BAB II: LANDASAN TEORI
2.2 Landasan Teori
Konsep dan teori akan menjadi acuan dalam menumbuhkan gagasan dan
menjadi dasar penelitian. Penelitian ini akan memfokuskan tentang efektivitas
komunikasi interpersonal distributor MLM dalam mempersuasi calon distributor
baru. Komunikasi interpersonal sendiri perlu dilakukan dengan efektif untuk seorang
distributor dalam mempersuasi seorang calon anggota baru untuk bergabung ke
dalam MLM. Maka dari itu, penelitian ini menggunakan konsep teori ELM,
komunikasi persuasi serta komunikasi interpersonal. Selain itu, akan dibahas
mengenai personal selling, direct selling dan bisnis MLM, serta keputusan pembelian
2.2.1 Elaboration Likelihood Model
Teori Kemungkinan Elaborasi atau Elaboration Likelihood Theory (ELT) atau
Elaboration Likelihood Model (ELM) merupakan salah satu teori persuasi. Teori
ELM menjelaskan bahwa keputusan dibuat bergantung pada jalur yang ditempuh
dalam memproses sebuah pesan (Morissan, 2013). Asumsi yang mendasari teori
ELM ini adalah bahwa seseorang dapat memproses pesan persuasif dengan cara yang
berbeda. Pada situasi tertentu, sesorang menilai sebuah pesan secara mendalam,
hati-hati dan dengan pemikiran yang kritis, namun pada situasi lain sesorang menilai
pesan sambil lalu saja tanpa mempertimbangkan argumen yang mendasari isi pesan
tersebut (Griffin, 2012, p.125). Kemungkinan untuk memahami pesan persuasif
secara mendalam bergantung pada cara seseorang memproses informasi. Terdapat
dua jalur dalam pemrosesan informasi yaitu jalur sentral (central route) dan jalur
periferal (peripheral route). Pada jalur sentral, individu memfokuskan diri pada pesan
produk dalam iklan, sedangkan pada jalur periferal individu fokus pada daya tarik
iklan. (Devitarani, 2013, p.4)
2.2.1.1 Central Route
Pemrosesan informasi Jalur Sentral (central route) adalah keadaan di mana
konsumen memfokuskan diri pada pesan produk dalam iklan. Konsumen
menerjemahkan pesan produk dalam iklan tersebut, lalu membentuk kepercayaan
untuk membentuk sikap dan keinginan (Devitarani, 2013, p.7). Central route adalah
teknik yang digunakan ketika sasaran penerima pesan persuasi aktif ikut memikirikan
atau juga berada dalam situasi atau melibatkan diri dengan informasi atau pesan
persuasi yang diterimanya. Teknik penyusunan pesan biasanya lebih terorganisir,
detail, kompleks, dan fokus atau tersentral pada informasi yang disampaikan, maka
dari itu disebut sebagai pesan yang tersentral (Kriyantono, 2014, p.27). Berikut
adalah karakteristik penerima pesan yang aktif:
1. Mempunyai motivasi tinggi terhadap isu atau ide atau informasi yang disampaikan. Individu tersebut mempunyai motivasi yang tinggi untuk
memproses segala informasi yang disampaikan. Individu tersebut
mempunyai motivasi yang tinggi karena mungkin informasi tersebut
relevan dengan kepentingannya.
2. Mempunyai kemampuan untuk memproses pesan persuasi tersebut. Kemampuan untuk memproses pesan persuasi di sini adalah ketika
individu mempunyai waktu yang cukup untuk memproses pesan persuasi
dan mampu mengerti, memahami, dan mengevaluasi informasi tersebut.
