• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergulatan orang-orang buangan di Boven Digoel dan Pulau Buru : studi narasi-diskripsi - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pergulatan orang-orang buangan di Boven Digoel dan Pulau Buru : studi narasi-diskripsi - USD Repository"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh

Pius Agung Setiawan

NIM 994314021 NIRM 990051120111120021

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh

Pius Agung Setiawan

NIM 994314021 NIRM 990051120111120021

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

“Jangan pernah mengusir diri sendiri”

“Jangan merasa menyesal dan jangan pernah merasa putus asa. Dengan penyesalan yang dalam Anda menghukum diri sendiri, dan jika putus asa, Anda akan membebani jiwa Anda”

...Sjahrir...

“ Katakan dalam diri Anda dan semua orang bahwa Ketika pohon terakhir telah ditebang,

Ikan terakhir telah ditangkap, Dan sungai telah tercemar

Manusia baru sadar

(6)

v

“Kepada Pergulatan Yang Selalu Menghadirkan Harapan Dan Cita-Cita”

Jesus Christ

Kedua Orang Tua ku tercinta

mas Budi, mbak Andri dan mas Agus & ponakan ku Dian Loisa

(7)

vi

Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 13 Juni 2007 Penulis

(8)

vii

pengasingan/pembuangan diciptakan dan dijalankan. Dalam skripsi ini ada tiga pokok permasalahan yang akan dibahas, yaitu: 1. Bagaimana kekuasaan rezim kolonial Belanda dan rezim Orde Baru dijalankan, sehingga dapat melahirkan pembuangan seperti kamp Boven Digul dan kamp Pulau Buru?; 2. Bagaimana sistem pengasingan/pembuangan di kembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah Orde Baru dalam konteks ini tentang kamp Boven Digul dan kamp Pulau Buru?; 3. Bagaimana para buangan menjalankan hidupnya dalam kamp tersebut sebagai seorang yang diasingkan/dibuang dilihat dari kacamata kemanusiaan?

Metode sejarah yang digunakan dalam penulisan ini mencakup: pengumpulan sumber, kritik sumber, seleksi sumber, interpretasi, dan historiografi. Metode pengumpulan data dilakukan melalui penelitian studi pustaka, dan penelitian arsip pada data arsip nasional, khususnya data yang berhubungan dengan narasi Kamp Boven Digul, juga ditambah dan dikuatkan lagi dengan penelitian lapangan melalui proses wawancara dengan pelaku sejarah khususnya yang berhubungan dengan narasi tentang Kamp Pulau Buru.

Kamp pengasingan adalah sebuah produk dari sebuah kekuasaan. Kamp Boven Digul di Nieuw Guinea (sekarang Papua), diciptakan oleh kekuasaan kolonial Belanda ketika sistem kolonialisme masih berlangsung, praktik ini dilakukan sebagai bentuk usaha untuk mengamankan kekuasaan ekonomi-politik atas tana h jajahan Hindia Belanda. Kamp ini dibangun sebagai reaksi atas situasi sosial masyarakat Hindia Belanda di awal abad ke-19 yang menampakan kegairahannya atas semangat nasionalismenya. Peristiwa 1926-1927 adalah bagian dari semangat kegairahan tersebut. Mereka yang ditangkap dan diasingkan pada Kamp Boven Digul adalah bukan sebagai korban tetapi bagian resiko perjuangan, serta perintis kemerdekaan Indonesia. Untuk Kamp Pulau Buru di kepulauan Maluku, kamp ini diciptakan oleh kekuasaan Orde Baru. Penciptaan atas kamp ini adalah bagian kecil dari narasi besar perseteruan antara dua ideologi besar yakni Komunisme dan Kapitalisme yang berkembang setelah Perang Dunia ke-2. Dalam tataran domestiknya peristiwa G30S dan peristiwa setelahnya adalah bagian dari rencana besar penghancuran kaum komunis, dan mereka yang dibuang ke kamp tersebut adalah korban narasi besar tersebut.

(9)

viii

There are three problems formulated in this thesis, namely: 1. How the Dutch Colonial Regime and the New Order Regime were undergone, related to the need of establishing such isolation camps as in Boven Digul and Buru Island?; 2.. How was the system of banishment developed by the Dutch Colonial government and the New Order government, in the context of the one operated in Boven Digul and Buru Island Camps?; 3. Seen from the humanistic point of view, how did the exiles run their lives in the camps as sameone being banished?

The historical method utilized in study covers: collecting sources, criticizing sources, selecting sources, interpreting, and historiography. The data collection method is done through library research (observing books, archives and interview) by managing the data connected to this research’s problem formulations.

Isolation camp is the product of a vastly powerful authority. Boven Digul Camp in Nieuw Guinea (now Papua), was established fuly under the authority of the Colonial Government of Dutch when the system of colonialism was still put into effect, this practice was done as a kind of effort to secure the political-economic power over the colonized land. This camp was built as a reaction to the Netherlands East Ind ies’society’s social situation which performed its nationalistic courage in the beginning part of that of 19th century. The rebellious incidents happened in 1926-1927 were parts of that particular spirit. Those who were captured and sent to Boven Digul Camp were not considered as victims but as a part of struggle’s risks. Moreover, they were also considered as the pioneers of Indonesia’s independence. The camp located in Buru Island, which was established by the New Order Regime, is a tiny fragment out of a large narration of the confrontation of a couple of prime ideologies- Communism and Capitalism- which were largely developed soon after the Word War II. In the domestic level, the G30S incident and the ones following it were a part of the chief strategic plan of the demolishment of the communist supporters, and those who were banished to the camp were the victims of the large narration.

(10)

ix

berkat dan anugerah yang Dia berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pergulatan Orang-Orang Buangan Di Boven Digoel Dan Pulau Buru” sebuah studi narasi-diskripsi. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam menyusun skripsi ini penulis memperoleh banyak bantuan, petunjuk serta bimbingan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis inggin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, baik saran maupun dorongan semangat, kususnya kepada :

1. Bapak Dr. Fr. B. Alip, M. Pd., M.A, Selaku Dekan Fakultas Sastra. 2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum Selaku Kepala Jurusan Ilmu

Sejarah.

3. Bapak Drs. H. Purwanta, M.A, Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, petunjuk serta saran-saran yang berharga kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.

(11)

x

koleksi dan ruang bacanya, Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, yang meyedikan koleksi buku-buku yang dijadikan sumber penulisan skripsi ini, perpustakaan Kolosani Kota Baru melalui koleksi bukunya yang menyediakan buku-buku bagi penulisan skripsi ini.

6. Arsip Nasional RI, yang menyediakan serta mengcopykan koleksi arsip-arsip yang dijadikan sumber penulisan skripsi ini.

7. Pak Broto dan Pak Soekoco di Gondangan, Klaten terima kasih atas waktu dan kesempatannya untuk bisa ngobrol tentang pengalaman hidup selama dalam pembuangan sebagai tapol, pengalaman ini sungguh penting untuk diceritakan.

8. Kedua Orang Tua ku, Bapak dan Ibu ku tercinta yang penuh kesabaran dan kesetiaannya menunggu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas dukungan doa serta penantiannya.

(12)

xi

berbagi, untuk tertawa, gila dan menyandarkan rasa letihku, thks pren...,oh iya buat Ginting thks untuk abstractsnya.

11.Teman-temanku Sejarah anggkatan 99 terima kasih atas persahabatan dan pertemanannya selama ini, juga buat adik-adik angkatanku di Sejarah, teruslah berproses diluar masih banyak tempat.

12.Kawan-kawan dalam perjuangan, P3Y, Tajam, FPPI masih banyak pekerjaan rumah diluar sana kawan.

13.Teman-teman dalam Fotografi, Ambon, Jenar, Ari “Tung”, Stenly, Daniel “Tobu”, Om Sung (UKM LC, JF, JPPJ, HISFA), tentang kisah seru hunting kita, juga teman-teman di Pengabdian Masyarakat, dan teman-teman dalam Sastra (Inggris dan Indonesia).

14.Teman-teman AMP-Unpad (Ijoel, Abang, Lubis, Kampring, Yudha, Uni, Uut, “Dewi”) teman-teman Mapasadha (Wungkal, Pletot, Tomblok) teman-teman disaster area di HELP, Kang Gus Nugraha (Wanadri) kang Ical, Aris, David, Jawa, kang Piping (Rakata), terima kasih atas pertemanan dan persahabat kalian, banyak sudah yang ku ambil dalam setiap perjumpaan dengan kalian.

(13)

xii

tapi sungguh berkesan. Buat Om Geger thks buat pinjaman kemeja dan celana kainnya. tak lupa Si “Billy” motorku yang selalu setia menemani dan mengantarkanku kemana ku pergi.

17.Tanah Mataram “Ngayogyakarta” tempatku studi, angkringan lik Man Tugu, teh poci lik Min Bugisan, jadah bakar Pakualaman, angkringan Ramto dan tempat-tempat bersahaja lainnya, jogja terlalu mahal untuk dilupakan. Untuk waktu yang tidak pernah berhenti, debu jalanan, puncak-puncak gunung dan tempat-tempat indah yang pernah aku datangi, trima kasih buat keheningan dan kesunyiannya,the real a great adventure”.

