• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETA WILAYAH TUTUR BAHASA CIACIA U

1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data dikaitkan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan landasan teori. Metode yang digunakan dalam menguraikan genealogi bahasa Ciacia adalah metode komparatif yang bersifat kuantitatif dan kualitatif.

Penelitian ini diawali dengan menentukan status isolek-isolek yang berada di wilayah tutur bahasa Ciacia dengan menggunakan metode dialektometri. Adapun tahapan langkah yang dilakukan dalam penerapan metode dialektometri adalah sebagai berikut.

1) Membuat tabulasi tahap I dan II.

Tabulasi tahap I berisi data yang akan dianalisis yang berupa keseluruhan data pada daftar tanyaan. Tabulasi tahap I ini merupakan Peta Verbal 1. Adapun model tabulasi tahap pertama yang dimaksud adalah seperti contoh berikut ini

Tabel (5)

Tabulasi Data Tahap I

Identifikasi Varian dan Daerah Sebarannya

No Kode/Glos Bentuk Realisasi Berdasarkan Daerah Pengamatan

1 2 3 4

I. Kosa Kata Dasar Swadesh

1 abu O:awU O:awu awu awu

2 air i:wOi i:wOi waE i:wOi

3 akar Ohaka Ohaka ur|? Ohaka

4 alir (me) mOsOlO mOsOlO masOlO mOsOlO

5 anak anadalO anadalO an|? anadalO

6 angin Opu+a Opu:+a aGiG Opu:+a

7 anjing Odahu Odahu asu Odahu

8 apa OhapO OhapO aga OhapO

9 api O+api O+api a:Bi O+api

10 apung (me) lulOndO lulOndO mOnaG lulOndo (Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007) Contoh tabulasi tahap I tersebut mendeskripsikan bentuk realisasi suatu makna pada masing-masing daerah pengamatan. Sebagai contoh, makna ’apung’ pada daerah pengamatan 1, 2, dan 4 direalisasikan dengan

lulOndO

, sedangkan pada daerah pengamatan 3 direalisasikan dengan

mOnaG

.

Adapun contoh tabulasi tahap I yang mendeskripsikan bentuk realisasi pada masing-masing daerah pengamatan dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran.

Tabulasi tahap I ini menjadi dasar pembuatan tabulasi tahap II yang berisi deskripsi perbedaan unsur-unsur bahasa yang mencakup persamaan dan perbedaan fonologis dan leksikal. Tabulasi tahap II ini merupakan Peta Verbal II. Pengubahan Peta Verbal I menjadi Peta Verbal II dilakukan melalui tahapan berikut ini (Pusat Bahasa, 2008).

a. Penentuan kaidah fonologis bentuk-bentuk yang diduga merupakan refleks dari etimon yang sama.

b. Untuk membuat kaidah yang memperlihatkan lingkungan tempat berlakunya kaidah, perlu ditentukan secara hipotesis bentuk yang menjadi asal dari semua bentuk yang diduga berasal dari etimon tersebut.

c. Bentuk yang lebih kompleks (bukan karena proses morfologis) dapat menjadi asal dari bentuk-bentuk yang seetimon.

d. Pemilihan bentuk yang lebih kompleks sebagai bentuk asalnya didasarkan pada pandangan historis bahwa kecenderungan universal bahasa berkembang dari bentuk yang lebih kompleks ke bentuk yang lebih sederhana (dari bentuk yang panjang ke bentuk yang lebih pendek).

e. Penentuan kaidah perubahan bunyi di antara bentuk-bentuk yang seetimon sehingga diperoleh kaidah perbedaan fonologis.

f. Penentuan pasangan perubahan bunyi dalam pembuatan kaidah fonologis didasarkan pada pandangan historis bahwa bunyi konsonan akan berubah atau selalu muncul sebagai konsonan bukan sebagai

vokal dan bunyi vokal akan berubah atau selalu muncul sebagai vokal bukan sebagai konsonan.

g. Pembuatan kaidah perbedaan fonologis dengan mengidentifikasikan perbedaan pada posisi awal, menyusul posisi tengah, dan posisi akhir. h. Apabila beberapa bentuk yang seetimon memiliki lebih dari satu

kemungkinan pengaidahan, setiap kemungkinan pengaidahan ditempatkan dalam alternatif pemetaan yang berbeda.