Dalam mengambil keputusan, pemrosesan informasi Jalur Sentral akan
berfikir rasional dan tidak terpengaruh oleh isyarat Periferal (Devitarani, 2013, p.7)
2.2.1.2 Peripheral Route
Pemrosesan informasi Jalur Periferal (Peripheral Route) dikenal sebagai jalur
proses berpikir yang kurang mendalam. Dalam pemrosesan informasi peripheral
route, konsumen cenderung tidak memperhatikan isi pesan (Devitarani, 2013, p.7) Peripheral route merupakan teknik yang digunakan untuk mempersuasi
sasaran penerima pesan yang tidak memiliki perhatian tinggi terhadap ide atau isu
yang dipersuasikan. Pesan persuasi yang disampaikan tidak langsung fokus pada isi
pesannya, melainkan fokus pada upaya agar sasaran tertarik pada pesan atau ide yang
ditawarkan. Menurut Cialdini dalam Kriyantono (2014, p.28), cara untuk menarik perhatian penerima pesan disebut “peripheral cues”. Peripheral cues bisa berupa menghadirkan sosok public figure dalam iklan atau orang yang memiliki kredibilitas
tinggi, pesan berupa penghargaan seperti hadiah atau bonus, atau pesan persuasi yang
diulang secara terus menerus. Peripheral cues tidak terfokus pada isi materi pesan,
tetapi komponen atau hal lain yang bisa membuat pesan lebih menarik perhatian
khalayak atau penerima pesan. Tipe-tipe peripheral route menurut Cialdini dalam
Daiton & Zelly, (2005, p.128) mengindentifikasi 7 jalur umum sebagai tanda
penggunaan peripheral route, yaitu:
1. Authority: Pemberi pesan menggunakan persepsi kekuasaan untuk meyakinkan khalayak untuk menerima keyakinan atau pesan yang
disampaikan.
2. Commitment: Komitmen digunakan untuk menekankan dedikasi seseorang kepada sebuah produk, kelompok, partai politik dan sebagainya.
3. Contrast: Komunikan dapat menggunakan efek kontras atau makna kebalikan dari pesan. Hal ini membutuhkan hal yang bisa digunakan
sebagai pembanding.
4. Liking: Pesan “kesukaan/ kegemaran” ditekankan pada orang, tempat atau suatau objek.
5. Reciprocation: Pesan yang disampaikan mencoba mempengaruhi khalayak dengan menekankan pada sebuah hubungan take and give atau
simbiosis mutualisme. Resiprokasi biasa digunakan penjual dalam
menarik pembeli.
6. Scarcity: Pesan disampaikan dengan menekankan pada kekhawatiran orang pada suatu kelangkaan atau kekurangan.
7. Sosial Proof: Pesan persuasi jalur ini terjadi pada tekanan rekan-rekan/teman-teman sejawat dilingkungan sekitar.
Ketujuh jalur peripheral ini seringkali terjadi di berbagai tempat dan mudah
untuk diidentifikasi. Pesan peripheral ini menekankan pada respon yang emosional
dan kebanyakan tidak menciptakan perubahan jangka panjang/ sementara saja.
Namun, seringkali pesan peripheral efektif untuk menyampaikan pesan dalam
komunikasi interpersonal yang bertujuan mengajak pihak lain untuk melakukan
2.2.2 Komunikasi Persuasi
Istilah persuasif bersumber pada perkataan latin persuasio yang berarti
membujuk, mengajak, atau merayu. Sementara itu, menurut Richard (2010, p.12)
definisi persuasif adalah sebuah proses simbolis di mana seorang komunikator
mencoba untuk meyakinkan orang lain untuk mengubah sikap atau perilaku mereka
mengenai masalah melalui transmisi pesan dalam suasana pilihan bebas. Dengan
demikian dapat disimpulkan dari definsi diatas bahwa komunikasi persuasif dapat
mempengaruhi perubahan pemikiran, pendapat, persepsi dan sikap orang yang
menerima pesan tersebut. Agar komunikasi persuasif itu mencapai tujuan dan
sasarannya, maka perlu dilakukan perencanaan yang matang (Effendy, 2004,
p.21-22). Komunikasi persuasif yang baik haruslah memberikan hal yang positif bagi
pihak yang dikomunikasikan agar pesan dari komunikasi persuasif tersebut dapat
tersampaikan dengan baik, dan audience dapat menerima dan menanggapi pesan
tersebut.
Menurut Cangara (2005, p.121-125), model penyusunan pesan yang bersifat
persuasif harus memiliki tujuan untuk mengubah persepsi, sikap dan pendapat
khalayak. Tujuan disini ialah sebuah perubahan yang dikehendaki penyampai pesan
terhadap penerima pesan. Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan dalam
penyusunan pesan yang menggunakan teknik persuasi, antara lain;
a. Fear appeal: Metode penyusunan atau penyampaian pesan dengan tujuan menimbulkan rasa ketakutan kepada khalayak.
b. Emotional appeal: Metode penyusunan pesan dengan tujuan untuk menggugah emosional khalayak. Salah satu contoh bentuk dari emotion
appeal adalah propaganda.
c. Reward appeal: Metode penyusunan atau penyampaian pesan dengan tujuan untuk menawarkan janji-janji mengenai sesuatu yang penerima
pesan inginkan
d. Motivational appeal: Metode penyusunan pesan yang disusun untuk menumbuhkan atau mengubah internal psikologis penerima pesan
sehingga mereka dapat dan ingin untuk mengikuti pesan tersebut.
e. Humorius appeal: Metode penyusunan pesan yang disertai dengan humor, sehingga dalam penerimaan pesan khalayak tidak merasa jauh.
