• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan berbagai macam perubahan-perubahan status sosial, tingkatan sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan berbagai macam perubahan-perubahan status sosial, tingkatan sosial"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

1

Sejarah membuktikan bahwa perkembangan zaman yang semakin cepat dengan berbagai macam perubahan-perubahan status sosial, tingkatan sosial maupun kemajemukan budaya serta agama, sehingga lahir pluralisme agama pada masa pencerahan (Enlightenment) di Eropa, tepatnya pada abad 18 Masehi yang terdapat bangkitnya gerakan pemikiran modern (Malik, 2005: 16-17). Periode yang membangkitkan semangat modernisasi, sekularisasi dan semangat rasionalisme. Periode yang menjadi kebangkitan Barat dari masa-masa kegelapan, zaman sebagaimana Barat meninggalkan agama yang dianggap sebagai candu masyarakat sehingga membatasi kehidupan manusia.

Kamus filsafat Islam tematik tertuliskan bahwa periode tersebut merupakan periode yang paling krusial, khususnya bagi Kristen Barat, yang bukan hanya mengejar ketinggalannya dari budaya-budaya keislaman, sehingga pada periode ini para filsuf Barat Modern menyuarakan kegelisahan dan menemukan cara pandang baru dalam memaknai Tuhan. Kaum mistik dan filsuf muslim terdahulu, semacam Al-Farabi dan Ibn Arabi, secara sadar membukakan bidang pemikiran baru (2003: 622).

Ibn Arabi berpendapat dalam kamus filsafat Islam, bahwa manusia memang unik karena fakta bahwa manusia diciptakan menurut citra Tuhan dan dapat mengaktualisasikan semua sifat Tuhan di dalam dirinya, karena manusia sempurna menurutnya mulai mengenal Tuhan sebagai Tuhan dalam dirinya

(2)

sendiri dan pada saat yang sama, memanifestasikan sifat-sifat Tuhan melalui bentuk eksistensi sifat-sifat tersebut dalam kosmos (2003: 622). Perbedaan konsep Tuhan dan keimanan tentu berakibat pada perbedaan jalan menuju keselamatan. Jalan-jalan tersebut saling bertentangan bahkan bisa saling menyalahkan.

Sejarah kelam Barat yang disebut inquisisi kemudian menimbulkan trauma dan berujung pada balas dendam terhadap institusi gereja di Barat. Struktur gereja yang memposisikan diri sebagai wakil tuhan telah menyebabkan masyarakat Barat kemudian berpikir praktis, jika agama memasuki wilayah politik maka negara akan rusak dan masyarakat sengsara. Gagasan yang lahir dari pengalaman ini adalah memisahkan unsur keagamaan dengan politik, sikap sekuler yang dalam politik ini menjadi sebuah pengalaman Barat. Periode ini justru menghidupkan dan menegaskan kembali tema-tema lama yang sulit diapreasikan pada Barat (Karen, 2012: 388).

Pada masa itu kaum pembaharu Katolik dan Protestan menghimbau para penganutnya untuk meninggalkan kesetiaan lahiriah kepada orang-orang suci dan para malaikat, kemudian memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Namun demikian, pada awal abad ke tujuh belas, Eropa tampaknya sedang terobsesi oleh Tuhan, beberapa di antara filsuf Barat berfantasi tentang “atheisme”. Pertanyaannya adalah apakah filsuf Barat siap untuk menyingkirkan tuhan (Karen, 2012: 388). Abad inilah ketika Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Charles Darwin, Friedrich Nietzsche, dan Sigmund Freud menyusun tafsiran filosofis dan ilmiah tentang realitas tanpa menyisakan tempat untuk Tuhan (Karen, 2012: 511).

(3)

Barat pada periode tersebut mengambil inisiatif yang berkaitan dengan gagasan Tuhan yang telah ditempa selama berabad-abad di kalangan Kristen Barat yang terasa tidak lagi memadai, dan zaman akal tampaknya telah menang atas abad dimana penuh dengan takhayul dan fanatisme. Banyak teologi yang menolak gagasan tentang Tuhan memiliki kriteria baik. Tuhan Kristen Barat yang antropomorfik dan personal sangatlah rentan, banyak kejahatan mengatas namakan institusi seperti halnya inquisisi pihak gereja yang sudah menimbulkan banyak kejahatan. Maka, doktrin tentang Tuhan harus diubah menjadi doktrin tentang manusia. Kebahagiaan yang abadi bermula dari tranformasi kerajaan langit kepada republik bumi (Marcuse, 1986: 267)

Cara berpikir filsuf Barat terhadap teologi ini akhirnya mulai memasuki pemikiran agama Islam setelah perang dunia kedua, yaitu mulai terbukannya kesempatan generasi muda muslim untuk mengenyam pendidikan di Universitas-Universitas Barat sehingga bersentuhan langsung dengan cara berpikir dan budaya Barat. Latar belakang pemikiran Barat yang sedemikian itulah maka pada awal abad ke-20, Coomaraswamy dan Guénon menawarkan gagasan alternatif. Gagasan alternatif itu ialah menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada tradisi dan agama-agama (Schoun, 1986: 483-522).

Nilai-nilai tradisi itu mereka sebut filsafat abadi “philosophia perennis”. Istilah lain yang sinonim dengannya adalah hikmah abadi “Sophia perennis, al-hikmah al-khalidah, sanata dharma”, agama abadi “religio perennis”, agama hikmah “religio cordis, al-din al hanif”, dan sains sakral “scientia sacra”. Semua istilah ini memiliki maksud yang sama, yaitu menolak pandangan hidup filsafat

(4)

modern yang relativistik, positivistik dan rasionalistik (Schoun, 1986: 483-522). Dalam bukunya, Akbar S Ahmed menjelaskan bahwa Postmodern selalu menjadikan fundamentalisme “agama” sebagai musuh, untuk menghadapinya adalah dengan pluralisme agama.

Sarjana-sarjana alumni Barat yang belajar studi Agama ini pluralisme di pasarkan di Indonesia, kemudian masuk dalam wacana-wacana keagamaan. Kondisi trauma Barat kepada dogma membuat doktrin agama menjadi kabur sehingga berimplikasi pada pemikiran teologinya, oleh karena itu kerangka pikir pluralis Barat merasuk dalam pikiran pelajar Indonesia baik dari cara berfikir ataupun berbudaya akhirnya diadopsi, modifikasi dan justifikasi. Pluralisme agama kemudian diwacanakan di masyarakat dengan jalan pengkaburan makna pluralitas dengan pluralisme. Artinya bahwa pluralisme pada permasalahan sosiologis akhirnya menimbulkan anggapan bahwa pluralisme teologis adalah sunnatullah. Hal ini menjadikan trauma filsuf Barat berkaitan dengan teologi menjadikan pemahaman pluralisme masuk ke wilayah Indonesia.

Di Indonesia kehidupan masyarakat telah bercampur baur karena berbagai macam alasan perkembangan kemudahan komunikasi, transportasi, pernikahan, pekerjaan dan lain sebagainya. Fakta ini memungkinkan terjadinya proses pluralisasi dalam kehidupan sosial, budaya, agama, yang tidak dapat dihindari lagi. Tidak berarti bahwa “yang ada” menjadi kabur dan relatif, melainkan terjadi variasi kehidupan, yang tadinya homogen, sekarang menjadi semakin heterogen.

Pluralisme agama, tidak saja mengenai kuantitas, atau keadaan penduduk Indonesia yang terdiri dari latar belakang agama atau etnis yang berbeda, akan

(5)

tetapi mengandung makna, nilai spiritulitas kehidupan, sehingga bila menyebut (pluralisme agama), di sana selalu ada sesuatu yang dimaknai secara substansial.

Pluralisme Agama merambah begitu halus memasuki kehidupan. Paham Pluralisme agama bisa menyusup dalam berbagai peristiwa. Toleransi ialah jalur yang cukup sering digunakan para pluralis guna menyebarkan paham pluralisme agama. Bahwa manusia bersaudara dan perbedaan agama tidak pasti membuat manusia saling bertentangan, sebab meskipun agama kita berbeda kebaikan tetaplah abadi dan Tuhan umat manusia tetap satu. Suatu propaganda yang menarik dan kadang dikemas begitu menyentuh sisi kemanusiaan kita.

Pluralisme agama bisa disimpulkan bahwa dimunculkan oleh kaum pluralis dan diharapkan Pluralisme agama untuk menangani konflik antar umat beragama dan permasalahan sosial masyarakat khususnya masalah kerukunan antar umat beragama. Siti Musdah Mulia, mengatakan bahwa persoalan terbesar yang dihadapi umat beragama adalah konflik agama, baik intern pemeluk agama maupun antar agama. Hal tersebut untuk mencegah timbulnya konflik tersebut diperlukan suatu dialog sehingga akan melahirkan komitmen toleransi dan pluralisme.

