• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bidang kajian linguistik yang berhubungan dengan masalah genealogi bahasa adalah linguistik komparatif. Berikut ini merupakan beberapa teori yang berkaitan dengan linguistik komparatif yang menjadi dasar pijakan dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

a. Penelitian Linguistik Komparatif

Penelitian komparatif dua buah bahasa/isolek atau lebih yang bertujuan untuk melihat relasi di antara bahasa-bahasa/isolek-isolek tersebut dengan cara membandingkannya dapat dilakukan dengan kajian linguistik historis komparatif dan kajian dialektologi. Penelitian ini memadukan dua kajian tersebut, baik secara deskriptif (sinkronis) maupun historis (diakronis). Kajian sinkronis bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi dalam suatu masa yang terbatas dan tidak melibatkan perkembangan historis. Istilah ini bersinonim dengan deskriptif (Kridalaksana, 2001:198). Adapun kajian diakronis merupakan kajian yang bersifat historis, yakni berkenaan dengan pendekatan terhadap bahasa dengan melihat perkembangannya sepanjang waktu (Kridalaksana, 2001:42).

Kajian linguistik historis komparatif berpijak pada upaya mencari “kesamaan" dari unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di antara bahasa-bahasa/isolek-isolek yang diperbandingkan. Sementara itu, kajian dialektologi dilakukan dengan berpijak pada upaya mencari perbedaan (Mahsun, 1995:17)

b. Linguistik Historis Komparatif

Kajian Linguistik Historis Komparatif (LHK) dilandasi oleh dua asumsi yang mendasar, yaitu (1) hipotesis keterhubungan (related hypothesis) dan (2) hipotesis keteraturan (regularity hypothesis) (Jeffer dan Lehise, 1979:17). Hipotesis keterhubungan berusaha menjelaskan adanya persamaan yang jelas antara kata-kata dari berbagai bahasa/dialek yang berbeda karena pada hakikatnya bahasa-bahasa itu berhubungan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, dapat diasumsikan bahwa bahasa-bahasa atau dialek-dialek itu berasal dari satu bahasa induk (proto bahasa). Hipotesis keteraturan memudahkan pengkaji untuk membuat rekonstruksi bahasa induk tersebut karena diasumsikan bahasa-bahasa atau dialek-dialek itu mengalami perubahan secara teratur (Bynon, 1978:45-46; Lehmann, 1973:92).

Linguistik Historis Komparatif mengkaji bahasa-bahasa/dialek-dialek dengan teknik kajian tertentu. Teknik kajian itu meliputi: rekonstruksi internal, rekonstruksi eksternal, geografi dialek, dan leksikostatistik (Lehmann, 1973:75-109; Bynon, 1977:262-272).

Analisis kuantitatif dengan metode leksikostatistik digunakan untuk membedakan tingkat kekerabatan antarbahasa atau antardialek dengan cara membandingkan kosakatanya serta membedakan tingkat kemiripannya (Crowley, 1987:190). Metode leksikostatistik dikembangkan oleh Morris Swadesh pada tahun 1951 dilanjutkan tokoh lainnya seperti Sarah Gudschinsky, Joseph Greenberg, dan Isodore Dyen. Leksikostatistik sampai saat ini dipergunakan untuk tiga tujuan (Dyen, 1975:75), yakni a) sebagai daftar kosakata dasar yang cepat dapat menentukan hubungan kekerabatan bahasa atau dialek, b) sebagai alat pengelompokan bahasa/dialek yang protobahasa atau prabahasanya belum begitu tua/kuno, c) sebagai

alat atau metode yang dapat dipakai pada tahap awal untuk menetapkan waktu perpisahan antara bahasa-bahasa yang berkerabat. Hasil persentase yang dicapai berdasarkan kalkulasi leksikostatistik dapat digunakan untuk mengamati hubungan antarbahasa yang disajikan dengan dasar tingkat persentase. Berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan dapat dijelaskan peringkat hubungan antarbahasa.

Oleh karena leksikostatistik mendasarkan kajiannya terhadap kosakata dasar, maka leksikostatistik berangkat dari beberapa asumsi, seperti yang dikemukakan oleh Dyen (1975); Lehmann (1973); Bynon (1979) dan Keraf (1991) , sebagai berikut.

a. Sebagian kosakata suatu bahasa sukar sekali berubah bila dibandingkan dengan bagian yang lain.

