• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Landasan Teori dan Kerangka Pikir

Dalam penulisan sejarah tentang Pergulatan Orang-Orang Buangan Di Boven Digul dan Pulau Buru, untuk dapat memahaminya secara baik penulis memfokuskan pada pembacaan atas kedua kamp pengasingan tersebut yang nantinya dapat dipakai menjadi pintu masuk dan pijakan dasar dari apa yang menjadi kerangka berfikir.

Pertama untuk kamp Boven Digul, dilihat dari latar belakangnya, bahwa kamp pengasingan (internering) ini dibuat dan dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda disaat sistem kolonialisme kolonial masih berlangsung dan terlihat nampak semakin kokoh dengan arahnya pada pemapanan sistem kolonialisme kolonial. Dasar dari pemapanan sistem kolonialisme itu nampak terlihat jelas dengan

19

Jaap Erkelens memperolehnya dari KITLV Perwakilan Jakarta, yang mendapatkannya dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta, dan dari Jepang. Dalam kedua fotokopi ini absen terbitan 49 (tanggal 5 Desember 19310. Fotokopi dari Jepang agaknya bersumber dari ANRI. Walapun demikian kekurangan ini tidak mengurangi arti penting catatan Marco sebagai sumber informasi mengenai kehidupan Digoelis, kususnya pada tahun-tahun awal 1927-1928.

keberhasilan Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B van Heutsz (1904-1909) yang berhasil dalam menyatukan nusantara dalam satu bendera Pax Nederlandica (Persatuan Nederlandica) yang menjadi bagian penting dari perubahan sistem politik kolonial di Hindia Belanda.20

Kamp Boven Digul diciptakan di zaman kolonial, sehingga tema kolonialisme menjadi penting sekali untuk disinggung. Untuk dapat memahaminya, mungkin dapat dimulai dari apa itu kolonialisme?. Dalam studi postkolonial, kolonialisme dipahami sebagai sistem yang menciptakan sebuah hubungan perbedaan di antara penjajah (coloniser) dengan yang dijajah (colonised). Jalinan keduanya yakni antara penjajah dan terjajah kemudian menciptakan hubungan yang bersifat hegemonik. Di dalam konteks hub ungan itu menegaskan posisi penjajah sebagai kelompok superior dibandingkan pihak terjajah yang inferior sehingga berakibat pada memunculkan apa yang disebut sebagai bentuk dominasi dan subordinasi.21 Pandangan yang berat sebelah dan tidak berimbang inilah yang dalam perkembangan selanjutnya memunculkan benturan pertentangan, disatu sisi penjajah sebagai pihak superior menilai terjajah sebagai kelompok masyarakat tidak beradab, bodoh dan tidak rasional, sedangkan dari pihak yang terjajah melihat penjajah sebagai kelompok yang menindas, rakus dan mau menang sendiri.

Kolonialisme juga dapat diartikan sebagai bentuk-bentuk penguasaan dan penaklukan atas wilayah tanah jajahan. Bentuk-bentuk penguasaan ini mencangkup atas tanah, harta-benda serta penduduk ditanah jajahan dan penguasaan atas

20G. Moedjanto, 2003: Dari Pembentukan Pax Nederlandica sampai Negara Kesatuan Republik Indonesia; Sanata Dharma Yogyakarta hlm 3.

21

Leela Gandhi, 1998: Postcolonial Theory A Critical Introduction. Australia: Allen&Unwin.

ekonomi-politik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem kolonialisme yang diterapkan barat terhadap wilayah jajahannya di timur. Dalam konteks ini kolonial Belanda sejak awal kehadirannya di Nusantara (kalau boleh menyebut Indonesia) sudah menciptakan pertentangan-pertentangan yang menjadi awal tumbuhnya sikap anti dan menolak kolonialisme, juga sikap anti dan meno lak penjajahan, atau dalam bahasanya Benita Perry ‘sebagai permusuhan yang tak terhindarkan antara pribumi dan pendatang’.22. Dalam frame kolonialisme inilah kamp Boven Digul dapat dilihat sebagai jawaban atas praktik-praktik kolonial yang telah berlangsung dalam periode penjajahan di Hindia Belanda.

