• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dimana dalam penelitian kualitatif teori dibatasi pada pengertian suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data dan diuji secara empiris. Dapat dikatakan bahwa teori dalam metode ini berfungsi untuk membantu menghubungkan antara peneliti dan data yang dibutuhkan dalam hal pengumpulan dan proses analisa data.

commit to user

Tujuan penelitian ini adalah ingin menggambarkan keteladanan orang tua dalam mensosialisasikan dan memberikan pemahaman nilai-nilai agama yang ditujukan untuk anaknya dengan menggunakan salah satu paradigma dari buku karangan George Ritzer, yaitu paradigma definisi sosial yang diambil dari karya Weber.

Paradigma definisi soial dipiliih dalam penelitian ini didasarkan pada pemahaman peneliti bahwasanya tindakan untuk menentukan atau memilih dan menerapkan proses sosialisasi nilai-nilai agama adalah sebuah tindakan sosial yang dilakukan oleh sekelompok orang tua kepada anak-anaknya.

Tindakan sosial yang dimaksudkan disini adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna dan arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. (Ritzer, 1985 : 48)

Tindakan tersebut mempunyai makna atau arti subyektif yaitu menentukan dan memilih strategi yang tepat untuk mensosialisasikan nilai-nilai agama pada anak di wilayah Kelurahan Sumber. Dalam strategi ini juga melibatkan orang lain yaitu : pekerja di Kelurahan, pengajar TPA masjid Rohmah yang terletak di Sumber.

Penelitian ini mengacu pada disiplin ilmu sosiologi. Sosiologi menurut Pitirin Sorokin didefinisikan sebagi suatu ilmu yang mempelajari: 1. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral hukum dengan ekonomi, gerakan masyarakat dalm politik dan

commit to user sebagainya).

2. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial (misalnya gejala-gejala geografis, biologis dan sebagainya). 3. Ciri-ciri semua jenis gejala sosial (Soekanto,1990:21).

Secara umum obyek kajian sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan antar manusia dalam masyarakat. Mac Iver dan Page menjelaskan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongannya, dari pengawasan dan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah (Soekanto, 1990:26).

Secara definitif Max weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep dasarnya, pertama, konsep tindakn sosial, kedua, konsep tentang penafsiran dan pemahaman.

Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode verstehen, imajinasi atau simpatik reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri (Ritzer, 2002:53-54).

Melalui rasionalitas sebagai konsep dasar Max weber melakukan klasifikasi mengenai tipe-tipe tindakan social:

commit to user 1. Rasionalitas instrumental (Zwerk Rasionalitas)

Tingkat rasionalitas yang tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Sesudah tindakan itu dilaksanakan orang dapat menentukan secara obyektif sesuatu yang berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai.

2. Rasionalitas yang berorientasi nilai (werkrasionalitas)

Dibandingkan dengan rasionalitas instrumental, sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya.

3. Tindakan tradisional

Tindakn tradisional merupakan tipe tindakn sosial yang bersifat non rasional. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini sedang hilang karena meningkatnya rasionalitas instrumental.

4. Tindakan afektif

Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar (Johnson. 1986 : 219-222).

Selain konsep tindakan sosial, Weber juga mengemukakan konsep tentang antar hubungan sosial (social relationship). Ia mendefinisikannya sebagai tindakan beberapa orang actor yang berbeda-beda sejauh tindakan

commit to user

itu mengandung makna dan dihubungkan serta diarahkan kepada orang lain.

Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan soial itu Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi, yaitu :

1. Tindakan manusia yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif, meliputi tindakan nyata.

2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.

3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.

4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.

5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain. (Ritzer, 1985:45)

Ada tiga teori yang termasuk ke dalam paradigma definisi sosial ini yaitu teori aksi, teori interaksi simbolik dan fenomenologi. Di dalam penelitian ini, peneliti mengambil teori aksi. Dalam teori aksi terdapat beberapa asumsi fundamental yang dikemukakan oleh Hinkle dengan merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parsons, sebagai berikut :

1. Tindakan manusia mucul dari kesadarannya sendiri sebagi subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagi obyek.

commit to user

2. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, jadi tindakan manusia bukan merupakan tujuan. 3. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik prosedur, metode

serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.

4. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak dapat diubah dengan sendirinya.

5. Manusia memilih untuk menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang, dan yang telah dilakukan.

6. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan.

7. Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode verstehen, imajinasi,

sympathetic reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri.

(Ritzer, 1985:53)

Parsons menyusun skema unit-unit dasar tindakan sosial dengan karakteristik sebagai berikut :

1. Adanya individu selaku aktor.

2. Aktor dipandang sebagaipemburu tujuan-tujuan tertentu.

3. Aktor mempunyai alternatif cara, alat, serta teknik untuk mencapai tujuannya.

4. Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut

commit to user

berupa situasi dan kondisi, sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh individu. Misalnya tradisi.

5. Aktor berada dibawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan. (Ritzer, 1985:56-57)

Aktor mengejar tujuan dalam situasi dimana norma

mengarahkannya dalam memilih alternatif cara dan alat untuk mencapai tujuan. Norma-norma itu tidak menetapkan pilihannya terhadap cara atau alat tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor untuk memilih. Kemampuan ini oleh Parsons disebut sebagai voluntarisme Singkatnya voluntarisme

adalah :

Kemampuan individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka

mencapai tujuannya. (Ritzer, 1985:87).

Konsep voluntarisme Parsons inilah yang menempatkan Teori Aksi kedalam paradigma definisi sosial. Aktor menurut konsep voluntarisme ini adalah pelaku akif dan kreatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih dari alternatif tindakan. Walaupun aktor tidak mempunyai kebebasan total, namun ia mempunyai kemauan bebas dalam memilih berbagai alternatif tindakan. Berbagai tujuan yang hendak dicapai, kondisi dan norma serta situasi penting lainnya kesemuanya kebebasan aktor. Tetapi selain itu aktor adalah manusia yang aktif, kreatif, dan evaluatif.

commit to user

Kesimpulan utama yang dapat diambil adalah bahwa :

Tindakan sosial merupakan suatu proses dimana aktor terlibat dalam pengambilan keputusan subyektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, yang kesemuanya itu dibatasi

kemungkinan-kemungkinannya oleh sistem kebudayaan dalam bentuk

norma-norma, ide-ide dan nilai sosial. (Ritzer, 1985:58)

Didalam menghadapi situasi yang bersifat kendala baginya itu, aktor mempunyai sesuatu didalam dirinya berupa kemauan bebas.

Jika kita terapkan teori aksi dalam penelitian dapat dilihat bahwa tindakan sosial tercermin dalam proses sosialisasi pemahaman nilai-nilai agama pada anak yang diberikan oleh orang tua, dimana mereka harus dapat memilih startegi atau cara yang tepat dan sesuai yang digunakan untuk mencapai tujuan ini.

TEORI SOSIALISASI KELUARGA

Lembaga keluarga merupakan tempat pertama untuk anak menerima pendidikan dan pembinaan. Meskipun diakui bahwa sekolah mengkhususkan diri untuk kegiatan pendidikan, namun sekolah tidak mulai dari “ruang hampa”(Hery Noer Aly, 2000). Sekolah menerima anak setelah melalui berbagai pengalaman dan sikap serta memperoleh banyak pola tingkah laku dan keterampilan yang diperolehnya dari lembaga keluarga. Keluarga menjadi tempat berlangsungnya sosialisasi yang berfungsi dalam pembentukan kepribadian sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila dan makhluk keagamaan. Jika anak

commit to user

mengalami atau selalu menyaksikan praktek keagamaan yang baik, teratur dan disiplin dalam rumah tangganya, maka anak akan senang meniru dan menjadikan hal itu sebagai adat kebiasan dalam hidupnya, sehingga akan dapat membentuknya sebagai makhluk yang taat beragama. Dengan demikian, agama tidak hanya dipelajari dan diketahui saja, tetapi juga dihayati dan diamalkan dengan konsisten (Imam Barnadib, 1983).

