• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

IDEOLOGI KOLONIAL BELANDA DAN ORDE BARU DALAM

POLITIK KEKUASAAN

A. Kolonial Belanda.

A. 1. Sistem Kekuasaan Kolonial Belanda dari Culturstelsel sampai Politik Etis.

Politik kolonialis- imprealisme yang dijalankan oleh Belanda di Indonesia telah berlangsung lama yakni mulai periode tahun 1850 sampai 1900. Istilah kolonialis-imprealisme sendiri mengandung banyak pengertian yang luas. Dalam pengertian yang lebih umum “istilah” kolonialis- imprealisme berarti dipahami sebagai bentuk usaha penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang serta perluasan dan control politik ke daerah seberang yang kemudian bersinonim dengan model ekspansi kolonial.37

Untuk dapat mengetahui tahap-tahap bagaimana imperealis-kolonialisme Belanda mulai berkembang, tentunya harus di runut dari proses awal, yakni dari kedatangannya ke Indonesia. Keberhasilan Belanda dalam merebut supremasi perdagangan atas rempah-rempah dari orang-orang Portugis merupakan langkah awal kekuasaan kolonial di tanah jajahan Hindia Belanda. Diakui bahwa motifasi ekonomi merupakan dasar dari proses penguasaan yang nantinya akan menerangkan ekspansi kolonial sebagai bagian dari kepentingan kaum kapitalis yang menanamkan kelebihannya modalnya, kepentingan akan pasar serta kepentingan untuk mendapatkan sumber-sumber bahan mentah yang sangat penting bagi perkembangan

37

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (editor), 2004: Hermeneutika Pasca Kolonial, Kanisius. Yogyakarta hlm 9.

indrustri di tanah airnya. Dan bahwa periode sebelum tahun 1850 ekspansi kolonial Belanda dapat disamakan dengan kolonialisme dalam mengertian marxsistis kerena memprinsipkan akumulasi modal dan kelebihan produksi di negeri Belanda.38

Salah satu bentuk penguasaan kolonial Belanda terhadap tanah jajahan dalam menjalankan politik ekspansinya yang bertujuan mencari laba adalah dengan menciptakan sistem penanaman yang terkenal denga n sistem tanam paksa atau

Culturstelsel. Sistem penanaman culturstelsel ini diciptakan oleh Van de Bosch dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan dengan cara-cara yang lebih sesuai serta dipadukan dengan adat kebiasaan tradisional pribumi. Hakikat cultur stelsel dalam konteks kolonial adalah bahwa penduduk tanah jajahan dipahami sebagai penganti dalam pembayar pajak, dan atau harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang nilainya sama dengan pajak tanah tersebut.39 Hasil bumi biasanya berupa hasil eksport seperti yang diinginkan oleh pemerintah kolonial, yakni komoditas yang laku dijual dipasaran Eropa. Menurut perhitungan system culturstelsel adalah bahwa, penduduk tanah jajahan harus menyerahkan 2/5 dari hasil panennya atau sebagai penggantinya menyediakan 1/5 dari waktu kerjanya dalam setahun. Dengan jalan ini pemerintah kolonial menjamin ketersedian akan hasil bumi yang nantinya dieksport kepasaran Eropa, dari eksport ini tentunya pemerintah kolonial ber harap akan mendapatkan keuntungan.40

Dengan dijalankan culturstelsel ini, maka politik kolonial di tanah jajahan memasuki periode baru, yakni dengan mengembalikan fungsi kaum feodal ketempat

38

Sartono Kartodirjo, 1990: Pengantar Sejarah Indonesia Baru 2, Gramedia Jakarta hlm 4

39

Ibid. Sartono Kartodirjo hlm 13

40

lama, sehingga pengaruhnya dapat dipergunakan untuk menggerakkan rakyat guna memperbesar produksi serta menjalankan pekerjaan yang diminta oleh pemerintah kolonial lewat tokoh feodal pribumi. Pada praktiknya sistem culturstelsel akan menjumpai system pemerintahan tidak langsung, yakni system pemerintahan yang diserahkan kepada penguasa-penguasa pribumi, dalam arti yang lebih jauh lagi adalah para penguasa pribumi diciptakan untuk menjadi pengawas-pengawas perkebunan.

