• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelatihan Kecerdasan Emosi untuk Menurunkan Kecemasan Berbicara di Depan Umum pada Siswa

Pelajar sebagai generasi penerus bangsa akan sangat diharapkan ide dan gagasannya dalam mengisi pembangunan. Untuk mengungkapkan ide dan gagasan tersebut diantaranya dibutuhkan kemampuan berbicara di depan umum. Namun kenyataannya berbeda, banyak pelajar yang masih takut berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum sangatlah umum terjadi baik di kalangan siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum. Jika hal ini terjadi pada pelajar atau siswa, maka dapat mengakibatkan siswa cenderung menghindari mata pelajaran tertentu atau bahkan jurusan tertentu yang memerlukan presentasi lisan. Dampaknya ke depan dapat pula mengakibatkan mereka memutus terhadap suatu jurusan atau karir tertentu yang memerlukan kemampuan untuk berbicara di depan umum serta dapat pula mengakibatkan mereka menghindari kontak atau kegiatan sosial di masyarakat.

Menurut Osborne (2004) perasaan cemas ini muncul karena takut secara fisik terhadap pendengar, yaitu takut ditertawakan orang, takut bahwa dirinya akan menjadi tontonan orang, takut bahwa apa yang akan dikemukakan mungkin tidak pantas untuk dikemukakan, dan rasa takut bahwa mungkin dirinya akan membosankan. Menurut Santoso (1998) kecemasan berbicara di depan umum bersifat subjektif, biasanya ditandai dengan gejala fisik dan gejala psikologis. Termasuk dalam gejala fisik yaitu tangan berkeringat, jantung berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Kemudian,

yang termasuk gejala psikologis adalah takut akan melakukan kesalahan, tingkah laku yang tidak tenang dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik. Penelitian Zimbardo pada Universitas Stanford di California, AS menyatakan kecemasan membuat individu merasa rendah diri, meremehkan diri sendiri, menganggap dirinya tidak menarik dan menganggap dirinya tidak menyenangkan untuk orang lain. Individu yang cenderung mengalami kecemasan ditandai dengan ketegangan otot dan adanya tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi. Kemudian, individu tersebut akan menolak untuk bersosialisasi dengan orang lain, keadaan individu akan membaik ketika ketegangannya berkurang (Rakhmat, 2007).

Individu yang pemalu dan cemas secara sosial cenderung untuk menarik diri dan tidak efektif dalam interaksi sosial, ini dimungkinkan karena individu tersebut mempersepsi akan adanya reaksi negatif. Kecemasan merupakan suatu kekurangan dalam hubungan sosial, karena individu yang gugup (nervous) dan terhambat mungkin menjadi kurang efektif secara sosial, misalnya ketika individu mengalami nervous, individu tersebut mungkin menunjukkan indikasi-indikasi seperti gemetar, gelisah, menghindari orang lain, tidak lancar berbicara dan kesulitan konsentrasi (Dayakisna & Hudaniyah, 2009).

Sundari (2005) menyatakan bahwa kecemasan timbul karena manifestasi perpaduan bermacam-macam emosi. Oleh karena itu upaya penanggulangannya juga melibatkan faktor emosi. Penelitian lainnya dilakukan oleh Spielberger, Liebert, dan Morris (dalam Elliot, 1999) dalam suatu percobaan konseptual menunjukkan bahwa kecemasan yang dialami

oleh individu terdiri atas dua dimensi utama yaitu kekhawatiran dan emosionalitas.

Kecemasan berbicara di depan umum bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan individu dalam berkomunikasi. Namun sering disebabkan juga oleh pikiran negatif dan irasional (Rahayu, dkk. 2004), kestabilan emosi (MacIntyre & Thiviegre, dalam Roach, 1999), keyakinan atau kepercayaan diri (Matindas dalam Astrid, 2003), perbedaaan jenis kelamin ((Elliot & Chong dalam Astrid, 2003), pengalaman yang tidak menyenangkan serta kurangnya pengalaman (Burgoon & Ruffner dalam Dewi & Andrianto, 2003). Oleh karena itu untuk mengatasi seseorang yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum dapat dilakukan dengan mengubah pola pikir, meningkatkan kecerdasan emosi, dan meningkatkan efikasi diri (Utami, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Goleman (2009) menyatakan bahwa faktor kecerdasan emosi berpengaruh pada tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Menurutnya kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan, kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi, dan keterampilan sosial, akan membantu seseorang dalam mengatasi kecemasan saat berbicara di depan umum. Pendapat tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2015) yang menyatakan bahwa teknik relaksasi merupakan salah satu upaya untuk dapat mengurangi kecemasan berbicara di depan umum. Selama relaksasi subjek akan dikondisikan untuk mengenali dan mengelola emosi mereka agar dapat mengurangi ketegangan. Proses mengenali dan mengelola emosi merupakan

bagian dari aspek kecerdasan emosi yang bertujuan agar subjek waspada terhadap suasana dan hati pikiran untuk selanjutnya dapat menangani dan mengungkapkannya dengan cara yang tepat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Nevid, Rathus, dan Greene (2005) yang menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi akan dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati.