Kata-kata yang sukar sekali berubah ini disebut kosakata dasar. Kosakata dasar itu merupakan kata-kata yang sangat inti, dan sekaligus merupakan unsur mati hidupnya suatu bahasa. Oleh karena itu, kata-kata untuk hal-hal dalam kehidupan bahasa, khususnya dalam bidang kebudayaan, merupakan unsur yang baru dipinjam akan segera mengalami kelenyapan bersama lenyapnya unsur kebudayaan itu. Kosakata dasar bersifat universal.

b. Retensi kosakata dasar adalah tetap sepanjang masa.

Pendirian pangkal ini berarti bahwa sejumlah kosakata dasar dari sebuah bahasa sesudah 1000 tahun akan tetap bertahan dengan persentase tertentu. Sesudah 1000 tahun berikutnya kata-kata itu tadi akan bertahan lagi dalam persentase yang sama pula.

c. Perubahan kosakata dasar pada semua bahasa adalah sama.

Pengujian terhadap pendirian pangkal ini telah dilakukan terhadap tiga belas bahasa yang di antaranya memiliki naskah lama tertulis dengan hasil kosakata

dasar bertahan sekitar 86,4 % sampai 74,4 % dalam tiap 1000 tahun, atau dengan angka rata-rata 80,5 %

d. Jika persentase kosakata sekerabat (seasal) dua bahasa diketahui, dapat dihitung pula waktu mulai berpisahnya kedua bahasa itu dari bahasa purbanya.

c. Dialektologi

Istilah dialektologi berasal dari kata dialect dan kata logi. Kata dialect berasal dari bahasa Yunani dialektos. Kata dialektos digunakan untuk menunjuk pada keadaan bahasa di Yunani yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang mereka gunakan. Akan tetapi, perbedaanitu tidak menyebabkan para penutur tersebut merasa memiliki bahasa yang berbeda (Meillet, dalam Nadra : 2009)

Dialektologi merupakan salah satu cabang Linguistik Historis Komparatif. Keduanya menelaah masalah kesejarahan ragam-ragam bahasa (Lauder, 1993; Poedjosoedarmo, tanpa tahun). Secara umum, dialektologi dapat disebut sebagai studi tentang dialek tertentu atau dialek-dialek suatu bahasa. Selain itu, dalam arti luas penelitian dialektologi berupaya memerikan perbedaan pola linguistik, baik secara horisontal (diatopis) yang mencakup variasi geografis, maupun yang vertikal (sintopis) yang mencakup variasi di suatu tempat. Variasi di suatu tempat yang bersifat sintopis ini dapat merambah pada kajian dialek sosial yang melibatkan faktor-faktor sosial (Chambers dan Trudgill, 1980 ; Mahsun, 1995 ; Poedjosoedarmo, tanpa tahun).

Pada mulanya, pengertian dialek merujuk kepada perbedaan regional yang ada di antara daerah pengamatan yang menghasilkan pemetaan bahasa/dialek/subdialek.

Pengertian ini lama kelamaan juga mencakup dimensi sosial. Dalam dialektologi penelitian yang mengupas perbedaan-perbedaan yang ada pada beberapa DP disebut dialek geografis, sedangkan yang terjadi sebagai akibat perbedaan dimensi sosial disebut dialek sosial (Ayatrohaedi, 1983:14). Dalam dialek geografis, selain kajian deskriptif sinkronis, perlu juga dicermati dan dijelaskan mengapa terjadi perbedaan-perbedaan itu atau bagaimana sejarah terjadinya perbedaan-perbedaan-perbedaan-perbedaan itu (kajian diakronis).

Meilet (1970) mengemukakan bahwa ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Selain itu, ia juga mengemukakan dua ciri lain dari dialek, yaitu seperangkat bentuk ujaran setempat yasng berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya jika dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama.