Sebagai sebuah sistem yang menguntungkan maka hasil- hasil dari praktik culturstelsel ini sangat memuaskan bagi negeri Belanda. Dan diantara periode 1831-1877 pemerintah kolonial menerima sebesar 823 juta gulden dari daerah-daerah jajahan.41 Lewat keuntungan ini maka mendorong proses perdangangan dan berkembangnya system pelayaran kolonial Belanda. Sehingga lewat kemajuan ini pula negeri Belanda menempati kembali posisinya sebagai Negara penjual bahan mentah dan sebagai armada dagang yang kekuatanya menjadi nomer tiga di seluruh dunia. Banyaknya keuntungan yang diperoleh juga berdampak pada memperkaya para pengusaha-pengusaha kolonial untuk menciptakan usaha- usaha baru misalnya pendirian pabrik-pabrik baru serta munculnya pedagang-pedagang yang menjadi awal dari tumbuhnya modal perdagangan sehingga merangsang berkembangnya usaha partikelir.

Diterapkannya culturstelsel menghasilkan beberapa perubahan pada negeri induk kolonial sendiri, yakni dengan pulihnya kondisi perekonomian secara besar-besaran serta mengantarkan negeri Belanda pada sebuah proses periode revolusi

41

industri. Pada tahun 1848 adalah merupakan permulaan dari titik balik, sebab di tahun tersebut ditandai dengan adanya permulaan kesempatan untuk mengadakan refrom atau perubahan dalam politik kolonial melalui saluran parlementer. Dan tahun 1854 Regeerings Reglement (RR) meletakan dasar bagi pemerintahan kolonial. Prinsip liberal, kebebasan individu dan keamanan serta bebas berusaha merupakan hasil dari perubahan tersebut.

Berkembangnya liberalisme di negeri Belanda oleh karena perubahan yang diletakkan oleh Regeerings Reglement kemudian menghasilkan sebuah penilaian baru dalam melihat tanah jajahan. Berkembang golongan liberal di negeri Belanda dan kritiknya terhadap model penjajahan yang menyengsarakan rakyat Hindia Belanda memaksa pemerintah kolonial Belanda untuk mengganti sistem kekuasaannya tidak lagi mengunakan model sistem kolonial kompeni42 yang bersifat proteksi dan eksploitasi seperti model culturstelsel tetapi beralih ke sistem ekonomi liberal yang memberikan kebebasan untuk berusaha dan sistem kerja wajib yang diganti dengan kerja bebas. Politik ekonomi kolonial yang sebelumnya bersifat monopolistik kemudian berganti dengan politik kolonial yang bersifat liberal yakni dengan memberikan kebebasan pihak swasta untuk berusaha di tanah jajahan. Realisasi dari ide liberal ini dalam politik kolonial terjadi pada 1870 ketika Partai Liberal mencapai puncaknya.

Berlangsungnya politik kolonial moderen. Pada tahun 1870 Belanda memasuki periode kapitalisme moderen. Hasil dari revolusi indrustri yang dijalankan oleh

42

Sistem politik kolonial kumpeni adalah hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan laba saja dari sistem perdangangan dan semua keuntungannya diserahkan pada kerajaan.

negeri kolonial selama kurun waktu dua puluh tahun menghasilkan berbagai perkembangan di negeri Belanda sendiri yakni dengan berkembangnya indrustri, perkapalan, perbankan dan komunikasi yang moderen. Volume perdagangan mengalami perkembangan pesat dan perkembangan modal terjadi secara besar-besaran. Pada periode kolonial modern ini sistem politik perdagangan yang dianut adalah dengan sistem politik “pintu terbuka” dimana banyak berkembangnya perusahaan-perusahaan swasta di negara Belanda yang berakibatkan pada perubahan pola perdagangan, yakni komoditas perdagangan yang diperoleh dari hasil- hasil tanah jajahan lebih banyak mencari pasaran di negeri asing diluar negeri Belanda sendiri.43

