh para pelajar meliputi kemampuan beradaptasi dengan lingkungan sekolah, pergaulan dengan teman sebaya, dan kemampuan yang menuntut mereka untuk mengasah pengetahuan maupun keterampilan untuk dapat mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah merupakan suatu tantangan tersendiri. Bekal pengetahuan dan keterampilan tersebut tentunya akan turut berkontribusi pada keberhasilan mereka dalam pencapaian karir di masa depan.

Jurusan Bahasa adalah jurusan yang mewajibkan siswa untuk menguasai lebih banyak hal yang berhubungan dengan kemampuan siswa secara verbal. Siswa jurusan bahasa diharapkan dapat mendefinisikan, mendeskripsikan, dan memaparkan suatu pengertian maupun argumen dengan baik. Siswa diharapkan dapat lebih komunikatif dan terampil dalam menjalin

hubungan interpersonal. Namun pada kenyataannya banyak siswa khususnya dari jurusan bahasa yang masih merasa kesulitan bahkan mengalami kecemasan saat diminta untuk melakukan komunikasi di depan umum.

Kecemasan berbicara di depan umum pada mulanya dikenal dengan istilah “demam panggung” yang difokuskan pada ketakutan untuk berbicara di depan umum. Menurut McCroskey (dalam Devito, 1995) kecemasan berbicara yang disebut pula sebagai “communication apprehension (CA)” terbagi atas empat jenis yaitu CA as trait, CA in generalized context, CA with generalized people, dan CA as a state. Kecemasan berbicara di depan umum dalam hal ini termasuk dalam jenis CA in generalized context, dimana individu mengalami kecemasan berbicara saat berada pada satu situasi tertentu, tetapi tidak pada situasi lainnya. McCroskey menambahkan, beberapa individu mengalami kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator. Penekanannya adalah bahwa fenomena kecemasan berbicara pada kelas berpusat pada pembicara. Konteks yang paling banyak ditemui adalah berbicara di depan umum (public speaking), misalnya memberikan pidato, presentasi di depan kelas, pada saat pertemuan atau meeting. Individu akan mengalami kecemasan ketika mulai membayangkan sampai berlangsungnya pengalaman berbicara di depan kelas.

Rogers (2003) membagi reaksi kecemasan berbicara menjadi dua gejala umum, yaitu:

a. Reaksi Fisiologis

Reaksi fisiologis adalah reaksi tubuh terutama oleh organ-oran yang diatur oleh saraf simpatetis seperti jantung, pembuluh darah, kelenjar, pupil mata, sistem pencernaan, dan sistem pembuangan. Adanya kecemasan maka akan memicu satu atau lebih organ-organ dalam tubuh menjadi meningkat fungsinya. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan jumlah asam lambung selama kecemasan, atau meningkatnya detak jantung dalam memompa darah sehingga jantung berdebar-debar, keluar keringat yang berlebihan, gemetar, sering buang air, dan sirkulasi darah tidak teratur. Dalam kondisi cemas, sering individu mengalami rasa sakit yang berkaitan dengan organ-organ tubuh yang meningkat fungsinya secara tidak wajar. Misalnya ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas sesak, mual, dan sebagainya.

b. Reaksi Psikologis

Reaksi psikologis adalah reaksi kecemasan yang biasanya disertai oleh reaksi fisiologis. Reaksi psikologis dibedakan menjadi dua gejala yaitu gejala yang terkait dengan proses mental dan gejala emosional. Gejala yang terkait dengan proses mental misalnya mengulang-ulang kata, hilang ingatan, melupakan hal-hal yang penting, tidak dapat memusatkan perhatian, gerakan-gerakan yang tidak terarah atau tidak pasti, dan pikiran

tersumbat. Sedangkan gejala emosional misalnya rasa takut, tegang, bingung, tidak menentu, terancam, rendah diri, rasa tidak percaya diri, rasa tidak berdaya, rasa kehilangan kendali, rasa malu, panik, dan khawatir. Menghadapi adanya kenyataan tersebut dibutuhkan intervensi yang dapat membuat para siswa khususnya dari jurusan bahasa untuk mengatasi kecemasan berbicara di depan umum. Salah satu upaya untuk mengatasi kecemasan berbicara di depan umum adalah dengan meningkatkan kecerdasan emosi.

