• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Landasan Teori

Pada bagian landasan teori dipaparkan mengenai pengertian kalimat imperatif, jenis-jenis kalimat imperatif, pengertian maksud, serta pengertian penanda.

1.6.1 Pengertian Kalimat Imperatif

Menurut Ramlan (1993:37) dalam bukunya yang berjudul Sintakis, berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasi, kalimat imperatif atau yang disebut kalimat suruh merupakan kalimat yang mengaharapkan tanggapan berupa tindakan dari mitra wicara. Adapun ciri kalimat imperatif ialah sebagai berikut. Pertama memiliki pola intonasi 2 3 # atau 2 3 2 #. Angka 2 menunjuk nada sedang. Angka 3 menunjuk nada tinggi. Tanda # (pagar) merupakan kesenyapan

akhir. Tanda // merupakan jeda fungsional antar kalimat. Berikut contoh intonasi kalimat perintah dalam bahasa Jawa ngoko.

(6) ‘Pergilah!’.

[2] 3 #

(7) ‘Baca buku itu !’.

[2] 3 // [2] 1 #

Kedua, dalam tulisan kalimat perintah diakhiri dengan tanda seru (!). Berikut contohnya.

(8) ‘Pergilah !’.

(9) ‘Baca buku itu !’.

1.6.2 Jenis-jenis Kalimat Imperatif

Ramlan (1993:38-41) dalam bukunya yang berjudul Sintaksis mengemukakan empat jenis kalimat perintah. Pertama kalimat suruh yang sebenarnya. Kedua kalimat suruh persilahan. Ketiga kalimat ajakan. Keempat kalimat larangan.

Kalimat suruh yang sebenarnya merupakan kalimat suruh yang ditandai oleh pola intonasi 2 3 # atau 2 3 2 #. Selain itu, apabila P-nya terdiri dari kata intransitif, bentuk kata verbal itu tetap, hanya partikel lah dapat ditambahkan pada kata verbal itu untuk menghaluskan perintah. S-nya boleh dibuang. Berikut contoh kalimat sururh yang sebenarnya.

(1) Lerenna! ‘Beristirahatlah’.

(2) Lungguha!

‘Duduklah’.

(3) Tekaa kowe nang omahku!

‘Datanglah engkau ke rumahku’.

(4) Mangkata saiki wae!

‘Berangkatlah sekarang juga’.

Kalimat suruh persilahan merupakan kalimat yang ditandai dengan pola intonasi 2 3 2 #, serta ditandai dengan kata silahkan atau dipersilahkan yang diletakkan di awal kalimat. Berikut contoh kalimat sururh persilahan.

(5) Mangga bapak lenggah tengriki!

‘Silahkan bapak duduk disini’.

(6) Mangga Tuan mendet buku piyambak!. Dipersilahkan Tuan mengambil buku sendiri’.

(7) ‘Mangga tindak omah kula!’.

‘Silahkan datang rumahku’. (8) Mangga tindak rumiyen!.

‘Dipersilahkan berangkat dahulu’.

(9) Mangga leren!

‘Silahkan beristirahat’.

Kalimat suruh ajakan hampir sama, dengan kalimat suruh yang sebenarnya. Kalimat suruh yang sebenarnya mengharapkan tanggapan atau respon

dari orang yang diajak berbicara. Perbedaanya apabila kalimat suruh yang sebenarnya mengaharapkan tanggapan dari orang yang diajak berbicara, namun pada kalimat suruh ajakan tidak hanya mengharapkan tanggapan atau respon dari orang yang diajak berbicara, tetapi dari penuturnya. Jadi, kalimat suruh ajakan mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari pihak pertama atau penutur dan mitra bicara atau mitra tutur.

Kalimat ajakan ditandai oleh pola intonasi 2 3 2 #, tetapi ditandai dengan kata-kata ajakan, seperti kata Ayo, yang diletakkan di awal kalimat. Partikel -lah dapat ditambahkan pada kedua kata itu, menjadi marilah dan ayolah. kalimat boleh di buang, boleh juga tidak. Sebagai contoh:

(10) Ayo, kita mangkat saiki!. ‘Mari, kita berangkat sekarang’.

(11) Ayo, sinau nang perpustakaan pusat!. ‘Mari, belajar ke perpustakaan pusat’.

(12) Ayo, kita dolanan bal-balan!. ‘Mari, kita bermain sepak bola’.

(13) Ayo, kita lungguh nang ngarep! ‘Mari, kita duduk di depan’.

Kalimat perintah atau kalimat suruh larangan merupakan kalimat yang ditandai oleh pola intonasi perintah. Selain ditandai oleh pola intonasi perintah, kalimat larangan juga ditandai oleh adanya kata jangan pada awal kalimat. Partikel lah pada kalimat larangan boleh ditambahkan untuk memperhalus larangan. Sebagai contoh.

(14) Aja kowe maca buku kuwi!. ‘Jangan kamu membaca buku itu’.

(15) Aja kowe mangkat dewe! ‘Jangan kamu berangkat sendiri’.

(16) Aja seneng nglarani atine uwong!. ‘Jangan suka menyakiti hatinya orang’.

Peneliti menggunakan teori dari Ramlan dikarenakan kalimat imperatif atau kalimat suruh yang akan dibahas dalam penelitian ini juga menganalisis mengenai kalimat suruh ajakan, kalimat suruh larangan. Jadi peneliti merasa bahwa teori Ramlan dirasa cocok apabila digunakan dalam penelitian ini.