Dimulainya Politik Etis atau pelaksanaan politik kolonial Ethika (politik kesejahteraan) adalah merupakan jawaban dari sekian praktek kolonial yang bersifat eksploitatif dan menindas yang dijalankan kolonial terhadap Hindia Belanda. Wajah kolonial yang buruk oleh sebab praktik penjajahan masa lalu kemudian berubah pada awal-awal abad ke-19. Pada awal abad ke-19 ini ditandai dengan perubahan sistem kolonial yang bersifat menindas menjadi sistem kolonial yang menitik beratkan pada usaha untuk mensejahterakan rakyat tanah jajahan. Salah satu tokoh politik kolonial yang terkenal dalam menyebarkan gagasan Politik Etis adalah van Deventer, ia menyuarakan apa yang dinamakan sebagai “Hutang Budi” yakni sebuah kebijakan kolonial yang dijalankan untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat ditanah jajahan jajahan. Program dari politik Etis itu sendiri mencangkup tiga bidang yakni irigasi,

43

pendidikan dan transmigrasi yang kesemuanya menyangkut kepentingan rakyat ditanah jajahan.

A.2. Pax Nederlandica van Heutsz dan Politik Kolonial Rust en Orde.

Kipling pernah menulis sajak yang mengatakan bahwa beban yang harus dipikul orang kulit putih sebagai wali kolonial mencakup juga “savege wars of peace”, yakni perang yang bersifat biadab demi perdamanian. Oleh karena itu, pengembangan wilayah kekuasaan kolonial atas Hindia Belanda mencapai puncaknya saat Gubernur Jenderal J. B van Heutsz berhasil melaksanakan politik Pax Nederlandica (Perdamaian Nederlandica) dengan melakukan praktek pasifikasi yakni keberhasilannya dalam menyatukan Hindia Belanda dalam satu keamanan dan ketertiban dengan perluasan militer, tepat apa yang diungkapkan G.G J.B van Heutsz tanpa pemerintahan yang kuat tiada ketertiban dan keamanan, tiada politik Etiha.44

Penerapan politik pasifikasi dalam rangka ketertiban dan keamanan telah dijalankan oleh J.B van Heustz, seperti penaklukan wilayah lombok di tahun 1894 dengan menghajar para penguasa yang dianggap kolonial telah berbuat lalim. Di tahun 1899 di wilayah Aceh berhasil ditaklukan dengan menghadang perlawanan grilyawan terakhir Teuku Umar yang dianggap sebagai babak akhir dari peperangan Aceh yang berlangsung lebih dari dua dasawarsa. Penaklukan kolonial di daerah Jambi di Sumatera dan di daerah Seram di Maluku pada tahun 1901, ditaklukannya

44

G. Moejanto, 2003: Dari Pembentukan Pax Nederlandica sampai NKRI. Sanata Dharma. Yogyakarta hlm 5

daerah Banjarmasin di kalimantan pada tahun 1859, dan setelah itu ditaklukannya perlawanan Bone di Sulawesi.45

J.B van Heustz telah meletakan dasar-dasar yang kuat bagi proses kolonialisme Belanda moderen karena dengan berhasil ditaklukannya perlawanan-perlawanan di daerah-daerah serta diciptakanya kondisi jajahan yang sepenuhnya dibawah kontrol kolonial dalam suasana tertib sosial maka semakin lapanglah jalan bagi proses kolonialisme untuk semakin intensif bekerja di tanah jajahan Hindia Belanda. Praktis diawal abad ke-19 tepatnya pada tahun 1901 seluruh wilayah Hindia Belanda berhasilkan ditaklukan dan diamankan. Dan pada tahun 1904 diangkatnya Jenderal J.B van Heutsz sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menandai babak perubahan politik kolonial dari represif dengan mengandalkan kekuatan militer kearah politik kolonial yang lebih lunak. Politik kolonial rest en orde kemudian dijalankan sebagai sebuah sistem pengamanan kolonial dalam menjaga politik penjajahannya dari gangguan.