Keluarga memegang peranan penting dalam meletakkan

pengetahuan dasar keagaman kepada anak–anaknya. Untuk melaksanakan hal itu, terdapat cara–cara praktis yang harus digunakan untuk menemukan semangat keagamaan pada diri anak, yaitu : (a) memberikan teladan yang baik kepada mereka tentang kekuatan iman kepada Allah dan berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama dalam bentuknya yang sempurna dalam waktu tertentu, (b) membiasakan mereka melaksanakan syiar-syiar agama semenjak kecil sehingga pelaksanaan itu menjadi kebiasaaan yang mendarah daging, dan mereka melakukannya dengan kemauan sendiri dan merasa tentram sebab mereka melaksanakannya, (c) menyiapkan suasana agama dan spritual yang sesuai di rumah di mana mereka berada, (d) membimbing mereka membaca bacaan-bacaan agama yang berguna dan memikirkan ciptaan-ciptaan Allah dan makhluk-makhlukNya untuk menjadi bukti kehalusan sistem ciptaan itu dan atas wujud dan keagungan-nya, (e) menggaklakkan mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas agama dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya dalam berbagai macam bentuk dan cara (Ibid, 1992).

commit to user

Fungsi Sosial keluarga sangat penting dalam memberikan pemahaman agama kepada anak dengan cara orang tua wajib mendidik anak-anaknya mengenal dan mengamalkan akhlak-akhlak terpuji kepada yang berhak, baik akhlak kepada Allah SWT, nabi, dan rasul Allah SWT, orang tua, hingga tumbuhan, dan binatang.

Dalam kaitannya dengan pendidikan anak dalam keluarga, dapat memberikan implikasi-implikasi sebagai berikut : Anak memiliki pengetahuan dasar-dasar keagamaan. Kenyataan membuktikan bahwa anak-anak yang semasa kecilnya terbiasa dengan kehidupan keagamaan

dalam keluarga, akan memberikan pengaruh positif terhadap

perkembangan kepribadian anak pada fase-fase selanjutnya. Oleh karena itu, sejak dini anak seharusnya dibiasakan dalam praktek-praktek ibadah dalam rumah tangga seperti ikut shalat jamaah bersama dengan orang tua atau ikut serta ke mesjid untuk menjalankan ibadah, mendengarkan khutbah atau ceramah-ceramah keagamaan dan kegiatan religius lainnya. Hal ini sangat penting, sebab anak yang tidak terbiasa dalam keluarganya dengan pengetahuan dan praktek-praktek keagamaan maka setelah dewasa mereka tidak memiliki perhatian terhadap kehidupan keagamaan (Hasbullah, 1999). Pentingnya keluarga dalam proses sosialisasi menjadi jelas jika dampaknya dibandingkan dengan dampak dari pengaruh yang lain. Oleh karena itu pernyataan tesebut telah menegaskan bahwa keluarga adalah faktor penentu utama bagi sosialisasi anak.

commit to user

Definisi agama dalam sosiologi adalah definisi yang empiris yaitu definisi menurut pengalaman kongkret sekitar agama yang dikumpulkan dari masa lampau maupun kejadian sekarang

Hendropuspito mendefinisikan agama sebagai suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya.

Pendidikan agama merupakan pendidikan dasar yang harus diberikan kepada anak sejak dini ketika masih muda. Hal tersebut mengingat bahwa Pribadi anak pada usia kanak-kanak masih muda untuk dibentuk dan anak didik masih banyak berada dibawah pengaruh lingkungan rumah tangga. Mengingat arti startegis lembaga keluarga tersebut, maka pendidikan agama yang merupakan pendidikan dasar itu harus dimulai dari suatu keluarga oleh orang tua.

Pendidikan agama dan spiritual termasuk termasuk bidang-bidang pendidikan yang harus mendapat perhatian penuh oleh keluarga terhadap anak-anaknya. Pendidikan agama dan spiritual ini berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada pada anak-anak. Demikian pula, memberikan kepada anak bekal pengetahuan agama dan nilai-nilai budaya agama yang sesuai dengan umurnya sehingga dapat menolongnya kepada pengembangan sikap agama yang benar.

commit to user

kedalam jiwa anak , untuk pelaksanaan hal itu secara maksimal hanya dapat dilaksanakan dalam rumah tangga. Harun Nasution menyebutkan bahwa pendidikan agama, dalam arti pendidikan dasar dan konsep agama adalah pendidikan moral. Pendidikan budi pekerti luhur yang berdasarkan agama inilah yang harus dimulai oleh orang tua di lingkungan keluarga. Disinilah harus dimulai pembinaan kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam diri anak. Lingkungan keluargalah yang dapat membina pendidikan ini, karena anak usia dini lebih banyak berada di lingkungan keluarga daripada di luar, karena perilaku beragama seorang anak bergantung pada penerimaan nilai-nilai agama melalui sosialisasi yang ada pada lingkungan keluarga terutama fungsi sosial orang tua. (Harun Nasution, 1995:70)

Dokumen terkait