Kajian dialektologi tidak hanya terbatas pada kajian sinkronis, yaitu menjelaskan variasi-variasi dalam suatu bahasa. Kajian dialektologi juga dapat menjangkau kajian diakronis, seperti yang dipaparkan oleh Mahsun (1995). Mahsun (1995 : 11 – 16) memaparkan kajian diakronis dalam bidang dialektologi sebagai berikut. Secara diakronis, pembicaraan tentang dialek adalah pembicaraan tentang “bagaimana” eksistensi dialek/subdialek itu, yang mencakup:

a. hubungan dialek-dialek/subdialek-subdialek dengan bahasa induk yang menunrunkannya;

b. hubungan antardialek itu satu sama lain; dan

c. hubungan antardialek/subdialek itu dengan dialek-dialek/subdialek-subdialek dari bahasa lain yang diteliti.

Mahsun (1995) menjelaskan bidang garapan dialektologi diakronis mencakup dua aspek, yaitu aspek sinkronis (deskriptif) dan aspek diakronis (historis). Dari aspek sinkronis pengkajiannya didasarkan pada hal-hal berikut ini.

a. Pendeskripsian perbedaan unusr-unsur kebahasaan yang terdapat dalam bahasa yang diteliti, meliputi perbedaan fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik.

b. Pemetaan unsur-unsur kebahasaan yang berbeda itu.

c. Penentuan isolek sebagai dialek atau subdialek dengan berpijak pada unsur-unsur kebahasaan yang berbeda.

d. Membuat deskripsi yang berkaitan dengan pengenalan dialek atau subdialek melalui pendeskripsian ciri-ciri fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikal yang menandai atau membedakan antara dialek atau subdialek yang satu dengan lainnya dalam bahasa yang diteliti.

Sementara itu, dari aspek diakronis (historis) pengakjian didasarkan pada hal-hal sebagai berikut.

a. Membuat rekonstruksi prabahasa bahasa yang diteliti dengan memanfaatkan evidensi yang terdapat dalam dialek/subdialek yang mendukungnya.

b. Penelusuran pengaruh antardialek/subdialek bahasa yang diteliti serta situasi persebaran geografisnya.

c. Penelusuran unsur kebahasaan yang merupakan inovasi internal ataupun eksternal dalam dialek-dialek atau subdialek-subdialek yang diteliti.

d. Penelusuran unsur kebahasaan yang berupa bentuk relik pada dialek atau subdialek yang diteliti dengan situasi pesebaran geografisnya.

e. Penelusuran saling berhubungan antara unsur-unsur kebahasaan yang berbeda di antara dialek atau subdialek bahasa yang diteliti.

f. Membuat analisis dialek/subdialek ke dalam dialek/subdialek relik (dailek yang lebih banyak mempertahankan atau memlihara bentuk kuno) dan dialek/subdialek pembaharu. Dengan kata lain membuat analisis dialek/subdialek yang konservatif dan inovatis.

d. Perbedaan Unsur-Unsur Kebahasaan

Deskripsi perbedaan unsur-unsur kebahasaan mencakup semua bidang yang termasuk dalam kajian linguistik, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik (Mahsun, 1995:23). Dalam penelitian ini deskripsi perbedaan unsur-unsur kebahasaan lebih difokuskan pada perbedaan fonologi dan leksikon mengingat dua bentuk perbedaan ini yang paling penting dibahas dalam melihat hubungan kekerabatan di antara bahasa-bahasa/isolek-isolek yang dibandingkan.

Perbedaan fonologi menyangkut perbedaan fonetik (bunyi-bunyi). Perbedaan fonologi ini dapat muncul secara teratur, yang disebut korespondensi dan dapat pula muncul secara sporadis, yang disebut variasi.

Korespondensi bunyi diuraikan Mahsun dalam buku Dialektologi Diakronis (1995 : 29 – 31) yang intinya adalah sebagai berikut. Korespondensi bunyi merupakan perubahan bunyi yang muncul secara teratur. Korespondensi bunyi, dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu:

a) korespondesi sangat sempurna, jika perubahan bunyi itu berlaku disemua data yang disyarati secara linguistik dan daerah sebaran secara geografisnya sama;

b) korespondensi sempurna, jika perubahan itu berlaku pada semua contoh yang disyarati secara linguistik, tetapi beberapa data memperlihatkan daerah sebaran geografisnya tidak sama;

c) korespondensi kurang sempurna, jika perubahan itu tidak terjadi pada semua bentuk yang disyarati secara linguistik, tetapi sekurang-kurangnya terdapat pada dua data yang memiliki sebaran geografis yang sama.