A.2.1. Pemberontakan 1926-1927.

Awal abad ke-19 ditanah jajahan dalam bahasanya Shiraishi tengah berlangsung periode zaman normal, yakni masa dimana tidak ada lagi pergolakan-pergelokan di daerah-daerah, tidak ada lagi operasi militer yang ditujukan untuk menumpas setiap bentuk-bentuk perlawanan, seperti yang terjadi pada periode G.G J.B van Heustz. Yang terjadi pada periode zaman normal ini adalah semakin

45

Lambert Giebels, 2001: SOEKARNO Biografi 1901-1950. Grasindo Jakarta hlm xxi

intensifnya bentuk-bentuk pengawasan kolonial terhadap setiap bentuk pergerakan yang berpotensi mengancam rest en orde.

Peristiwa di tahun 1926-1927 adalah peristiwa perlawanan rakyat Indonesia terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Kondisi obyektif kemudian menjadi inspirasi bagi peristiwa tersebut. Penyebabnya adalah karena selama periode abad ke-19 di berbagai tempat di Indonesia, kususnya di Jawa, yang umumnya di pedesaan, terus menerus terjadi pengisapan dan penindasan yang dilakukan oleh kolonial. Kondisi pergolakan di Jawa pada masa- masa itu bersifat endemis. Pergolakan sosial ini merupakan manifestasi dari gerakan revolusioner agraris yang dipicu oleh semangat ajaran mesianistis yang memberikan harapan akan kedatangan ratu adil yang akan memberikan kesejahteraan, kemakmuran, ketertiban dan keamanan suatu masyarakat yang ”tata tentrem kerta raharja46

Menurut Harry J. Benda dan Ruth McVey, pemberontakan 1926 di Jawa dan pemberontakan 1927 di Sumatera Barat, adalah merupakan gejala tradisional dan moderen. Terjadinya berbagai kerusuhan dan pemberontakan tersebut apalagi yang berlangsung di desa merupakan alasan-alasan rasional, yakni karena oleh sebab faktor beratnya penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh pihak penguasa kolonial terhadap penduduk desa.47

Peristiwa pemberontakan 1926-1927 adalah hasil dari pertemuan Hoofdbestuur PKI yand diadakan pada tanggal 25 Desember 1925 di daerah Prambanan (di daerah antara Yogyakarta dan Surakarta) di bawah ketua partai Sardjono. Didalam

46

Imam Soedjono, 2006: Yang Berlawanan, Membongkar tabir pemalsuan sejarah PKI, Resist Book. Yogyakarta. hlm 28.

47

pertemuan ini disampaikan perkembangan situasi politik dan rencana untuk mengadakan pemogokan umum yang direncanakan dilakukan pada bulan Mei-Juni 1926 yang kemudiam diikuti oleh pemberontakan bersenjata untuk menumbangkan kekuasaan kolonial Belanda. Pada akhirnya keputusan ini diambil secara bulat oleh semua peserta pertemuan. Comite pemberontakan mengadakan sidang di Jakarta dan memutuskan bahwa pemberontakan akan dimulai pada tanggal 12 November 1926 sesuai dengan keputusan Prambanan.48

A.2.2. Hukuman Administratif dan Oxorbitant Rechten Gubernur Jenderal

Hindia Belanda.