Kemampuan berbicara di depan umum merupakan bagian dari kemampuan komunikasi. Metode pelatihan kecerdasan emosi, efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kemampuan komunikasi setelah pemberian pelatihan kecerdasan emosi. Nurdin (2009) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi dapat meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa. Melalui pelatihan kecerdasan emosi siswa belajar untuk memahami pentingnya interaksi dan komunikasi positif dengan orang lain dan apa yang diperlukan untuk menjalin hubungan positif yang penuh empati. Siswa belajar cara berkomunikasi dengan kekuatan empati dan memperkuat hubungan melalui tata krama yang etis dengan orang lain. Siswa juga belajar cara mengakui orang lain dan meningkatkan kontribusi dalam setiap hubungan.

Menurut Goleman (2003), pelatihan kecerdasan emosi merupakan rangkaian aktivitas atau strategi dengan menggunakan perasaan sendiri yang muncul pada saat berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Strategi

tersebut mencakup penggunaan pengalaman seperti kesan, ketegangan, dan trauma dalam kehidupan seseorang. Menurut Salovey (dalam Goleman, 2009), ada beberapa aspek yang berperan penting dalam pelatihan kecerdasan emosi antara lain:

a. Mengenali Emosi Diri atau Kesadaran Diri

Mengenali emosi diri atau kesadaran diri yaitu mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi atau dengan kata lain berarti waspada terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati untuk selanjutnya dapat mengupayakan sikap atau tindakan yang tepat. b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat. Apabila emosi tidak dikelola dengan tepat atau tidak dikendalikan dengan baik sehingga menjadi terlalu ekstrim dan terus menerus maka dapat menyebabkan depresi, cemas yang berlebihan, amarah yang meluap-luap, serta gangguan emosional yang berlebihan (Goleman, 2009).

c. Memotivasi Diri Sendiri

Memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan individu dalam mengarahkan dan mendorong segala daya upaya dirinya bagi pencapaian tujuan yang diharapkan. Orang yang mampu memotivasi diri untuk menata emosi dengan baik cenderung lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Menurut Fred (2006), motivasi diri adalah tetap pada tujuan yang diinginkan, mengatasi impuls emosi negatif, dan menunda untuk memperoleh hasil yang diinginkan.

d. Mengenali Emosi Orang Lain atau Empati

Mengenali emosi orang lain adalah kemampuan menangkap tanda sosial sehingga mengetahui apa yang dilakukan, dibutuhkan/dikehendaki orang lain. Kemampuan ini dapat disebut juga sebagai kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk memahami perasaan orang lain.

e. Membina Hubungan dengan Orang Lain

Membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain serta cermat serta mampu membaca situasi dan jaringan sosial yang ada di sekitarnya.

Peningkatan kecerdasan emosi dalam penelitian ini diperoleh melalui pendekatan pelatihan. Hal ini dipilih karena pelatihan adalah metode pembelajaran yang mempunyai tujuan mengubah aspek kognitif, afektif, dan keterampilan atau keahlian (Kikpatrick dalam Salas dkk, 2001). Pelatihan, berbicara pada masalah-masalah yang betul-betul terjadi sebagai topik hari ini. Bila suatu pengalaman diulang berkali-kali, otak memikirkannya sebagai jalur-jalur yang diperkuat, sehingga dapat meningkatkan kemampuan syaraf yang akan digunakan pada saat sulit. Meskipun bahan pelatihan tampak sederhana, hasilnya bisa mengubah seseorang menjadi bertemperamen baik dan sukses di masa depan (Goleman, 2003).

Metode pelatihan dapat mempengaruhi hasil pelatihan. Metode yang digunakan dalam pelatihan ini cukup variatif, antara lain eksplorasi diri, ceramah, permainan, diskusi, pemantauan diri, mengisi lembar kerja, umpan balik, dan presentasi. Keberhasilan suatu penelitian juga dipengaruhi oleh

metode yang digunakan. Semakin bervariasi penggunaan metode, maka pelatihan akan lebih menarik dan peserta akan merasa terlibat di dalamnya (Pfeiffer & Ballew, 1988).