Dalam penyusunan pesan atau komunikasi persuasif yang dilakukan oleh
distributor MLM akan menggunakan teknik persuasif yang berhubungan dengan
reward appeal dan motivational appeal. Untuk menunjang keberhasilan komunikasi
persuasif yang dilakukan distributor MLM tersebut harus memiliki perencanaan
pesan-pesan komunikasi persuasif yang baik.
2.2.3 Komunikasi Interpersonal
Komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kerja sama dari para perilaku
yang terlibat kegiatan komunikasi. Menurut Deddy Mulyana (2005, p. 81),
komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap-muka,
baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi interpersonal merupakan salah
satu bentuk komunikasi dua arah di mana komunikator dan komunikan bertemu
secara langsung dan melakukan komunikasi. Proses perubahan tingkah laku individu
yang terjadi merupakan adanya hubungan antara satu dengan lainnya.
Dalam komunikasi interpersonal, terdapat aspek-aspek kompetensi
berkomunikasi. Menurut DeVito (2013, p.280) mengungkapkan bahwa kompetensi
komunikasi berarti melakukan komunikasi secara efektif. Kompetensi komunikasi
yang baik akan menyebabkan individu lebih banyak melakukan interkasi sehingga
kemungkinan besar terciptanya hubungan interpersonal yang efektif. Hubungan
interpersonal yang efektif ditentukan oleh kemampuan untuk mengomunikasikan
dengan jelas apa yang ingin disampaikan, sehingga dapat menciptakan kesan yang
diinginkan dan mempengaruhi seseorang sesuai dengan yang dikehendaki. Efektivitas
komunikasi interpersonal sendiri dapat diukur melalui indikator-indikator sebagai
berikut (Devito, 2013, p. 278):
1. Keterbukaan (openness) adalah pengungkapan reaksi atau tanggapan terhadap situasi yang sedang dihadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu
yang relevan untuk memberikan tanggapan di masa sekarang.
2. Empati (empathy) adalah turut merasakan perasaan orang lain.
3. Sikap mendukung (supportiveness) adalah sikap memberi dukungan dari pihak komunikator agar komunikan mau berpartisipasi dalam kegiatan
4. Sikap positif (positiveness) adalah rasa positif kecenderungan seseorang untuk bertindak berdasarkan penilaian yang baik.
5. Kesetaraan (equality) adalah pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak menghargai dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.
Sikap keterbukaan (openness) berpengaruh besar dalam membuat sebuah
komunikasi interpersonal menjadi efektif. Seorang distributor baru harus
menampilkan dirinya sebagai pribadi yang terbuka untuk bisa meyakinkan calon
distributor baru untuk bergabung kedalam bisnis MLM. Sikap keterbukaan berarti
adalah proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain ataupun
sebaliknya. Terdapat 3 aspek keterbukaan utama menurut Devito (2013, p. 260), yaitu
sang komunikator harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi,
komunikator harus beraksi jujur terhadap stimulus ataupun umpan balik yang timbul dari komunikasi, dan aspek yang ketiga menyangkut “kepemilikan” atas perasaan dan pikiran yang ditimbulkan dari komunikasi interpersonal.
Empati (empathy) perlu untuk mendukung komunikasi interpersonal yang
terjadi antara kedua belah pihak. Empati yang baik memungkinkan distributor untuk
dapat memberikan perhatian lebih kepada masalah yang mungkin sedang dihadapi
oleh calon anggota baru dan dapat memberikan solusi yang tepat untuk dirinya dalam
bentuk produk ataupun tawaran bisnis. Terdapat 3 langkah untuk mencapai empati
dalam komunikasi interpersonal menurut Devito (2013, p. 261), dimana langkah
pertama dalam mencapai empati adalah menahan godaan untuk mengevaluasi,
seseorang, misalnya adalah keinginan, pengalamannya, kemampuannya. Langkah
ketiga adalah merasakan sesuatu dari sudut pandang lawan bicara dalam sebuah
komunikasi.
