• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

a. Pengertian Kinerja

Seseorang akan selalu mendambakan penghargaan terhadap hasil pekerjaannya dan mengharapkan imbalan yang adil. Penilaian kinerja perlu dilakukan secara obyektif karena akan memotivasi karyawan dalam melakukan kegiatannya. Di samping itu pula penilaian kinerja dapat memberikan informasi untuk kepentingan pemberian gaji, promosi dan melihat perilaku karyawan.

Menurut Mangkunegara (2001:67); kinerja dapat didefinisikan sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh karyawan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Cascio (1995:275) dalam Koesmono (2005: 171) mengatakan bahwa kinerja merupakan prestasi karyawan dari tugas-tugasnya yang telah ditetapkan. Soeprihantono (2001:7); mengatakan bahwa kinerja merupakan hasil pekerjaan seorang karyawan selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya standard, target/ sasaran/ kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.

Menurut Roger Belows dalam Achmad (2002:12) berpendapat bahwa kinerja adalah suatu penilaian periodic atas nilai seorang individu karyawan bagi organisasinya, dilakukan oleh atasannya atau seorang yang berada dalam posisi untuk mengamati/ menilai prestasi kerjanya.

Menurut Siagian (2008:78), kinerja atau performance adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, dan sesuai dengan moral maupun etika.

Kinerja merupakan hasil dari suatu proses atau aktivitas pada fungsi tertentu yang dilaksanakan oleh seseorang, baik sebagai individu maupun sebagai anggota dari suatu kelompok atau organisasi bisnis pada periode tertentu yang hasilnya dapat dinikmati sendiri maupun kelompoknya atau organisasinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bernardin dan Russel (1997) dalam Wijaya (2007:36) bahwa kinerja adalah catatan hasil (out come) yang dicapai dari fungsi suatu pekerjaan atau kegiatan tertentu selama periode tertentu (the record of outcome

produced on a specified job function or activity during specified time period). Ditambahkannya pula bahwa kinerja karyawan tergantung pada

kemampuan, usaha kerja dan kesempatan kerja.

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil atau apa yang keluar dari sebuah pekerjaan dan kontribusi mereka pada organisasi.

b. Pengukuran Kinerja

Menurut Mangkuprawira (2003:26), pendekatan penilaian kinerja hendaknya mengidentifikasi standar kinerja yang terkait, mengukur kriteria dan kemudian memberikan umpan balik pada karyawan dan Departemen Sumber Daya Manusia. Jika standar kinerja atau perhitungan tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, evaluasi dapat mengarah pada ketidak akuratan atau hasil yang tidak jelas, meregangkan hubungan manajer dengan karyawan, dan memperkecil kesempatan kerja yang sama.

Departemen sumber daya manusia biasanya merancang dan mengelola sistem penilaian kinerja. Sentralisasi menjamin terjadinya keseragaman. Meskipun departemen sumber daya manusia dapat mengembangkan pendekatan yang berbeda untuk para manajer, profesional, pekerja, dan kelompok lain. Namun keseragaman dalam tiap kelompok dibutuhkan untuk menjamin hasil yang dapat dibandingkan.

Dalam penelitian ini pendekatan untuk mengukur sejauh mana kinerja karyawan secara individual menurut Bernadin (1993) dalam Wijaya (2007:37), dengan menggunakan 6 kriteria, yaitu:

1) Kualitas

Tingkat dimana hasil aktivitas yang dilakukan mendekati sempurna dalam arti menyesuaikan beberapa cara ideal dari penampilan aktivitas ataupun memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dari suatu aktivitas.

2) Kuantitas

Jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah- istilah seperti dolar, jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.

3) Ketepatan waktu

Tingkat suatu aktivitas diselesaikan pada waktu awal yang diinginkan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.

4) Efektivitas

Tingkat penggunaan sumber daya organisasi dimaksimalkan dengan maksud menaikkan keuntungan atau mengurangi kerugian dari setiap unit atau instansi dalam penggunaan sumber daya.