Pluralitas adalah bentuk sikap dari pluralisme (Madjid, 2000: IXXV). Padahal pluralitas adalah sebuah keniscayaan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan, hal ini tertulis dalam fatwa MUI no 7 tentang pluralisme 2005 sehingga kehadirannya tidak dapat dihindari dan sudah menjadi sunnatullah. Pluralitas agama semakin tampil sebagai sebuah kehendak sejarah yang hadir sebagai bangunan teologis

(6)

tentang pengalaman baru pluralitas agama dimasa sekarang, maka pluralisme agama juga menjadi sebuah konsekuensi logis yang sehat, dan fungsi serta makna agama menjadi konkrit dan relevan dalam kehidupan masyarakat. Pluralitas (kemajemukan) dengan kata lain maknanya telah dikaburkan (Ma’arif, 2010) oleh kaum liberal dan pluralisme agama dijadikan sebagai bentuk konkrit dalam menjalankan kerukunan beragama (Subkhan, 2007: 29).

Padahal jika untuk suatu bentuk kerukunan umat beragama terdapat sikap toleransi antar umat beragama, sedangkan pluralisme bukannya untuk merukunkan umat beragama dari konflik umat beragama melainkan menghilangkan identitas agama. Sebab pluralisme akan mereduksi keistimewaan dari suatu agama menjadi tidak ada klaim kebenaran “Truth Claim” di antara agama, sebab kebenaran agama adalah banyak bukan satu, karena sebenarnya seluruh agama menyembah Tuhan yang sama, yaitu “the real”, dialah yang menjadi pusat dari agama-agama di dunia ini.

Pluralisme agama acapkali juga diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran keagamaan. Seluruh pemeluk agama kemudian diharapkan bersifat inklusif (terbuka) terhadap pemeluk agama lain, sebab Tanpa pandangan pluralis, kerukunan umat beragama tidak mungkin terjadi (Rahardjo, 2005). Pluralisme bukan hanya menoleransi adanya keragaman agama, tetapi mengakui kebenaran masing-masing pemahaman serta menghilangkan klaim kebenaran dalam agamanya, pernyataan ini dikutip dari artikel yang ditulis oleh Abdalla dan diterbitkan Koran Harian Kompas pada tanggal 18-11-2002 dalam tema Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam setidaknya argumen ini

(7)

menurut logika para pengikut pluralis liberalis. Pluralisme agama dianggap harus mampu mengatasi segala bentuk eksklusivitas keagamaan yang merupakan kendala utama bagi penciptaan pemikiran teologi baru yang bercorak pluralis.

Kaum liberalis mendefinisikan dan menyamakan pluralisme dengan pluralitas. Pluralisme pun sehingga dianggap sebagai sunnatullah. Padahal pluralisme adalah keragamaan sedangkan pluralisme adalah penyeragaman agama-agama. Frans Magnis Suseno berpendapat bahwa menghormati agama orang lain tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama adalah sama. Agama-agama jelas berbeda satu sama lain (Suseno, 1995: 471), maka pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan “sunnatullah” dan berupaya agar berbuat sebaik mungkin berdasarkan itu (Madjid, 2001: xxv).

“Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga” (Fatwa MUI/II/ no 7 tentang pluralisme, liberalisme 2005).

Para pengusung pluralisme agama seringkali mencari pembenaran bagi pendapatnya dari bermacam-macam sumber, termasuk yang berasal dari ajaran agama Islam. Pemikiran tasawuf biasanya digunakan sebagai pintu gerbang untuk mencari pembenaran bagi gagasan pluralisme agama, berbagai gagasan Ibn Arabi dan Jalaluddin Ar Rumi termasuk tokoh sufi yang sering dijadikan acuan untuk

(8)

memberi pembenaran bagi gagasan semua agama adalah sama dan benar (Armas, 2013: xiv).

Paham Pluralisme Inilah yang akan menimbulkan relativisme agama dan nihilisme kebenaran agama. Paham tersebut sehingga menjadi tema penting dalam disiplin ilmu sosiologi, teologi dan filsafat keagamaan yang berkembang di Barat serta menjadi agenda penting globalisasi (Fahmy, 2004: 5-6). Pluralitas agama dalam buku prospek pluralisme tertuliskan bahwa pluralitas semakin tampil sebagai sebuah kehendak sejarah, sehingga pluralisme agama menjadi sebuah konsekuensi logis yang sehat, serta punya fungsi makna agama menjadi konkrit

dan relevan dalam kehidupan masyarakat (2009: xxvii). Perkembangan zaman dalam hal ini zaman keagamaan Barat yang perlu

diketahui bahwa pada dasarnya konsep Teologi Global John Hick berasal dari Barat tentu melalui sejarah dan proses yang panjang dalam memahami bagaimana proses keagamaan. Artinya bahwa perkembangan keagamaan Barat dilihat dari bagaimana Orang-orang Yunani telah melewati beberapa fase penetrasi dengan tradisi keagamaan dan juga afinitas yang membuat Tuhan orang Yunani harus dimodifikasi oleh Tuhan Alkitab yang lebih paradoksial, sehingga pada ahirnya Barat menjadi memalingkan diri dari tradisi kefilsafatan Barat, karena meyakini akal dan logika tidak dapat berkontribusi bagi kajian tentang Tuhan.

Asumsi, dogma, hukum, moral, ritual agama dalam paham Pluralisme Agama. Paham pluralisme agama berangkat dari tradisi yang berbeda, namun sama dalam masing-masing agama. Sehingga “a common ground” kesamaan asas ini olehnya disebut dengan religio perennis “agama abadi”. Sedangkan

(9)

pemahaman agama di Indonesia dewasa ini mengacu pada sebuah kesimpulan dari pemahaman tentang puralisme agama yang merujuk pada dua aliran yang berkembang.

Pertama adalah konsep teologi global (global theology) John Harwood Hick. Hick adalah seorang teolog dan filsuf agama, Hick menjadi seorang pendiri, serta orang pertama yang menduduki, untuk kelompok All Faiths for One Race (AFFOR). Hick menjabat sebagai pemimpin di Agama dan Budaya Panel, yang divisi dari Birmingham Komite Hubungan Masyarakat, Hick juga memimpin komite koordinasi untuk konferensi 1944 diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Pendidikan baru dengan tujuan menciptakan silabus baru untuk pengajaran agama di sekolah-sekolah kota yang terpengaruhi oleh Wilfred Cantwell Smith dengan world theology (Thoha, 2005: 52-53).

Menurut Hick, upaya untuk mencapai Teologi Global tentu saja tidak mudah, tapi juga tidak mustahil. Hick kemudian menggulirkan sebuah tesis tentang tranformasi dari pemusatan agama menuju pemusatan Tuhan. Terminologi Hick menggunakan (diri) sebagai pengganti “religion” agama dalam melihat fenomena agama. Hick memakai kaca mata Smith yang menggantikan (agama dengan iman). Hick memahami bahwa iman sebagai the exercise of cognitive freedom “latihan kebebasan” (Hick, 1986: 160). Artinya bahwa semua manusia sama, yaitu mulai dari respons negatif, tertutup, dan eksklusif, sampai respons yang positif, terbuka terhadap eksistensi ketuhanan yang dapat menggeser dan menaikan derajat level spiritual seseorang yang gradual menuju eksistensi Tuhan (Hick, 1984: 148).

(10)

John Hick menginterpretasikan fenomena Pluralisme agama berdasarkan kesimpulan Smith bahwasanya kehidupan spiritual keagamaan manusia tidaklah berhenti dan tetap “static”, melainkan senantiasa baru, berkembang dan berubah-ubah secara terus menerus sesuai dengan perberubah-ubahan masa dan perkembangan akal manusia. John Hick kemudian membangun faham pluralisme yang relevan dengan Era Globalisasi dewasa ini, dengan Global Theology “Teologi Global” sebagai wacana keagamaan lintas kultural, menurut Hick Teologi Global akan relevan dengan fenomena pluralisme agama yang dijadikan sebagai bentuk kehidupan beragama yang realitis (Hick, 1980: 8).

Jalan menuju Teologi Global akan semakin terbuka jika pemahaman terhadap konsep tuhan juga direvolusi. John Hick memberikan doktrin penting dalam teorinya Teologi Global dengan keselamatan tidak monolitik, oleh karena itu diperlukan konsep tentang Tuhan yang sesuai. Konsep pluralisme agama dalam hal ini konsep teologi global John Hick mempersempit makna agama sebagai (kumpulan tradisi) yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman (Hick, 1963: 118-121).

kedua adalah aliran kesatuan transenden agama-agama “Transendent Unity of Religions” yang digagas oleh Fritjhof Schuon. Schoun mengatakan bahwa jika masing-masing “form” agama meyakini bahwa sesuatu “form” itu lebih hebat dibanding dengan “form” yang lain. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masing-masing agama adalah benar karena setiap “form” adalah relatif dan terbatas (2013: 15). Menurut Schoun perpindahan agama terjadi justru karena

(11)

adanya superioritas sebuah “form”, artinya bahwa semua “form” agama relatif (Schoun, 2005: 19).

Kedua aliran pluralisme tersebut berkembang dan membangun konsep yang berbeda. Perbedaan konsep di antara dua aliran ini dipicu oleh latar belakang yang berbeda, meskipun kedua aliran pluralisme tersebut sama-sama muncul dari dunia Barat. Barat memiliki traumatik dengan sikap agama ketika itu, sebab jika berbicara tentang agama, yang muncul dipikiran orang Barat adalah kekerasan, inkuisisi, siksaan, kekakuan, merasa benar sendiri. Selain itu, agama dianggap semakin tidak bisa menjawab tantangan kehidupan yang semakin rumit. Kondisi Barat tersebut kemudian menjadikan Barat melihat agama dan kepercayaan perlu di modernisasikan serta disesuaikan perkembangan zaman untuk menjawab perubahan-perubahan yang terjadi.