Sebagai bentuk dari pengamanan sistem politik kolonial terhadap tanah jajahan pemerintah kolonial menciptakan aturan-aturan hukum salah satu aturan tersebut adalah milik gubernur jenderal Hindia Belanda yakni sebuah hukuman administrasi dan hukuman dari hak-hak istimewa ”exorbitante rechten” yang merupakan milik gubernur jenderal Belanda, ”hak istimewanya gubernur jenderal” itu berarti bahwa, ”penangkapan, pemeriksaan dan hukuman” seorang yang dianggap bersalah itu adalah ditangan satu orang. Seseorang ya ng ”dianggap” berbahaya itu kemudian dapat ditangkap, dibuang atau dipenjarakan. Hukuman administrasi dan hukuman berdasarkan hak istimewa gubernur jenderal ini menjadi sebuah alat kontrol yang sangat efektif untuk menangkap secara sepihak kepada pihak yang dianggap membahayakan terutama yang menggangu rest ed orde kolonial

48George Mc Turnan Kahin: Nasionalisme dan Revolusi Di Indonesia, Sebelas Maret University Press dan Pustaka Sinar Harapan, hlm 103-104.

Telah disinggung di atas bahwa memasuki abad ke-19 merupakan sebuah zaman normal, zaman dimana sistem kekuassan kolonial menjadi semakin mapan sehingga membutuhkan bentuk-bentuk pengawasan yang tepat. Abad ke-19 juga ditandai dengan semakin berkembangnya gagasan tentang nasionalisme bumi putra dan munculnya banyak pergerakan rakyat. Hampir semua tokoh politik pada periode pergerakan tersebut telah merasakan hukuman adminstrasi atau hukuman hak-hak istimewa gubernur jenderal salah satunya adalah trio Indische Partij yang terdiri dari Cipto, Douwes Dekker dan Ki Hajar dibuang ke Belanda pada tahun 1913.

A.3. PID dan Jaringan Kekuasaan Kolonial.

Dalam melaksanakan praktik kolonialnya atas Hindia Belanda tentunya penguasa kolonial menciptakan alat negara yang bertujuan untuk menopang keberlangsungan sistem penjajahannya. Keberadaan polisi Hindia Belanda dinilai sangat penting sekali untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Kalau mau dirunut dari awal bahwa keberadaan polisi kolonial seumur dengan sejarah kolonialisme Belanda itu sendiri. Ini dapat dilihat dari, pertama, ketika kolonial Belanda datang pertama kali Hindia Belanda dan masih bentuk persatuan dagang Hindia Timur atau VOC (Verrenigde Oost Indische Compagnie) telah membangun dan menciptakan pengaruh kekuasaannya dengan mendirikan sebuah aparat pengamanan yang tugasnya tidak hanya mengawasi tetapi juga menjaga kepentingan kolonial penjajah, aparat pengamanan ini diciptakan pertama kali oleh Jan Pieterzoon Coen seorang pemimpin VOC pertama yang berhasil merebut Banten dan membangun kota Batavia, Jan Pieterzoon Coen berjasa dalam membentuk polisi pertama kolonial dan

menyerahkan kepimpinannya kepada pegawai yang bernama Jan Steijns van Antwerpen, yang diberi jabatan sebagai pengawai pengadilan dan kepala polisi.49

Yang kedua, aparat keamanan yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Willem Daendels (1808-1811) yang menciptakan korps Djajengsekar, yakni pendekar pribumi yang ditempatkan di tiap-tiap distrik, dan berawal dari situ maka dimulailah tradisi polisi bersenjata paramiliter yang bertugas menjaga ketertiban di pedalaman Jawa.50 Yang ketiga sistem kepolisian yang diwariskan oleh Gubernur Jenderal Raffles yakni dengan menciptakan lembaga kepala desa yang bertanggung jawab atas keamanan desanya, serta diperlukan untuk menjaga desa dan melakukan pengamanan dari bahaya-bahaya kriminal serta kejahatan dengan cara melakukan kegiatan ronda malam. Disamping itu Raffles juga mewariskan sistem pengamanan guna mengatur dan membagi wilayah dalam cakupan residen-residen. Dimana tiap residen dibagi lagi dalam cakupan distrik (kabupaten), dan tiap-tiap distrik dibagi dalam cakupan devisi-devisi yang tiap devisi dikepalai oleh seorang pegawai. Dan sebelum Raffles mengakhiri kekuasaan di Hindia Belanda ia telah mewariskan sesuatu yang sangat penting bagi kekuasaan kolonial dengan meletakkan dasar-dasar pembentukan dua kepolisian Hindia Belanda, yakni polisi desa (desapolitie), dan polisi administratif (bestuurpolitie).51 Guna semakin mengefektifkan kerja kepolisian kolonial maka pada tahun 1930-an dibangun pula perangkat pendukung yakni berupa penjara dan kamp-kamp tawanan, serta pembentukan kekuatan polisi moderen yang