Penulis menyadari akan keterbatasan baik pengetahuan maupun kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kemajuan Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Yogyakarta, 13 Juni 2007 Penulis

(14)

xiii

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan Masalah... 4

C. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup... 8

D. Tujuan Penelitian... 9

E. Manfaat Penelitian... 10

F. Kajian Pustaka... 11

G. Landasan Teori dan Kerangka Pikir... 13

H. Metode Penelitian... 23

I. Sistematika Penulisan... 25

BAB II IDEOLOGI KOLONIAL BELANDA DAN ORDE BARU DALAM POLITIK KEKUASAAN... 27

A. Kolonial Belanda... 27

A.1.Sistem Kekuasaan Kolonial Belanda dari Culturstelsel sampai Politik Etis... 27

A.2.Pax Nederlandica van Heutsz dan Politik Kolonial Rust en Orde... 32

A.2.1.Pemberontakan 1926-1927... 33

A.2.2.Hukuman Administratif dan Oxorbitant Rechten Gubernur Jenderal Hindia Belanda... 35

A.3.PID dan Jaringan Kekuasaan Kolonial... 36

B. Orde Baru... 40

B.1 Perang Dingin, Efek Domino dan Politik Countaimend di Asia Tenggara... 40

B.1.1.Peristiwa G30S... 43

B.1.2.Fobia Komunis, Tumpas Kelor dan Hancurkan Komunis sampai keakar-akarnya... 45

(15)

xiv

KOLONIAL BELANDA DAN ORDE BARU... 51

A. Kamp Boven Digul... 51

BAB IV PERJUANGAN HIDUP PARA BUANGAN DALAM PENGASINGAN... 63

A. Kamp Boven Digul... 65

A.1.Proses Penangkapan dan Penahanan... 65

A.2. Kehidupan dalam pembuangan. ... 70

B. Kamp Pulau Buru... 83

B.1. Proses Penangkapan dan Penahanan... 83

B.2. Kehidupan dalam pembuangan... 86

BAB V PENUTUP ... 94

Penutup... 94

DAFTAR PUSTAKA……….. 99

(16)

xv

1. Arsip Nasional, Surat keputusan pengadilan: Panitia kehakiman Makasar; Berita acara No 2 tahun 1937 tentang hukuman yang dijatuhkan kepada

Baharoedin dkk... 104

2. Arsip Nasional, Surat Perintah Gubernur Jenderal H.B de Graeef tertanggal 15 April 1927 tentang orang-orang hukuman yang harus dikirim

ke Boven Digul ...106

3. Arsip Nasional peraturan pemerintah tentang tata tertip dan pendirian bangunan untuk orang -orang hukuman di Digul... 109

4. Arsip Nasional; Pemimpin Gudang Tanah Tinggi: Daftar persediaan bahan-bahan makanan untuk bulan September-November 1932... 111

5. Arsip Nasional; Asisten Residen Tanah Merah: Surat Keputusan tahun 1929 tentang pengangkatan narapidana menjadi pengawai... ... 113

6. Arsip Nasional, wedana Tanah Merah: surat tanggal 23 Sept 1932,

tentang ijin untuk membuat pesta berdirinya perkumpulan sepak bola .... 115

7. Arsip Nasional, Narapidana kepada wakil wedana Tanah Merah,

surat-surat bulan Mei dan Juni 1932 tentang ijin untuk mengadakan musik,

tembang dan kesenian gamelan... 117

8. Arsip Nasional; Kepala kampung Tanah Merah: daftar tahun 19271934 tentang narapidana yang meninggal... 120

9. Arsip Nasional; Boedisoetjitro di Tanah Merah: keterangan laporan Obing tgl 6 Oktober 1937 tentang pemanahan Mohammad Saleh alias Marip

yang dilakukan oleh Kaya-Kaya didalam kebunnya... 121

10.Arsip Nasional, Kepala kampung Tanah Merah, daftar orang-orang buangan yang melarikan diri pada tahun 1930...123

(17)

xvi

1. Gambar suasana kamp Boven Digul... 103

2. Paraa tahanan politik yang di tahan sejak lama di dalam penjara dengan kondisi

yang sangat buruk sebelum di buang ke kamp Pulau Buru... 126

3. Tempat penahanan yang sangat tidak proposional, dengan ukuran yang sempit,

di isi dengan begitu banyak tapol... 126

4. Bentuk penjara kamp Pulau Buru, dimana terdiri dari barak-barak dan

dikelilingi oleh pagar kawat berduri dan dijaga oleh tentara... 127

5. Suasana dalam barak dimana tapol dapat berkumpul untuk makan dan

berbincang-bincang...127

6. Bagian dalam barak tempat tinggal para tapol untuk tidur...128

7. Aktifitas bekerja para tapol di Pulau Buru... 128

8. Memancing ikan untuk menambal gizi merupakan bentuk pelanggaran...129

9. Salah satu bentuk perlakuan terhadap para tapol, yakni mendapatkan hukuman

bersama... 129

10. Aktifitas berkesenian para tapol... 130

11. Peristiwa penembakan terhadap para tapol, terjadi karena ada peristiwa

(18)

xvii

(19)

xviii Umum Hindia Belanda )

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia BTI : Barisan Tani Indonesia

BAPRERU : Badan Pengelola Resettlement Pulau Buru BIA : Badan Intelijen ABRI

BAKIN : Badan Intelijen Negara Babinsa : Bintara Pembina Desa CPM : Corps Polisi Militer

CGMI : Central Gerakan Mahasiswa Indonesia Golkar : Golongan Karya

G 30 S : Gerakan Tiga Puluh September Gestapu : Gerakan September Tiga Puluh Gerwani : Gerakan Wanita Indonesia Inrehab : Instalasi Rehabilitasi

Kopkamtib : Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Koramil : Komando Rayon Militer

Korem : Komando Resort

Kodam : Komando Daerah Militer KOTI : Komando Operasi Tertinggi Lekra : Lembaga Kebudayaan Rakyat Mako : Markas Komando

Masyumi : Majelis Syuro Muslimin Indonesia

MPRS/DPRS : Majelis Permusyawaratan Rakya Sementara/ Dewan Perwakilan Rakyat Sementara

NU : Nahdlatul Ulama

(20)

xix PARTINDO : Partai Indonesia

PERMI : Perhimpunan Muslimin Indonesia PSII : Partai Sarekat Islam Indonesia PNI : Partai Nasional Indonesia PD II : Perang Dunia ke-2

Supersemar : Surat Perintah Sebelas Maret

SOBSI : Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia Tefat : Tempat Pemanfaatan

Tapol : Tahanan Politik Tonwal : Peleton Pengawal

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Sejarah merupakan peristiwa masa lampau yang terjadi satu kali dan tidak terulang kembali. Adalah penting bagi bangsa Indonesia untuk melihat dan menilai sejarahnya sebagai sebuah proses yang tidak terputuskan dalam perjalanan panjang untuk menjadi INDONESIA. Sejarah adalah ruang untuk berdialog, berkomunikasi secara kritis dan kreatif yang bersifat kontinyu antara masa lalu dan masa kini yang melibatkan para pelaku sejarah berdasarkan sumber yang relevan, Sejarah bukanlah hanya masalah “apa yang terjadi di masa lalu” melainkan juga masalah bagaimana kejadian masa lalu itu dipahami,1 Oleh karena itu dengan melihat kembali perjalanan sejarah dan berusaha untuk merekonstruksi, memaknai, serta mencari relevansinya kembali di masa kini, maka sejarah akan berguna bagi kehidupan bangsa Indonesia di masa mendatang.2

Perjalanan sejarah tidak selalu berakhir dengan warna-warni kepahlawanaan, semangat kemenangan atau pun suka cita kegembiraan. Ada satu episode dimana bangsa Indonesia mengalami peristiwa yang menyakitkan dan mengharukan bahkan menistakan di antara sesama anak bangsa. Babak sejarah yang gelap dan pahit itu pun haruslah juga dinarasikan kembali, di-SEJARAH-kan untuk tujuan pendewasaan dan pembelajaran. Maka benarlah ucapan Cicero3 yang

1Baskara T Wardaya, 2006: Soeharto Sehat, Galang Press, Yogyakarta. hlm 17. 2

Kuntowijoyo, 1995: Pengantar Ilmu Sejarah, Bentang, Yogyakarta. hlm 15.

3

(22)

menyatakan bahwa barang siapa tidak mengenal SEJARAH ia akan tetap menjadi seorang anak kecil.4

Salah satu fenomena historis yang menarik dan mungkin juga terlupakan dalam memori kolektif bangsa ini adalah keberadaan tentang kamp pengasingan. Pada masa kolonial Hindia Belanda dikenal dengan nama kamp Boven Digul, dan semasa awal pemerintahan Orde Ba ru dikenal dengan nama kamp pembuangan Pulau Buru, di kepulauan Maluku. Kedua kamp ini dalam penulisan sejarah Indonesia sedikit sekali disinggung dan seakan terpinggirkan, mengapa?. Peminggiran narasi kamp Boven Digul, antara lain disebabkan para penulis sejarah Hindia Belanda pada umumnya tidak menempatkan gerakan radikal 1926 sebagai pergerakan nasional rakyat Indonesia.5 Selain itu, konflik politik yang bobotnya dipandang lebih berat dari pada Gerakan 1926, yaitu peristiwa G30S’65 (Gerakan Tiga Puluh September tahun 65) menjadikan kamp Boven Digul dipahami sebagai kurang penting.6 Penjelasan kamp (tefaat)7 Pulau Buru sendiri baik keberadaan, latar belakang dan peristiwa yang mewarnai penciptaan kamp tersebut sengaja untuk dipinggirkan, dilarang untuk ditulis dan dikaji semenjak Orde Baru berkuasa, karena

4

Sartono Kartodirjo, 1992: Pendekatan ilmu sosial dalam metodologi sejarah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm 23.

5 Abdurrahman Surjomihardjo, “Penempatan Kamp Konsentrasi Digul dalam

Penulisan Sejarah Indonesia ”, Prisma No.7 tahun XVII edisi 1988, LP3ES Jakarta.

6 ibid, Abudurrahman Surjomihardjo, hlm 20, dan istilah G30S adalah mengacu pada penculikan dan pembunuhan enam jenderal AD dan satu perwira menengah AD oleh anggota Cakrabirawa yang di komandani oleh letkol Untung, pasukan pengawal presiden karena adanya isu dewan jenderal yang akan mengambil alih kekuasaan, yang pada akhirnya kemudian peristiwa tersebut berdampak pada kekacauan politik, pembantaian masal, dan pembuangan masal mereka yang dituduh komunis.

7 Tefat atau tempat pemanfaatan adalah istilah yang diberikan oleh penguasa saat itu, yaitu rezim Orde Baru untuk memberikan pemaknaan kata yang lebih manusiawi dari akronim tentang kerja paksa, karena sebenarnya yang terjadi adalah para tapol diperlakukan layaknya seorang budak dan dipekerjakan secara paksa guna kepentingan penguasa.