Paham Pluralisme diperlukan suatu sikap hidup keagamaan yang relatif atau nisbi sebagai jalan keluar dari kemelut perpecahan dan pertentangan agama. Semua agama jika mengambil sikap seperti ini maka agama bukanlah sebagai faktor pemecah belah melainkan perekat yang akan menebar rahmat bagi manusia, sebab kebenaran agama tidak hanya satu melainkan banyak. Cara berpikir seperti ini pemeluk-pemeluk agama akan mendapatkan kerukunan umat beragama dalam kemajemukan agama. Umat beragama selain berani mengakui eksistensi dan hak agama lain juga bersedia aktif dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan berbagai agama menuju terciptanya suatu kerukunan dalam kemajemukan agama (Mulia, 2005: 227-235).

(12)

Pluralisme agama dapat dipahami masuk ke Indonesia pada di saat cendekiawan Muslim membuka kran liberalisasi yang digagas oleh Nurcholish Madjid (Mulia, 2005: 227-235). Berawal dari sinilah pluralisme dijadikan tren kehidupan umat beragama, dengan dalil mencegah dan meredam konflik antar umat beragama. Tetapi, pluralisme agama bukanlah sekedar toleransi antar umat beragama yang sering disuarakan oleh para pendukung pluralisme agama. Pluralisme agama adalah sebuah bentuk untuk menuntut kesamaan dan kesetaraan “equality” dalam segala hal antar agama. Faham tersebut jika diterapkan dalam agama sehingga akan menghilangkan istilah iman-kufur, tauhid-musyrik dan lain sebagainya. Konsekuensi paham ini adalah perubahan ajaran pada tingkatan akidah.

Wacana pluralisme di tanah air tampak begitu ramai setelah MUI menerbitkan fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005. Ketika Fatwa tersebut keluar pendukung pluralisme agama di Indonesia dipukul dengan telak oleh fatwa MUI. Tetapi para pendukung pluralisme agama tidak berhenti begitu saja, ada kencenderungan para pluralis merubah kulit dengan istilah Abrahamic faith dan multikulturalisme dalam hal ini dapat ditinjau dari “……sebutan lama “pluralisme” pun meredup. Namun ada yang memprotes bahwa sebutan “multikulturalisme” terlalu bias, berbau Eropa dan Amerika Utara (Baso, 2005: 27) Tetapi tujuannya tetap sama dengan pluralisme atau kesetaraan.

Uraian di atas, bahwa paham pluralisme agama jelas bukan lahir dari kazanah keindonesiaan, walaupun Indonesia memiliki kebinnekaan. Kaum pluralisme mengklaim bahwa pluralisme agama adalah bentuk menjunjung tinggi

(13)

dan mengajarkan toleransi, tetapi kenyataannya adalah memaksakan kehendaknya terhadap umat beragama. Sekilas, pandangan ini ingin menawarkan pandangan yang ramah terhadap pluralitas atau keberagaman agama, namun apabila dicermati secara seksama pandangan di atas mempunyai implikasi terhadap agama-agama untuk merevolusi doktrin teologisnya dan pada akhirnya menghilangkan jadi diri agama itu sendiri. Hal tersebut disebabkan adanya kesalahan dalam memandang agama baik secara metodologis, epistemologis dan aksiologis (Thoha, 2005: 123-141).

Tipologi pluralisme yang ada di Indonesia adalah global teologi dan Transendent Unity of Religions. Baik aliran global teologi atau kesatuan agama-agama adalah memiliki berbasis relativisme, teosofis dan nihilisme. Sejatinya, pandangan ini ingin mengantarkan manusia kepada sebuah kesepakatan pandangan bahwa semua agama merupakan manifestasi-manifestasi dan bentuk-bentuk yang beragam dari hakikat esoterik yang tunggal (Thoha, 2005: 117-118).

Para penggiat pluralisme sebagaimana meyakini bahwa semua jalan keagamaan akan mencapai pada satu tujuan yang sama yaitu Tuhan. Akan tetapi ketika kaum Perennialis menelusuri berbagai macam teologi, maka ditemukan di dalamnya banyak sekali pertentangan antara keyakinan, sehingga René Guénon, Smith, John Hick, Schoun, Coomaraswamy melakukan usaha-usaha dalam rangka menyatukan semua kebenaran dengan mempertemukan tiap-tiap keyakinan. Dalam hal ini para pluralis diatas mengambil pembenaran dari gerakan-gerakan mistisme di tiap-tiap agama untuk kemudian dijadikan simbol bagi titik temu agama.

(14)

Problematika melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan orang Kristen, Islam, Budha, Hindu dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-nya yang sewenang-wenang, tidak akan lagi menghalanginya, sehingga manusia boleh berhenti mengalihkan mata filsuf Barat kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari dunia ini. kebebasan dalam hal ini untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif, tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Pemikiran Nietzsche ini banyak mempengaruhi pemikiran liberal kaum intelektual termasuk Frithjof Schoun, René Guénon, John Hick, Huston Smith, Martin Lings, William Chittick, dan Seyyed Hosein Nasr.

Doktrin yang dipergunakan para pemikir Pascamodern untuk menggugat agama adalah konsep tentang nilai, artinya proyek yang dikerjakan dalam Pascamodernisme adalah penghapusan nilai dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Doktrin penghapusan nilai yang didengungkan oleh Nietzsche adalah doktrin nihilisme. Pandangan Nietzsche proses nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang membawa pada kesimpulan doktrin “kematian tuhan”. Nihilisme dalam pandangan Heidegger yang menunjukkan penghapusan being, maka kedua konsep tersebut menuju pada satu titik di mana manusia berpegang pada struktur nilai, nilai yang tidak lagi bermakna, suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang metafisis, agamis ataupun mengandung unsur ketuhanan (Husaini, 2013: 112).

Pemikir pascamodern adalah sistem pemikiran yang anti agama, sehingga dalam memahami Tuhan dan agama membawa berbagai konsekuensi. maksudnya

(15)

jika agama dipahami seperti itu maka religiusitas akan dimaknai selaras dengan pemahaman itu. Artinya bahwa pemahaman tentang Tuhan harus dipahami dengan keinginan manusia itu sendiri, hilangnya makna dalam struktur nilai akan menimbulkan relativitas pada semua hal, salah satunya nilai pada Tuhan dan berdampak kepada nilai-nilai dalam agama. Walaupun dalam berbagai kamus, terdapat makna pluralisme sebagai toleransi atau sikap saling menghormati keunikan masing-masing, tetapi pluralisme agama adalah sebuah paham atau cara pandang terhadap pluralitas agama yang paham ini memandang semua agama sebanding dengan agama-agama lainnya (Husaini, 2005: 339).

Menghadapi dunia yang semakin plural, yang dibutuhkan bukan bagaimana menjauhkan diri dari adanya pluralitas, melainkan bagaimana mencari cara atau mekanisme untuk menyikapi pluralitas tersebut. Penulis oleh karena itu ingin menjelaskan dan menganalisis bagaimana teologi John Hick mengenai Pluralisme Agama ditinjau dengan Filsafat perennialisme Frithjof Schoun sebagai pisau analisis. Penulis memahami bahwa, tradisi filsafat perennialisme atau religio perennialis Frithjof Schoun dapat dijadikan landasan dasar untuk berpijak dalam memahami pluralisme agama John Hick, perlu diketahui bahwa konsep kedua tokoh sangat berbeda karena latar belakang pemikiran pun berbeda, akan tetapi perennialisme Schoun menurut hemat penulis bisa untuk lebih jauh mengupas pemikiran teologi John Hick dalam Paham Pluralisme Agama yang di usungnya.

Penelitian berobjek material pluralism agama melihat Hick dan analisis filsafat perennialisme Schoun sebagai dua tokoh yang melihat problematika

(16)

keagamaan tersebut secara filosofis, serta objektif dengan menganalisa teorinya Teologi Global yang dianggap paling relevan dalam kajian pluralisme agama. Sehingga melihat pentingnya dan pengaruh dari buah pemikiran kedua tokoh tersebut untuk dikaji, dua paham ini kemudian dikenal dengan nama pluralisme agama. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis, namun inti dari teori ini juga tetap sama yaitu membawa faham relativisme.

Paham tersebut yang telah banyak merebak di sudut-sudut wilayah akademis juga berbagai bidang lainnya. Paham ini pun telah melahirkan sesuatu tatanan etika dan moralitas baru. Oleh karena itu penulis merefleksikan pemikiran kedua tokoh yang dianggap relevan pada problematika paham pluralisme agama. konsep dan pemahaman mengenai agama telah menjadi produk manusia-manusia Modern serta konsep sehingga pemikiran kedua tokoh banyak menjadi acuan manusia dalam membuat sebuah framework mengenai paham pluralisme agama. Baik pro maupun kontra, baik MUI yang melarang maupun pluralis yang mendukung.

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, Penulis menyusun rumusan masalah dengan dasar pendekatan filsafat sebagai berikut:

a. Apa konsep dari filsafat Perennilisme Frithjof Schoun. b. Bagaimana Pluralisme agama dalam Teologi John Hick.

c. Bagaimana Pluralisme Agama Hick dari sudut pandang Perennialisme Schoun.