5) Kemandirian

Tingkat dimana seorang karyawan dapat melakukan fungsi kerjanya tanpa meminta bantuan bimbingan dari pengawas atau meminta turut campurnya pengawas guna menghindari hasil yang merugikan.

6) Hubungan interpersonal

Tingkat dimana karyawan/karyawati mengemukakan perasaan harga diri, jasa baik, dan kerja sama antara rekan kerja dalam unit kerjanya.

c. Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja sangat penting bagi organisasi untuk menilai prestasi kerja karyawannya. Pentingnya penilaian kinerja karyawan

memiliki dua kepentingan, yaitu untuk kepentingan karyawan yang bersangkutan dan untuk kepentingan organisasi.

Penilaian kinerja terdiri dari tiga langkah, yaitu mendefinisikan pekerjaan, menilai kinerja, dan memberikan umpan balik. Mendefinisikan pekerjaan berarti memastikan bahwa pimpinan organisasi dan karyawan sepakat tentang tugas- tugasnya dan standar jabatan. Menilai kinerja berarti membandingkan kinerja actual karyawan dengan standar yang telah ditetapkan.

Gomes (2003:213) menyatakan diperlukan dua syarat utama untuk melakukan penilaian performansi yang efektif, yaitu:

1) Adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara objektif 2) Adanya objektivitas dalam proses evaluasi.

Dalam hal ini terdapat tiga tipe kriteria penilaian kinerja yang saling berbeda, yaitu :

a) Result based performance evaluation (penilaian kinerja berdasarkan

hasil);

b) Behavior-based performance evaluation (penilaian kinerja berdasarkan

perilaku);

c) Judgment-based performance evaluation (penilaian kinerja

berdasarkan judgment).

Penilaian kinerja berdasarkan hasil yaitu merumuskan kinerja berdasarkan pencapaian tujuan organisasi atau mengukur hasil-hasil akhir

kelompok kerja. Penilaian kinerja berdasarkan perilaku, yaitu mengukur cara (means) pencapaian sasaran (goals) dan bukan hasil akhir (end

results), sedangkan penilaian kinerja berdasarkan judgment, menilai dan

atau mengevaluasi kinerja berdasarkan deskripsi perilaku yang spesifik, misalnya kualitas kerja, kerja sama, inisiatif, kepribadian, loyalitas kejujuran dan lain lain.

Menurut Maier dalam As’ad (2001:63) ada beberapa criteria untuk mengukur kinerja yang umum, antara lain: kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi, serta keselamatan dalam menjalankan tugas dan pekerjaan.

Untuk penilaian kinerja untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) selama ini menggunakan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) yang di dalamnya terdapat 8 (delapan) unsur penilaian yaitu kejujuran, kesetiaan, ketaatan, prestasi kerja, tanggung jawab, kerjasama, kepemimpinan dan prakarsa (http://prasasto.blogspot.com/2008/11/manajemen-sdm-penilaian -kinerja-pns.html).

Gary dessler (2003:108) menyebutkan beberapa faktor yaitu: 1) Kualitas (mutu) pekerjaan

Kualitas pekerjaan diukur melalui kesesuaian, kelengkapan, ketelitian serta kerapaian setiap karyawan dalam melaksanakan tugas dan pekerjannya.

Jumlah pekerjaan yang dikerjakan oleh setiap karyawan dengan banyaknya waktu yang digunakan dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan oleh setiap karyawan.

3) Ketahanan dalam bekerja

Menunjukkan ketangguhan setiap karyawan dalam menyelesaikan situasi ekerjaan yang menekan.

4) Kehandalan dalam bekerja

Kemampuan karyawan dalam menguasai atau menunjukkan performa serta hasil yang memuaskan.

5) Kemampuan dalam bekerja

Kemampuan setiap karyawan dalam bekerja dengan berbagai tugas yang diberikan atasan

6) Kemandirian

Kemampuan setiap karyawan dalam menjalankan atau melaksanakan tugas dalam pekerjaannya secara individu.