(23)

sifat ketakutannya Orde Baru terhadap gerakan komunisme.8 Semua yang ada hubungannya dengan Komunisme, Leninisme dan Marxisme semasa Orde Baru dilarang untuk dikaji dan disebarluaskan.9 Kekuasaan Orde Baru memiliki versi lain dalam melihat komunisme, yakni berdasarkan buku putih versi terbitan penguasa (baca pemerintah), bahwa komunisme dalam setiap kemunculannya pada awal tahun 1910-an sampai pada akhir kehancuranya di tahun 1965 selalu saja melakukan pemberontakan.10 Kamp Pulau Buru sendiri dalam pandangan Orde Baru memiliki hubungan yang sangat dekat dengan idelogi tersebut, ini ditegaskan lagi dengan mereka yang ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru adalah mereka yang dituduh berideologi komunis (baca orang-orang kiri).

B. Pembatasan Masalah.

Dengan berlandaskan pada realitas terpinggirnya diskripsi sejarah tentang kedua kamp ini, yakni kamp Boven Digul dan kamp Pulau Buru, maka usaha untuk

8

Penyakit fobia atau rasa takut pada komunisme itulah; komunisme lalu digambarkan sebagai dajal, haus darah, pembunuh, ateis dsb dsb untuk membangun imaji massa, sekaligus membangun imaji kepahlawanan dan keunggulan tentang diri mereka sendiri – persis seperti Hitler menggambarkan tentang diri sendiri sebagai ras Aria yang “ueber Alles”, dan Suharto sebagai Super Semar. Semar itu dewa mangejawantah, dewanya segala dewa; dan Suharto ialah Super Semar. Semarnya Semar! Itulah keterangannya mengapa segala tulisan tentang “kiri” dilarang, sebaliknya tiap tahun diputer film bohong Janur Kuning, Pengkhianatahn G30S/PKI.

9

Hermawan Sulistyo, 2000: Palu Arit Di Ladang Tebu, KPG. hlm 72. Tentang beberapa dekade setelah peristiwa gestapu terjadi telah meninggalkan trauma phsikologis dan politis, apalagi tentang pembantaian masal paska kudeta dan pembuangan beribu-ribu dari mereka yang dituduh komunis ke Pulau Buru. Juga melalui ketetapam MPRS/Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 yang melarang ajaran Marxisme-Leninisme, PKI dan seluruh peristiwa yang berkaitan dengan Gestapu dan peristiwa setelahnya, termasuk tentang kamp Pulau Buru dilarang untuk dipelajari.

10

(24)

mengingatnya kembali agar peristiwa tersebut tidak terulang lagi di masa depan menjadi penting untuk diketahui. Untuk itu penulis mencoba untuk mengkajinya.

Pembahasan kamp pengasingan dibatasi pada latar belakang kedua kamp tersebut diciptakan, serta dinamika kehidupan di dalam kamp pemenjaraan tersebut, khususnya dinamika kehidupan orang-orang yang ditawan dan diasingkan pada kedua tempat tersebut. Dan bentuk-bentuk penahanan, pemenjaraan, serta pembuangan tersebut adalah bagian dari praktik-praktik kekuasaan yang sedang berkerja pada saat itu, yakni kekuasaan kolonial Hindia Belanda dan kekuasaan Orde Baru.

Pengertian orang buangan yang digunakan pada kajian ini adalah untuk menyebut orang-orang yang menjadi korban dari pembuangan/pengasingan baik pada periode tahun 1927-193711 maupun pada periode tahun 1968-197612. Nama Boven Digul dan Pulau Buru seringkali diindentisifikasikan sebagai tempat pemenjaraan yang letak serta bentuknya dikondisikan sangat terpencil dan terisolasi. Fungsi utamanya adalah mengasingkan para buangan baik secara fisik maupun sosial dalam kondisi hidup yang tidak normal.

11

Takashi Shiraishi, 2001: Hantu Digoel, LKiS. hlm 14 – 15. Shiraishi menjelaskan bahwa mereka yang ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda diantara tahun 1930-1934 adalah mereka yang dikategorikan kaum komunis yakni para propagandis PKI, SR (Serikat Rakyat) karena pemberontakannya ditahun 1926-1927, kemudian pada tahun 1930 ditangkap pula para pemimpin dari serikat Buruh “Merah” Pusat, Serikat Kaum Buruh Indonesia (SKBI), pada tahun 1933-1934 penangkapan yang ditujukan bagi kaum nasionalis non-kooperasi seperti para pemimpin PERMI, PSII, PNI Baru, Partindo, dan pada tahun 1936 ditangkap pula generasi baru dari tokoh PARI, PNI Baru dan PKI Muda atau biasa disebut para “agen Moskow.”

12

(25)

Kamp pengasingan/pembuangan, penjara atau pun kamp isolasi ini sengaja diciptakan dan diperuntukkan bagi mereka yang dianggap membahayakan negara ataupun kekuasaan. Selanjutnya judul topik di atas dipahami sebagai usaha untuk menarasikan kembali kisah hidup dari orang-orang buangan di sebuah kamp penjara yang terisolasi dan terpencil, mengetahui bagaimana mereka dapat bertahan hidup dalam keterbatasan, serta mengalami masa- masa sulit selama berada di dalam kamp pengasingan/pembuangan tersebut.

Dalam sejarah kolonial, terutama jaman VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) sampai pemerintahan Hindia Belanda, kekuasaan kolonial banyak menciptakan kamp-kamp, penjara-penjara atau tempat buangan, baik yang ada di dalam maupun luar wilayah Hindia Belanda13 dan salah satu yang terkenal adalah diciptakannya kamp pengasingan masal Boven Digul yang merupakan kamp konsentrasi pertama dari Nederland,14 dan kamp tahanan politik terbesar dalam sejarah kolonial Hindia Belanda.

Kamp pembuangan ini diciptakan dan diputuskan pada sidang luar biasa dewan Hindia Belanda (Raad van Nederlandsch-Indie) pada tanggal 18 November 1926, yang disetujui oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda de Graeff. Penciptaan kamp ini sendiri adalah merupakan reaksi balik pemerintah kolonial Hindia Belanda atas pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang komunis pada tanggal 12

13

H.Rosihan Anwar; “Keturunan Sumbawa di Afsel”, SKH Kompas tgl 5 Mei 2005. Dalam artikel ini dipaparkan bahwa sejak tahun 1667 VOC telah melakukan pembuangan politik terhadap orang-orang yang berasal dari daerah-daerah dan etnik, seperti dari Banten, Betawi, Bengkulu, Jambi, Palembang, Sumatera Barat dan Sumbawa NTB ke Afrika Selatan. Pada Tahun 1752 ada laporan singkat mengenai dua orang buangan politik di Simonstown dan Cape Town, VOC berhasil menangkap Lalu Abdul Kadir Jealani Dea Koasa dan putranya Lalu Ismail Dea Malela, dari kampung Pemagong.

14

(26)

November 1926 yang bermula di Jakarta, berlanjut di Banten Jawa Barat, terus ke Solo yang meletus pada tanggal 17 November 1926, berlanjut ke Silungkang di Sumatera Barat pada tanggal 1 Januari 1927.15 Pemberontakan itu sendiri merupakan pemberontakan besar dan pertama kali yang berdampak luas, serta menimbulkan banyak kerugian dan korban di pihak kolonial. Pada akhirnya pemberontakan tersebut cepat dipadamkan. Mereka yang terlibat pemberontakan tersebut kemudian ditangkap dan dibuang. Boven Digul menjadi tempat yang tepat untuk membuang dan mengasingkan mereka- mereka yang membahayakan kekuasaan kolonial saat itu.16

Kamp Pulau Buru sendiri proses penciptaannya diawali dari kekacauan dan huru- hara politik pada tahun 1965 yang dihubungkan dengan peristiwa G30S sebagai sebuah usaha kudeta (coup d’etat).17 Peristiwa kudeta ini pada kelanjutannya mengawali peristiwa-peristiwa kemudian yakni, tragedi kemanusiaan berupa pembantaian massal 1965/1966 dan penahanan politik pada tahun 1969-1979.18 Setelah peristiwa huru-hara politik tahun 1965 inilah Orde Baru menciptakan kamp pembuangan Buru yang menga ntarkan puluhan ribu orang ditahan tanpa proses pengadilan untuk kemudian dibuang, terutama bagi mereka yang di indentifikasikan sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

15

Takashi Shiraishi, 2001: Hantu Digoel, LKiS. hlm 3. Lihat juga Imam Soedjono, 2006: Yang Berlawanan, Resist Book.Yogyakarta. hlm 35-36.

16

John Ingleson, 1983: Jalan Ke Pengasingan, LP3ES. Jakarta. hlm 26.

17

Baskara T Wardaya, 2006: Bung Karno Menggugat! Galang Press.Yogyakarta. hlm 170. Coup d etat adalah usaha perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh tentara bersama sipil, dengan istilah pronounciamento yang berarti perebutan kekuasaan yang semua pelakunya adalah tentara, dan dengan istilah putsch yang pengertiannya perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh sekelompok tentara yang kemudian terkenal dengan istilah kudeta.

18

(27)

Judul tulisan ini ‘Pergulatan Orang-Orang Buangan di Boven Digul dan Pulau Buru’, merupakan sebuah studi narasi-diskripsi tentang kamp Boven Digul dan kamp Pulau Buru. Pertama, kedua tempat ini diciptakan bagi para tahanan politik, baik dimasa kolonial Hindia Belanda dan dimasa pemerintahan Orde Baru.