(17)

d. Bagaimana pluralisme agama dalam konteks agama dan keIndonesiaan 2. Keaslian Penelitian

Peneliti belum menemukan penelitian yang memfokuskan pembahasan seperti judul dari tulisan karya ilmiah ini. Peneliti menemukan beberapa penelitian yang membahas tentang persoalan yang hanya terkait dengan objek formal penelitian atau hanya terkait dengan objek material penelitian ini. Beberapa penelitian yang ditemukan oleh peneliti memiliki kemiripan pembahasan yang terkait dengan objek formal ataupun objek material penelitian ini adalah sebagai berikut:

Dengan keaslian temuan beberapa penelitian yang mengarahkan pembahasannya hampir mendekati kemiripan dengan objek material dan objek fromal penelitian ini yaitu

a. Tahun 1995, skripsi yang berjudul Toleransi Islam Di Tengah Pluralitas Di Indonesia, yang ditulis oleh Ahmad Zuhdi mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, skripsi ini menjelaskan bagaimana umat Islam menyikapi pluralitas dan keragamaan didalam kebhinekaan di Indonesia, dengan toleransi Islam yang memang dianjurkan oleh Nabi bagaimana hidup bermasyarakat ditengah-tengah masyarakat yang plural.

b. Tahun 2001, tesis yang berjudul Konsep ketuhanan dalam filsafat perennial, analisis konseptual bagi pluralisme di Indonesia, tesis yang ditulis oleh Arqom Kuswanjono mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Konsep ketuhanan dalam filsafat perennial lebih melihat kepada

(18)

kesatuan, kesamaan dalam semua agama-agama sebagai solusi yang tepat untuk menghadapi permasalahan global, maka para pluralis di Indonesia memahami bahwa pluralisme adalah sunnatullah.

c. Tahun 2007 tesis dengan judul Sikap muhamadiyah terhadap pluralitas di Indonesia, tesis yang ditulis oleh Syarif Hidayatullah mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Tesis ini menjelaskan bahwa, organisasi masyarakat muhammadiyah memberikan sikap terhadap permasalahan kemajemukan masyarakat yang ada di Indonesia.

d. Tahun 2011 skripsi yang berjudul Fritjhof Schoun on Esoteric Meaning of Religion, ditulis oleh Arif Maulana mahasiswa Universitas Darusalam, Ponorogo, jawa timur, 2011. Skripsi yang ditulis oleh Arif maulana menjelaskan bagaimana Frithjof Schoun menyatukan esensi Agama-agama pada wilayah esoterik, menurut Schoun wilayah Eksoterik adalah form Agama sedangkan Esoterik adalah wilayah Substansi yang sama.

e. Tahun 2014 disertasi berjudul Tradisi Menurut Filsafat Perennial Seyyed Hossein Nasr dan Relevansinya bagi Pluralitas kehidupan Umat beragama Di Indonesia, Disertasi yang ditulis oleh Husna Amin mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tradisi dalam filsafat perennial di pahami sebagai inti dari ajaran agama yang penting dan menjadi kekuatan setiap agama-agama yang di miliki untuk membedakan asal, kekhasan dan keunikan setiap agama.

(19)

f. Tahun 2014 tesis yang berjudul Pemikiran Karen Amstrong Tentang Pluralisme Agama Ditinjau dari Filsafat Agama, tesis yang ditulis oleh Destriana Saraswati mahasiswi Universitas Gadjah Mada. Karen memiliki kepercayaan keagamaan yang kuat, tetapi dengan sedikit keimanan kepada Tuhan yang dianggap sebagai figur kabur yang lebih didefinisikan melalui abstraksi intelektual dari pada imaginasi ditinjau dari Filsafat Agama.

Dengan hasil temuan beberapa penelitian yang mengacu pada pembahasan peneliti hampir mendekati kemiripan dengan objek material penelitian ini yaitu pemikiran Karen Amstrong tentang pluralism agama ditinjau dari filsafat agama, sedangkan objek formal penelitian ini yaitu filsafat perennialis Frithjof Schoun, serta beberapa penelitian yang terkait dengan penjelasan seputar persoalan objek formal yaitu pemikiran Frithjof Schoun yang dibahas oleh mahasiswa pascasarjana Universitas Darusallam, dengan seputar persoalan objek formal terkait pembahasan mengenai Filsafat Perennial yang dibahas oleh Husna Amin mahasiswa Universitas Gadjah Mada dengan judul Tradisi Menurut Filsafat Perennial Seyyed Hossein Nasr dan Relevansinya bagi Pluralitas kehidupan Umat beragama Di Indonesia, kemudian tesis yang berjudul Konsep ketuhanan dalam filsafat perennial, analisis konseptual bagi pluralisme di Indonesia, yang ditulis oleh Arqom Kuswanjono mahasiswa Universitas Gadjah Mada. namum sejauh ini peneliti belum menemukan penelitian yang memiliki kesamaan secara penuh terkait dengan objek material dan objek formal dengan penelitian ini.

(20)

3. Manfaat Penelitian

Penelitian terhadap konsep Pluralisme agama dalam teologi John Hick dari sudut pandang Perennialisme Frithjof Schoun memiliki beberapa manfaat sebagai berikut:

a. Bagi peneliti

Penelitian ini adalah penelitian lanjutan dari peneliti yang diharapkan mampu memberi dorongan positif terhadap peneliti dalam memperdalam, dan melengkapi studi tentang agama, keyakinan, nilai-nilai agama maupun sebagai landasan sebuah pemikiran kontemporer yang selama ini banyak di kalangan sarjana muslim membicarakannya. Penelitian ini disisi lain tidak hanya menutup kemungkinan untuk mendorong peneliti melakukan penelitian selanjutnya dengan eksplorasi terhadap berbagai serangan pemikiran baik dari dalam agama maupun luar.

b. Bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan

Penelitian ini memicu kesadaran pada pentingnya dan perkembangan penelitian yang lebih dalam terhadap keyakinan dan paham bagaimana melihat keragaman dalam agama-agama, yang begitu banyak dan beragam. Karena Tuhan bukan sekedar nama yang termanifestasikan di dalam keragaman agama-agama, melainkan Tuhan yang mutlak Tuhan yang absolut lah yang hanya terdapat pada satu agama yang benar.

Tuhan sebagai akal kolektif dan bukan lagi zat yang Maha Kuasa, maka Tuhan tidak diperlukan lagi oleh manusia, karena manusia telah “merasa” mampu menyelesaikan permasalahan permasalahan dunia tanpa Tuhan. Penelitian ini

(21)

diharapkan dapat memperkaya kajian filsafat agama maupun filsafat ketuhanan, filsafat Islam serta kajian lainnya terhadap berbagai problematika keagamaan, yang masih kurang dipahami serta perkembangannya, untuk dapat berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama di fakultas filsafat maupun di Universitas Gadjah Mada.

c. Bagi bangsa Indonesia

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan cara pandang baru dalam hal memahami bagaimana iman dan keyakinan dalam agama-agama yang beragam di Indonesia, serta memotivasi maupun berbagai dorongan yang mendasarinya, yang selama ini masih sering diperdebatkan, karena sejatinya pengertian toleransi beragama didalam masyarakat yang majemuk berbeda dengan pemahaman pluralism agama yang berbicara tentang kesamaan dan kesatuan semua agama.

Rasanya sangat signifikan untuk merenungkan dan memikirkan kembali konsep toleransi melihat banyaknya keaneragamaan suku, adat, budaya, agama, etnic dll. Oleh karena itu perlunya kesadaran dalam menerima beranekaragaman sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Kendati berbeda-beda akan tetapi bisa tumbuh secara bersama-sama bukan saling men judge antara satu dengan yang lainnya, saling membantu dalam membentuk negara Indonesia yang damai, inilah hemat peneliti yang bisa dinyatakan sebagai toleransi ataupun tasamuh.

Terjadinya konflik antar agama menimbulkan sekelompok manusia berfikir bahwa setiap agama hanya menyatakan agama yang paling benar. Maka, beberapa akademisi muda maupun tua memahami adanya kesamaan dalam setiap agama, kesamaan tujuan, kesamaan larangan ataupun kesamaan perintah.

(22)

Gambaran ini menunjukkan bahwa dengan dihapusnya nilai-nilai transcendental, maka Tuhan telah direduksi menjadi semangat kebansaan dan kebudayaan. Hal ini berarti dan berimplikasi pada pembebasan pemikiran rasional dari agama dan segala macam kepercayaan yang ada di masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan agar menambah sedikit wawasan dalam pemahaman agama yang tidak hanya secara parsial namun menyeluruh, dengan berlandaskan perspektif filsafat sehingga dapat membantu menyelesaikan permasalahan dengan mencari jalan keluar yang bijak.

B. Tujuan Penelitian

Pokok gagasan penelitian ini dilakukan adalah untuk memahami paham Pluralisme agama John Hick perspektif filsafat perennial Frithjof Schoun, sebagaimana theology global memahami makna Tuhan, hingga pemikiran John Hick memahami Pluralisme Agama ditinjau dari Perennialisme banyak yang digunakan sebagai acuan para pluralis agama sebagai kerangka dasar dalam membangun dan memperkuat gagasan para tokoh liberal pluralis memahami tentang agama. Global teologi maupun Filsafat Perennialis Schoun Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian ini memiliki tujuan yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Memahami bagaimana sejarah, konsep filsafat perennial Frithjof Schoun 2. Menganalisa Pluralisme agama dengan memahami secara objektif konsep

teologi John Hick

3. Menganalisis permasalahan pluralism agama teologi John Hick, dengan menjadikan konsep pemikiran Perennialisme Schoun sebagai sudut pandangnya

(23)

4. Menganalisis keterpengaruhan, implikasi maupun perbedaan makna pluralisme agama dalam konteks agama dan ke Indonesiaan.