i. Setiap alternatif pemetaan (secara verbal) itu harus memuat informasi tentang bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna tersebut serta sebaran geografisnya.

j. Apabila bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna itu dapat dikelompokkan ke dalam beberapa etimon, setiap kelompok yang memiliki lebih dari satu refleks harus dikaidahkan, kecuali refleks-refleks itu memiliki sebaran geografis yang sama.

k. Setiap kaidah fonologis untuk setiap etimon ditempatkan dalam alternatif pemetaan yang berbeda.

l. Apabila hanya dapat dikaidahkan satu kali, kaidah itu akan muncul berulang-ulang pada alternatif pemetaan yang berbeda.

m. Urutan bunyi dalam pengaidahan dilakukan secara konsisten.

Penerapan Tabulasi Tahap II yang merupakan Peta Verbal II dapat dilihat pada contoh berikut ini.

Tabel (6)

Tabulasi Tahap II

No Gloss Bentuk Realisasi Daerah Pegamatan

1 abu 1 O: O: ~ ø O: O: ø ø ø / # - O:O:awu(U) O:O: 1,2 awu 3,4 2 air 1 i: i: ~ ø i: i: ø ø ø / # - i:wOi 1,2,4 waE 3 2 oi oi ~ aE oi oi E E E / - # i:wOi 1,2,4 waE 3

3 akar 1.a. Ohaka 1,2,4

b. urE 3 4 alir (me-) 1 mO mO mO mO ~ ma / # - mOsolo 1,2,4 masolo 3

(Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, 2007) 2) Pemilihan peta hasil tabulasi tahap II.

Sebelum penggunaan metode dialektometri terhadap analisis Peta Verbal II, hal yang pertama-tama dilakukan adalah memilih salah satu dari sejumlah kemungkinan pemetaan yang dapat dilakukan dalam setiap glos. Hal ini disebabkan mungkin saja glos tertentu memiliki alternatif pemetaan lebih dari satu, padahal untuk menggunakan dialektometri hanya memerlukan satu peta untuk setiap glosnya. Untuk itu diperlukan suatu pegangan dalam memilih salah satu dari alternatif pemetaan lebih dari satu. Adapun pegangan yang dijadikan landasan dalam pemilihan alternatif pemetaan adalah sebagai berikut ini (Pusat Bahasa, 2008)

a. Dari sudut pandang perbedaan fonologis, alternatif peta yang dipilih adalah alternatif peta yang kaidahnya sama dengan alternatif pemetaan pada glos lainnya. Pengertian sama di sini tidak hanya sama kaidahnya, tetapi sama atau relatif sama daerah sebaran yang disatukan atau dibedakan oleh kaidah tersebut.

b. Setelah dilakukan identifikasi seperti langkah (a) tersebut dan ternyata tidak ditemukan alternatif peta yang sama kaidahnya dari semua glos itu, langkah selanjutnya memilih alternatif peta pada glos yang secara bersama-sama dengan alternatif peta pada glos lainnya mempersatukan daerah pengamatan yang sama atau relatif sama.

c. Setelah langkah (a) dan (b) dilakukan, glos sisanya yang belum ditentukan alternatif pemetaan yang akan dipilih, ditentukan dengan tetap mempertimbangkan adanya dukungan bagi penetapan daerah pengamatan atau kelompok daerah pengamatan tertentu sebagai daerah pakai isolek yang berbeda dengan lainnya. Apabila langkah ini tidak memungkinkan, alternatif peta dipilih secara mana suka.

3) Menghitung tingkat kekerabatan bahasa dengan ketentuan sebagai berikut. a. Apabila pada sebuah daerah pengamatan dikenal lebih dari satu bentuk

untuk satu makna dan salah satu di antaranya dikenal di daerah pengamatan lain yang diperbandingkan, perbedaan itu dianggap tidak ada; (-)

b. Apabila di antara daerah pengamatan yang dibandingkan itu, salah satu di antaranya tidak memiliki bentuk sebagai realisasi suatu makna tertentu, dianggap ada perbedaan; (+)

c. Apabila daerah-daerah pengamatan yang dibandingkan itu semua tidak memiliki bentuk sebagai realisasi dari satu makna tertentu, daerah-daerah tersebut dianggap sama; (-)

d. Apabila daerah-daerah pengamatan berbeda leksikon, dianggap beda (+)

Hasil tersebut kemudian dihitung dengan menggunakan rumus.

n Sx100) (

x 100 %

S : jumlah beda dengan DP lain n : jumlah peta yang dibandingkan

Hasil yang diperoleh dari perhitungan dialektometri ini berupa persentase jarak unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan itu yang selanjutnya akan digunakan untuk menentukan hubungan antar-DP dengan kriteria sebagai berikut.

