• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. Landasan Teori 1 Penelitian terdahulu.

Hasil dari beberapa peneliti di Amerika menemukan bahwa, tahun 2004, hanya separuh dari populasi

dewasa dan mereka yang mendekati

masa pensiun mampu menjawab

dengan benar dua pertanyaan

sederhana mengenai compound interest

dan inflasi, dan sepertiganya menjawab dengan benar dua pertanyaan ini ditambah satu pertanyaan mengenai diversifikasi risiko (Lusardi and Mitchell (2007). Dibagian lain Lusardi and Mitchell, menemukan bahwa diantara orang dewasa yang menjadi sampelnya, mereka yang menunjukkan memiliki pengetahuan keuangan yang lebih baik, akan cenderung lebih baik

dalam melakukan perencanaan

keuangan dan berhasil dengan

perencanaannya tersebut, dan memilih berinvestasi pada aktiva yang lebih bervariasi. Sementara itu hasil penelitian Krisna, Mayasari dan Rofaida ( 2009 ), melakukan penelitian tingkat literasi keuangan dari mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia masih rendah, hal ini menunjukkan pengetahuan financial

literacy para mahasiswa masih belum optimal..

2.2 Definisi Financial Literacy

Sebelum membahas mengenai hubungan financial literacy terhadap partisipasi masyarakat di Pasar Modal, maka perlu kiranya kita membahas mengenai konsep dasar dari Financial

Literacy. Hal ini diperlukan, karena banyak area riset yang berbeda, periset, dan lembaga yang mendefinisikan

financial literacy dalam cara yang beragam. Presidents Advisory Council on Financial Literacy (PACFL), mendefinisikan financial literacy dan

financial education sebagai berikut:

a. F inancial literacy: the ability to use knowledge and skills to manage financial resources effectively for a lifetime of financial well-being

b. F inancial education: the

process by which people improve their understanding of financial products, services and concepts, so they are empowered to make informed choices, avoid pitfalls, know where to go for help and take other actions to improve their present and long-term financial well-being

Pada umumnya, definisi ini mendasarkan

pada kemampuan individu untuk

menggunakan pengetahuan dan

keterampilan untuk mencapai keberhasilan finansial dan hal ini akan sangat dipengaruhi dengan basis perilaku individu yang menerapkannya. Namun, untuk

membatasi focus untuk memahami

mekanisme yang dapat mempengaruhi

financial literacy, maka perlu juga diungkapkan bahwa pengetahuan di bidang keuangan (financial knowledge), keteramplan (skills), dan perilaku (behavior) seharusnya juga diperhatikan

sebagai suatu konseptualisasi financial literacy overarching. Gambar 1 menunjukkan hubungan logis antara komponen financial literacy

Gambar 1. Model Konseptual Komponen Financial Literacy

Sumber: Hung, Parker, Yoong (2009)

Financial knowledge menggambarkan bagaimana bentuk dasar dari financial literacy, yang merefleksikan financial knowledge yang dipersepsikan oleh tiap individu dan hal ini akan mempengaruhi

financial skills yang juga tergantung dengan pengetahuan yang dimilikinya.

Financial behavior, sebaliknya sangat tergantung dari tiga factor, yaitu (actual knowledge, perceived knowledge, dan skills), sedangkan experience

(pengalaman) yang diperoleh melalui

financial behavior akan memberikan umpan balik baik kepada financial knowledge baik secara actual maupun yang dipersepsikan. Namun, hubungan yang

terjadi tampaknya akan terbentuk kurang sempurna, ketika factor-faktor ini juga dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal dari tiap individu (misalnya:

attitudes,resources).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa financial literacy adalah pengetahuan (knowledge) mengenai ilmu ekonomi dan konsep

keuangan yang sangat mendasar,

sebagaimana kemampuan untuk

menggunakan pengetahuan dan

keterampilan keuangan lainnya untuk mengelola sumber daya keuangan secara efektif untuk jangka waktu yang sangat panjang untuk mencapai keberhasilan

financial (financial well-being).

3. PAPARAN & PEMBAHASAN

Individu semakin dihadapkan

dengan beragam penawaran produk

keuangan yang semakin kompleks dan beragam. Pergeseran ini menimbulkan pemahaman bahwa produk keuangan yang sebelumnya hanya dianggap sebagai

pelengkap,kini semakin menjadi

kebutuhan hidup, misalnya produk tabungan, asuransi, penawaran kartu kredit, dan bentuk investasi lainnya. Hal ini sudah pasti menuntut tiap individu masyarakat untuk memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai produk keuangan, mekanisme, dan pengelolaan investasi tersebut.