C. Tinjauan Pustaka

Setelah peneliti telusuri tentang karya-karya yang menyangkut penelitian pluralisme agama ditinjau dari filsafat perennial dan filsafat agama, di beberapa perpustakaan (seperti Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Perpustakaan UNIDA, dan Perpustakaan UGM sendiri, yang penulis dapatkan dari beberapa penelitian yang bersangkutan dengan tokoh dalam objek formal yaitu Frithjof Schoun ialah penelitian yang berjudul Frithjof Schoun on Esoteric meaning of Religions, oleh Arif Maulana, mahasiswa pasca sarjana IUIM Malaysia, sedangkan yang bersangkutan dengan objek material yaitu pemikiran Karen Amstrong tentang pluralisme agama ditinjau dari filsafat agama yang ditulis oleh Destriana Saraswati mahasiswi Universitas Gadjah Mada.

Penelitian di atas menyimpulkan bahwa penelitian sebelumnya belum menyelesaikan secara tuntas permasalahan pluralisme agama, maka peneliti berasumsi bahwa masih sangat diperlukan kajian kefilsafatan, khususnya mengenai makna pluralisme agama dalam teologi John Hick yang ditinjau dari filsafat Perennialisme Frithjof Schoun sehingga dampak pemikiran Schoun dan Hick memicu pemahaman pluralisme agama di Indonesia.

Doktrin yang dipergunakan para pemikir Pascamodern untuk menggugat agama adalah konsep tentang nilai, penghapusan nilai “dissolution of value” dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini dilakukan dengan mereduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai mutlak oleh

(24)

agama dan masyarakat. Doktrin penghapusan nilai yang terkenal yang didengungkan pertama kali oleh Nietzsche adalah doktrin Nihilisme. Nietzsche dalam karyanya, will to power, menggambarkan nihilisme sebagai situasi ketika “manusia berputar dari pusat kea rah titik X” hal ini dimaksudkan bahwa nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya.

Menurutmu pandangan Nietzsche proses Nihilisme adalah devaluasi nilai tertinggi, yang membawa pada kesimpulan doktrin “kematian Tuhan”. Di sini realitas tidak lagi dipahami dalam bentuk susunan dimana sang pencipta diposisikan pada puncak herarki yang mutlak, semua menuju kepada titik dimana manusia tidak lagi berpegangan dengan struktur nilai, sehingga nilai tidak termaknai. Nilai kemudian tidak lagi berkaitan dengan agama dan kepercayaan, karena agama tidak bernilai, Nietzsche memahami bahwa kebenaran akan selalu berubah karena struktur nilai tidak ada. Nihilisme ini bertujuan untuk menghapus semua claim kebenaran realitas maupun kebenaran agama sekalipun.

Pada filsafat pascamodern menegaskan bahwa, istilah agama kemudian melebur dengan cara menyingkirkan tuhan dan rujukan segala bentuk nilai sebagai fondasinya. Artinya bahwa suatu nilai dapat dikatakan bernilai jika nilai yang memiliki hubungan dengan nilai-nilai lain atau bahkan saling tukar menukar, karena agama memiliki status yang sama dalam wajah universal, maka nilai dalam agama yang dianggap layak bernilai adalah nilai yang dapat saling tukar menukar antara satu dengan yang lainnya. Pluralisme dengan demikian dapat diartikan sebagai paham persamaan, kesetaraan, relativitas, dan menolak kebenaran mutlak.

(25)

Pluralisme agama lebih dipahami sebagai paham relativitas kebenaran yang memandang bahwa tidak ada kebenaran atau semuanya sama-sama benar.

Wacana kesatuan transendent agama-agama Schoun dan Hick akhirnya adalah salah satu wacana sufi kontemporer maupun pembebasan nilai dalam suatu kebenaran dalam hal ini agama yang perlu ditanggapi. Wacana tersebut secara nyata telah menjadi bagian distorsi agama Islam. Dasar ontologis yang diterapkan oleh Anton Bakker mewakili metafisika yang mendasari Frithjof Schoun, walaupun tidak semua buku Schoun menjelaskan secara jelas bagaimana dan apa dasar dari metafisika Schoun sehingga menimbulkan dampak pemikiran yang plural terhadap hal yang sifatnya transenden yaitu agama dan Tuhan.

Jelas bahwa, filsafat abadi yang juga diambil oleh Schoun menimbulkan dua konsep yang sangat berpengaruh dalam paham pluralisme religious yaitu, konsep eksoteris “Eksoterik yang berarti pengetahuan yang boleh diketahui oleh sapa saja”, Schoun membagi agama-agama dalam dua dimensi agama-agama dalam dua dimensi, pertama dimensi eksoterik dan kedua dimensi esoterik maka, menurut Schoun agama-agama seperti Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Konghuchu dan kepercayaan-kepercayaan lainnya. Merupakan bentuk lahiriyah yang dipisahkan oleh garis horizontal dan bertemu pada hakikat esoterik (Smith, 1993: xii)

Dimensi esoterik agama-agama itu berada di atas dimensi eksoteris dan pada dimensi esoterik itulah menurut Schoun terdapat titik temu agama-agama. Titik temu agama-agama John Hick meng-interpretasikannya melalui model Copernican Revolution, yang mana Heliosentris adalah panduannya. Teori yang

(26)

menginspirasi Hick adalah matahari sebagai pusat tata surya, maka masing-masing kemudian sampai pada sebuah “petunjuk” yang sama. Global teology yang menjadikan paham pluralisme sebagai hubungan antar beragama yang realistik.

Konsep pluralisme agama dalam teologi global John Hick yang dipopulerkan oleh Smith lalu diteruskan John Hick secara filosofis dengan menjadikan makna agama sebagai “kumpulan tradisi” yang lalu kemudian berkembang seiring dengan perkembangan zaman didukung dengan proses historis atau sumbangan intelektual yang terus berubah akan mengubah hakikat agama menjadi sistem keagamaan yang pada ahirnya memenuhi tuntutan dan norma modernitas.

Menurut Kenneth pluralisme agama adalah wacana yang secara substansial tidak berbeda dengan wacana orientalisme. Orientalisme yang bersifat sekterian, memaksa dan mendominasi. Pluralisme agama ingin memodifikasi realitas historis sebagai kemanusiaan dan relevan dengan Era Globalisasi saat ini. Wacana keagamaan lintas kultural menurut Hick harus dibungkus dalam kemasan yang Hick sebut sebagai Global Theology (Teologi Global). Hick memandang bahwa agama-agama adalah realitas dari tanggapan budaya manusia yang berbeda-beda dari satu Yang Nyata “the reality” (Hick, 2006: 65).

Pluralisme agama Hick menekankan pada perubahan makna agama sebagai world teologi dengan iman dalam tradisi keagamaan yang berbeda melebur menjadi global teologi, sedangkan Frithjof Schoun menyatukan tradisi agama-agama atau bentuk setiap agama “eksoterik” menjadi kesatuan pada titik

(27)

keimanan “eksoterik”. Oleh karena itu, kedua tokoh memiliki tujuan yang sama walaupun dengan konsep yang berbeda sehingga penulis mencoba memahami Hick dengan teori perennilisme Schoun. Tentu dalam penelitian ini berbeda dengan apa yang sudah ada, karena penelitian tentang meaning religion Frithjof Schoun dan pluralisme Karen Amstrong substansi pemikiran berbeda dengan pluralisme John Hick maupun Frithjof Schoun.

D. Landasan Teori

Fisafat berarti berpikir, sedangkan agama berarti mengabdikan diri. Begitu juga orang yang mempelajari agama, tidak hanya puas dengan pengetahuan agama, akan tetapi juga memerlukan membiasakan dirinya dengan hidup secara agama, mengutip dari temple William yang mengatakan bahwa filsafat itu adalah menuntut pengetahuan untuk beribadah, pokok dari agama menurutnya bukan semata pengetahuan tentang Tuhan, akan tetapi perhubungan antara seseorang manusia dengan Tuhan (Rasjidi, 1965: 10).

Agama dengan filsafat memiliki perbedaan yang sangat mendasar bahwa, agama banyak hubungannya dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungannya dengan pikiran, akal. Perbedaan lebih jauh antara filsafat dengan agama adalah filsafat walaupun bersifat tenang dalam pekerjaannya akan tetapi sering mengeruhkan pikiran pemeluknya, sedangkan agama walaupun memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian diri, akan tetapi mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya.