49

Takashi Shiraishi, 2001: HANTU DIGOEL, LKiS, Yogyakarta. hlm 46

50

Ibid. Takashi Shiraishi. hlm 47

51

masih relatif lebih kecil pada tahun 1930 berjumlah 34.000 kekuatan dan sejumlah kecil angkatan bersenjata kolonial yang berjumlah 37.000 kekuatan.52

Awal abad ke-19 di Hindia Belanda banyak sekali perubahan dan peristiwa-peristiwa sosial, atau dalam bahasa Shiraisshi munculnya ”zaman bergerak” yakni tumbuhnya gerakan-gerakan rakyat dan gerakan-gerakan yang bersifat sosial- politik, salah satunya ditandai dengan munculnya Sarikat Islam atau SI pada tahun 1910. Berkembang pesatnya kaum pergerakan pada tahun 1912-1914 menciptakan kondisi yang tidak aman yakni ditandai dengan adanya aksi jalanan, pengacauan, pemogokan, boikot dan tindakan yang meruntuhkan otoritas kolonial. Untuk mengantisipasi usaha- usaha yang meresahkan tatanan kolonial maka pemerintah kolonial berinisiatif untuk menciptakan politik pengamanannya dengan membangun alat-alat kekuasaan, salah satunya adalah PID atau Politieke Inlichtingen Dienst yang tugasnya untuk menjaga tata tentram. Politeike Inlichtingen Dienst bekerja sebagai badan pengumpul fakta- fakta tentang masyarakat Indonesia, dan dari bahan-bahan yang dikumpulkan itu kemudian dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil tindakan selanjutnya yang dapat bersifat menindas. Dasar-dasar dalam mengambil tindakan penindasan adalah berdasarkan prinsip ”keamanan” atau ”tata tentram masyarakat” dan tidak berdasarkan hukum, bersifat legal atau tidak legal.

PID didirikan oleh Gubernur Jenderal van Limburg Stirum sebagai respon terhadap kondisi sosial-politik Hindia Belanda dalam menghadapi zaman baru. Awalnya PID bertugas sebagai badan kontak yang menghubungkan pemerintah kolonial dengan kaum pergerakan. Tetapi ketka tujuan pemerintah libih tegas lagi

52

kearah penindasan pergerakan maka PID berkembang menjadi alat represif terhadap kaum pergerakan Perkembangan terpenting dalam tahun 1930-an ini di tandai juga dengan terbentuknya aparat kebijakan politik moderen, yang dibentuk melalui kepolisian. Lembaga ini dikendalikan oleh karir profesional Belanda dan pegawai polisi pribumi, serta otonomi departemen administrasi dalam negeri. Kehadirannya ditandai dengan ditetapkannya, Algemeene Recherche Dienst (ARD), Dinas Penyelidikan Umum, badan ini didirikan 1918 sebagai dinas intelejen rahasia, yang dipimpin oleh komisaris polisi Batavia, Van der Lely dan menjadi bagian dari kantor