Wahyuni (2014) mengemukakan bahwa ada hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan berbicara di depan umum. Kepercayaan diri berkaitan erat dengan upaya seseorang dalam memotivasi diri. Orang yang percaya diri akan mampu memotivasi dirinya untuk menata emosi dengan baik, cenderung lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Hal tersebut diwujudkan dalam sikap antusias, penuh gairah, optimis dan yakin akan diri sendiri, bersosialisasi dengan mantap, tidak mudah gelisah dan takut, simpatik dan hangat dalam berhubungan serta nyaman dengan diri sendiri dan orang lain (Freud, 2006).

Fatma (2008) menunjukkan bahwa melalui pendekatan perilaku kognitif dapat mengelola kecemasan berbicara di depan umum. Perilaku kognitif memegang peran penting dalam kemampuan berempati. Empati melibatkan aspek kognitif untuk mampu menangkap tanda sosial misalnya membaca pesan non verbal dari lawan bicara sehingga mengetahui apa yang dilakukan, dibutuhkan/dikehendaki orang lain.

Djajendra (2015) menyatakan bahwa melalui pelatihan kecerdasan emosi individu tidak lagi merasa cemas ketika diminta untuk berbicara di depan umum. Mereka dapat berpikir tentang interaksi masa depan mereka dengan cara yang baru untuk meningkatkan keterampilan komunikasi mereka sehingga akan mendapatkan lebih banyak keuntungan dari kehidupan. Hal ini sesuai dengan pendapat Goleman (2009) yang menyatakan bahwa salah satu aspek kecerdasan emosi adalah keterampilan membina hubungan dengan orang lain. Hal tersebut akan mendorong seseorang untuk dapat menangani emosi dengan baik ketika berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain secara cermat serta mampu membaca situasi dan jaringan sosial yang ada di sekitarnya.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas maka intervensi untuk menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum salah satunya dengan cara memberikan pelatihan kecerdasan emosi kepada para siswa. Apabila para pelajar sebagai generasi penerus bangsa tidak lagi mengalami kecemasan ketika berbicara di depan umum, maka diharapkan mereka akan memiliki kesadaran diri, mampu mengatur diri, memotivasi diri, mampu berempati, dan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga dapat menyampaikan ide dan gagasannya dengan lebih mantab dan percaya diri untuk mengisi pembangunan.

Setiap sesi dalam pelatihan diharapkan dapat berkontribusi terhadap penurunan kecemasan berbicara di depan umum pada siswa. Misalnya melalui sesi kesadaran diri atau mengenali emosi. Siswa akan dilatih untuk dapat bersikap peduli, peka akan reaksi pribadi, dan tidak berlebihan dalam

menanggapi sesuatu yang terjadi. Aktivitas tersebut sesuai dengan pendapat Goleman (2009) yang menyatakan bahwa mengenali emosi berarti waspada terhadap apa yang terjadi, bukannya tenggelam dan hanyut di dalamnya.

Setelah mengenali emosinya, selanjutnya siswa dilatih untuk dapat mengelola emosi dengan lebih tepat melalui sesi mengelola emosi. Emosi yang terjadi akan dapat dikendalikan dengan lebih baik sehingga tidak akan meluap secara ekstrim. Misalnya ketika presentasi di depan kelas, materi dianggap tidak penting oleh sekelompok teman. Siswa yang mampu mengelola emosi dengan baik akan bersikap sewajarnya dan tidak berlebihan menanggapi hal tersebut. Kondisi ini akan membuat tetap rileks, percaya diri, menghindarkan dari depresi, cemas yang berlebihan, amarah yang meluap-luap, serta gangguan emosional yang berlebihan. Dengan demikian siswa tetap dapat menyelesaikan presentasi dengan lancar. Hal ini sesuai dengan pendapat Goleman (2009) yang menyatakan bahwa emosi yang tidak dikendalikan akan menimbulkan depresi, cemas berlebihan, dan amarah.