Berdasarkan uraian di atas ada dua hal yang patut diperhatikan dalam penentuan status kekorespondensian suatu kaidah, yaitu:

a) mengetahui kaidah-kaidah perubahan bunyi yang terjadi di antara daerah-daerah pengamatan; dan

b) mengetahui sebaran geografis kaidah-kaidah perubahan bunyi tersebut.

Variasi bunyi dapat berupa bermacam-macam perbedaan bunyi yang muncul hanya pada satu atau dua kosakata saja. Perbedaan yang berupa variasi dapat terealisasi dalam wujud metatesis, asimilasi, disimilasi, apokope, sinkope, paragoge, aferesis, epentensi, dll. (Mahsun, 2006:10; lihat juga Crowley, 1987:25-49 dan Lehman, 1973:158-182).

Sementara itu, suatu perbedaan disebut sebagai perbedaan dalam bidang leksikon jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari satu makna yang sama. Semua perbedaan leksikon selalu berupa variasi (Mahsun, 1995:54). Sebagai contoh dalam penelitian ini ditemukan bentuk yang berbeda dalam merealisaikan kata “ikan”, penutur Ciacia Kanciina,

Lapandewa, menyebutnya dengan

isa

, sedang penutur Ciacia Masiri menyebutnya dengan

kenta

.

Perbedaan-perbedaan linguistik tersebut dapat terjadi pada bahasa mana pun sebab sifat kedinamisan yang dimiliki oleh semua bahasa. Poedjosoedarmo (2008: 1-2) mengungkapkan bahwa bahasa berubah antara lain karena ada kontak dengan bahasa lain. Perilaku sosiolinguistik para penutur dalam sebuah masyarakat dapat menjadi salah satu pemicu berubahnya sebuah bahasa. Masing-masing penutur ingin menyesuaikan idioleknya dengan idiolek lawan bicaranya untuk kelancaran komunikasi.

Pemicu lain berubahnya suatu bahasa adalah faktor migrasi. Perpisahan penutur suatu bahasa dengan jarak yang cukup jauh mengakibatkan semakin besarnya perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kelompok penutur bahasa tersebut dan memberikan peluang munculnya bahasa/dialek baru. Walaupun demikian, unsur-unsur asli bahasa asalnya masih dapat ditelusuri melalui penelusuran hubungan kekerabatan dan kesejarahan bahasa-bahasa tersebut.

e. Protobahasa atau Bahasa Purba atau Prabahasa

Hubungan antarbahasa sekerabat dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau protobahasa sebagaimana diungkapkan Fernandez (1996:21). Secara teoretis, protobahasa adalah rakitan teoretis yang dirancang bangun kembali dengan cara merangkaikan sistem bahasa-bahasa yang memiliki hubungan kesejarahan, melalui kaidah-kaidah yang sederhana secara ekonomis (Bynon, 1979: 71). Protobahasa merupakan rakitan yang teoretis-hipotesis dan merupakan suatu ‘bangunan bahasa’ yang diasumsikan pernah hadir. Rakitan tersebut diterima sebagai

prototipe bahasa seasal (Haas, dalam Mbete, 2002:14). Kendati pun hanya diterima sebagai rakitan, protobahasa merupakan fakta hubungan keseasalan. Melalui protobahasa pula, perubahan dan penelusuran unsur-unsur dan sistem bahasa yang hidup pada masa kini dapat ditelusuri dan dijelaskan secara sistematis (Mbete, 2002:14).

Istilah prabahasa (prelanguage) adalah istilah yang terbentuk dari gabungan dua morfem, yaitu morfem yang berupa afiks {pra-} dan morfem dasar ’bahasa’. Oleh karena itu, prabahasa merupakan ’bahasa pendahuluan’ dalam artian sebuah bahasa yang dihipotesiskan digunakan sebagai sarana cikalbakal dari bahasa modern yang ada sekarang ini dan direkonstruksi berdasarkan evidensi dialektal atau subdialektal (dalam Mahsun, 1995).