Kedua, dua tempat ini diciptakan dari sebuah representasi kekuasaan yang besar dan berkuasa. Mereka ditahan/ditawan disebabkan oleh karena aktifitas-aktifitas politik yang membahayakan. Sebagai sebuah penjara politik maka keberadaanya menjadi sangat khusus, baik letak geografisnya maupun fasilitas serta sistem keamanannya. Untuk fasilitasnya dapat dilihat dari bentuk kamp atau penjara, meliputi fasilitas untuk kegiatan sehari- hari seperti mandi-cuci-kakus, aktifitas menjalankan ibadah, tempat menyalurkan bakat berkesenian dan fasilitas lainnya yang dibutuhkan para tawanan untuk menjalani kehidupan normal dibawah kondisi tidak normal, dan yang terpenting apakah para tawanan diperlakukan sesuai dengan standar kemanusiaan yang berlaku pada saat itu, yakni berstandar pada jaminan hidup dalam kondisi yang minimal, seperti ketersedia an atas kebutuhan akan makan setiap harinya, pakaian, alat mandi, alat makan- minum serta alat-alat untuk bekerja sehari- hari dan juga pelayanan akan kesehatan yang memadai sesuai dengan standar kemanusian yang berlaku.

(28)

C. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

a. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang maka pokok permasalahan skripsi ini adalah: 1. Bagaimana kekuasaan kolonial Belanda dan kekuasaan Orde Baru dijalankan,

sehingga dapat melahirkan pembuangan, seperti kamp Boven Digul dan kamp Pulau Buru?

2. Bagaimana sistem pengasingan dikembangkan oleh kekuasaan kolonial Belanda dan kekuasaan Orde Baru dalam konteks ini tentang kamp Boven Digul dan kamp Pulau Buru?

3. Bagaimana para buangan menjalankan hidup nya dalam kamp tersebut, sebagai seorang yang diasingkan/dibuang dilihat dari kacamata kemanusiaan?

b. Ruang Lingkup

Studi ini akan memfokuskan pada keberadaan awal dari kedua kamp pengasingan/pembuangan ini diciptakan, di antara periode waktu yang berbeda, kamp pengasingan Boven Digul yang diciptakan pada 1927 serta diputuskan dalam sidang luar biasa dewan Hind ia Belanda (Raad van Nederlandsch-Indie) pada tagl 18 November 1926, yang kemudian disetujui oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda de Graeff.

(29)

D. Tujuan Penelitian

Mendiskripsikan dan menganalisis:

1. Mengetahui bagaimana kolonial Belanda dan Orde Baru menjalankan praktik kekuasaannya, sehingga dapat menciptakan kamp pengasingan/pembuangan tersebut.

2. Mengetahui sistem pengasingan/pembuangan yang dikembangkan oleh kolonial Belanda dan Orde Baru khususnya dalam konteks ini tentang kamp Boven Digul dan kamp Pulau Buru.

3. Mengetahui bagimana para buangan menjalankan kehidupannya di kamp pengasingan/pembuangan tersebut menurut ukuran kemanusiaan yang berlaku.

E. Manfaat Penelitian

1. Melalui tulisan ini dapat diketahui bahwa pengasingan/pembuangan dijadikan sebagai model serta alat penguasaan yang efektif dan sempurna, tidak hanya dilakukan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda terhadap para kaum bumiputra pada zaman pergerakan diawal abad ke-20 tetapi juga dipakai dan diproduksi ulang oleh kekuasaan Orde Baru yang sangat besar, terutama yang bersifat absolut dan otoriter. Kekuasaan dimanapun pastinya akan menciptakan bentuk pengamanannya sendiri unt uk melindungi kekuasaannya dari keruntuhan.

(30)

Baru, khususnya setelah peristiwa politik ‘65 lebih bertujuan pada usaha melegalitaskan dan melindungi kekuasaan yang baru saja diperolehnya sebagai bagian pembentukan pencitraan atas kekuasaan, selain untuk meredam aksi-aksi massa radikal dan membahayakan pada masa awal kekuasaan Orde Baru.

3. Melalui tulisan ini dapat dipahami bagaimana para buangan khususnya para Digulis-Buruis melewati masa- masa sulit dalam kamp pengasingan tersebut. 4. Melalui tulisan ini pula SEJARAH bagaimana pun pencitraan buruknya,

namun haruslah tetap selalu diingat dan dinarasikan kembali.

F. Kajian Pustaka

(31)

yang dapat menampung banyak orang, kususnya bagi mereka yang mengacaukan keamanan dan ketertiban (rust en orde) di wilayah Hindia Belanda.

Shiraishi juga menjelaskan tentang alat-alat kekuasaan kolonial, seperti Politieke Inlichtingendienst (PID), Dinas Intelijen Politik dan Algemeene Recherche Dienst

(ARD), Dinas Penyelidikan Umum sebagai pelaksana lapangan atas proses pen Digul an dari mereka yang dituduh/dicurigai mengancam ketertiban dan keamanan. Pemerintah kolonial Belanda menciptakan Digul untuk meredam aksi-aksi pemberontakan terutama pemberontakan komunis 1926-1927. Pada kelanjutannya tidak hanya orang komunis yang dibuang ke Digul, tetapi juga para aktifis nasionalis dan gerakan- gerakan politik yang berbasis keagamaan juga menjadi korban pen-Digul-an.

Kritik terhadap tulisan Shiraishi adalah bahwa penciptaan kamp Digul semata-mata merupakan keputusan politik pemerintah kolonial, Shiraishi kurang menjelaskan dari kacamata korban pen-Digul-an, baga imana reaksi mereka yang menjadi korban dari kebijakan politik kolonial, termasuk bagaimana mereka bisa hidup dalam kondisi tidak normal dalam alam pengasingan. Catatan tentang Boven Digul yang lain juga banyak ditulis berupa catatan harian atau memoar. Contohnya ada beberapa tulisan mengenai Boven Digul khususnya yang ditulis oleh pengamat/jurnalis, mantan Digulis, dan para penghuni Digul lainnya berupa buku, dan salah satu yang terkenal adalah memoar I.F.M. Chalid Salim yang berjudul

“Lima Belas Tahun Digoel; Kamp Konsentrasi Di Neuw Guinea; Tempat

(32)

dimuat bersambung di koran Pewarta Deli dari 10 Oktober sampai 9 Desember 1931 dalam 51 terbitan. Fotokopi ya ng menjadi sumber buku ini diperoleh atas jasa Jaap Erkelens.19

Sementara itu catatan tentang kamp Pulau Buru berupa catatan harian atau memoar dari mereka yang pernah dibuang, dua diantara kajian tentang kamp Pulau Buru ini kebetulan sudah berbentuk buku, yang pertama adalah catatan harian Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan catatan harian Hersri Setiawan dalam Memoar Pulau Buru.

G. Landasan Teori dan Kerangka Pikir.

Dalam penulisan sejarah tentang Pergulatan Orang-Orang Buangan Di Boven Digul dan Pulau Buru, untuk dapat memahaminya secara baik penulis memfokuskan pada pembacaan atas kedua kamp pengasingan tersebut yang nantinya dapat dipakai menjadi pintu masuk dan pijakan dasar dari apa yang menjadi kerangka berfikir.

Pertama untuk kamp Boven Digul, dilihat dari latar belakangnya, bahwa kamp pengasingan (internering) ini dibuat dan dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda disaat sistem kolonialisme kolonial masih berlangsung dan terlihat nampak semakin kokoh dengan arahnya pada pemapanan sistem kolonialisme kolonial. Dasar dari pemapanan sistem kolonialisme itu nampak terlihat jelas dengan

19

(33)

keberhasilan Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B van Heutsz (1904-1909) yang berhasil dalam menyatukan nusantara dalam satu bendera Pax Nederlandica (Persatuan Nederlandica) yang menjadi bagian penting dari perubahan sistem politik kolonial di Hindia Belanda.20

Kamp Boven Digul diciptakan di zaman kolonial, sehingga tema kolonialisme menjadi penting sekali untuk disinggung. Untuk dapat memahaminya, mungkin dapat dimulai dari apa itu kolonialisme?. Dalam studi postkolonial, kolonialisme dipahami sebagai sistem yang menciptakan sebuah hubungan perbedaan di antara penjajah (coloniser) dengan yang dijajah (colonised). Jalinan keduanya yakni antara penjajah dan terjajah kemudian menciptakan hubungan yang bersifat hegemonik. Di dalam konteks hub ungan itu menegaskan posisi penjajah sebagai kelompok superior dibandingkan pihak terjajah yang inferior sehingga berakibat pada memunculkan apa yang disebut sebagai bentuk dominasi dan subordinasi.21 Pandangan yang berat sebelah dan tidak berimbang inilah yang dalam perkembangan selanjutnya memunculkan benturan pertentangan, disatu sisi penjajah sebagai pihak superior menilai terjajah sebagai kelompok masyarakat tidak beradab, bodoh dan tidak rasional, sedangkan dari pihak yang terjajah melihat penjajah sebagai kelompok yang menindas, rakus dan mau menang sendiri.

Kolonialisme juga dapat diartikan sebagai bentuk-bentuk penguasaan dan penaklukan atas wilayah tanah jajahan. Bentuk-bentuk penguasaan ini mencangkup atas tanah, harta-benda serta penduduk ditanah jajahan dan penguasaan atas

20G. Moedjanto, 2003: Dari Pembentukan Pax Nederlandica sampai Negara

Kesatuan Republik Indonesia; Sanata Dharma Yogyakarta hlm 3.

21

(34)

ekonomi-politik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem kolonialisme yang diterapkan barat terhadap wilayah jajahannya di timur. Dalam konteks ini kolonial Belanda sejak awal kehadirannya di Nusantara (kalau boleh menyebut Indonesia) sudah menciptakan pertentangan-pertentangan yang menjadi awal tumbuhnya sikap anti dan menolak kolonialisme, juga sikap anti dan meno lak penjajahan, atau dalam bahasanya Benita Perry ‘sebagai permusuhan yang tak terhindarkan antara pribumi dan pendatang’.22. Dalam frame kolonialisme inilah kamp Boven Digul dapat dilihat sebagai jawaban atas praktik-praktik kolonial yang telah berlangsung dalam periode penjajahan di Hindia Belanda.