Oleh karena itu maka, berpikir filsafat adalah penting dalam mempelajari agama, karena manusia telah banyak berpengalaman dan telah banyak melakukan

(28)

kekeliruan-kekeliruan dalam berpikir maka manusia mengadakan macam-macam cara atau metode untuk menghindarkan diri dari problematika dan kekeliruan dalam pemahaman agama. Banyak jalan dalam menyelidiki soal-soal keagamaan sebagaimana dapat manusia harus mempelajari suatu agama, termasuk di dalamnya sejarah alam pikiran dalam agama tersebut, maka manusia dapat pula membaca literatur keagamaan atau dapat dengan mempelajari cara-cara ibadah dalam sesuatu agama dan pelajaran pelajaran yang tertentu dalam masyarakat yang beragama tersebut.

Keraguan dalam diri manusia tentang agama sangatlah sulit dihilangkan karena sejatinya manusia memiliki rasa keingintahuan yang cukup kuat, namun keraguan tersebut dapat dihilangkan apabila manusia mempelajari ajaran agama tersebut lewat teks maupun konteks yang memang sudah menjadi pedoman bagi agama yang dipeluk. Kesulitan lain dalam menyelidiki agama, adalah kenyataan, bahwa dalam tiap-tiap agama terdapat beberapa paradox atau hal-hal yang kelihatannya bertentangan.

Tuhan memberikan akal kepada manusia dan dengan akal itu manusia dapat memikirkan hal-hal yang mengelilingi permasalahan manusia dalam alam kehidupan. Manusia pada ahirnya mengetahui dengan akal tentang adanya Tuhan dan sifat-sifat Tuhan. Tuhan kemudian menambah sesuatu hal baru yaitu menurunkan wahyu kepada beberapa orang yang diangkat sebagai utusannya, diantaranya kepada para nabi. Tradisi kefilsafatan meliputi kajian tentang kesamaan agama-agama banyak penelitian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perenialisme. Maka, perlu kiranya melihat bagaimana filsafat perennial ini

(29)

sebagai batu pijak sebelum mendalami kompleksitas tuhan bagi para Frithjof Schoun dan John Hick.

Filsafat perennial memandang dalam mencari titik temu agama-agama banyak bertentangan dengan doktrin tiap-tiap agama, karena tidak ada suatu agama yang mengakui kebenaran agama lainnya. Peneliti dalam memudahkan penulisan tesis ini mengambil beberapa point penting dalam pembahasan filsafat perennial yang pertama; bentuk dan substansi dalam agama Setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi. Substansi memiliki hak-hak yang tidak terbatas, sebab agama lahir dari yang mutlak sedangkan bentuk “form” adalah relative, oleh karena itu hak-haknya terbatas. Dua fakta yang perlu diketahui adalah yang pertama, bahwa tidak ada redibilitas mutlak pada tingkat fenomena semata, kedua bahwa penafsiran harfiah dan eksklusif atas pesan-pesan agama diperdayai oleh ketidaktepatan redibilitas dan penafsiran harfiah dan eksklusif yang relatif sepanjang menyangkut orang-orang beriman dari agama-agama lain tetapi tentu saja tidak dalam daerah-daerah mereka sendiri yang telah ditakdirkan. Hal ini membuktikan bahwa secara ekstrinsik agama dibatasi oleh bentuknya, persis seperti beberapa bentuk geometris tertentu tidak dapat menunjukkan seluruh kemungkinan ruang dengan sendirinya (Nuruddin, 1993: 25-26).

Perennialisme menawarkan sesuatu yang sangat berbeda, meski melihat realitas sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, perenialisme tetap memberi tempat bagi pluralitas dalam segala macam bentuk. Ungkapan bahwa keseluruha itu hadir di dalam setiap bagian tampaknya menjadi dasar penerimaan terhadap pluralitas. Masing-masing bagian yang membentuk pluralitas tidak lain adalah

(30)

manifestasi dari keseluruhan yang tunggal. Pluralitas perennial tetap mengandaikan adanya keterkaitan masing-masing elemen membentuk sebuah realitas yang plural (Wora, 2006: 87).

Pluralitas dalam kaca mata perennialisme bukanlah keragaman yang acak “tidak beraturan”, melainkan keragaman yang tertata, yang mengarah pada sebuah harmoni. Perennialisme menerima semua bentuk pengetahuan, termasuk sains, agama, sebagai pengetahuan-pengetahuan yang mampu memberi kebenaran tentang sebuah realitas yang sama (Wora, 2006: 87). Fritjhof Schuon dalam hal ini mengatakan bahwa ortodoksi atau sikap eksklusifitas dalam agama adalah wajar, Schoun mengatakan “the essence of every orthodoxy is the truth”, pernyataan ini bisa dimaknai bahwa Fritjhof Schuon membenarkan semua kebenaran agama-agama yang bertentangan sebagai sebuah keyakinan yang sama dan setara. Melalui ortodoksi agama, Fritjhof Schuon menginginkan sebuah jalan di mana manusia dapat mencapai yang absolut (Schoun, 2001:13) manusia yang mengarah kepada transendensi itulah maka kebebasan bisa dihayati, hanya dengan itulah manusia terhindar dari suatu eksistensi yang hampa dan tak bermakna (Siswanto, 2004:80).

Beralih dari penganut satu agama ke agama lain bukan hanya mengubah konsep-konsep dan sarana-sarana ruhaniyyah, melainkan juga mengubah sekumpulan perasaan dengan yang lain. Dengan adanya perasaan munculah pembatasan-pembatasan, batas perasaan yang melingkupi setiap agama dalam sejarah membuktikan dengan caranya sendiri batasan-batasan dari seluruh eksoterik (Nuruddin, 1993: 27) Pengertian Substansi “dalam” dalam pernyataan

(31)

pernyataan yang dibuat oleh agama bersifat mutlak. Akan tetapi di luar “bentuk” dan seterusnya pada tingkat kemungkinan manusiawi, pernyataan-pernyataan tersebut bersifat relative (Nuruddin, 1993: 27)

Yang kedua, Wujud penyelamat dari yang mutlak adalah kebenaran atau kehadiran, akan tetapi tidak pernah salah satunya berdiri sendiri. Karena kebenaran selalu disertai kehadiran dan kehadiran disertai kebenaran (Nuruddin, 1993: 15) Secara apriori atau secara eksoterik, unsur kebenaran dalam agama Kristen, sebagaimana dalil bahwa Kristus adalah Tuhan, dan bahwa kristus sajalah Tuhan. Tetapi, secara aposteriori atau secara esoterik, kebenaran Kristus di satu pihak berarti bahwa setiap perwujudan dari yang mutlak identik dengan yang mutlak dari pihak lain, yang berarti bahwa perwujudan itu bersifat transenden dan selalu ada.

Yang ketiga adalah gagasan mengenai kemungkinan secara apriori membuka dua penafsiran; yang pertama adalah “horizontal” yang kedua “vertical”, di satu pihak ada yang mengatakan, “hal itu mungkin, karenanya dapat dilakukan” di lain pihak ada yang mengatakan “hal itu telah dilakukan, atau hal itu ada, karena hal itu mungkin. Kemungkinan yang pertama adalah yang terjadi maupun yang tidak terjadi, dan dengan demikian kebalikan dari keharusan, kemungkinan yang kedua adalah yang harus terjadi dan karenanya bersifat kausal dan merupakan keharusan karena Tuhan “ada” (Nuruddin, 1993: 157)

Bukan membatasi diri dengan membedakan antara yang mungkin dan yang nyata, serta perwujudan adalah yang kebetulan atau khayalan. Bagaimanapun juga perbedaan tersebut tidak memadai, yang mungkin jika yang

(32)

mungkin diartikan sebagai perluasan yang tidak terbatas dari kemungkinan-kemungkinan modal dan temporal. Tetapi sebagai potensi prinsip, yang mungkin tentu saja lebih nyata dari pada yang aktual atau yang terwujud (Nuruddin, 1993: 157-158).

Kriteria logis yang dimaksud dengan mungkin adalah seperti mungkin bagi benda-benda untuk tidak menjadi, karena wujud yang harus termasuk dalam prinsip ilahi semata, tetapi benda-benda itu menjadi eksistensinya, secara relatif sebagai fungsi dari prinsip kekhususan yang sesuai dengan eksistensi (Nuruddin, 1993: 158).

Ke empat adalah mengenai “teodisi” Permasalahan wujud dan luar wujud antara prinsip ontologis dan eksistensi dengan esensi supra ontologis, kerancuan ini disebaban oleh penafsiran teologis yang satu pihak memandang Tuhan secara antropomorfikal, seolah-olah Tuhan adalah subjek manusiawi dan di lain pihak, adannya pernyataan mengenai seluruh sifat ilahi yang tidak sesuai.

Apa yang dikehendaki oleh esensi karena keterbatasannya dan arena sebagaimana Agustinus merumuskannya “yang baik pada dasarnya cenderung untuk penyebaran dirinya sendiri adalah pancarannya sendiri dan, karenanya dunia itu sendiri dan totalitasnya, sehingga perwujudan ini mengisyaratkan suatu jarak dari sumber, sehingga dalam menghendaki perwujudan, esensi itu secara implisit dan tidak langsung menghendaki “kejahatan” harga yang harus dibayar (Nuruddin, 1993: 167).

Ke lima adalah tradisi dalam pemikiran Schoun berkaitan mengenai titik temu agama-agama yang merupakan produk dari pengalamannya ketika terlibat

(33)

dalam kehidupan agama-agama. Namun, pengalaman yang dimaksud bukan dari agama itu sendiri. Pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada masyarakat dan seluruh manusia akan tetapi dapat diraih oleh elit tertentu dalam setiap agama. Jadi, kesatuan transenden merupakan bentuk dari pengalaman – pengalaman keagamaan yang berbeda.