Beberapa penyebab umum yang sering menimbulkan kegagalan dalam melakukan penilaian antara lain (Ruky, 2002:38):

(1)Tidak adanya standar

Tanpa adanya standar berarti tidak terjadi penilaian prestasi yang obyektif. Yang ada hanyalah penilaian subjektif yang mengandalkan perkiraan dan perasaan.

Standar seharusnya ditetapkan melalui proses analisa jabatan/ pekerjaan untuk menentukan hasil yang diharapkan dari pekerjaan tersebut.

(3)Standar yang tidak realistis

Standar adalah sasaran-sasaran yang berpotensi merangsang motivasi. Standar yang masuk akal dan menantang akan lebih berpotensi untuk merangsang motivasi.

(4)Ukuran prestasi yang tidak tepat

Objektivitas dan perbandingan memerlukan bahwa kemajuan terhadap standar dan pencapaian standar dapat diukur dengan mudah dan transparan.

(5)Kesalahan penilaian

Termasuk dalam kesalahan penilai adalah keberpihakan, terpengaruh oleh yang dinilai, kecenderungan untuk memilih nilai tengah dan takut untuk menghadapi bawahan.

(6)Pemberian umpan balik secara buruk

Pada awal proses management performance standar harus dikomunikasikan kepada karyawan yang dinilai untuk diketahui dan disepakati. Demikian pula seluruh proses penilaian dan hasil penilaian.

Proses evaluasi ternyata terganggu oleh komunikasi yang didasari oleh sikap negatif seperti arogansi dan keakuan pada pihak penilai dan sikap membela diri dan ketertutupan pada pihak yang dinilai. Agar program kinerja efektif hendaknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Calcio dalam Ruki, 2002:39):

(a)Relevance

Hal- hal atau faktor- faktor yang diukur adalah relevan (terkait) dengan pekerjaanya, apakah itu outputnya, prosesnya atau inputnya.

(b)Sensitivity

Sistem yang digunakan harus cukup peka untuk membedakan antara karyawan yang berprestasi dan tidak berprestasi.

(c) Reliability

Sistem yang digunakan harus dapat diandalkan, dipercaya bahwa menggunakan tolak ukur yang objektif, sahih, akurat, konsisten dan stabil.

(d)Acceptability

Sistem yang digunakan harus dapat dimengerti dan diterima oleh karyawan yang menjadi penilai ataupun yang dinilai dan memfasilitasi komunikasi aktif dan konstruktif antara keduanya.

Semua instrumen, misalnya formulir yang digunakan harus mudah digunakan oleh kedua pihak, tidak rumit, dan mengerikan serta berbelit- belit.

2. Budaya Organisasi

a. Pengertian Budaya Organisasi

Dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak akan terlepas dari lingkungannya. Kepribadian seseorang akan dibentuk pula oleh lingkungannya dan agar kepribadian tersebut mengarah kepada sikap dan perilaku yang positif tentunya harus didukung oleh suatu norma yang diakui tentang kebenarannya dan dipatuhi sebagai pedoman dalam bertindak. Pada dasarnya manusia atau seseorang yang berada dalam kehidupan organisasi berusaha untuk menentukan dan membentuk sesuatu yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak, agar dalam menjalankan aktivitasnya tidak berbenturan dengan berbagai sikap dan perilaku dari masing-masing individu. Sesuatu yang dimaksud tidak lain adalah budaya dimana individu berada, seperti nilai, keyakinan, anggapan, harapan, dan sebagainya.

Menurut Sharplin dalam Sutanto (2002:65) budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk menghasilkan norma- norma perilaku organisasi.

Beraneka ragamnya bentuk organisasi atau perusahaan, tentunya mempunyai budaya yang berbeda-beda hal ini wajar karena lingkungan

organisasinya berbeda-beda pula misalnya perusahaan jasa, manufaktur dan trading. Robbins (2001:289); budaya organisasi merupakan suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi dan merupakan suatu sistem makna bersama.