Sikap mendukung (supportiveness) berguna untuk mengurangi sifat defensive
jika individu yang menjadi lawan bicara tidak terbuka ataupun berempati terhadap
topik dibicarakan. Terdapat 3 tindakan yang mempermudah untuk menyampaikan
sikap mendukung dalam komunikasi interpersonal menurut Devito (2013, p. 262),
yaitu tindakan bertujuan deskriptif, bukannya evaluatif atas sebuah masalah, dapat
menurunkan sikap defensif lawan bicara. Tindakan spontan, dimana seseorang
cenderung akan mengutarakan perasaan yang sikap positif tersebut terhadap lawan
bicara mereka. Menurut Devito (2013, p. 262), sikap positif dapat dijelaskan lebih
jauh dengan istilah strokong (dorongan). Dorongan adalah istilah yang berasal dari
kosakata umum, dimana dorongan positif dapat berbentuk pujian atau penghargaan
atas pencapaian ataupun karakteristik pribadi sang lawan bicara. Komunikasi dengan
sikap positif akan sangat berguna untuk mempersuasi seseorang untuk melakukan
sesuatu, misalnya untuk bergabung menjadi anggota baru bisnis MLM.
Kesetaraan adalah sebuah keinginan yang secara eksplisit diungkapkan untuk
bekerja sama dalam memecahkan masalah tertentu. Komunikasi interpersonal akan
jauh lebih efektif jika kedua belah pihak merasa bahwa keduanya setara dan
mempunyai sesuatu yang dapat disumbangkan dalam pembicaraan. Kesetaraan ebrarti
menerima pihak lain, dan meminta komunikator untuk memberikan penghargaan
2.2.4 Personal Selling
Penelitian ini difokuskan untuk mencari pengaruh komunikasi interpersonal
distributor MLM terhadap perekrutan distributor MLM yang baru. Oleh karena itu,
penerapan personal selling menjadi penting bagi distributor MLM untuk bisa
meyakinkan calon anggota barunya tersebut. Dengan memahami konsep personal
selling yang baik, akan positif berpengaruh terhadap keputusan pembelian. Pengertian personal selling menurut Kotler (2006, p.172) adalah penyajian lisan dalam suatu
pembicaraan dengan satu atau beberapa pembeli potensial dengan tujuan untuk
melakukan penjualan. Tujuan personal selling menurut Kotler (2006, p. 305) sebagai
berikut:
1. Mencari Calon Pembeli.
2. Menetapkan Sasaran. Hal ini berarti memutuskan bagaimana mengalokasikan waktu di antara calon pembeli dan pelanggan.
3. Berkomunikasi. Dalam hal ini, berkomunikasi berarti mengomunikasikan informasi tentang produk dan jasa perusahaan.
4. Menjual, mendekati, melakukan presentasi, menanggapi komplain.
5. Melayani. Yakni menyediakan berbagai layanan kepada pelanggan, memberikan konsultasi tentang masalah, memberikan bantuan teknis.
6. Mengumpulkan Informasi. Melakukan riset pasar dan melaksanakan tugas intelejen.
7. Mengalokasikan. Memutuskan pelanggan mana yang akan memperoleh produk tidak mencukupi selama masa-masa kekurangan produk.
Personal selling sendiri memiliki lima aspek penting, yaitu:
1. Profesionalisme (Professionalism): Profesionalisme seorang sales sangat diperlukan. Seorang sales yang baik tidak hanya menerima pesan secara pasif,
tetapi juga harus menjadi penyalur pesan yang aktif.
2. Negosiasi (Negotiation): Negosiasi merupakan aspek penting dalam personal
selling karena dalam proses negosiasi, pihak penjual dan pembeli akan
membuat kesepakatan mengenai harga, kuantitas, dan syarat-syarat lainnya.
Oleh karena itu, seorang sales sangat diperlukan untuk memiliki keahlian
dalam bernegosiasi.
3. Hubungan Pemasaran (Relationship Marketing): Seorang sales tidak hanya dituntut untuk dapat melakukan penjualan secara efektif dan melakukan
negosiasi yang menguntungkan. Seorang sales harus dapat membangun
hubungan jangka panjang yang menguntungkan dengan konsumen.