Kedua, Kamp Pulau Buru. Kamp ini diciptakan dan dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru. Tetapi untuk melihatnya lebih jauh tentunya harus dilihat dalam konteks gambar besarnya yaitu dengan melihat Orde Lama dan hubungannya dengan Perang Dingin serta peralihan kekuasaan dan penghancuran gerakan komunis di Indonesia. Di samping itu juga melihat Orde Baru dalam konsep perilaku, yakni memahami watak Orde Baru bukan hanya sebagai penjajah, tetapi juga menerangkan sifat-sifat domestik yang sangat kuat, ini dapat dimulai dengan memahami secara mendalam praktik-praktik yang dilakukan semenjak kekuasaannya mulai berdiri, khususnya pada masa- masa terjadinya gejolak politik nasional pada periode tahun 1965-1966 dan peristiwa “G30S” yang mengantarkan berdirinya kekuasaan pemerintahan otoritarian dan munculnya kaum militer sebagai pihak yang membidani kelahiran Orde Baru.

22

Orde Baru- militer-Soeharto merupakan sebuah rangkaian kesatuan yang memungkinkan pembacaan atas kekuasaan dan praktik yang dihasilkannya terutama berkaitan dengan penciptaan kamp tahanan politik terbesar dalam sejarah republik, yaitu kamp pembuangan (Tefat) Pulau Buru yang diciptakan pada tahun 1969-1979.

Pengasingan Sebagai Sistem Pemenjaraan

Penulis juga akan membahas tentang pengasingan sebagi sebua h bentuk dari pemenjaraan. Penjara politik adalah istilah yang tepat bagi mereka yang ditahan oleh alasan-alasan politik yang berhubungan dengan negara dan kekuasaan. Pelaku kejahatan politik adalah warga ne gara yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai- nilai politik yang dianut bangsa dan negaranya.23 Seperti dipahami bahwa penjara atau pengasingan adalah sebuah mekanisme sistem kontrol yang diciptakan penguasa untuk mengatur dan menciptakan disiplin serta mendidik terpidana agar tampak jera (deterrent). Jera adalah kata yang diharapkan kepada pelaku untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.24 Tetapi penjara atau pengasingan juga digunakan penguasa untuk melindungi kekuasaan dari bahaya-bahaya yang mengancam. Penjara menjadi sebuah mekanisme kontrol yang ampuh untuk melindungi kekuasaan, seperti contohnya di negara Uni Soviet dengan kamp Siberia, dan benua Australia yang pada awalnya dijadikan sebagai wilayah buangan serta penjara bagi para narapidana Inggris, dan banyak lagi tempat-tempat dibelahan dunia lain yang mempraktikan pengasingan sebagai model dari pemenjaraan.

23

Erlangga Masdiana, “Penjara Politik”, Forum Keadilan No 7, 22 Juni 2003, hlm 19.

Model pemenjaraan diatas juga pernah terjadi di masa kolonial Hindia Belanda dengan kamp Boven Digul yang diciptakan untuk menampung para aktivis politik kaum pergerakan yakni kaum nasionalis dan komunis yang mengganggu tatanan politik kolonial dengan rest en orde nya, dan konsep yang sama yang diterapkan oleh kolonial Belanda, kemudian digunakan kembali oleh Orde Baru, namun dalam bentuk dan praktik yang berbeda. Kekuasaan Orde Baru me nciptakan kamp Pulau Buru untuk mereka yang dianggap terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, dan menurut Orde Baru mereka harus diamankan dalam pengertian diasingkan untuk dibuang, karena dianggap membahayakan.