Kedua, Kamp Pulau Buru. Kamp ini diciptakan dan dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru. Tetapi untuk melihatnya lebih jauh tentunya harus dilihat dalam konteks gambar besarnya yaitu dengan melihat Orde Lama dan hubungannya dengan Perang Dingin serta peralihan kekuasaan dan penghancuran gerakan komunis di Indonesia. Di samping itu juga melihat Orde Baru dalam konsep perilaku, yakni memahami watak Orde Baru bukan hanya sebagai penjajah, tetapi juga menerangkan sifat-sifat domestik yang sangat kuat, ini dapat dimulai dengan memahami secara mendalam praktik-praktik yang dilakukan semenjak kekuasaannya mulai berdiri, khususnya pada masa- masa terjadinya gejolak politik nasional pada periode tahun 1965-1966 dan peristiwa “G30S” yang mengantarkan berdirinya kekuasaan pemerintahan otoritarian dan munculnya kaum militer sebagai pihak yang membidani kelahiran Orde Baru.

22

(35)

Orde Baru- militer-Soeharto merupakan sebuah rangkaian kesatuan yang memungkinkan pembacaan atas kekuasaan dan praktik yang dihasilkannya terutama berkaitan dengan penciptaan kamp tahanan politik terbesar dalam sejarah republik, yaitu kamp pembuangan (Tefat) Pulau Buru yang diciptakan pada tahun 1969-1979.

Pengasingan Sebagai Sistem Pemenjaraan

Penulis juga akan membahas tentang pengasingan sebagi sebua h bentuk dari pemenjaraan. Penjara politik adalah istilah yang tepat bagi mereka yang ditahan oleh alasan-alasan politik yang berhubungan dengan negara dan kekuasaan. Pelaku kejahatan politik adalah warga ne gara yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai- nilai politik yang dianut bangsa dan negaranya.23 Seperti dipahami bahwa penjara atau pengasingan adalah sebuah mekanisme sistem kontrol yang diciptakan penguasa untuk mengatur dan menciptakan disiplin serta mendidik terpidana agar tampak jera (deterrent). Jera adalah kata yang diharapkan kepada pelaku untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.24 Tetapi penjara atau pengasingan juga digunakan penguasa untuk melindungi kekuasaan dari bahaya-bahaya yang mengancam. Penjara menjadi sebuah mekanisme kontrol yang ampuh untuk melindungi kekuasaan, seperti contohnya di negara Uni Soviet dengan kamp Siberia, dan benua Australia yang pada awalnya dijadikan sebagai wilayah buangan serta penjara bagi para narapidana Inggris, dan banyak lagi tempat-tempat dibelahan dunia lain yang mempraktikan pengasingan sebagai model dari pemenjaraan.

23

Erlangga Masdiana, “Penjara Politik”, Forum Keadilan No 7, 22 Juni 2003, hlm 19.

(36)

Model pemenjaraan diatas juga pernah terjadi di masa kolonial Hindia Belanda dengan kamp Boven Digul yang diciptakan untuk menampung para aktivis politik kaum pergerakan yakni kaum nasionalis dan komunis yang mengganggu tatanan politik kolonial dengan rest en orde nya, dan konsep yang sama yang diterapkan oleh kolonial Belanda, kemudian digunakan kembali oleh Orde Baru, namun dalam bentuk dan praktik yang berbeda. Kekuasaan Orde Baru me nciptakan kamp Pulau Buru untuk mereka yang dianggap terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, dan menurut Orde Baru mereka harus diamankan dalam pengertian diasingkan untuk dibuang, karena dianggap membahayakan.

Pengasingan atau pembuangan adalah bentuk lain dari sistem pemenjaraan,

Pertama pengasingan/pembuangan dalam KBBI adalah, berawal dari kata asing yang berarti(1) tersendiri, terpisah sendiri, misalnya disana ia merasa terpencil, mengasingkan berarti(2) menyendirikan, memisahkan dari yang lain,(3) membuang ketempat yang terpencil atau jauh; menginternir; mis. orang-orang dianggap berbahaya diasingkan.25 Kedua penjara dipahami sebagai sebuah institusi perampas kebebasan individu dan nega ra bertindak memonopolinya serta menciptakan pembenaran secara yuridis, penjara juga dipahami sebagai sebuah institusi yang bermaksud mengisolasi unsur- unsur penggangu dari “tertib sosial” dan menciptakan jera bagi mereka yang di penjara.26

Dalam bukunya surveiller et punir Foucault (1975), penjara dipahami sebagai ruang untuk mendisiplinkan tubuh, disiplin ini bersifat mengoreksi dan mendidik,

25Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai

Pustaka 1976.

26

(37)

karena dibalik tembok penjara dilaksanakan pembentukan individu.27 Masih dalam

surveiller et punir Foucault, sistem penegakkan disiplin atas penjara ini kemudian berhasil diterapkan terutama dengan model penjara Panoptik yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1791), penjara ini menjelaskan;

“Dengan metode panoptik, pengawasan bisa menyeluruh, total. Penegakkan displin bisa terlaksana dengan lebih mudah. Inti mekanisme panoptik itu terletak dalam bentuk arsitekturnya. Di pinggir terdapat bangunan melingkar yang merupakan sel-sel tahanan dengan dua jendela terbuka yang diperkuat dengan jeruji besi; yang satu mengarah kedalam sehingga terlihat jelas dari menara pengawas yang terletak di tenggah lingkaran bangunan itu. Jendela terbuka lainnya diarahkan keluar supaya sinar menerangi sel. Dengan demikian bukan hanya silhouette narapidana yang kelihatan, tetapi seluruh gerak-geriknya terpantau jelas. Narapidana tidak tahu siapa atau berapa yang mengawasi. Mereka hanya tahu dirinya diawasi.

Efek dari sistem panoptik ini menyebabkan pada diri narapidana suatu kesadaran selalu dalam pengawasan atau dalam situasi terlihat secara permanen. Panoptik merupakan bentuk pengawasan yang memungkinkan untuk memperoleh ketaatan dan keteraturan dengan meminimalisasikan tindakan-tindakan yang sulit diperhitungkan atau tidak bisa diramalkan.”28

Pembacaan Foucault atas praktek pemenjaraan dan model penjara yang dijelaskan di atas membawa kita pada pemahaman, bahwa penjara dan institusinya merupakan bentuk dukungan dan perluasan kekuasaan negara yang dapat menjangkau segala sendi kehidupan seorang menuju kontrol total terhadap individu.29 Dalam penjelasan yang lain penjara dapat dipahami dalam dua sisi,

pertama penjara sebagai instrumen penghukuman yang disetujui oleh masyarakat dan dirancang untuk menegakkan hukum, yang memuat nilai- nilai moral dan kebijakan yang di yakini secara luas. Kedua sebagai sebuah instrumen dari kekuasaan kelas berkuasa yang berfungsi sebagai alat kontrol.30

27Haryatmoko, “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan”, BASIS edisi Jan-Feb

(38)

Penjara dalam pemahaman dari si aktor korban/terpidana dipahami sebagai sebuah sekolah atau balai pengajaran bagi yang mau belajar. Kaum pergerakan nasionalis sering mendefinisikan penjara sebagai konsep cultural “tapabrata”, dimana dalam tapabrata ini seseorang yang dipenjara memanfaatkan masa waktu tahanannya untuk meningkatkan semangat spritual baru. Para aktivis politik yang keluar dari penjara, merasa seperti seorang kesatria yang berhasil melalui proses inisiasi spritual, atau dalam cerita tradisi pewayangan Jawa misalnya, adalah keberhasilannya seorang kesatria dalam melalui tahap uji yang terkenal dengan nama “kawah candradimuka”nya. Dan Mas Marco yang seorang aktivis pergerakan nasional, dari tulisannya tentang “Sneevliet Dibuang” yang dimuat dalam koran Sinar Hindia 10 Desember 1918, Mas Marco dengan menantang, menganggap bui dan pembuangan adalah sebagai sebuah latihan bagi pemimpin pergerakan. Ia menulis: “Sneevliet berani dibuang! Apakah pemimpin pergerakan kita juga berani dibuang ke Ambon atau Menado atau kalau perlu juga di pulau yang tidak ada orangnya sama sekali?”31

Juga Hatta yang pernah diasingkan di Digul oleh pemerintah kolonial Belanda, melukiskan penjara sebagai pertapaan, hidup dibalik jeruji diangggapnya sebagai “mempertebal iman”32 dan Sjahrir sebagai seorang yang juga pernah diasingkan di Digul oleh pemerintah kolonial Belanda menyusun kisah hukumannya dengan:

Aku juga merasakan diriku lebih menjadi tahanan “sejati” dengan makanan penjara ini, ketimbang pada saat aku masih menerima makanan dari luar. Makin lama aku makin banyak melupakan apakah selera dan perangsang itu. Aku kini menganggap makan sebagai kewajiban, dan dengan demikian rasa kenyang beralih dari makan ke arah yang dimakan, kira -kira cara yang sama

31 Mas Marco, 2002: Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel, KPG Jakarta. hlm

XVI.

32

(39)

dengan orang yang merasa puas sesudah menyelesaikan sebuah tugas lain; kepuasan rohani dari jiwa lebih banyak dari pada kepuasan hawa nafsu perut, jadi kepuasan tentang kualitas spritual “yang lebih tinggi”. Kamu dapat melihat apa yang dapat ditemukan jika makan memakai mangkok dan kaleng.33

Dalam hubungan ini pengasingan sebagai sebuah bagian metode penjaraan menjadi sangat relevan dan memiliki arti penting kususnya bagi kekuasaan sebagai sebuah alat kontrol dan pengawasan. Dalam konteks ini adalah bagaimana kekuasaan kolonial Hindia Belanda dan Orde Baru menciptakan kamp pengasingan pada suatu tempat yang terpencil dan terasing seperti Boven Digul dan Pulau Buru.

Penjara, Kamp Pengasingan Boven Digul dan Pulau Buru.