4. Peran Penjual Pribadi (Selling Person Role): Sales person harus memiliki fleksibilitas dalam mengerjakan peran yang akan dikerjakan dalam bauran
5. Managerial: Seorang sales memiliki kemampuan, motivasi, dan kinerja yang berbeda. Maka dari itu, para sales harus dikelola secara baik. Mereka harus
dikontrol oleh satu divisi agar tujuan kerja dapat ditentukan, diawasi, dan
dievaluasi hasilnya
2.2.5 Direct Selling
Menurut Kotler (2006, p.172), direct selling adalah metode penjualan barang
atau jasa tertentu kepada konsumen dengan cara tatap muka di luar lokasi fisik
penjualan/toko oleh sebuah jaringan pemasaran dan dikembangkan dengan sistem
kemitraan serta bekerja berdasarkan komisi penjualan, bonus penjualan atau iuran
keanggotaan yang wajar. Terdapat 2 jenis direct selling menurut Levy dan Weitz
(2009, p.57) yaitu :
a. Single Level Marketing (Pemasaran Satu Tingkat): Metode pemasaran barang atau jasa dari sistem direct selling yang dilakukan melalui program
pemasaran berbentuk satu tingkat, dimana mitra usaha/distributor
mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan
barang atau jasa yang dilakukannya sendiri.
b. Multi Level Marketing (Pemasaran Multi Tingkat): Metode pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem direct selling yang dilakukan melalui
program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra
hasil penjualan barang atau jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota
jaringan di dalam kelompoknya.
2.2.6 Pengertian MLM
Secara Etimologi Multi Level Marketing (MLM) berasal dari bahasa Inggris
Multi berarti banyak sedangkan level berarti jenjang atau tingkat. Adapun marketing
berarti pemasaran. Jadi dari kata tersebut dapat dipahami bahwa MLM adalah pemasaran yang berjenjang banyak. Disebut sebagai “Multi Level” karena merupakan suatu organisasi distributor yang melaksanakan penjualan yang berjenjang banyak
atau bertingkat-tingkat (Andreas, 1999). Dalam pengertian “Marketing” sebenarnya
tercakup arti menjual dan selain arti menjual, dalam marketing banyak aspek yang
berkaitan dengannya antara lain ialah produk, harga, promosi, distribusi dan sebagainya. Jadi “Marketing” lebih luas maknanya dari menjual. Menjual merupakan bagian dari “Marketing” karena menjual hanyalah kegiatan transaksi penukaran barang dengan uang (Yusuf, 2002).
Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran Multi level Marketing,
biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) terlebih dahulu, ada
juga yang diistilahkan dengan sebutan distributor, kadangkala membership tersebut
dilakukan dengan mengisi formulir pendaftaran keanggotaan dengan membayar
sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar anggota
tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini,
point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diberikan. Point tersebut bisa
dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak langsung. Kegiatan pembelian
langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing anggota, sedangkan pembelian
tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan keanggotaannya. Dari sinilah,
nantinya muncul istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan tersebut, bisnis MLM
diminati banyak kalangan.
Bisnis MLM atau juga dikenal dengan sebutan Network Marketing adalah
suatu bentuk pendistribusian produk, baik berupa barang atau jasa (Yusuf, 2002).
Dalam Multi Level Marketing sendiri mempunyai banyak tingkatan, dan terdapat
istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line
merupakan suatu hubungan pada dua level yang berbeda, yakni ke atas dan ke bawah,
dan jika seseorang disebut up line, maka ia mempunyai down line, baik satu maupun
lebih. Orang kedua yang disebut dengan down line ini juga kemudian dapat menjadi
up line ketika dia behasil merekrut orang lain menjadi down line-nya, begitu
seterusnya. Secara umum, dalam industri MLM ini seorang up line akan
mendapatkan manfaat berupa bonus/komisi dari perusahaan apabila down line-nya
berhasil melakukan penjualan produk yang dijual oleh perusahaan.
Sistem pemasaran Multi Level Marketing ditemukan oleh dua orang profesor
pemasaran dari Universitas Chicago pada tahun 1940-an. Produk pertama yang
dipasarkan adalah vitamin dan makanan tambahan Nutrilite. Dan pada saat itu,
perusahan Nutrilite Products Inc. merupakan salah satu perusahaan di Amerika yang
yang tidak begitu besar, seseorang dapat menjual dan bisa mendapatkan penghasilan
melalui dua cara. Pertama, Keuntungan diperoleh dari setiap program makanan
tambahan yang berhasil dijual ke konsumen. Kedua, dalam bentuk potongan harga
dari jumlah produk yang berhasil dijual oleh distributor yang direkrut dan dilatih oleh
seorang tenaga penjual dari perusahaan.