procureur general.53 Di jaman Gubernur Jenderal de Fock, Algemeene Recherchedienst merupakan aparat polisi kusus, yang langsung bertanggung jawab pada procureur generaal.54 PID atau Aparat penyelidikan ini ditempatkan hampir diseluruh kerisidenan ia menjangkau hampir seluruh wilayah kerajaan dan merambah kepelosok kehidupan pribumi. Kekuasaan kolonial juga menempatkan agen polisi lokal yang merupakan orang-orangg pribumi, yang biasanya beroperasi di daerah mereka sendiri. Mereka mengandalkan mata-mata dan pencari informasi yang dikumpulkan oleh intelijen, pengetahuan yang terkumpul mengenai seluk-beluk partai dan organisasi lokal, tentang indentitas partai dan organisasi lokal, berikut tentang para pemimpin partai dan aktivitasnya. Dalam praktek selanjutnya aparat kekuasaan kolonial dengan jaringan intelijen mengawasi dengan leluasa prilaku-prilaku politik yang sedang berkembang saat itu.

53

Takashi Shiraishi, 1997: Zaman Bergerak, Grafiti, Jakarta. hlm 319.

54

B. Orde Baru.

B.1 Perang Dingin, Efek Domino dan Politik Countaimend di Asia Tenggara.

Berakhirnya Perang Dunia ke-2 (PD II 1939-1945) ditandai dengan kekalahan rezim fasis isme Nazi-Jerman di dataran Eropa dan kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik. Perang tersebut kemudian dimenangkan oleh Sekutu (Aliance) yang terdiri dari negara- negara besar seperti Inggris, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Selama Perang Dunia Ke-2 Amerika Serikat dan Uni Soviet merupakan sekutu dalam perang melawan ekspansi Jerman di bawah kepemimpinam Adolf Hitler beserta rezim fasisnya. Namun dalam perkembangan berikutnya kedua negara besar tersebut semakin menjauhi satu sama lain. Setelah Perang Dunia ke-2 berakhir yakni empat hari setelah Jerman menyerah kepada Sekutu, pada tanggal 12 Mei 1945 Perdana Menteri Inggris Winston Churchill memperingatkan Presiden Amerika Harry S Truman bahwa Uni Soviet dan para sekutunya telah membangun ‘tirai besi’ sebutan lain dari ‘iron curtain’ dan mengingatkan akan bahaya komunis di Eropa, sedangkan Uni Soviet mencurigai Amerika sebagai pengganti Inggris sebagai kekuatan kapitalis internasional yang dominan. Setelah Perjanjian Potsdam pada tanggal 18 Juli 1945 dunia memasuki babak baru yakni berlangsungnya era Perang Dingin yang pengaruhnya tidak hanya di Eropa tetapi menyebar keseluruh dunia termasuk ke Asia dan Asia Tenggara.

Perang Dingin biasanya dimaksudkan sebagai konflik pasca Perang Dunia Kedua (PD II) antara negara- negara blok kapitalis yang dipimpin oleh Amerika Serikat melawan negara-negara blok komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet. Meskipun tidak pernah menimbulkan perang terbuka antara pemimpin kedua blok,

konflik ini menyangkut aspek-aspek politik, ideologi, ekonomi, strategi, dan militer. Pada saat yang sama di banyak negara yang dibawah pengaruh kedua negara adidaya itu sering terjadi konflik militer terbuka yang panas dan menimbulkan korban manusia dalam jumlah besar.

Pasca Perang Dunia ke-2 berakhir terjadi perubahan besar di dunia. Pada tahun-tahun antara 1945-1975 terjadi dekolonisasi pada negara-negara yang terjajah, hancurnya kekuasaan kolonialisme Eropa di wilayah Asia-Afrika kemudian memunculkan negara- negara baru di kawasan tersebut, salah satu dari sekian negara tersebut adalah Indonesia yang pada tanggal 17 Agustus 1945 berhasil memproklamasiakan kemerdekaannya. Dunia ke-3 sebuah julukan bagi negara-negara baru pasca Perang Dunia ke-2 kemudian mencari bentuk nya dan dengan semangat dekolonisasi yang kemudian berlanjut pada semangat anti imprealisme

Dokumen terkait