Pengasingan atau pembuangan adalah bentuk lain dari sistem pemenjaraan,

Pertama pengasingan/pembuangan dalam KBBI adalah, berawal dari kata asing yang berarti(1) tersendiri, terpisah sendiri, misalnya disana ia merasa terpencil, mengasingkan berarti(2) menyendirikan, memisahkan dari yang lain,(3) membuang ketempat yang terpencil atau jauh; menginternir; mis. orang-orang dianggap berbahaya diasingkan.25 Kedua penjara dipahami sebagai sebuah institusi perampas kebebasan individu dan nega ra bertindak memonopolinya serta menciptakan pembenaran secara yuridis, penjara juga dipahami sebagai sebuah institusi yang bermaksud mengisolasi unsur- unsur penggangu dari “tertib sosial” dan menciptakan jera bagi mereka yang di penjara.26

Dalam bukunya surveiller et punir Foucault (1975), penjara dipahami sebagai ruang untuk mendisiplinkan tubuh, disiplin ini bersifat mengoreksi dan mendidik,

25Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka 1976.

26

karena dibalik tembok penjara dilaksanakan pembentukan individu.27 Masih dalam

surveiller et punir Foucault, sistem penegakkan disiplin atas penjara ini kemudian berhasil diterapkan terutama dengan model penjara Panoptik yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1791), penjara ini menjelaskan;

“Dengan metode panoptik, pengawasan bisa menyeluruh, total. Penegakkan displin bisa terlaksana dengan lebih mudah. Inti mekanisme panoptik itu terletak dalam bentuk arsitekturnya. Di pinggir terdapat bangunan melingkar yang merupakan sel-sel tahanan dengan dua jendela terbuka yang diperkuat dengan jeruji besi; yang satu mengarah kedalam sehingga terlihat jelas dari menara pengawas yang terletak di tenggah lingkaran bangunan itu. Jendela terbuka lainnya diarahkan keluar supaya sinar menerangi sel. Dengan demikian bukan hanya silhouette narapidana yang kelihatan, tetapi seluruh gerak-geriknya terpantau jelas. Narapidana tidak tahu siapa atau berapa yang mengawasi. Mereka hanya tahu dirinya diawasi.

Efek dari sistem panoptik ini menyebabkan pada diri narapidana suatu kesadaran selalu dalam pengawasan atau dalam situasi terlihat secara permanen. Panoptik merupakan bentuk pengawasan yang memungkinkan untuk memperoleh ketaatan dan keteraturan dengan meminimalisasikan tindakan-tindakan yang sulit diperhitungkan atau tidak bisa diramalkan.”28

Pembacaan Foucault atas praktek pemenjaraan dan model penjara yang dijelaskan di atas membawa kita pada pemahaman, bahwa penjara dan institusinya merupakan bentuk dukungan dan perluasan kekuasaan negara yang dapat menjangkau segala sendi kehidupan seorang menuju kontrol total terhadap individu.29 Dalam penjelasan yang lain penjara dapat dipahami dalam dua sisi,

pertama penjara sebagai instrumen penghukuman yang disetujui oleh masyarakat dan dirancang untuk menegakkan hukum, yang memuat nilai- nilai moral dan kebijakan yang di yakini secara luas. Kedua sebagai sebuah instrumen dari kekuasaan kelas berkuasa yang berfungsi sebagai alat kontrol.30

27Haryatmoko, “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan”, BASIS edisi Jan-Feb 2002. hlm 14.

28Haryatmoko, Ibid.hlm 15.

29

Wilson, Op. Cit. hlm 217.

30

Penjara dalam pemahaman dari si aktor korban/terpidana dipahami sebagai sebuah sekolah atau balai pengajaran bagi yang mau belajar. Kaum pergerakan nasionalis sering mendefinisikan penjara sebagai konsep cultural “tapabrata”, dimana dalam tapabrata ini seseorang yang dipenjara memanfaatkan masa waktu tahanannya untuk meningkatkan semangat spritual baru. Para aktivis politik yang keluar dari penjara, merasa seperti seorang kesatria yang berhasil melalui proses inisiasi spritual, atau dalam cerita tradisi pewayangan Jawa misalnya, adalah keberhasilannya seorang kesatria dalam melalui tahap uji yang terkenal dengan nama “kawah candradimuka”nya. Dan Mas Marco yang seorang aktivis pergerakan nasional, dari tulisannya tentang “Sneevliet Dibuang” yang dimuat dalam koran Sinar Hindia 10 Desember 1918, Mas Marco dengan menantang, menganggap bui dan pembuangan adalah sebagai sebuah latihan bagi pemimpin pergerakan. Ia menulis: “Sneevliet berani dibuang! Apakah pemimpin pergerakan kita juga berani dibuang ke Ambon atau Menado atau kalau perlu juga di pulau yang tidak ada orangnya sama sekali?”31

