• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fisafat berarti berpikir, sedangkan agama berarti mengabdikan diri. Begitu juga orang yang mempelajari agama, tidak hanya puas dengan pengetahuan agama, akan tetapi juga memerlukan membiasakan dirinya dengan hidup secara agama, mengutip dari temple William yang mengatakan bahwa filsafat itu adalah menuntut pengetahuan untuk beribadah, pokok dari agama menurutnya bukan semata pengetahuan tentang Tuhan, akan tetapi perhubungan antara seseorang manusia dengan Tuhan (Rasjidi, 1965: 10).

Agama dengan filsafat memiliki perbedaan yang sangat mendasar bahwa, agama banyak hubungannya dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungannya dengan pikiran, akal. Perbedaan lebih jauh antara filsafat dengan agama adalah filsafat walaupun bersifat tenang dalam pekerjaannya akan tetapi sering mengeruhkan pikiran pemeluknya, sedangkan agama walaupun memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian diri, akan tetapi mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya.

Oleh karena itu maka, berpikir filsafat adalah penting dalam mempelajari agama, karena manusia telah banyak berpengalaman dan telah banyak melakukan

kekeliruan-kekeliruan dalam berpikir maka manusia mengadakan macam-macam cara atau metode untuk menghindarkan diri dari problematika dan kekeliruan dalam pemahaman agama. Banyak jalan dalam menyelidiki soal-soal keagamaan sebagaimana dapat manusia harus mempelajari suatu agama, termasuk di dalamnya sejarah alam pikiran dalam agama tersebut, maka manusia dapat pula membaca literatur keagamaan atau dapat dengan mempelajari cara-cara ibadah dalam sesuatu agama dan pelajaran pelajaran yang tertentu dalam masyarakat yang beragama tersebut.

Keraguan dalam diri manusia tentang agama sangatlah sulit dihilangkan karena sejatinya manusia memiliki rasa keingintahuan yang cukup kuat, namun keraguan tersebut dapat dihilangkan apabila manusia mempelajari ajaran agama tersebut lewat teks maupun konteks yang memang sudah menjadi pedoman bagi agama yang dipeluk. Kesulitan lain dalam menyelidiki agama, adalah kenyataan, bahwa dalam tiap-tiap agama terdapat beberapa paradox atau hal-hal yang kelihatannya bertentangan.

Tuhan memberikan akal kepada manusia dan dengan akal itu manusia dapat memikirkan hal-hal yang mengelilingi permasalahan manusia dalam alam kehidupan. Manusia pada ahirnya mengetahui dengan akal tentang adanya Tuhan dan sifat-sifat Tuhan. Tuhan kemudian menambah sesuatu hal baru yaitu menurunkan wahyu kepada beberapa orang yang diangkat sebagai utusannya, diantaranya kepada para nabi. Tradisi kefilsafatan meliputi kajian tentang kesamaan agama-agama banyak penelitian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perenialisme. Maka, perlu kiranya melihat bagaimana filsafat perennial ini

sebagai batu pijak sebelum mendalami kompleksitas tuhan bagi para Frithjof Schoun dan John Hick.

Filsafat perennial memandang dalam mencari titik temu agama-agama banyak bertentangan dengan doktrin tiap-tiap agama, karena tidak ada suatu agama yang mengakui kebenaran agama lainnya. Peneliti dalam memudahkan penulisan tesis ini mengambil beberapa point penting dalam pembahasan filsafat perennial yang pertama; bentuk dan substansi dalam agama Setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi. Substansi memiliki hak-hak yang tidak terbatas, sebab agama lahir dari yang mutlak sedangkan bentuk “form” adalah relative, oleh karena itu hak-haknya terbatas. Dua fakta yang perlu diketahui adalah yang pertama, bahwa tidak ada redibilitas mutlak pada tingkat fenomena semata, kedua bahwa penafsiran harfiah dan eksklusif atas pesan-pesan agama diperdayai oleh ketidaktepatan redibilitas dan penafsiran harfiah dan eksklusif yang relatif sepanjang menyangkut orang-orang beriman dari agama-agama lain tetapi tentu saja tidak dalam daerah-daerah mereka sendiri yang telah ditakdirkan. Hal ini membuktikan bahwa secara ekstrinsik agama dibatasi oleh bentuknya, persis seperti beberapa bentuk geometris tertentu tidak dapat menunjukkan seluruh kemungkinan ruang dengan sendirinya (Nuruddin, 1993: 25-26).