Mengingat budaya organisasi merupakan suatu kesepakatan bersama para anggota dalam suatu organisasi atau perusahaan sehingga mempermudah lahirnya kesepakatan yang lebih luas untuk kepentingan perorangan. Keutamaan budaya organisasi merupakan pengendali dan arah dalam membentuk sikap dan perilaku manusia yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan organisasi. Secara individu maupun kelompok seseorang tidak akan terlepas dengan budaya organisasi dan pada umumnya mereka akan dipengaruhi oleh keaneka ragaman sumber-sumber daya yang ada sebagai stimulus seseorang bertindak.

Menurut Kartono (1994:138) dalam Koesmono (2005: 168) mengatakan bahwa bentuk kebudayaan yang muncul pada kelompok-kelompok kerja di perusahaan- perusahaan berasal dari macam-macam sumber, antara lain: dari stratifikasi kelas sosial asal buruh-buruh/karyawan, dari sumber-sumber teknis dan jenis pekerjaan, iklim psikologis perusahaan sendiri yang diciptakan oleh majikan, para direktur, dan manajer-manajer yang melatarbelakangi iklim kultur buruh- buruh dalam kelompok kecil- kecil yang informal.

Definisi lain menyebutkan bahwa budaya organisasi merupakan nilai- nilai dominan yang disebar luaskan di dalam organisasi dan diacu

sebagai filosofi kerja karyawan (Djokosantoso, 2003: 17-18). Menurut Susanto (1997:3) dalam Soedjono (2005:24), budaya organisasi merupakan nilai- nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan sehingga masing- masing anggota organisasi harus memahami nilai- nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku. Manfaat yang dapat diperoleh apabila budaya organisasi itu dipahami dapat dilihat dari dua sisi, bagi sumber daya manusia dan bagi organisasi. Bagi sumber daya manusia berfungsi untuk memberikan arah atau pedoman berperilaku di dalam organisasi, menyamakan langkah dan visi dalam melakukan tugas dan tanggung jawab, dan mendorong sumber daya manusia selalu mencapai kinerja atau produktivitas yang lebih baik. Sedangkan bagi organisasi dapat berfungsi sebagai pedoman di dalam menentukan kebijakan yang berkenaan dalam ruang lingkup kegiatan internal organisasi, untuk menunjukkan kepada pihak eksternal tentang keberadaan organisasi dari ciri khas yang dimiliki, sebagai acuan dalam penyusunan perencanaan organisasi, dan dapat membuat program- program pengembangan usaha dan pengembangan sumber daya manusia dengan dukungan penuh dari seluruh jajaran sumber daya manusia yang ada. Kontribusi budaya organisasi dalam sistem pengendalian organisasi. Budaya organisasi membawa rasa identitas dan sarana membangun komitmen merupakan hal yang serupa dengan penciptaan keselarasan sasaran antara organisasi dan keanggotaannya dalam sistem organisasi.

Berdasarkan definisi- definisi di atas, dapat disimpulkan budaya organisasi adalah seperangkat nilai- nilai atau norma- norma yang ada dalam suatu organisasi yang dijadikan patokan oleh karyawan untuk bersikap dan perilaku sesuai norma- norma tersebut.

b. Karakteristik Budaya Organisasi

Budaya organisasi berfungsi sebagai sarana untuk mempersatukan kegiatan para anggota organisasi, yang terdiri atas sekumpulan individu dengan latar belakang kebudayaan yang khas.