81% ke atas : perbedaan bahasa 51% -- 80% : perbedaan dialek 31% -- 50% : perbedaan subdialek 21% -- 30% : perbedaan wicara di bawah 20% : tidak ada peredaan

(Mahsun, 2010)

Kriteria tersebut berlaku untk perbedaan fonologi dan leksikon yang dihitung menjadi satu. Tidak dilakukan pembedaan perbedaan persentase untuk fonologi dan leksikon seperti yang diusulkan Guiter karena pembedaan

semacam itu tidak cocok dengan realita perubahan bahasa. Guiter membedakan persentase untuk perbedaan fonologi dan leksikon sebagai berikut ini. Tabel (7) Dialektometri Guiter Persentase Perbedaan Fonologi Persentase Pebedaan Leksikal Status Isolek 17 ke atas 12-16 8-11 4-7 0-3 81 ke atas 51-80 31-50 21-30 20 ke bawah perbedaan bahasa perbedaan dialek perbedaan subdialek perbedaan wicara tidak ada perbedaan (Guiter dalam Mahsun, 2010 : 50)

Apabila diperhatikan persentase batas krusial antara suatu isolek disebut bahasa atau dialek, akan ditemukan batas maksimal untuk perbedaan fonologi adalah 16 % dan perbedaan leksikon 80 %. Dari titik krusial persentase perbedaan kedua tataran linguistikitu diperoleh perbandingan 1:5. Artinya suatu perbedaan fonologi sama dengan lima perbedaan leksikon. Asumsi Guiter yang menetapkan bahwa perbandingan antara perbedaan fonologi dengan 1:5 dapat berlaku jika perubahan dalam bahasa yang memunculkan perbedaan itu berlangsung secara teratur. Dari penelaahan terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, perubahan yang diasumsikan Guiter itu tidak terbukti. Artinya, bahwa perubahan yang banyak terjadi dalam isolek-isolek yang berkerabat itu tidak berlangsung secara teratur. Lebih banyak perubahan yang bersifat sporadis/tidak teratur daripada perubahan yang bersifat korespondensi /teratur (Mahsun, 2010 : 50).

Melalui perhitungan dialektometri diperoleh kejelasan status isolek Kumbewaha serta isolek-isolek lain dalam wilayah tutur bahasa Ciacia apakah merupakan bahasa yang berbeda dengan bahasa Ciacia atau merupakan dialek atau

subdialek bahasa Ciacia. Penghitungan dialektometri ini dilakukan secara permutasi untuk mendapatkan hasil yang akurat.

Hasil perhitungan dialektometri tersebut disepadankan dengan bukti-bukti kualitatif berupa kesamaan fonologi ataupun leksikal untuk mendukung pengelompokan. Jawaban permasalahan pertama berupa interpretasi hasil perhitungan dialektometri yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil kuantitatif tersebut dijadikan pijakan untuk pengelompokan isolek-isolek tersebut menjadi dialek, subdialek, beda wicara, dan tidak ada perbedaan. Analisis kualitatif yang dimaksud adalah mendeskripsikan perbedaan fonologi dan leksikon antardialek bahasa Ciacia. Bukti-bukti perbedaan fonologi dan leksikon yang ditemukan diharapkan dapat menjelaskan hasil analisis dialektometri. Hal ini sangat penting mengingat hasil dialektometri sering kali terjadi tarik-menarik antara satu isolek dengan isolek lainnya dalam pengelompokan.