Kamp pengasingan juga bisa disebut sebagai penjara, kamp pengasingan Boven Digul yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda diciptakan untuk mengasingkan (menginternir) mereka yang melakukan pemberontakan pada tahun 1926-1927, juga kamp Pulau Buru yang diciptakan oleh pemerintahan Orde Baru diperuntukan untuk mengamankan mereka yang dianggap membahayakan karena dituduh terlibat dalam peristiwa politik 1965. Pada perkembangan selanjutnya kamp Pulau Buru dijadikan sebuah tempat pemanfaatan (tefat) atau dalam pengertian yang lain dijadikan sebagai tempat untuk melaksanakan kerja paksa.

Beberapa kamp pembuangan atau pengasingan yang diciptakan dan dibangun umumnya dilokasikan pada daerah yang terpencil, didalam hutan belantara atau berada ditenggah laut, berada dalam pulau terpencil dan terisolasi. Seperti halnya kamp Boven Digul yang diciptakan dan dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda yang letak lokasinya jauh masuk kedalam hutan dan kondisinya 100% terisolasi dari dunia luar, dikelilingi oleh sungai yang lebar dan dalam yang penuh dengan binatang

33

(40)

buas berupa buaya besar yang liar dan ganas, belum lagi oleh kondisi iklim yang ekstrim antara suhu panas dan dingin, serta epidemi penyakit malaria yang sewaktu-waktu dapat mengancam dan berdampak sangat mematikan, ditambah lagi keberadaan dari suku-suku asli liar yang menurut cacatan dari mereka mantan Digulis adalah suka memenggal kepala dan berprilaku suka makan manusia (kanibalisme). Sedangkan untuk kamp Pulau Buru yang diciptakan dan dibangun oleh pemerintahan Orde Baru, lokasinya berada disebuah pulau terpencil, dibentengi oleh hutan dan dikelilingi oleh laut yang dalam dan ganas, dipagar gawat berduri dan dijaga dengan sangat ketat oleh satuan tentara.

Model penjara dalam bentuk kamp ini menimbulkan efek jera yang sangat tinggi dan berhasil menaklukan mereka yang sangat keras dan berbahaya, apalagi kalau dikondisikan pada lokasi ya ng terpencil dan tertutup serta terisolasi. Seperti dilukiskan oleh mereka yang pernah diasingkan di kamp Boven Digul, rasa sepi yang mencekik dan rasa rindu yang mendalam membuat mereka merana dan sangat menderita.

Tentang Penjara Pulau.

(41)

baru di temukan. Transportation sama dengan hukuman pembuangan, tapi lebih karena pertimbangan ekonomi untuk kebutuhan tenaga kerja di daerah baru atau wilayah jajahan. Deportation merupakan jenis pembuangan dengan pertimbangan tertentu karena kejahatan narkotika, tindak subversi, anarki, atau kejahatan lain yang berhubungan dengan perbuatan amoral.

Bangsa Inggris dianggap pertama kali yang menyelenggarakan hukuman pembuangan. Penguasa negeri itu, pada tahun 1697 mulai mengirim para tahanan ke Alaska, Australia dan beberapa pulau di kawasan Tasmania. Hukuman model Inggris ini menjadi begitu terkenal, karena mampu menampung ribuan tahanan. Selama tahun 1787-1875 pemerintah Inggris membuang 135 ribu wargannya kekawasan pulau di Benua Australia. Yang paling terkenal adalah kamp Norflok Island di sebelah timur Australia. Apabila hukuman pembuangan dianggap terlalu jauh, maka Inggris menempatkan para tahanannya di kapal-kapal tua di lautan. Yang terkenal antara lain bui di kapal Warrior, kapal succes, dan kapal Euryalus.

Walaupun pada prinsipnya tujuan hukuman pembuangan sama dengan pengganjaran model penjara berterali besi, yakni membalas perbuatan yang dianggap melanggaar kesepakatan bersama, namun hukuman pembuangan, baik di sebuah pulau atau daerah lain, terkesan lebih manusiawi. Para pesakitan tetap dapat sering-sering menikmati alam bebas, bercocok tanam, atau bahkan berkawin dengan penduduk setempat. Bahkan, setelah dibebaskan, tak sedikit pesakitan yang menetap dikawasan tersebut

(42)

perjuangan perlawanan terhadap rezim apartheid dipenjarakan. Di masa lalu tempat itu menjadi sarang penyakit lepra. Amerika Serikat punya Pulau Alcatraz yang paling ditakuti para penjahat kelas kakap. Al Capone, gembong mafia AS di masa lalu adalah salah seorang penghuninya.

Indonesia memiliki Pulau Nusakambangan, adalah tempat yang diciptakan Belanda bagi penjahat-penjahat kelas kakap atau tokoh-tokoh politik. Sampai sekarang pulau tersebut masih bercerita “angker” karena memang masih diperuntukkan bagi penjahat “berbahaya.” Pulau Buru send iri adalah hasil ciptaan pemerintahan Orde Baru. Pulau ini dikhususkan bagi para tahanan politik (tapol) G30S/PKI.

H. Metode Penelitian.

Sejarah adalah bangunan rekonstruksi masa lalu yang disusun berdasarkan sumber-sumber empiris. Kecenderungan penulisan sejarah yang terjadi di Indonesia adalah ditulis dengan menempatkan penguasa sebagai pencipta sejarah (decision maker). Dalam konteks ini sejarah tidak lagi bersikap netral melainkan dipakai sebagai alat dari kekuasaan untuk memerintah dan berkuasa. Sejarah bertindak sebagai agen dan alat propaganda dari rezim yang berkuasa untuk tetap melestarikan kekuasaan, seperti yang terjadi pada masa kolonial Belanda dan Orde Baru.

(43)

ulang mengenai peristiwa sejarah yang berhubungan dengan partai komunis di Indonesia. Dalam penulisan sejarah Indonesia tulisan yang mengulas tentang partai komunis di Indonesia sulit di temukan, bahkan sangat dilarang untuk dikaji, ini juga terjadi dalam penulisan tentang kamp pengasingan/pembuangan Boven Digul dan Pulau Buru yang ada hubungannya dengan partai komunis di Indonesia.

Untuk itulah penulis mencoba merekonstruksi peristiwa sejarah tidak dari kacamata penguasa melainkan dari dari kacamata yang dikuasai, seperti pengkajian sejarah tentang kamp Boven Digul dan Pulau Buru, dimana sejarahnya ditulis berdasarkan fakta- fakta dari mereka yang menjadi korban praktik kekuasaan, yakni mereka- mereka yang dipenjarakan, dibuang atau diasingkan. Tulisan ini membuka wacana baru mengenai suatu peristiwa sejarah yang selama ini direduksi oleh penguasa.

Untuk kamp pengasingan/pembuangan Boven Digul data-data primer (primery sources) berupa laporan dari penguasa kolonial Hindia Belanda yang sekarang ada dalam arsip nasional RI. Untuk penelitian yang berhubungan dengan kamp Pulau Buru metode yang dipakai adalah wawancara kepada mantan tapol dan ditambah dengan studi pustaka, khususnya buku-buku yang dihasilkan dari para eks-Buru yang sekarang banyak dijumpai dalam bentuk memoar atau catatan harian.

(44)

waktu, sejarah juga melebar dalam ruang, dengan sumbangan ilmu sosial maka sejarah merupakan ilmu yang diakronis dan sinkronis, maka lengkaplah sejarah.34

Untuk merekonstruksi fenomena Boven Digul dan Pulau Buru, agar menjadi kajian historis, maka digunakan metode sejarah yang meliputi; 1) Pengumpulan sumber, yakni dikumpulkannya sumber-sumber sejarah yang menjadi kaitan topik penelitian, sumber sejarah ini dapat berupa sumber primer (primary sources) seperti arsip, surat kabar dan sumber sekunder (secondary sources) seperti buku-uku yang dapat menjadi pelengkap. 2) Kritik sumber (heuristik) yang merupakan bentuk pengujian dari sumber-sumber sejarah yang berhasil dikumpulkan. Langkah ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keaslian sumber (sifat otentisitasnya) dan tingkat kredibilitas sumber. Kritik sumber yang merupakan uji data penelitian sejarah yang terdiri dari kritik eksternal dan kritik internal.35 Kritik eksternal dengan cara meneliti bahan yang digunakan, sifat bahan, gaya penulisan, bahasa yang dipakai, jenis huruf yang digunakan dan jauh dekat dari peristiwa itu. Sedangkan kritik internal dilakukan dengan meneliti apakah sumber tersebut dapat dipercaya. Hasil dari kritik sumber adalah fakta-fakta yang merupakan unsur-unsur untuk melakukan rekonstruksi. 3). Seleksi sumber adalah proses dimana sumber diseleksi untuk memudahkan pengkategorian dan mempermudah dalam proses penyusunan. 4) Intepretasi merupakan langkah yang kemudian dilakukan apabila data telah terseleksi dan teruji kebenarannya. Pada tahap ini dituntut untuk mencermati dan mengungkapkan data seleksi mungkin supaya hasil penulisan menjadi akurat, oleh

34

Kuntowijoyo, 1995: Pengantar Ilmu Sejarah, Jakarta Bentang. hlm 66-67.

35

(45)

karena itu dilakukan pengelolaan data dan analisis data secara cermat untuk mengurangi unsur subyektifitas. Meskipun akan selalu ada dalam setiap penulisan sejarah pengaruh subyektif, karena kejadian peristiwa sejarah dalam artian obyektif diambil, dialami atau dimasukan dalam pikiran subyek sebagai sebuah persepsi,36 5) Rekonstruksi atau penulisan kembali sejarah adalah tahap terakhir dari rangkaian tahap-tahap diatas berupa penyajian dengan menuliskan kembali sejarah.

I. Sistematika Penulisan.

Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang Masalah, B. Pembatasan Masalah, C. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup D. Tujuan Penelitian, E. Manfaat Penelitian, F. Kajian Pustaka, G. Landasan Teori dan Kerangka Pikir, H. Metode Penelitian, I. Sistematika Penulisan.