Sesi motivasi diri akan membantu siswa untuk mampu menentukan pilihan yang tepat pada saat dihadapkan pada suatu permasalahan. Kemampuan memotivasi diri akan membuat seseorang memiliki motivasi yang tinggi pula dalam hidupnya sehingga akan mendorong individu untuk tetap tekun dan gigih dalam menghadapi tantangan. Misalnya ketika tiba-tiba diminta untuk berbicara di depan orang banyak, sering muncul ketakutan ditertawakan, disalahkan, dan lain sebagainya. Maka siswa yang mampu memotivasi diri akan dapat merespon ketakutan itu sebagai tantangan yang harus dihadapi untuk meningkatkan kompetensi. Selain itu siswa juga akan

berusaha untuk memperkecil setiap peluang kemunculan ketakutan dan kekhawatiran yang justru akan menghambatnya. Menurut pendapat Freud (2006), peran individu dalam memotivasi diri terlihat ketika menghadapi problem yang membuatnya berada dalam posisi memilih. Individu bermotivasi tinggi akan tetap tekun dan gigih dalam menghadapi tantangan serta mampu memperkecil kemunculan dorongan hati yang tidak sejalan dengan harapannya.

Sesi empati akan melatih siswa untuk memahami perasaan orang lain. Siswa diharapkan mampu membaca pesan non verbal dari lawan bicara meliputi nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, posisi tubuh, dan lain-lain. Misalnya saat presentasi di depan kelas, ada beberapa teman yang menguap atau berulang kali melihat jam dinding. Dalam kondisi tersebut maka siswa diharapkan dapat segera tanggap bahwa mungkin cara penyampaian materinya monoton atau menjemukan sehingga orang lain mulai jenuh dengan apa yang disampaikannya. Apabila ini terjadi maka siswa harus segera mengubah metode presentasinya. Misalnya dengan memberikan jeda untuk menyanyi, permainan, atau spontanitas lainnya yang bersifat dapat me-recharge semangat teman yang lain sehingga mau mengikuti presentasi dengan antusias. Goleman (2009) yang menyatakan bahwa individu yang mampu berempati ditandai dengan kemampuannya menangkap tanda sosial sehingga dapat mengetahui apa yang dilakukan, dibutuhkan, atau dikehendaki oleh orang lain.

Sesi membina hubungan dengan orang lain akan melatih siswa untuk dapat lebih terampil dalam mengirimkan isyarat-isyarat emosional ketika berhubungan dengan orang lain sehingga akan berpengaruh pada kualitas hubungan tersebut. Semakin terampil seseorang secara sosial maka semakin baik dalam mengendalikan sinyal yang dikirim dalam bahasa verbal maupun non verbal. Misalnya saat orang menganggap tidak penting terhadap materi yang sedang disampaikan dengan memberikan komentar negatif, maka melalui pelatihan ini diharapkan siswa dapat meresponnya dengan cara yang lebih positif menggunakan diksi atau pilihan kata yang tepat disertai ekspresi wajah yang tetap santun dan ramah. Hal ini sejalan dengan pendapat Goleman (2009) menyatakan bahwa keterampilan membina hubungan dengan orang lain dapat menjalin hubungan sosial menjadi lancar, cakap memantau ungkapan emosi diri terhadap bagaimana orang bereaksi, serta memiliki kepekaan akan perasaan dan kebutuhan diri.

Diharapkan dengan diberikannya pelatihan kecerdasan emosi tersebut maka pelajar akan mampu menurunkan kecemasan berbicara di depan umum. Pelajar akan lebih mampu mengenali atau mendeteksi sejak awal perasaan yang dialaminya ketika berbicara di depan umum untuk selanjutnya dapat mengatur respon yang akan diberikan terkait dengan apa yang sedang dirasakannya. Pelajar juga akan dapat memotivasi dirinya untuk berusaha melawan segala bentuk perasaan cemas yang dialaminya ketika berbicara di depan umum. Disamping hal tersebut, pelajar juga akan belajar untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain yang mengalami kecemasan

ketika harus berbicara di depan umum. Dengan demikian mereka tidak akan melakukan hal-hal yang sekiranya dapat menambah kecemasan ataupun perasaan tidak nyaman pada orang lain saat berbicara di depan umum. Selain itu melalui pelatihan kecerdasan emosi tersebut pelajar akan dilatih untuk memiliki keterampilan sosial sehingga dapat menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang lain sehingga dapat meningkatkan kualitas dalam interaksi sosialnya.

Dokumen terkait