Fritjhof Schuon dalam hal ini mengatakan bahwa ortodoksi atau sikap eksklusifitas dalam agama adalah wajar, Schoun mengatakan “the essence of every orthodoxy is the truth”, pernyataan ini bisa dimaknai bahwa Fritjhof Schuon membenarkan semua kebenaran agama-agama yang bertentangan sebagai sebuah keyakinan yang sama dan setara. Melalui ortodoksi agama, Fritjhof Schuon menginginkan sebuah jalan sebagaimana manusia dapat mencapai yang absolut (Schoun, 2001: 13) Pandangan Schuon sedikit berbeda dengan gurunya Guénon yang kurang menyukai ortodoksi agama-agama karena dengan adanya sikap ortodoksi agama hanya akan menciptakan pertentangan di dalam agama-agama (Guénon, 2001: 15). Walau demikian keduanya tetap setuju terhadap pandangan bahwa manusia perlu mencapai kebenaran yang melampaui kebenaran agama-agama.

Frithjof maupun Guénon bersependapat dalam menolak sikap eksklusif dan membuka jalan yang selebar-lebarnya bagi setiap kebenaran yang ada. Oleh karena itu, kaum perennialis selalu mencari sebuah solusi untuk mengobati sikap ortodox-eksklusif dalam beragama, sekaligus mencari representasi pada setiap agama dapat dipertemukan. Senada dengan Schoun dan Guénon, MH Ainun Najib (Cak Nur) tidak jauh beda yang berangkat dari premis bahwa sekalipun semua

(34)

agama pada intinya sama dan satu, tetapi termanifestasi sosio kulturalnya secara historis yang berbeda-beda. Meskipun Cak Nur menghendaki sejalan dengan semangat Al-Qur’an agar fenomena lahiriah dalam keragamaan di Indonesia tidak menghalangi usaha untuk menuju titik temu “common platform” antara semuanya, jikalau rumusan linguistik dan verbal keyakinan keagamaan itu berbeda-beda, dapat dipastikan bahwa eksternalisasi keimanan itu dalam dimensi kemanusiaan tentu sama, karena menyangkut kerja nyata (Madjid, 2001: 45-56).

E. Metode penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (Library Research). Mendefinisikan objek material yaitu pluralisme agama dalam teologi John Hick, kemudian sebagai objek formal dari teori pluralis John Hick adalah filsafat perennialisme Frithjof Schoun, dan berdampak pada pemahaman pluralitas agama yang salah dengan menyandingkan dengan pluralisme agama, sehingga pemikiran John Hick dan Frithjof Schoun tentang pluralisme agama sebagai pemberi kontribusi gagasan para pluralis agar dapat memperkuat pemikiran pluralis terkait dengan semua agama benar.

2. Sumber Data

Ada beberapa sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder :

(35)

Adapun sumber data Primer, adalah buku-buku ataupun arsip yang berkaitan langsung dengan objek material penelitian, dalam hal ini teks Frithjof Schoun dan John Hick Seperti;

1) Hick, John, 1981, God and Univerfitas of faith, St Martin’s press, New York

2) Hick, Jhon. 1989. An Interpretation of Religion Human Responses to the Transcendent, London: Macmillan

3) Schoun, Frithjof, Rene Guénon , 1984, Some Observations, Sophia Perennis, Hillsdall

4) Frithjof Schoun 2007, Spiritual Perspectives and Human Facts, Wisdom Books, Canada

5) Frithjof Schoun 2006, Sufism, Veil and Quintessence, terj, Mark Perry dkk, World Wisdom, Bloomington

6) Frithjof Schoun, 1999, the Transcendent Unity of Religion, Suhail Academy, Lahore

7) Frithjof Schoun, 1987, The Transcendent Unity of Religion, The Theosopichal Publishing House, London

8) Frithjof Schoun, 2010, Frithjof Schoun and the Perennial Philosophy, World Wisdom, Canada.

b. Sumber data Sekunder

Adapun sumber data sekunder, yaitu sumber data yang berupa buku-buku serta kepustakaan yang berkaitan dengan objek material, namun bukan merupakan

(36)

karya ataupun keluaran langsung dari objek material namun berkaitan mengenai objek material penelitian ini. Seperti buku

1) Argument pluralisme agama, membangun toleransi berbasis al-Qur’an karangan Abd Maqosith Ghazali, Religious Pluralism Christian and Islamic Philosophy; The Thought of John Hick and Seyyed Hossein Nasr, Curzon Press

2) Thoha 2005 Tren Pluralisme Agama; Tinjauan Kritis, Jakarta. Serta literatur lainnya yang berkaitan dengan pembahasan objek formal maupun objek material.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini, dalam melalui tahapannya yang berawal dari penelitian pustaka dan literatur kemudian, metode pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Penelusuran Pustaka (Literatur, Arsip-arsip, dan Buku-buku)

Dalam hal ini peneliti menelusuri data-data literatur dan arsip-arsip yang berkaitan langsung dengan penelitian (yang dikhususkan pada teks Frithjof Schoun dan Hick). Maupun segala literatur yang berkaitan langsung ataupun juga tidak langsung dikumpulkan dan setelah itu kemudian baru dilakukan penelitian atas Arsip maupun literatur tersebut.

1) Agar peneliti dapat melaksanakan penelitian terutama dalam rangka pengumpulan data dapat dilakukan secara efektif dan efisien, maka peneliti mengunakan instrumen yang memadai, dengan sumber data yang berupa kepustakaan kefilsafatan tidak

(37)

semuannya mudah untuk didapatkan, pertama dalam pengumpulan data ini adalah pengumpulan data dalam bentuk data verbal simbolik, yang berupa naskah-naskah yang belum dianalisis, peneliti menggunakan alat foto copy, dan sebagainya.

2) Data yang selanjutnya adalah melalui instrumen yang sangat penting dalam penelitian kepustakaan adalah kartu data, kartu data yang lebih efisien dan mudah di dapat, sehingga peneliti bisa mengunakan instrumen ini jika instrumen pertama menyulitkan pengoperasionalan penelitian.

3) Mencatat dan membaca informasi yang terkandung dalam data, sehingga instrumen yang kedua yang sering digunakan oleh peneliti, membaca dengan mencari keterangan-keterangan yang berkaitan dengan data penelitian.

4) Mencatat secara paraphrase, artinya peneliti menangkap keseluruhan inti sari data kemudian mencatatkan pada kartu data “instrumen kedua”, dengan mengunakan kalimat atau kata-kata yang disusun oleh peneliti sendiri.

5) Mencatat data secara quotasi, peneliti mencatat data dari sumber data dengan mengutip secara langsung, tanpa mengubah sepatah katapun dari sumber data, atau dengan lain perkataan tanpa mengubah sepatah katapun dari tokoh yang menulis karya tersebut, menyangkut terminologi-terminologi kunci, sehingga dapat dikembangkan suatu interpretasi yang secara lebih luas.

(38)

4. Analisis Data

Penelitian ini adalah penelitian historis faktual mengenai tokoh, objek material merupakan pemikiran Hick mengenai pluralisme agama dalam global teologi, kemudian diselidiki dengan objek formal filsafat perennialisme Schoun sebagai filsafat. Pluralisme agama dalam teologi Hick beserta filsafat perennialisme Schoun sudah menginkorporasikan semua undur metodis dalam pemikirannya, dan penulis hanya mengikuti alur pemikiran kedua tokoh sehingga mendapatkan jawaban baru dalam pemikiran keduanya. Unsur- unsur metodis yang digunakan penulis sebagai berikut;

a. Interpretasi

Interpretasi adalah memperantarai pesan yang secara eksplisit dan implisit termuat dalam realitas. Peneliti adalah interpretator yang sekaligus berhadapan dengan komplesitas bahasa, sehingga harus makna atau pesan yang terkandung dalam bahasa yang tidak jelas menjadi semakin jelas. Pada dasarnya interpretasi berarti, bahwa tercapai pemahaman benar mengenai ekspresi manusiawi yang dipelajari. Unsur interpretasi ini merupakan landasan bagi metode hermeneutika. Dalam interpretasi itu termuat hubungan-hubungan atau lingkaran-lingkaran yang beraneka ragam, yang merupakan satuan unsur-unsur metodis (Bekker, 1990: 43). Interpretasi sebagai metode pengungkapan dalam pengertian adalah merupakan suatu proses menunjuk arti, yaitu mengungkapkan, menuturkan, mengatakan sesuatu yang merupakan esensi realitas, dengan demikian peneliti berupaya untuk mengungkapkan objek dalam hal ini teks penelitian sehingga realitas yang terkandung dalam teks penelitian menjadi terkonstatir. Permasalahan

(39)

yang muncul adalah berkaitan dengan objektivitas dan kebenaran dari proses interpretasi.