Di Indonesia, terdapat lebih dari 600 perusahaan yang mengatas namakan
dirinya menggunakan MLM, antara lain: Ahadnet, K-Link, CNI Herbalife, HPA,
Tupperware, dan lain-lain. Dan untuk mengetahui atau mengenal satu persatu
perusahaan yang menggunakan sistem ini, tentulah membutuhkan waktu yang
panjang namun suatu perusahaan dapat memberikan penjelasan secara utuh tentang
program-program perusahaan tersebut melalui buku atau presentasi.
2.2.7 Keputusan Pembelian
Dalam komunikasi, pesan persuasi yang disampaikan dapat mempengaruhi
keputusan seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pelanggan dalam
melakukan pembelian (Kotler, 2012, p. 202) adalah:
1. Faktor Budaya. Budaya menjadi penentu keinginan dan perilaku yang paling dasar. Budaya, sub budaya, dan kelas sosial sangat penting bagi perilaku
pembelian.
2. Faktor Sosial. Keputusan pelanggan dalam melakukan pembelian juga dipengaruhi oleh faktor sosial, diantaranya adalah:
a. Kelompok acuan. Kelompok acuan dapat diartikan sebagai kelompok yang
dapat memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap
sikap dan perilaku seseorang.
b. Keluarga. Keluarga memiliki pengaruh dalam proses pengambilan
keputusan pembelian. Dalam hal ini, keluarga dibedakan menjadi dua bagian.
Pertama, keluarga dikenal dengan istilah keluarga orientas yang terdiri dari
orang tua dan saudara kandung. Kedua, keluarga yang dikenal dengan istilah
keluarga prokreasi yang terdiri dari pasangan dan jumlah anak.
c. Peran dan Status. Peran dan status di dalam masyarakat menjadi faktor yang
mempengaruhi perilaku pembelian. Semakin tinggi peran seseorang maka
semakin tinggi status mereka dalam organisasi dan secara langsung
berdampak pada perilaku pembeliannya.
3. Faktor Pibadi. Keputusan pembelian dapat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi yakni mencakup usia dan siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi,
gaya hidup, serta kepribadian.
4. Faktor Psikologis. Faktor ini dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu motivasi, persepsi, pembelajaran, keyakinan dan sikap.
Lebih lanjut Kotler (2012) menyatakan bahwa proses pembelian umum terdiri
dari urutan kejadian berikut: pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi
alternatif, keputusan pembelian dan perilaku pasca pembelian. Tugas pemasar adalah
memahami perilaku pada setiap tahap, sikap orang lain, faktor situasional yang tidak
membeli, dan juga tingkat kepuasan produk pasca pembelian konsumen, pemakaian
dan penyingkiran, dan tindakan dari pihak perusahaan.
Gambar 2.1
Proses Pengambilan Keputusan Pembelian
Sumber: Kotler, 2012
Gambar 2.1 menjelaskan proses keputusan pembelian adalah sebagai berikut:
1. Pengenalan masalah, dalam tahap ini pembeli atau konsumen menyadari suatu masalah atau kebutuhan yang dipicu oleh rangsangan internal
2. Pencarian informasi, konsumen sering mencari jumlah informasi yang terbatas. Sumber informasi konsumen terdiri dari pribadi, komersial,
public, dan eksperimental.
3. Evaluasi alternatif, konsumen berusaha memuaskan sebuah kebutuhan, konsumen mencari manfaat tertentu dari solusi produk dan konsumen
melihat masing-masing produk sebagai kelompok atribut dengan berbagai
kemampuan untuk menghantarkan manfaat yang diperlukan untuk
memuaskan kebutuhan yang konsumen butuhkan.
4. Keputusan pembelian, konsumen dalam memutuskan sesuatu setelah melihat evaluasi alternatif yang ada maka selanjutnya konsumen dapat
membuat lima sub keputusan yaitu: merk, penyalur, kuantitas, waktu, dan
metode pembayaran.
5. Perilaku pasca pembelian, setelah pembelian, konsumen mungkin memiliki konflik dikarenakan melihat hal-hal yang menghawatirkan atau
mendengar hal-hal yang menyenangkan tentang merk lain dan waspada
terhadap informasi yang mendukung keputusannya. (Kotler, 2012)