Bab II Ideologi Kolonial Belanda Dan Orde Baru Dalam Politik

Kekuasaan, A. Kolonial Belanda. A.1. Sistem Kekuasaan Kolonial Belanda dari Culturstelsel sampai Politik Etis, A.2. Pax Nederlandica Van Heutsz dan Politik Kolonial Rust en Orde, A.2.1. Pemberontakan 1926-1927, A.2.2. Hukuman Administratib dan Oxorbitant Rechten Gubernur Jenderal Hindia Belanda, A.3 .PID dan Jaringan Kekuasaan Kolonial, B. Orde Baru, B.1 Perang Dingin, Efek Domino dan Politik Countaimend di Asia Tenggara, B.1.1 Peristiwa G30S, B.1.2. Fobia Komunis, Tumpas Kelor dan Hancurkan Komunis sampai keakar-akarnya, B.2. Orde Baru, Supersemar sampai Trilogi Pembangunan, B.3. Kopkamtib dan Jaringan Kekuasaan Orde Baru.

36

(46)

BAB III Penjara dan Pengasingan Sebagai Sistem Kontrol Kekuasaan

yang di Kembangkan oleh Kolonial Belanda dan Orde Baru, A. Kamp Boven Digul, A.1 Latar Belakang, A.2 Bentuk dan Model Penjara, A.3 Letak Geografis dan Kondisi Alam, A.4 Tentang Para Tawanan, B. Kamp Pulau Buru, B.1.Latar Belakang, B.2 Bentuk dan Model Penjara, B.3 Letak Geografis dan Kondisi Alam, B.4 Tentang Para Tawanan.

BAB IV Perjuangan Hidup Para Buangan dalam Pengasingan, A. Kamp Boven Digul, A.1.Proses Penangkapan dan Penahanan, A.2. Kehidupan dalam pembuangan. B. Kamp Pulau Buru, B.1. Proses Penangkapan dan Penahanan, B.2. Kehidupan dalam pembuangan.

(47)

BAB II

IDEOLOGI KOLONIAL BELANDA DAN ORDE BARU DALAM

POLITIK KEKUASAAN

A. Kolonial Belanda.

A. 1. Sistem Kekuasaan Kolonial Belanda dari Culturstelsel sampai Politik Etis.

Politik kolonialis- imprealisme yang dijalankan oleh Belanda di Indonesia telah berlangsung lama yakni mulai periode tahun 1850 sampai 1900. Istilah kolonialis-imprealisme sendiri mengandung banyak pengertian yang luas. Dalam pengertian yang lebih umum “istilah” kolonialis- imprealisme berarti dipahami sebagai bentuk usaha penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang serta perluasan dan control politik ke daerah seberang yang kemudian bersinonim dengan model ekspansi kolonial.37

Untuk dapat mengetahui tahap-tahap bagaimana imperealis-kolonialisme Belanda mulai berkembang, tentunya harus di runut dari proses awal, yakni dari kedatangannya ke Indonesia. Keberhasilan Belanda dalam merebut supremasi perdagangan atas rempah-rempah dari orang-orang Portugis merupakan langkah awal kekuasaan kolonial di tanah jajahan Hindia Belanda. Diakui bahwa motifasi ekonomi merupakan dasar dari proses penguasaan yang nantinya akan menerangkan ekspansi kolonial sebagai bagian dari kepentingan kaum kapitalis yang menanamkan kelebihannya modalnya, kepentingan akan pasar serta kepentingan untuk mendapatkan sumber-sumber bahan mentah yang sangat penting bagi perkembangan

37

(48)

indrustri di tanah airnya. Dan bahwa periode sebelum tahun 1850 ekspansi kolonial Belanda dapat disamakan dengan kolonialisme dalam mengertian marxsistis kerena memprinsipkan akumulasi modal dan kelebihan produksi di negeri Belanda.38

Salah satu bentuk penguasaan kolonial Belanda terhadap tanah jajahan dalam menjalankan politik ekspansinya yang bertujuan mencari laba adalah dengan menciptakan sistem penanaman yang terkenal denga n sistem tanam paksa atau

Culturstelsel. Sistem penanaman culturstelsel ini diciptakan oleh Van de Bosch dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan dengan cara-cara yang lebih sesuai serta dipadukan dengan adat kebiasaan tradisional pribumi. Hakikat cultur stelsel dalam konteks kolonial adalah bahwa penduduk tanah jajahan dipahami sebagai penganti dalam pembayar pajak, dan atau harus menyediakan sejumlah hasil bumi yang nilainya sama dengan pajak tanah tersebut.39 Hasil bumi biasanya berupa hasil eksport seperti yang diinginkan oleh pemerintah kolonial, yakni komoditas yang laku dijual dipasaran Eropa. Menurut perhitungan system culturstelsel adalah bahwa, penduduk tanah jajahan harus menyerahkan 2/5 dari hasil panennya atau sebagai penggantinya menyediakan 1/5 dari waktu kerjanya dalam setahun. Dengan jalan ini pemerintah kolonial menjamin ketersedian akan hasil bumi yang nantinya dieksport kepasaran Eropa, dari eksport ini tentunya pemerintah kolonial ber harap akan mendapatkan keuntungan.40

Dengan dijalankan culturstelsel ini, maka politik kolonial di tanah jajahan memasuki periode baru, yakni dengan mengembalikan fungsi kaum feodal ketempat

38

Sartono Kartodirjo, 1990: Pengantar Sejarah Indonesia Baru 2, Gramedia Jakarta hlm 4

39

Ibid. Sartono Kartodirjo hlm 13

40

(49)

lama, sehingga pengaruhnya dapat dipergunakan untuk menggerakkan rakyat guna memperbesar produksi serta menjalankan pekerjaan yang diminta oleh pemerintah kolonial lewat tokoh feodal pribumi. Pada praktiknya sistem culturstelsel akan menjumpai system pemerintahan tidak langsung, yakni system pemerintahan yang diserahkan kepada penguasa-penguasa pribumi, dalam arti yang lebih jauh lagi adalah para penguasa pribumi diciptakan untuk menjadi pengawas-pengawas perkebunan.

Sebagai sebuah sistem yang menguntungkan maka hasil- hasil dari praktik culturstelsel ini sangat memuaskan bagi negeri Belanda. Dan diantara periode 1831-1877 pemerintah kolonial menerima sebesar 823 juta gulden dari daerah-daerah jajahan.41 Lewat keuntungan ini maka mendorong proses perdangangan dan berkembangnya system pelayaran kolonial Belanda. Sehingga lewat kemajuan ini pula negeri Belanda menempati kembali posisinya sebagai Negara penjual bahan mentah dan sebagai armada dagang yang kekuatanya menjadi nomer tiga di seluruh dunia. Banyaknya keuntungan yang diperoleh juga berdampak pada memperkaya para pengusaha-pengusaha kolonial untuk menciptakan usaha- usaha baru misalnya pendirian pabrik-pabrik baru serta munculnya pedagang-pedagang yang menjadi awal dari tumbuhnya modal perdagangan sehingga merangsang berkembangnya usaha partikelir.

Diterapkannya culturstelsel menghasilkan beberapa perubahan pada negeri induk kolonial sendiri, yakni dengan pulihnya kondisi perekonomian secara besar-besaran serta mengantarkan negeri Belanda pada sebuah proses periode revolusi

41

(50)

industri. Pada tahun 1848 adalah merupakan permulaan dari titik balik, sebab di tahun tersebut ditandai dengan adanya permulaan kesempatan untuk mengadakan refrom atau perubahan dalam politik kolonial melalui saluran parlementer. Dan tahun 1854 Regeerings Reglement (RR) meletakan dasar bagi pemerintahan kolonial. Prinsip liberal, kebebasan individu dan keamanan serta bebas berusaha merupakan hasil dari perubahan tersebut.

Berkembangnya liberalisme di negeri Belanda oleh karena perubahan yang diletakkan oleh Regeerings Reglement kemudian menghasilkan sebuah penilaian baru dalam melihat tanah jajahan. Berkembang golongan liberal di negeri Belanda dan kritiknya terhadap model penjajahan yang menyengsarakan rakyat Hindia Belanda memaksa pemerintah kolonial Belanda untuk mengganti sistem kekuasaannya tidak lagi mengunakan model sistem kolonial kompeni42 yang bersifat proteksi dan eksploitasi seperti model culturstelsel tetapi beralih ke sistem ekonomi liberal yang memberikan kebebasan untuk berusaha dan sistem kerja wajib yang diganti dengan kerja bebas. Politik ekonomi kolonial yang sebelumnya bersifat monopolistik kemudian berganti dengan politik kolonial yang bersifat liberal yakni dengan memberikan kebebasan pihak swasta untuk berusaha di tanah jajahan. Realisasi dari ide liberal ini dalam politik kolonial terjadi pada 1870 ketika Partai Liberal mencapai puncaknya.

Berlangsungnya politik kolonial moderen. Pada tahun 1870 Belanda memasuki periode kapitalisme moderen. Hasil dari revolusi indrustri yang dijalankan oleh

42

(51)

negeri kolonial selama kurun waktu dua puluh tahun menghasilkan berbagai perkembangan di negeri Belanda sendiri yakni dengan berkembangnya indrustri, perkapalan, perbankan dan komunikasi yang moderen. Volume perdagangan mengalami perkembangan pesat dan perkembangan modal terjadi secara besar-besaran. Pada periode kolonial modern ini sistem politik perdagangan yang dianut adalah dengan sistem politik “pintu terbuka” dimana banyak berkembangnya perusahaan-perusahaan swasta di negara Belanda yang berakibatkan pada perubahan pola perdagangan, yakni komoditas perdagangan yang diperoleh dari hasil- hasil tanah jajahan lebih banyak mencari pasaran di negeri asing diluar negeri Belanda sendiri.43

Dimulainya Politik Etis atau pelaksanaan politik kolonial Ethika (politik kesejahteraan) adalah merupakan jawaban dari sekian praktek kolonial yang bersifat eksploitatif dan menindas yang dijalankan kolonial terhadap Hindia Belanda. Wajah kolonial yang buruk oleh sebab praktik penjajahan masa lalu kemudian berubah pada awal-awal abad ke-19. Pada awal abad ke-19 ini ditandai dengan perubahan sistem kolonial yang bersifat menindas menjadi sistem kolonial yang menitik beratkan pada usaha untuk mensejahterakan rakyat tanah jajahan. Salah satu tokoh politik kolonial yang terkenal dalam menyebarkan gagasan Politik Etis adalah van Deventer, ia menyuarakan apa yang dinamakan sebagai “Hutang Budi” yakni sebuah kebijakan kolonial yang dijalankan untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat ditanah jajahan jajahan. Program dari politik Etis itu sendiri mencangkup tiga bidang yakni irigasi,

43

(52)

pendidikan dan transmigrasi yang kesemuanya menyangkut kepentingan rakyat ditanah jajahan.