Selain Ramlan yang membahas kalimat imperatif ialah Rahardi (2010:79-83). Ia membagi kalimat imperatif menjadi lima macam, yaitu kalimat imperatif biasa, kalimat imperatif permintaan, kalimat imperatif pemberian izin, kalimat imperatif ajakan, dan kalimat imperatif suruhan.

a) Kalimat Imperatif Biasa

kalimat imperatif biasa ialah, kalimat yang memiliki ciri-ciri (1) berintonasi keras, (2) didukung dengan kata kerja dasar, (3) berpatikel pengeras lah. Kalimat imperatif jenis ini dapat berkisar antara imperatif yang sangat halus sampai dengan imperatif yang sangat kasar. Contoh.

(17) Di, jupuken pelem kae!. 2 2 3 2 3 # ‘Di, ambilah buah manga itu’.

b) Kalimat Imperatif Permintaan

Kalimat imperatif permintaan ialah kalimat imperatif dengan kadar suruhan yang sangat halus. Kalimat imperatif suruhan disertai dengan sikap penutur yang lebih merendah dibandingkan dengan sikap penutur pada waktu menuturkan kalimat imperatif biasa. Kalimat imperatif permintaan, ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan tolong, coba, harap, mohon, dan beberapa ungkapan lain, seperti sudilah kiranya, sudilah seandainya, diminta dengan hormat, dan dimohon dengan sangat. Contoh,

(18) Awakku ra penak, tulung ijenke sekolah!. ‘Badan saya tidak enak, tolong izinkan sekolah’.

c) Kalimat Imperatif Pemberian Izin

Kalimat imperatif jenis ini, memiliki maksud untuk memberika izin dan ditandai dengan pemakaian penanda kesantunan silahkan, biarlah, dan beberapa ungkapan lain yang bermakna mempersilahkan, seperti diperkenankan, dan diizinkan. Contoh.

(19) Mangga, mangan ndhisek!.

‘Silahkan makan dahulu’.

d) Kalimat Ajakan

Kalimat imperatif ajakan biasanaya digunakan dengan penanda kesantunan ayo (yo), biar, coba, mari, harap, hendaknya, dan hendaklah. Contoh.

(20) Ayo Jok mangan bakso Dab supri’.

‘Mari Jok makan bakso Dab supri’

e) Kalimat Imperatif Suruhan

Kalimat imperatif suruhan, biasanya, digunakan bersama dengan penanda kesantunan ayo, biar, coba, harap, hendaklah, hendaknya, mohon, silahkan, dan tolong. Contoh.

(21) Ayo turu wae, Radit ditunngu suwi!.

‘Mari tidur saja, Radit ditunggu lama’.

1.6.3 Pengertian penanda

Alat seperti afiks, konjungsi, preposisi dan artikel yang menyatakan ciri gramatikal atau fungsi kata atau konstruksi Kridalaksana (1993:161). Jadi, kalimat imperatif dalama bahasa Jawa ngoko memiliki afiks, diataranya afiks a, -na, -en, -ana. Selain memiliki afiks, kalimat imperatif dalam bahasa Jawa ngoko memiliki perposisi yaitu kata Mangga, dan kata Ayo.

1.6.4 Pengertian Maksud

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat

(2008:865) kata maksud diartikan sebagai (1) ‘yang dikehendaki atau tujuan’, (2) ‘niat atau kehendak’, (3) ‘makna dari suatu perbuatan, perkataan, peristiwa’.

Brooks (1964:4) mengemukakan, maksud adalah hal yang dikehendaki, niat, atau tujuan seorang penutur berkomunikasi dengan mitra tutur.

Bagi penutur, maksud erupakan kehendak yang dijadikan pangkal tolak melakukan komunikasi dengan mitra tutur. Tuturan beserta informasi yang dikandungnya adalah sarana mengungkapkan maksud. Bagi mitra tutur, maksud merupakan sesuatu yang diperjuangkan untuk dipahami. Sarana untuk memahami maksud itu adalah tuturan beserta informasi yang ada di dalamnya (Baryadi 2012:17).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan ciri-ciri maksud. Pertama, maksud merupakan unsur luar-tuturan (ekstralingual). Kedua, maksud bersifat subjektif, yaitu ada di dalam subjek penutur. Ketiga, maksud menjadi titik tolak penutur melakukan komunikasi dengan mitra tutur. Keempat, maksud merupakan sesuatu yang dikejar untuk dipahami mitra tutur. Kelima, maksud berada dibalik tuturan yang mengandung informasi. Keenam, maksud sangat terikat konteks, yaitu diungkapkan dan dipahami melalui tuturan yang berada dalam konteks tertentu. ( Baryadi 2012:17).

Maksud dapat diartikan makna kata. Bagi pembicara atau pendengar pada waktu pertututran terjadi. (Kridalaksana 2008:149). Maksud merupakan sesuatu yang diluar ujaran dilihat dari segi pengujar, orang yang berbicara. Di sini orang- yang berbicara itu mengujarkan suatu ujaran entah berupa kalimat maupun frase,

tetapi yang dimaksudkannya tidak sama dengan makna lahiriah ujaran itu sendiri ( Chaer, 2009:37 ).

Dokumen terkait