Juga Hatta yang pernah diasingkan di Digul oleh pemerintah kolonial Belanda, melukiskan penjara sebagai pertapaan, hidup dibalik jeruji diangggapnya sebagai “mempertebal iman”32 dan Sjahrir sebagai seorang yang juga pernah diasingkan di Digul oleh pemerintah kolonial Belanda menyusun kisah hukumannya dengan:

Aku juga merasakan diriku lebih menjadi tahanan “sejati” dengan makanan penjara ini, ketimbang pada saat aku masih menerima makanan dari luar. Makin lama aku makin banyak melupakan apakah selera dan perangsang itu. Aku kini menganggap makan sebagai kewajiban, dan dengan demikian rasa kenyang beralih dari makan ke arah yang dimakan, kira -kira cara yang sama

31 Mas Marco, 2002: Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel, KPG Jakarta. hlm XVI.

32

Rudolf Mrazek, 1996: SJAHRIR: Politik dan Pengasingan di Indonesia, Obor Jakarta. hlm 207.

dengan orang yang merasa puas sesudah menyelesaikan sebuah tugas lain; kepuasan rohani dari jiwa lebih banyak dari pada kepuasan hawa nafsu perut, jadi kepuasan tentang kualitas spritual “yang lebih tinggi”. Kamu dapat melihat apa yang dapat ditemukan jika makan memakai mangkok dan kaleng.33

Dalam hubungan ini pengasingan sebagai sebuah bagian metode penjaraan menjadi sangat relevan dan memiliki arti penting kususnya bagi kekuasaan sebagai sebuah alat kontrol dan pengawasan. Dalam konteks ini adalah bagaimana kekuasaan kolonial Hindia Belanda dan Orde Baru menciptakan kamp pengasingan pada suatu tempat yang terpencil dan terasing seperti Boven Digul dan Pulau Buru.

Penjara, Kamp Pengasingan Boven Digul dan Pulau Buru.

Kamp pengasingan juga bisa disebut sebagai penjara, kamp pengasingan Boven Digul yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda diciptakan untuk mengasingkan (menginternir) mereka yang melakukan pemberontakan pada tahun 1926-1927, juga kamp Pulau Buru yang diciptakan oleh pemerintahan Orde Baru diperuntukan untuk mengamankan mereka yang dianggap membahayakan karena dituduh terlibat dalam peristiwa politik 1965. Pada perkembangan selanjutnya kamp Pulau Buru dijadikan sebuah tempat pemanfaatan (tefat) atau dalam pengertian yang lain dijadikan sebagai tempat untuk melaksanakan kerja paksa.

Beberapa kamp pembuangan atau pengasingan yang diciptakan dan dibangun umumnya dilokasikan pada daerah yang terpencil, didalam hutan belantara atau berada ditenggah laut, berada dalam pulau terpencil dan terisolasi. Seperti halnya kamp Boven Digul yang diciptakan dan dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda yang letak lokasinya jauh masuk kedalam hutan dan kondisinya 100% terisolasi dari dunia luar, dikelilingi oleh sungai yang lebar dan dalam yang penuh dengan binatang

33

buas berupa buaya besar yang liar dan ganas, belum lagi oleh kondisi iklim yang ekstrim antara suhu panas dan dingin, serta epidemi penyakit malaria yang sewaktu-waktu dapat mengancam dan berdampak sangat mematikan, ditambah lagi keberadaan dari suku-suku asli liar yang menurut cacatan dari mereka mantan Digulis adalah suka memenggal kepala dan berprilaku suka makan manusia (kanibalisme). Sedangkan untuk kamp Pulau Buru yang diciptakan dan dibangun oleh pemerintahan Orde Baru, lokasinya berada disebuah pulau terpencil, dibentengi oleh hutan dan dikelilingi oleh laut yang dalam dan ganas, dipagar gawat berduri dan dijaga dengan sangat ketat oleh satuan tentara.