Menurut Robbins (2001: 87), fungsi budaya organisasi antara lain sebagai berikut:

1) Menentukan peran yang membedakan perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain

2) Menentukan tujuan bersama yang lebih besar dari sekedar kepentingan individu

3) Menjaga stabilitas sosial organisasi

4) Meningkatkan identitas bagi anggota organisasi

5) Memberikan pengertian dan mekanisme control yang memberi pedoman bagi sikap dan perilaku

Robbins (2001:249) memberikan karakteristik budaya organisasi sebagai berikut:

1) Inovasi dan keberanian mengambil resiko, adalah sejauh mana organisasi mendorong karyawan untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko. Selain itu, bagaimana organisasi menghargai tindakan pengambilan resiko oleh karyawan dan membangkitkan ide karyawan.

2) Perhatian terhadap detail, adalah sejauh mana organisasi mengharapkan karyawan memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian kepada rincian.

3) Berorientasi pada hasil, adalah sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil dibandingkan perhatian pada teknik dan proses yang dgunakan untuk meraih hasil tersebut.

4) Berorientasi kepada manusia, adalah sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi.

5) Berorientasi tim, adalah sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim tidak hanya pada individu-individu untuk mendukung kerjasama.

6) Agresivitas adalah sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan kompetitif untuk menjalankan budaya organisasi sebaik-baiknya.

7) Stabilitas, adalah sejauh mana kegiatan organisasi menekankan status

quo sebagai kontras dari pertumbuhan.

Menurut Hofstede (1993) seperti dikutip dari Mas’ud (2004), budaya organisasi dapat diukur melalui:

1) Profesionalisme

Individu yang bekerja sesuai dengan standar moral dan etika yang ditentukan oleh pekerjaan tersebut.

2) Jarak dari manajemen

Batasan antar manajemen dalam suatu organisasi. Jarak seorang atasan terhadap bawahan dalam melaksanakan tugas.

3) Kepercayaan terhadap rekan sekerja

Kepercayaan terhadap rekan kerja harus terjalin dengan baik sehingga timbula rasa nyaman dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

4) Keteraturan

Setiap anggota organisasi hendaknya disiplin dalam melaksanakan tugas dari pekerjaannya.

5) Permusuhan

Perselisihan antar anggota dalam suatu organisasi yang dapat menyebabkan perpecahan dalam suatu organisasi.

Penyesuaian antara unsur- unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi.

]]]’

3. Kepuasan Kerja

a. Pengertian Kepuasan Kerja

Pada dasarnya bahwa seseorang dalam bekerja akan merasa nyaman dan tinggi kesetiannya pada perusahaan apabila dalam bekerjanya memperoleh kepuasan kerja sesuai dengan apa yang diinginkan. Menyadari betapa pentingnya arti kepuasan kerja bagi seseorang, maka hendaknya sedapat mungkin perusahaan memberikan kesempatan seluas- luasnya kepada karyawannya untuk memperoleh kepuasan kerja. Dalam hal kepuasan kerja ini As’ad (2001:63) memberi batasan sebagai berikut: kepuasan kerja adalah perasaan seseorang terhadap pekerjaan. Atas dasar pendapat- pendapat tersebut diatas, penulis menarik kesimpulan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap positif dari individu terhadap pekerjaannya yang menyangkut segi sosial ekonomi, sosial psikologis, maupun kondisi lingkungan serta pekerjaan itu sendiri.

Kepuasan kerja berasal dari dua kata yaitu kepuasan dan kerja. Kepuasan adalah sesuatu perasaan yang dialami oleh seseorang, dimana apa yang diharapkan telah terpenuhi atau bahkan apa yang diterima melebihi apa yang diharapkan, sedangkan kerja merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan dengan memperoleh pendapatan atau

kompensasi dari kontribusinya kepada tempat pekerjaannya (Koesmono, 2005:169-170).

Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaannya (Handoko, 2001:193). Kepuasan kerja merupakan cerminan dari perasaan pekerja terhadap pekerjaannya. Hal ini tampak dalam sikap positif pekerja terhadap pekerjaan yang dihadapi dan lingkungannya. Sebaliknya, karyawan yang tidak puas akan bersikap negatif terhadap pekerjaan dan bentuk yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.

b. Indikator Kepuasan Kerja

Menurut Muchinsky (1997:424) dalam Soedjono (2005:26), variabel-variabel yang dapat dijadikan indikasi menurunnya kepuasan kerja adalah absenteeism, turnover, and job performance. Mengutip pendapat tersebut, As’ad (1995: 103) dalam Soedjono (2005:26) menjelaskan bahwa variabel yang dapat dijadikan indikasi menurunnya kepuasan kerja adalah tingginya tingkat absensi, tingginya keluar masuknya karyawan, menurunnya produktivitas kerja atau prestasi kerja karyawan. Apabila indikasi menurunnya kepuasan kerja karyawan tersebut muncul ke permukaanm maka hendaknya harus segera ditangani supaya tidak merugikan perusahaan.

Menurut Handoko (2001:167), dampak kepuasan kerja perlu dipantau dengan mengaitkan pada output yang dihasilkan, yaitu produktivitas kerja menurun, turnover meningkat dan efektivitas lainnya

seperti menurunnya kesehatan fisik mental, berkurangnya kemampuan mempelajari pekerjaan baru dan tingginya tingkat kecelakaan.

Winardi (2001:86) mengungkapkan pengaruh kepuasan kerja antara lain:

1) Peningkatan produk 2) Absensi berkurang

3) Kecelakaan kerja dapat diminimalisir 4) Intense turn over berkurang

Menurut Luthans (1997:431) dalam Soedjono (2005:27), ada lima indikator yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu:

1) Pembayaran seperti gaji dan upah. Karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang dipersepsikan sebagai adil, tidak meragukan dan segaris dengan pengharapannya.

2) Pekerjaan itu sendiri. Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi kesempatan untuk menggunakan kemampuan dan keterampilannya, kebebasan serta umpan balik mengenai betapa baik mereka bekerja. Karakteristik ini membuat pekerjaan lebih menantang. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak menantang juga dapat menciptakan frustasi dan perasaan gagal.

3) Rekan kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan

bila mempunyai rekan kerja yang ramah dan mendukung akan meningkatkan kepuasan kerja.

4) Promosi pekerjaan. Promosi pekerjaan terjadi pada saat seorang karyawan berpindah dari satu pekerjaan ke posisi lainnya yang lebih tinggi, dengan tanggung jawab dan jenjang organisasionalnya.

5) Kepenyeliaan (supervise). Supervise mempunyai peran yang penting dalam manajemen. Supervise berhubungan dengan karyawan secara langsung dan mempengaruhi karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Umumnya karyawan lebih menyukai supervise yang adil, terbuka dan mau bekerjasama dengan bawahan.

Menurut Robbins (2001:48) ada lima faktor penting yang mendorong kepuasan kerja, yaitu:

a) Pekerjaan yang secara mental menantang

Pekerjaan yang secara mental menantang cenderung lebih disukai karyawan, karena akan memberikan kepada mereka kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan.

b) Ganjaran yang pantas

Ganjaran yang pantas merupakan keinginan karyawan akan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak kembar arti, dan segaris dengan pengharapan mereka.

Kondisi kerja yang mendukung diartikan sebagai kepedulian karyawan akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas dengan baik, mereka cenderung lebih menyukai lingkungan fisik yang aman dan nyaman. d) Rekan kerja yang mendukung

Rekan sekerja yang mendukung mengandung pengertian bahwa orang-orang mendapatkan lebih dari pada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja, tetapi kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial, sehingga sangat penting bagi mereka untuk memiliki rekan kerja yang mendukung dan dapat bekerja sama dengan baik.

e) Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan

Kesesuaian antara kepribadian dengan pekerjaan adalah satu unsur yang penting yang perlu ditambahkan, menurut Robbins karena unsur tersebut merupakan unsur yang cukup berperan dalam menentukan kepuasan kerja, yaitu bahwa karyawan cenderung akan merasa puas apabila ada kecocokan antara kepribadiannya dengan pekerjaannya.

Dokumen terkait