Untuk lebih jelasnya pembedaan terhadap dua istilah prabahasa dan protobahasa diuraikan oleh Mahsun (1995 : 82) sebagai berikut.

Prabahasa Protobahasa

- rekonstruksi bahasa purba - rekonstruksi bahasa purba

- rekonstruksi internal - rekonstruksi eksternal

- rekonstruksi didasarkan pada evidensi - rekonstruksi didasarkan pada

dialektal atau subdialektal evidensi bahasa

- digunakan dalam disiplin ilmu dialektologi - digunakan dalam disiplin ilmu

f. Rekonstruksi Bahasa

Rekonstruksi bahasa dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Rekonstruksi dari atas ke bawah adalah rekonstruksi dengan melihat refleks protobahasa ke bahasa-bahasa modern. Teknik ini diterapkan oleh Dempwolff (1938) dalam karangannya Austronesisches Worterverzeichmis (dalam Fernandez, 1994 : 29).

Rekonstruksi dari bawah ke atas pun pertama kali dikembangkan oleh Dempwolff (dalam Mahsun 1994) untuk menemukan kekerabatan dan merumuskan protobahasa Austronesia. Dalam Mahsun (1994) diuraikan bahwa rekonstruksi dari bawah ke atas ini ditempuh melalui prosedur berikut ini.

a. Penentuan prafonem secara serentak.

Berdasarkan perangkat kata yang berkognat yang ditemukan secara langsung ditentukan prakata. Melalui etimon prabahasa itulah, selanjutnya didaftarkan prafonem serta perumusan kaidah-kaidah perubahan fonem pada dialek-dialek/subdialek-subdialek turunan.

b. Penentuan prafonem demi prafonem.

Berdasarkan perangkat kata yang berkognat yang ditemukan, dirumuskan dan ditentukan kaidah-kaidah perubahan fonem sebelum rekonstruksi etimon prabahasa dilakukan. Melalui cara ini dimungkinkan untuk diperoleh prafonem demi prafonem, dan selanjutnya dilakukan rekonstruksi etimon prabahasa berdasarkan kaidah-kaidah perubahan fonem yang ditemukan.

g. Inovasi, Retensi, dan Relik

Hubungan bahasa-bahasa sekerabat harus didukung oleh bukti kualitatif berupa inovasi bersama secara ekslusif (exclusively shared inovations) yang dimiliki oleh kelompok bahasa tersebut, baik inovasi fonologis maupun leksikon. Inovasi merupakan pembaharuan yang memperlihatkan kaidah yang berlaku . Di bidang fonologi pembaharuan itu bertalian dengan kaidah perubahan yang mendorong pembentukan kosakata baru sebagai penanda pengelompokan bahasa (Fernandez, 1996:22). Inovasi fonologis tampak dalam berbagai wujud perubahan yang menyangkut jumlah dan distribusi fonem yang merupakan dasar berbagai tipe perubahan, seperti complete loss (pelesapan seutuhnya), partial loss (pelesapan sebagian), complete merger (paduan seutuhnya), partial merger (paduan sebagian), split (pembelahan), excrescence (penambahan), dan sebagainya (Anttila, 1989:69-70).

Perbedaan mendasar antara inovasi dalam tinjauan dialektologi dengan tinjauan linguistik historis komparatif terletak dalam tataran isolek itu sendiri (bahasa, dialek, atau subdialek). Inovasi dalam kajian dialektologi mencakup tataran dialek dan subdialek, sedangkan inovasi dalam kajian linguistik historis komparatif hanya mencakup tataran bahasa.

Adapun daerah-daerah yang tidak mengalami inovasi (atau dengan kata lain masih mempertahankan bentuk proto/prabahasanya) dalam linguistik historis komparatif dinamakan daerah retensi, sedangkan dalam dialektologi dinamakan dengan daerah relik. Namun, perbedaan ini hanyalah sekedar perbedaan istilah saja. Pada prinsipnya peristilahan retensi bila mengacu kepada bentuk protobahasa dan peristilahan relik bila mengacu kepada bentuk prabahasa.