Pelatihan kecerdasan emosi dalam penelitian ini menggunakan metode kuliah (lecture), diskusi sensitivitas, dan permainan. Menurut Simamora (2006), metode kuliah adalah penyajian informasi secara lisan. Metode kuliah merupakan bentuk pelatihan yang paling umum yang memungkinkan untuk menyajikan cakupan dan materi yang luas dalam jangka waktu terbatas. Metode kuliah dinggap paling tepat dilakukan untuk memberikan informasi yang sangat banyak kepada sejumlah orang dengan efisien. Dalam metode kuliah dapat menyertakan media lain seperti notebook, hand out, in focus, dan alat peraga. Kelebihan metode kuliah antara lain dapat mengkomunikasikan minat intrinsik dan antusiasme terhadap materi bahasan yang dapat meningkatkan minat partisipan dalam proses pelatihan. Kelebihan lainnya adalah dapat mencakup materi selain yang sudah ada dan dapat menjangkau banyak pendengar sekaligus. Selain itu dalam metode kuliah pelatih dapat bertindak sebagai model yang efektif bagi peserta kuliah dan mudah mengendalikan materi yang disampaikan. Metode kuliah diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan kepada peserta sehingga dapat mengubah struktur kognitif peserta. Pada umumnya proses belajar mengajar yang dilakukan pada SMA yang akan diteliti menggunakan metode kuliah atau ceramah. Perlakuan dengan pelatihan kecerdasan emosi pada kelompok intervensi dilakukan dengan bentuk kuliah (lecture) dan dikombinasikan

dengan diskusi sensitivitas (sensitivity training). Sebelum peneliti memberikan pelatihan kecerdasan emosi dengan metode kuliah, terlebih dahulu peneliti menjabarkan indikator kecerdasan emosi menurut Goleman (2009) yang bertujuan untuk menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum pada subjek penelitian.

Diskusi sensitivitas merupakan metode untuk meningkatkan sensitivitas antar pribadi melalui diskusi yang terbuka dan jujur tentang perasaan, sikap, dan perilaku peserta pelatihan. Para peserta pelatihan didorong untuk memberi tahu peserta lain (pasangannya) secara terbuka tentang bagaimana sikap dan perilakunya. Selanjutnya pasangan memberikan penilaian serta masukan terhadap sikap dan perilaku tersebut. Tujuan diskusi ini adalah agar peserta pelatihan mampu mengubah perasaan, sikap, kebiasaan, dan perilaku ke arah yang lebih baik (Simamora, 2006).

Metode eksposure melalui presentasi ditujukan untuk mengasah keterampilan berbicara di depan umum dan membiasakan peserta untuk menerima umpan balik dari orang lain. Metode permainan ditujukan agar peserta mendapatkan insight terhadap tujuan pelatihan. Situasi yang menyenangkan dan keberhasilan presentasi dapat mengurangi perasaan cemas untuk berbicara di depan umum. Umpan balik yang didapatkan dari trainer maupun peserta lain dapat meningkatkan rasa percaya diri untuk berbicara di depan umum. Komentar dan masukan yang didapat dari anggota kelompok yang mengalami permasalahan yang sama akan lebih dipercaya dan mudah dicerna. Hal ini memungkinkan masukan yang didapat oleh peserta dapat mengurangi ketakutan yang berlebihan terhadap evaluasi negatif dari orang

lain. Selain itu peserta juga akan lebih memahami kelebihan dan kekurangannya dalam melakukan presentasi sehingga fokus yang berlebihan terhadap kekurangannya dapat dikurangi (Prawitasari, 1999).

Berdasarkan penjelasan teori di atas, maka kerangka berpikir dalam penelitian ini digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Intervensi

Pelatihan Kecerdasan Emosi Goleman (2009): 1. Mengenali emosi 2. Mengelola emosi 3. Memotivasi diri 4. Empati

5. Membina hubungan dengan orang lain

Kecemasan Reaksi kecemasan, Rogers (2003): 1. Reaksi Fisiologis 2. Reaksi Psikologis a. Proses Mental b. Gejala Emosional Target Kecemasan menurun Stressor

Situasi kecemasan berbicara di depan umum

E. Hipotesis

Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Kecemasan berbicara di depan umum setelah diberi pelatihan kecerdasan emosi lebih rendah daripada sebelum pelatihan.

2. Kecemasan berbicara di depan umum pada kelompok eksperimen mengalami penurunan lebih besar daripada kelompok kontrol.

Dokumen terkait