Perennialisme menawarkan sesuatu yang sangat berbeda, meski melihat realitas sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, perenialisme tetap memberi tempat bagi pluralitas dalam segala macam bentuk. Ungkapan bahwa keseluruha itu hadir di dalam setiap bagian tampaknya menjadi dasar penerimaan terhadap pluralitas. Masing-masing bagian yang membentuk pluralitas tidak lain adalah

manifestasi dari keseluruhan yang tunggal. Pluralitas perennial tetap mengandaikan adanya keterkaitan masing-masing elemen membentuk sebuah realitas yang plural (Wora, 2006: 87).

Pluralitas dalam kaca mata perennialisme bukanlah keragaman yang acak “tidak beraturan”, melainkan keragaman yang tertata, yang mengarah pada sebuah harmoni. Perennialisme menerima semua bentuk pengetahuan, termasuk sains, agama, sebagai pengetahuan-pengetahuan yang mampu memberi kebenaran tentang sebuah realitas yang sama (Wora, 2006: 87). Fritjhof Schuon dalam hal ini mengatakan bahwa ortodoksi atau sikap eksklusifitas dalam agama adalah wajar, Schoun mengatakan “the essence of every orthodoxy is the truth”, pernyataan ini bisa dimaknai bahwa Fritjhof Schuon membenarkan semua kebenaran agama-agama yang bertentangan sebagai sebuah keyakinan yang sama dan setara. Melalui ortodoksi agama, Fritjhof Schuon menginginkan sebuah jalan di mana manusia dapat mencapai yang absolut (Schoun, 2001:13) manusia yang mengarah kepada transendensi itulah maka kebebasan bisa dihayati, hanya dengan itulah manusia terhindar dari suatu eksistensi yang hampa dan tak bermakna (Siswanto, 2004:80).

Beralih dari penganut satu agama ke agama lain bukan hanya mengubah konsep-konsep dan sarana-sarana ruhaniyyah, melainkan juga mengubah sekumpulan perasaan dengan yang lain. Dengan adanya perasaan munculah pembatasan-pembatasan, batas perasaan yang melingkupi setiap agama dalam sejarah membuktikan dengan caranya sendiri batasan-batasan dari seluruh eksoterik (Nuruddin, 1993: 27) Pengertian Substansi “dalam” dalam pernyataan

pernyataan yang dibuat oleh agama bersifat mutlak. Akan tetapi di luar “bentuk” dan seterusnya pada tingkat kemungkinan manusiawi, pernyataan-pernyataan tersebut bersifat relative (Nuruddin, 1993: 27)

Yang kedua, Wujud penyelamat dari yang mutlak adalah kebenaran atau kehadiran, akan tetapi tidak pernah salah satunya berdiri sendiri. Karena kebenaran selalu disertai kehadiran dan kehadiran disertai kebenaran (Nuruddin, 1993: 15) Secara apriori atau secara eksoterik, unsur kebenaran dalam agama Kristen, sebagaimana dalil bahwa Kristus adalah Tuhan, dan bahwa kristus sajalah Tuhan. Tetapi, secara aposteriori atau secara esoterik, kebenaran Kristus di satu pihak berarti bahwa setiap perwujudan dari yang mutlak identik dengan yang mutlak dari pihak lain, yang berarti bahwa perwujudan itu bersifat transenden dan selalu ada.

Yang ketiga adalah gagasan mengenai kemungkinan secara apriori membuka dua penafsiran; yang pertama adalah “horizontal” yang kedua “vertical”, di satu pihak ada yang mengatakan, “hal itu mungkin, karenanya dapat dilakukan” di lain pihak ada yang mengatakan “hal itu telah dilakukan, atau hal itu ada, karena hal itu mungkin. Kemungkinan yang pertama adalah yang terjadi maupun yang tidak terjadi, dan dengan demikian kebalikan dari keharusan, kemungkinan yang kedua adalah yang harus terjadi dan karenanya bersifat kausal dan merupakan keharusan karena Tuhan “ada” (Nuruddin, 1993: 157)

Bukan membatasi diri dengan membedakan antara yang mungkin dan yang nyata, serta perwujudan adalah yang kebetulan atau khayalan. Bagaimanapun juga perbedaan tersebut tidak memadai, yang mungkin jika yang

mungkin diartikan sebagai perluasan yang tidak terbatas dari kemungkinan-kemungkinan modal dan temporal. Tetapi sebagai potensi prinsip, yang mungkin tentu saja lebih nyata dari pada yang aktual atau yang terwujud (Nuruddin, 1993: 157-158).