Jika pembaharuan/perubahan yang terdapat dalam suatu bahasa disebut inovasi, maka unsur-unsur yang tidak mengalami perubahan pada bahasa sekarang disebut retensi. Dalam perkembangan historis bahasa sekerabat unsur retensi bersama dapat terjadi secara mandiri tanpa melalui suatu masa perkembangan yang sama. Akan tetapi inovasi bersama yang dialami bahasa sekerabat secara ekslusif pada umumnya melalui suatu masa perkembangan bersama (Greenberg, dalam Fernandez, 1996:22).

Pembicaraan unsur inovasi dan retensi berkaitan dengan upaya penelusuran evidensi pewarisan fonem protobahasa ke dalam bahasa yang diteliti. Evidensi pewarisan fonem protobahasa ke dalam bahasa yang diteliti merupakan refleks unsur suatu bahasa proto tersebut. Dengan kata lain, refleks adalah cerminan unsur atau bentuk yang lebih tua yang diketahui dari rekontruksi. Unsur atau bentuk turunan itu sedikit banyaknya mengalami perubahan bahasa (Kridalaksana, 2001:186). Sementara itu, rekonstruksi adalah metode untuk memperoleh moyang bersama dari suatu kelompok bahasa yang berkerabat dengan membandingkan ciri-ciri bersama atau dengan menentukan perubahan-perubahan yang dialami suatu bahasa sepanjang sejarahnya (Kridalaksana, 2001:187)

h. Penentuan Hubungan Kekerabatan dalam Linguistik Historis Komparatif Dalam linguistik historis komparatif penentuan hubungan kekerabatan antarbahasa ditinjau dari dua pendekatan, kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif penentuan hubungan kekerabatan dilakukan dengan metode leksikostatistik. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penerapan leksikostatistik adalah sebagai berikut.

1) Mengumpulkan kosakata dasar isolek yang berkerabat, dalam hal ini kedua puluh tiga isolek yang terdapat pada kedua puluh tiga wilayah yang menjadi daerah pengamatan.

2) Menetapkan dan menghitung pasangan-pasangan mana yang merupakan kata kerabat.

3) Menghubungkan hasil penghitungan yang berupa persentase kekerabatan dengan kategori kekerabatan.

Hasil persentase yang dicapai berdasarkan kalkulasi leksikostatistik dapat digunakan untuk mengamati hubungan antarbahasa yang disajikan dengan dasar tingkat persentase. Berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan dapat dijelaskan peringkat hubungan antarbahasa. Kriteria itu dapat menggambarkan relasi antarbahasa yang dibandingkan. Hubungan kekerabatan antarbahasa dapat dihitung dengan rumus:

Jumlah kata yang berkerabat

X 100 % Jumlah glos yang dibandingkan

Hasil perhitungan tersebut kemudian dicocokkan dengan klasifikasi dalam leksikostatistik yang dikemukakan oleh Morris Swadesh (Keraf, 1984: 135), yaitu:

Tabel (4)

Hubungan Persentase Kekerabatan dengan Kategori Kekerabatan

Kategori Persentase kekerabatan (%)

Bahasa (language) Keluarga (family) Rumpun (stock) Mikrofilum Mesofilum Makrofilum 100 – 81 81 – 36 36 – 12 12 – 4 4 – 1 1 – krg dr 1

Penghitungan dilakukan dengan memperhatikan pedoman berikut ini.

1) Mengeluarkan glos yang tidak diperhitungkan dalam penetapan kata yang berkerabat. Glos yang tidak diperhitungkan adalah glos yang tidak memiliki bentuk realisasi (kosong), baik dalam salah satu bahasa maupun dalam semua bahasa yang diperbandingkan. Selain itu, glos yang realisasinya merupakan bentuk-bentuk serapan dari bahasa lain juga termasuk dalam glos yang tidak diperhitungkan.

2) Menetapkan kata kerabat baik yang terealisasi dalam bentuk yang identik (wujud sama), bentuk yang mirip (berkorespondensi dan bervariasi), dan bentuk yang berbeda tetapi masih dapat dirunut kekerabatannya.