A.2. Pax Nederlandica van Heutsz dan Politik Kolonial Rust en Orde.

Kipling pernah menulis sajak yang mengatakan bahwa beban yang harus dipikul orang kulit putih sebagai wali kolonial mencakup juga “savege wars of peace”, yakni perang yang bersifat biadab demi perdamanian. Oleh karena itu, pengembangan wilayah kekuasaan kolonial atas Hindia Belanda mencapai puncaknya saat Gubernur Jenderal J. B van Heutsz berhasil melaksanakan politik Pax Nederlandica (Perdamaian Nederlandica) dengan melakukan praktek pasifikasi yakni keberhasilannya dalam menyatukan Hindia Belanda dalam satu keamanan dan ketertiban dengan perluasan militer, tepat apa yang diungkapkan G.G J.B van Heutsz tanpa pemerintahan yang kuat tiada ketertiban dan keamanan, tiada politik Etiha.44

Penerapan politik pasifikasi dalam rangka ketertiban dan keamanan telah dijalankan oleh J.B van Heustz, seperti penaklukan wilayah lombok di tahun 1894 dengan menghajar para penguasa yang dianggap kolonial telah berbuat lalim. Di tahun 1899 di wilayah Aceh berhasil ditaklukan dengan menghadang perlawanan grilyawan terakhir Teuku Umar yang dianggap sebagai babak akhir dari peperangan Aceh yang berlangsung lebih dari dua dasawarsa. Penaklukan kolonial di daerah Jambi di Sumatera dan di daerah Seram di Maluku pada tahun 1901, ditaklukannya

44

(53)

daerah Banjarmasin di kalimantan pada tahun 1859, dan setelah itu ditaklukannya perlawanan Bone di Sulawesi.45

J.B van Heustz telah meletakan dasar-dasar yang kuat bagi proses kolonialisme Belanda moderen karena dengan berhasil ditaklukannya perlawanan-perlawanan di daerah-daerah serta diciptakanya kondisi jajahan yang sepenuhnya dibawah kontrol kolonial dalam suasana tertib sosial maka semakin lapanglah jalan bagi proses kolonialisme untuk semakin intensif bekerja di tanah jajahan Hindia Belanda. Praktis diawal abad ke-19 tepatnya pada tahun 1901 seluruh wilayah Hindia Belanda berhasilkan ditaklukan dan diamankan. Dan pada tahun 1904 diangkatnya Jenderal J.B van Heutsz sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menandai babak perubahan politik kolonial dari represif dengan mengandalkan kekuatan militer kearah politik kolonial yang lebih lunak. Politik kolonial rest en orde kemudian dijalankan sebagai sebuah sistem pengamanan kolonial dalam menjaga politik penjajahannya dari gangguan.

A.2.1. Pemberontakan 1926-1927.

Awal abad ke-19 ditanah jajahan dalam bahasanya Shiraishi tengah berlangsung periode zaman normal, yakni masa dimana tidak ada lagi pergolakan-pergelokan di daerah-daerah, tidak ada lagi operasi militer yang ditujukan untuk menumpas setiap bentuk-bentuk perlawanan, seperti yang terjadi pada periode G.G J.B van Heustz. Yang terjadi pada periode zaman normal ini adalah semakin

45

(54)

intensifnya bentuk-bentuk pengawasan kolonial terhadap setiap bentuk pergerakan yang berpotensi mengancam rest en orde.

Peristiwa di tahun 1926-1927 adalah peristiwa perlawanan rakyat Indonesia terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Kondisi obyektif kemudian menjadi inspirasi bagi peristiwa tersebut. Penyebabnya adalah karena selama periode abad ke-19 di berbagai tempat di Indonesia, kususnya di Jawa, yang umumnya di pedesaan, terus menerus terjadi pengisapan dan penindasan yang dilakukan oleh kolonial. Kondisi pergolakan di Jawa pada masa- masa itu bersifat endemis. Pergolakan sosial ini merupakan manifestasi dari gerakan revolusioner agraris yang dipicu oleh semangat ajaran mesianistis yang memberikan harapan akan kedatangan ratu adil yang akan memberikan kesejahteraan, kemakmuran, ketertiban dan keamanan suatu masyarakat yang ”tata tentrem kerta raharja” 46

Menurut Harry J. Benda dan Ruth McVey, pemberontakan 1926 di Jawa dan pemberontakan 1927 di Sumatera Barat, adalah merupakan gejala tradisional dan moderen. Terjadinya berbagai kerusuhan dan pemberontakan tersebut apalagi yang berlangsung di desa merupakan alasan-alasan rasional, yakni karena oleh sebab faktor beratnya penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh pihak penguasa kolonial terhadap penduduk desa.47

Peristiwa pemberontakan 1926-1927 adalah hasil dari pertemuan Hoofdbestuur PKI yand diadakan pada tanggal 25 Desember 1925 di daerah Prambanan (di daerah antara Yogyakarta dan Surakarta) di bawah ketua partai Sardjono. Didalam

46

Imam Soedjono, 2006: Yang Berlawanan, Membongkar tabir pemalsuan sejarah PKI, Resist Book. Yogyakarta. hlm 28.

47

(55)

pertemuan ini disampaikan perkembangan situasi politik dan rencana untuk mengadakan pemogokan umum yang direncanakan dilakukan pada bulan Mei-Juni 1926 yang kemudiam diikuti oleh pemberontakan bersenjata untuk menumbangkan kekuasaan kolonial Belanda. Pada akhirnya keputusan ini diambil secara bulat oleh semua peserta pertemuan. Comite pemberontakan mengadakan sidang di Jakarta dan memutuskan bahwa pemberontakan akan dimulai pada tanggal 12 November 1926 sesuai dengan keputusan Prambanan.48

A.2.2. Hukuman Administratif dan Oxorbitant Rechten Gubernur Jenderal

Hindia Belanda.

Sebagai bentuk dari pengamanan sistem politik kolonial terhadap tanah jajahan pemerintah kolonial menciptakan aturan-aturan hukum salah satu aturan tersebut adalah milik gubernur jenderal Hindia Belanda yakni sebuah hukuman administrasi dan hukuman dari hak-hak istimewa ”exorbitante rechten” yang merupakan milik gubernur jenderal Belanda, ”hak istimewanya gubernur jenderal” itu berarti bahwa, ”penangkapan, pemeriksaan dan hukuman” seorang yang dianggap bersalah itu adalah ditangan satu orang. Seseorang ya ng ”dianggap” berbahaya itu kemudian dapat ditangkap, dibuang atau dipenjarakan. Hukuman administrasi dan hukuman berdasarkan hak istimewa gubernur jenderal ini menjadi sebuah alat kontrol yang sangat efektif untuk menangkap secara sepihak kepada pihak yang dianggap membahayakan terutama yang menggangu rest ed orde kolonial

48George Mc Turnan Kahin: Nasionalisme dan Revolusi Di Indonesia, Sebelas

(56)

Telah disinggung di atas bahwa memasuki abad ke-19 merupakan sebuah zaman normal, zaman dimana sistem kekuassan kolonial menjadi semakin mapan sehingga membutuhkan bentuk-bentuk pengawasan yang tepat. Abad ke-19 juga ditandai dengan semakin berkembangnya gagasan tentang nasionalisme bumi putra dan munculnya banyak pergerakan rakyat. Hampir semua tokoh politik pada periode pergerakan tersebut telah merasakan hukuman adminstrasi atau hukuman hak-hak istimewa gubernur jenderal salah satunya adalah trio Indische Partij yang terdiri dari Cipto, Douwes Dekker dan Ki Hajar dibuang ke Belanda pada tahun 1913.

A.3. PID dan Jaringan Kekuasaan Kolonial.

Referensi

Dokumen terkait

Uji T dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan signifikan (meyakinkan) dari dua buah mean sampel dari dua variabel dikomparatifkan.. Jadi dengan

Penyusunan laporan studi praktek kerja berjudul “Evaluasi Pengendalian Internal Atas Aset Tetap Pada Spare Part Mesin Di Perusahaan Industri Makanan (Studi Praktek Kerja

Muhammad Nejatullah Siddiqi menyatakan bahwa sistem produksi dalam Islam harus di kendalikan oleh kriteria objektif maupun subjektif, kriteria yang objektif akan tercermin

Bagi peserta yang lulus seleksi administrasi wajib mengikuti perkembangan informasi seleksi Pengadaan Calon Petugas Pemantau/Observer di Atas Kapal

Hubungan antara bab I, II, III, IV, V, dan VI saling berkaitan karena sesuai dengan urutan pelaksanaan pekerjaan membangun rumah atau gedung, seperti bab I

Dalam hal penjualan kembali Unit Penyertaan REKSA DANA BNP PARIBAS RUPIAH PLUS dilakukan oleh Pemegang Unit Penyertaan melalui media elektronik, maka Formulir Penjualan Kembali

1) Agar sebuah lingkungan belajar dapat mempertahankan kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan bagi anggota-anggotanya, maka di dalam lingkungan tersebut harus tersedia

Pihak pertama berjanji akan mewujudkan target kinerja yang seharusnya sesuai lampiran perjanjian ini, dalam rangka mencapai target kinerja jangka menengah seperti yang telah