Permasalahan kedua berkaitan dengan aspek historis yang tentu saja sangat erat kaitannya dengan genealogi suatu bahasa. Langkah dari aspek historis ini berupa membuat rekonstruksi bentuk prabahasa dari bahasa Ciacia yang mengacu pada hasil pengelompokan pada bab sebelumnya. Rekonstruksi bentuk prabahasa bahasa Ciacia ini dilakukan dengan menggunakan metode induktif dengan teknik rekonstruksi dari bawah ke atas (bottom up), yaitu melihat wujud etimon bahasa purba pada tingkat yang lebih tinggi (lebih kuno). Dalam praktiknya, rekonstruksi dari bawah ke atas ini ditempuh melalui prosedur perbandingan sistem fonem yang terdapat dalam dialek-dialek yang mendukung bahasa yang direkonstruksi bahasa purbanya, kemudian keberadaan fonem-fonem segmental tersebut sebagai fonem yang dihipotesiskan sebagai fonem bahasa purbanya akan diperlihatkan dalam bentuk rekonstruksi etimon

proto bahasa Ciacia. Dengan demikian, metode rekonstruksi yang akan digunakan adalah metode padan intralingual dan ekstralingual dengan bertitik tolak pada kaidah korespondensi bunyi (Mahsun, 1995).

Setelah bentuk purba bahasa Ciacia direkonstruksi secara bottom-up kemudian dilihat refleks bahasa Ciacia Purba ke dialek-dialek dan subdialek-subdialeknya untuk menemukan dialek yang mengalami inovasi dan dialek yang tetap mempertahankan bentuk asalnya.

Agar genealogi bahasa Ciacia semakin jelas dilakukan juga penelusuran PAN terhadap bentuk asal bahasa Ciacia dan bentuk modern bahasa Ciacia (dialek dan subdialeknya) melalui refleks PAN pada Prabahasa Bahasa Ciacia (PBC) terhadap Bahasa Ciacia Modern (BCM). Dengan demikian, gambaran inovasi dan retensi dari PAN ke Prabahasa Bahasa Ciacia dan ke Bahasa Ciacia Modern dapat terdeskripsikan dengan jelas.

Bagian akhir dari permasalahan kedua ini adalah penentuan status dialek dan subdialek sebagai lanjutan dari hipotesis awal akan status tersebut pada permasalahan pertama. Dengan bukti-bukti kualitatif berupa inovasi-inovasi dan relik-relik yang ditunjukkan pada refleks Prabahasa Bahasa Ciacia pada bahasa Ciacia modern semakin memperkuat pengelompokan dialek dan subdialek tersebut.

Permasalahan ketiga diawali dengan penjelasan hubungan antardialek dan antarsubdialek bahasa Ciacia yang telah diperoleh kejelasan statusnya pada penyelesaian permasalahan pertama dan kedua. Setelah hubungan kekerabatan antardialek dan antarsubdialek bahasa Ciacia diperoleh, langkah selanjutnya adalah menguraikan hubungan bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lain dalam subrumpun

Muna-Buton. Untuk melihat hubungan bahasa Ciacia dengan bahasa-bahasa lain dalam subrumpun Muna-Buton digunakan metode leksikostatistik. Dalam leksikostatistik dipilih masing-masing satu isolek untuk mewakili satu bahasa. Sebagai wakil dari bahasa Ciacia dipilih satu isolek untuk mewakili berdasarkan beberapa pertimbangan (seperti hubungannya dengan isolek lain, kosakata, jumlah penutur, dan lokasi).

Hasil persentase yang dicapai berdasarkan kalkulasi leksikostatistik dapat digunakan untuk mengamati hubungan antarbahasa yang disajikan dengan dasar tingkat persentase. Berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan dapat dijelaskan peringkat hubungan antarbahasa. Kriteria itu dapat menggambarkan relasi antarbahasa yang dibandingkan.

Hasil persentase hubungan kekerabatan tersebut kemudian diperkuat dengan melihat evidensi-evidensi pemisah dan penyatu kelompok yang didasarkan pada daftar Proto Astronesia (PAN). Adapun daftar fonem PAN yang digunakan dalam penelitian ini berpedoman pada English Finderlist of Reconstructions yang disusun oleh Wurm dan Hattori (1975)

Hasil penentuan status isolek-isolek dalam wilayah tutur bahasa Ciacia merupakan simpulan penetapan pengelompokan genealogi bahasa Ciacia yang diwujudkan dalam suatu bagan silsilah bahasa Ciacia. Bagan tersebut kemudian disatukan dengan bagan silsilah bahasa Ciacia dalam subrumpoun Muna-Buton. Dengan penggabungan kedua bagan silsilah yang diperoleh dari hasil pembahasan permasalahan pertama dan kedua diperolehlah suatu bagan silsilah bahasa Ciacia

mulai dari posisinya dalam subrumpun Muna-Buton sampai kepada isolek-isolek yang tidak memiliki perbedaan dalam bahasa Ciacia.

Dokumen terkait