Interpretasi sebagai metode menerangkan, bukan hanya mengatakan dan mengungkapkan, akan tetapi interpretasi berupa untuk menerangkan, dengan mengungkapkan makna teks dalam hubungannya dengan faktor-faktor yang berada di luar teks. Pandangan Hick maupun Schoun dibandingkan kemudian dipahami menurut warna dan keunikan masing-masing, penulis mengungkapkan pemikiran Hick terkait dengan pluralisme agama kemudian bagaimana filsafat perennial Schoun yang menjadi objek formal memahami pluralism agama melalui konsep-konsep perennialisme Schoun.

b. Holistika

Unsur metodis ini berusaha menentuan arti persis bagi beberapa konsep perennialisme dengan objek material nya terkait dengan pluralisme agama dalam teologi John Hick. Kedua visi seluruhnya harus dibandingkan, dengan tidak terlalu cepat disamakan suatu kata atau konsep pada keduanya.

c. Kesinambungan Historis

Latar belakang dan tradisi yang berbeda juga menghasilkan konsepsi berbeda, artinya Hick dan Schoun dalam melihat Pluralisme agama keduanya berbeda. Masing-masing pandangan diteliti kesinambugan historis kedua tokoh. Penulis akan memulai berfikir tentang pemikiran-pemikiran lain, artinya penulis melihat riwayat hidup tokoh, pendidikannya, pengaruhnya dengan berpangkal dari suatu pandangan pribadi maupun umum, yang terkait dengan pluralisme agama.

(40)

d. Deskripsi

Pemikiran Hick terkait dengan pluralisme agama diuraikan secara lengkap kemudian mencari korelasi dengan objek formal filsafat perennialisme Schoun dengan konsep-konsep yang ditawarkan tetapi mencari konsep-konsep yang tidak bersinggungan. Sehingga filsafat perennialisme Schoun sebagai objek formal menghasilkan kesamaan dan perbedaan pemikiran pluralisme agama Hick sebagai objek material.

e. Komparasi

Perbandingan dapat dibuat setelah masing-masing pandangan diuraikan secara lengkap. Dibandingkan perumusan masalah, pendekatan, pemakaian istilah, argumentasi, contoh-contoh. Dibedakan antara konsep pluralisme agama Hick dengan filsafat perennialisme Schoun yang tampak dan konkret, dengan mendalam sampai pada dasar-dasar dan asumsi-asumsi yang paling dasariah. Mungkin bahwa perbedaan secara besar maupun persamaan secara dasar.

Dalam penelitian filsafat sendiri komparasi itu dapat diadakan di antara tokoh, atau naskah; dapat diadakan di antara sistem atau konsep. Dalam komparasi tersebut ini sifat-sifat hakiki dalam objek penelitian dapat menjadi lebih jelas dan lebih tajam. Justru perbandingan itu memaksa untuk dengan tegas menentukan kesamaan dan perbedaan, sehingga hakikat objek dipahami dengan semakin murni (Bakker, 1990: 50). Metode komparatif diterapkan dalam rangka melakukan pembandingan dua pemikiran filsafat atau lebih pembandingan dapat dilakukan di antara pemikiran tokoh filsafat, naskah filsafat, sistem filsafat atau bahkan konsep-konsep filsafat (Bakker, 1990: 51).

(41)

Beberapa metode komparatif adalah pertama dengan melakukan deskripsi masing-masing konsep dari Frithjof Schoun Dan John Hick, kedua menunjukkan masing-masing konsep dari Schoun dan Hick yang dimiliki, ketiga dalam memandangi permasalahan dalam hal ini objek material penelitian yaitu pluralisme agama dalam teologi John Hick dengan teori filsafat Perennialisme Frithjof Schoun serta dicari kesamaan dan perbedaan kedua pemikiran tersebut, keempat melalukan evaluasi kritis, yaitu melakukan suatu analisis evaluative terhadap pemikiran pluralisme John Hick dari perspektif Filsafat perennilisme.

f. Bahasa Analogal

Penulis menggunakan bahasa yang khas pada pemahaman pluralisme agama dalam teologi Hick dan filsafat perennialisme Schoun sebagai dasar sudut pandang. Hal ini menimbulkan perbandingan antara jenis bahasa meskipun dalam tujuan sama. Hick memahami pluralisme agama melalui manifestasi Tuhan dalam tradisi agama-agama yang berbeda sedangkan Schoun memahami pluralisme agama terjadi pada esoterik wilayah batin maupun substansial setiap agama yang berbeda dalam wilayah eksoterik. Maka, dengan demikian dapat ditekankan fleksibilitas bahasa yang berbeda pemaknaannya dari kedua tokoh sehingga menghasilkan hasil pemikiran yang sama.

F. Hasil yang Dicapai Penelitian ini dapat mencapai hasil sebagai berikut ini:

1. Memperoleh pemahaman terkait dengan pluralisme agama dalam teologi John Hick melalui sudut pandang tokoh perennialist terlebih khusus pada Frithjof Schoun.

(42)

2. Memperoleh pemahaman tentang agama secara filosofis dari sudut pandang kedua tokoh

3. Memperoleh hasil analisis mengenai pluralisme agama dalam konteks pemahaman agama-agama serta konteks ke Indonesiaan secara filosofis melalui hasil analisis kedua tokoh.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam laporan penelitian tesis ini menggunakan sistematika bab dan sub bab. Terdiri dari lima bab yang didalamnya terdapat rincian sub-bab yang terangkai untuk dapat mencapai suatu rincian penjelasan yang sistematis. Pembagian bab diperinci sebagai berikut:

BAB I: merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, landasan teori, metode penelitian, hasil yang diharapkan, serta sistematika penulisan ini

BAB II: merupakan ulasan yang berisi kajian mengenai objek formal penelitian, yaitu pembahasan terkait dengan filsafat perennialism Frithjof Schoun sebagai kerangka teoritis, Biografi Hidup Frithjof Schoun ( riwayat hidup Frithjof Schoun, latar belakang pemikiran dan pendidikan Frithjof Schoun, karya-karya frithjof schoun), pokok-pokok pemikiran Frithjof Schoun (kesatuan agama-agama “the transcendent unity of religions” esoteric, eksoteric), perennial Frithjof Schoun (pengertian Filsafat Perennialisme, Sejarah Filsafat Perennialisme, Argument para tokoh perennial tentang agama, Konsep perennialisme “Substansi dan form “bentuk”, Kebenaran dan kehadiran, Kemungkinan, Teodisi, tradisi

(43)

BAB III: peneliti dalam bab ini membahas mengenai objek material penelitian, yaitu hal-hal yang terkait Biografi dan pluralism agama menurut John Hick, Biografi John Hick (riwayat hidup John Hick, latar belakang pemikiran dan pendidikan John Hick, karya-karya John Hick), Pokok-pokok pemikiran John Hick “ Global teologi (Klaim kebenaran, Wahyu dan iman), Eksistensi tuhan (Exist, real and reality, God as necessary being “wajib wujud”, Keabadian jiwa), Kepercayaan rasional (Batas bukti, Dasar kepercayaan terhadap agama, Pondasi kepercayaan dalam sebuah agama, Resiko dari sebuah kepercayaan), Mistik dan spiritualitas (Spiritualitas, Unitive mystic “keyakinan pribadi”), Persamaan agama-agama.

BAB IV: peneliti dalam bab ini melakukan analisi terhadap teologi global John Hick perspektif filsafat perennialisme, Teologi Global menurut John Hick “Pluralism agama sebagai hasil dari global teologi, Eksistensi tuhan dalam pluralisme agama, Kepercayaan rasional dalam pluralisme agama, Spirituality and mysticism, Persamaan agama-agama”. Teologi Global John Hick ditinjau dari filsafat perennialisme Frithjof Schoun “Substansi dan bentuk merupakan framework dari global teologi sebagai wujud luar dan pluralisme agama, Eksistensi Tuhan sebagai wujud kebenaran dan kehadiran Tuhan, Kepercayaan rasional sebagai dasar dari kemungkinan dan keyakinan, Spirituality and mysticism dalam pembahasan teodisi, Tradisi dalam religious diversity. Ploblematika pluralism agama dalam kehidupan beragama di Indonesia “Tipologi Pluralisme agama yang ada di Indonesia (pluralitas, toleransi: Toleransi dalam Islam, Toleransi dalam konteks “Pancasila”), Filsafat Perennial Frithjof Schoun

(44)

dan Teologi John Hick dalam pemahaman keagamaan (Bagi agama-agama: Islam, Hindu, Budha, Kristen), Menyikapi perbedaan agama ditengah-tengah kemajemukan budaya dan tradisi

BAB V: kesimpulan dan saran peneliti sebagai rujukan bagi penelitian selanjutnya

Referensi

Dokumen terkait

Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin yang khusus disediakan dan atau diberikan

Untuk mencapai keuntungan maksimal pada bulan April 2004, kombinasi produksi dari ketiga jenis roti untuk dapat memaksimalkan laba adalah dengan memproduksi roti coklat sebanyak

Hasil penelitian untuk faktor permintaan secara simultan ada pengaruh nyata antara tingkat pendapatan, selera, jumlah tanggungan dan harapan masa yang akan datang

respondents who were able to make monthly payment in. terms of the amount of their monthly income and

KAJIAN ISI, BAHASA, KETERBACAAN, DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER BUKU TEKS BAHASA INDONESIA EKSPRESI DIRI DAN AKADEMIK.. UNTUK KELAS XI SMA/MA/SMK/MAK SEMESTER 1

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Seringkali apabila tunggakan sewa berlaku ianya dikaitkan dengan masalah kemampuan yang dihadapi penyewa dan juga disebabkan faktor pengurusan yang lemah. Ada pula