Model penjara dalam bentuk kamp ini menimbulkan efek jera yang sangat tinggi dan berhasil menaklukan mereka yang sangat keras dan berbahaya, apalagi kalau dikondisikan pada lokasi ya ng terpencil dan tertutup serta terisolasi. Seperti dilukiskan oleh mereka yang pernah diasingkan di kamp Boven Digul, rasa sepi yang mencekik dan rasa rindu yang mendalam membuat mereka merana dan sangat menderita.

Tentang Penjara Pulau.

Dimasa lalu dan ada yang masih berlaku hingga kini dikenal tiga bentuk hukuman yang disebut banishment, transportation, dan deportation. Yang mirip dengan ketiganya adalah hukuman floating hells, yakni suatu cara penempatan pesakitan di bekas kapal rusak jauh di tengah laut. Hukuman banisment berarti membuang tahanan atau narapidana jauh kedaerah lain yang oleh penguasa sengaja dipersiapkan sebagai tempat pembuangan. Misalnya ke suatu pulau atau daerah yang

baru di temukan. Transportation sama dengan hukuman pembuangan, tapi lebih karena pertimbangan ekonomi untuk kebutuhan tenaga kerja di daerah baru atau wilayah jajahan. Deportation merupakan jenis pembuangan dengan pertimbangan tertentu karena kejahatan narkotika, tindak subversi, anarki, atau kejahatan lain yang berhubungan dengan perbuatan amoral.

Bangsa Inggris dianggap pertama kali yang menyelenggarakan hukuman pembuangan. Penguasa negeri itu, pada tahun 1697 mulai mengirim para tahanan ke Alaska, Australia dan beberapa pulau di kawasan Tasmania. Hukuman model Inggris ini menjadi begitu terkenal, karena mampu menampung ribuan tahanan. Selama tahun 1787-1875 pemerintah Inggris membuang 135 ribu wargannya kekawasan pulau di Benua Australia. Yang paling terkenal adalah kamp Norflok Island di sebelah timur Australia. Apabila hukuman pembuangan dianggap terlalu jauh, maka Inggris menempatkan para tahanannya di kapal-kapal tua di lautan. Yang terkenal antara lain bui di kapal Warrior, kapal succes, dan kapal Euryalus.

Walaupun pada prinsipnya tujuan hukuman pembuangan sama dengan pengganjaran model penjara berterali besi, yakni membalas perbuatan yang dianggap melanggaar kesepakatan bersama, namun hukuman pembuangan, baik di sebuah pulau atau daerah lain, terkesan lebih manusiawi. Para pesakitan tetap dapat sering-sering menikmati alam bebas, bercocok tanam, atau bahkan berkawin dengan penduduk setempat. Bahkan, setelah dibebaskan, tak sedikit pesakitan yang menetap dikawasan tersebut

Tetapi biasanya pulau penjara terkesan mengerikan, karena memang menakutkan. Afrika Selatan pun punya Robben Island. Di pulau itulah tokoh-tokoh

perjuangan perlawanan terhadap rezim apartheid dipenjarakan. Di masa lalu tempat itu menjadi sarang penyakit lepra. Amerika Serikat punya Pulau Alcatraz yang paling ditakuti para penjahat kelas kakap. Al Capone, gembong mafia AS di masa lalu adalah salah seorang penghuninya.

Indonesia memiliki Pulau Nusakambangan, adalah tempat yang diciptakan Belanda bagi penjahat-penjahat kelas kakap atau tokoh-tokoh politik. Sampai sekarang pulau tersebut masih bercerita “angker” karena memang masih diperuntukkan bagi penjahat “berbahaya.” Pulau Buru send iri adalah hasil ciptaan pemerintahan Orde Baru. Pulau ini dikhususkan bagi para tahanan politik (tapol) G30S/PKI.

Dokumen terkait