3) Membuat persentase kata kerabat. Pada tahap ini dilakukan penghitungan terhadap jumlah kata dasar yang diperbandingkan pada langkah (1) dan jumlah kata berkerabat yang dijumpai dari hasil penentuan kata kerabat pada langkah (2). Penghitungan tersebut dilakukan dengan cara jumlah kata berkerabat dibagi jumlah kata dasar yang diperbandingkan dan dikali seratus persen sehingga diperoleh persentase jumlah kekerabatan. Hasil persentase tersebut akan dihubungkan dengan kategori tingkat kekerabatan bahasa. 4) Langkah berikutnya adalah membuat diagram pohon yang menggambarkan

silsilah kekerabatan isolek-isolek yang diperbandingkan tersebut. Bahasa-bahasa yang pada fase tertentu memiliki sejarah yang sama sebagai satu keluarga bahasa atau subkeluarga bahasa berada dalam satu simpai (lihat Mahsun, 2007:213-219).

Secara kualitataif, penentuan hubungan kekerabatan dalam linguistik historis komparatif dilakukan dengan melihat inovasi bersama sebagai bukti pemisah kelompok yang diperoleh dengan melihat refleks protobahasa pada bahasa-bahasa yang dibandingkan. Dalam fernandez (1984 : 22) dijelaskan bahwa istilah inovasi berarti pembaharuan, yaitu perubahan yang memperlihatkan penyimpangan dari kaidah perubahan yang lazim berlaku, Refleks protobahasa pada bahasa-bahasa yang diperbandingkan lazimnya dapat diamati dalam korespondensi bunyi berdasarkan padanan perangkat kognat.

i. Penentuan Status Isolek

Penentuan status isolek dapat ditinjau secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif dalam dialektologi dilakukan dengan menerapkan metode berkas isoglos dan dialektometri.

Metode berkas isoglos adalah salah satu metode yang digunakan untuk menentukan status isolek dengan menghitung jumlah isoglos yang menyatukan daerah-daerah pengamatan. Isoglos adalah sebuah garis imajiner yang diterakan pada sebuah peta bahasa (Lauder, 1990:117). Pada awalnya yang dimaksud garis imajiner isoglos adalah garis yang menghubungkan tiap daerah pengamatan yang menghubungkan tiap daerah pengamatan yang menampilkan gejala kebahasaan serupa (Keraf dalam Mahsun, 1995: 36).

Sementara itu, metode dialektometri merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut (Revier dalam Ayatrohaedi, 1983 : 32).

Dialektometri ini mulai diperkenalkan oleh Seguy tahun 1973 dalam tulisan yang berjudul La Dialectrometric dans L’Atlas Linguistique de La Gascognate (Mahsun, 1995 : 39).

Dalam dialektologi, secara kualtitatif digunakan pula cara-cara yang serupa dengan cara yang diterapkan pada linguistik historis komparatif. Dalam pemilahan isolek, digunakan pula metode pemahaman timbal balik (mutual inteligilibity) yang diajukan oleh Voeglin dan Harris (1951). Menurut metode pemahaman timbal balik, bahwa daerah-daerah pakai isolek itu dikelompokkan dalam dialek sebuah bahasa jika antarpenutur isolek yang berbeda itu masih terjadi pemahaman timbal balik antara satu sama lain ketika mereka bertutur dengan menggunakan isoleknya masing-masing. Hasil perhitungan dialektometri tersebut disepadankan dengan bukti-bukti kualitatif berupa kesamaan fonologi ataupun leksikal untuk menguatkan pengelompokan.

j. Metode Kuantitatif dan Kualitatif dalam Penelitian Linguistik Komparatif Keterkaitan metode kuantitatif dan kualitatif dapat dipahami secara baik apabila kita memahami dalam konteks bahwa setiap metode memiliki keunggulan dan kelemahan. Dalam kajian linguistik historis komparatif dan dialektologi, metode kuantitatif mempunyai kelebihan dapat sekaligus menangani data dalam jumlah yang banyak, tetapi tidak mampu menjelaskan kekognatan kosakata yang dibandingkan karena tidak menelusuri kesejarahan kosakata tersebut. Sementara itu, metode kualitatif mempunyai kelebihan dalam hal kecermatan dan ketajaman di dalam

Dokumen terkait