Kriteria logis yang dimaksud dengan mungkin adalah seperti mungkin bagi benda-benda untuk tidak menjadi, karena wujud yang harus termasuk dalam prinsip ilahi semata, tetapi benda-benda itu menjadi eksistensinya, secara relatif sebagai fungsi dari prinsip kekhususan yang sesuai dengan eksistensi (Nuruddin, 1993: 158).

Ke empat adalah mengenai “teodisi” Permasalahan wujud dan luar wujud antara prinsip ontologis dan eksistensi dengan esensi supra ontologis, kerancuan ini disebaban oleh penafsiran teologis yang satu pihak memandang Tuhan secara antropomorfikal, seolah-olah Tuhan adalah subjek manusiawi dan di lain pihak, adannya pernyataan mengenai seluruh sifat ilahi yang tidak sesuai.

Apa yang dikehendaki oleh esensi karena keterbatasannya dan arena sebagaimana Agustinus merumuskannya “yang baik pada dasarnya cenderung untuk penyebaran dirinya sendiri adalah pancarannya sendiri dan, karenanya dunia itu sendiri dan totalitasnya, sehingga perwujudan ini mengisyaratkan suatu jarak dari sumber, sehingga dalam menghendaki perwujudan, esensi itu secara implisit dan tidak langsung menghendaki “kejahatan” harga yang harus dibayar (Nuruddin, 1993: 167).

Ke lima adalah tradisi dalam pemikiran Schoun berkaitan mengenai titik temu agama-agama yang merupakan produk dari pengalamannya ketika terlibat

dalam kehidupan agama-agama. Namun, pengalaman yang dimaksud bukan dari agama itu sendiri. Pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada masyarakat dan seluruh manusia akan tetapi dapat diraih oleh elit tertentu dalam setiap agama. Jadi, kesatuan transenden merupakan bentuk dari pengalaman – pengalaman keagamaan yang berbeda.

Fritjhof Schuon dalam hal ini mengatakan bahwa ortodoksi atau sikap eksklusifitas dalam agama adalah wajar, Schoun mengatakan “the essence of every orthodoxy is the truth”, pernyataan ini bisa dimaknai bahwa Fritjhof Schuon membenarkan semua kebenaran agama-agama yang bertentangan sebagai sebuah keyakinan yang sama dan setara. Melalui ortodoksi agama, Fritjhof Schuon menginginkan sebuah jalan sebagaimana manusia dapat mencapai yang absolut (Schoun, 2001: 13) Pandangan Schuon sedikit berbeda dengan gurunya Guénon yang kurang menyukai ortodoksi agama-agama karena dengan adanya sikap ortodoksi agama hanya akan menciptakan pertentangan di dalam agama-agama (Guénon, 2001: 15). Walau demikian keduanya tetap setuju terhadap pandangan bahwa manusia perlu mencapai kebenaran yang melampaui kebenaran agama-agama.

Frithjof maupun Guénon bersependapat dalam menolak sikap eksklusif dan membuka jalan yang selebar-lebarnya bagi setiap kebenaran yang ada. Oleh karena itu, kaum perennialis selalu mencari sebuah solusi untuk mengobati sikap ortodox-eksklusif dalam beragama, sekaligus mencari representasi pada setiap agama dapat dipertemukan. Senada dengan Schoun dan Guénon, MH Ainun Najib (Cak Nur) tidak jauh beda yang berangkat dari premis bahwa sekalipun semua

agama pada intinya sama dan satu, tetapi termanifestasi sosio kulturalnya secara historis yang berbeda-beda. Meskipun Cak Nur menghendaki sejalan dengan semangat Al-Qur’an agar fenomena lahiriah dalam keragamaan di Indonesia tidak menghalangi usaha untuk menuju titik temu “common platform” antara semuanya, jikalau rumusan linguistik dan verbal keyakinan keagamaan itu berbeda-beda, dapat dipastikan bahwa eksternalisasi keimanan itu dalam dimensi kemanusiaan tentu sama, karena menyangkut kerja nyata (Madjid, 2001: 45-56).

E. Metode penelitian

Dokumen terkait