Lembaga keuangan yang semakin berkembang, juga berupaya untuk memacu meningkatan partisipasi masyarakat untuk memanfaatkan produk keuangan yang mereka tawarkan. Lembaga keuangan itu

pun berupaya menjaring nasabah

sebanyak-banyaknya. Namun, dari

pengalaman lembaga perbankan, pola hidup konsumtif masyarakat yang tidak

proporsional dengan kemampuan

pendapatan dan kondisi keuangan, akan menyebabkan tagihan yang membengkak akan memunculkan kredit macet. Hal ini meningkatkan NPL di mana tahun 2012 sebesar 6,07% dan tahun 2013 meningkat menjadi 19,69% (Statistik Perbankan Indonesia,2013, diolah). Fenomena tingginya kredit macet ini juga merupakan bukti bahwa literasi keuangan masyarakat di Indonesia masih sangat rendah, sehingga edukasi kepada masyarakat di bidang keuangan dan perbankan juga masih sangat diperlukan.

Masalah ini tidak hanya muncul pada lembaga perbankan, tetapi juga pada lembaga pasar modal. Secara umum, kinerja industri pasar modal Indonesia dalam lima tahun terakhir menunjukkan penurunan. Hal ini terlihat dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)

Bursa Efek Indonesia yang

pertumbuhannya mengalami penurunan rata-rata tahunan sebesar 29,66 %. Penurunan ini merupakan tertinggi kedua

dibandingkan dengan pergerakan indeks bursa ASEAN, hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat kurang sensitif memanfaatkan situasi yang ada.Untuk

jelasnya lihat tabel Pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan ASEAN di bawah ini.

Tabel 1. Persentase Pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan di ASEAN

NEGAR A 2008- 2 0 0 9 2009- 2 0 1 0 2010- 2 0 1 1 2011- 20 12 2012- 2 0 1 3 Rata-rata (%) Indonesi a 86,98 46,13 3,20 12,94 -0,97 29,66 Singapur a 64,51 10,11 17,05 20,60 -0,75 22,30 Malaysia 45,21 19,34 0,79 9,87 11,01 17,24 Thailand 63,47 40,60 -0,68 35,71 -6,69 26,48 Philipina 99,98 37,65 4.05 32,97 1,32 35,19

Sumber: Statistik Pasar Modal Indonesia (OJK),2014, diolah

Perkembangan pasar modal dan lembaga keuangan non bank Indonesia sangat bergantung kepada peran dan kualitas para pelaku yang berkecimpung di dalamnya. Kemampuan para pelaku untuk melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing secara optimal dan profesional akan menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap industri tersebut dan mendorong terciptanya pasar modal yang kompetitif. Untuk itu, peran dan kualitas pelaku pasar harus selalu ditingkatkan dari waktu ke waktu.

Keputusan investasi dari pemodal dibangun dari informasi yang diterima dan diolah berdasarkan pemahaman pemodal

atas industri ini. Informasi dan tingkat

pemahaman sangat berperan dalam

menciptakan pemodal yang berkualitas. Penyajian informasi yang tepat waktu dan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku serta upaya sosialisasi dan edukasi pemodal dapat

membantu mengeliminasi kebiasaan

berinvestasi yang sifatnya ‟herd habbit”. Pembahasan masalah investasi dan pengelolaan keuangan dalam materi

pembelajaran dikelompokkan dalam

bidang manajemen keuangan, yang secara konsep diungkapkan oleh Gitman (2002 ) sebagai seni dan ilmu yang berhubungan dengan cara mengelola uang. Disiplin Keuangan dikelompokkan menjadi dua bidang, yaitu Bidang Dasar dan Bidang Interdisipliner.

Ada empat macam Bidang Dasar Keuangan, yaitu: Keuangan Perusahaan, Investasi, Lembaga Keuangan, dan

Keuangan Internasional. Keuangan

Interdisipliner merupakan bidang

keuangan yang menggabungkan berbagai macam bidang dasar keuangan dan bidang disiplin lain diluar keuangan dasar, seperti: manajemen keuangan pribadi (personal finance) yaitu proses perencanaan dan pengendalian keuangan dari unit individu (keluarga), yang meliputi 1) Money Management, 2) Spending and Credit, dan 3) Saving and Investing. Lebih lanjut, manajemen keuangan juga memerlukan perencanaan, analisis, dan pengendalian kegiatan keuangan.

Telah diungkapkan dalam sub bab penjelasan definisi literasi keuangan, bahwa pengetahuan mengenai bidang

keuangan perlu didukung dengan

ketrerampilan dan persepsi mengenai keuangan itu sendiri agar tercipta perilaku yang menjadi landasan dalam menyikapi

serta menggunakan keahlian dan

kecakapannya (mendapatkan, memahami, mengevaluasi informasi yang relevan) dalam mengambil keputusan dengan memahami konsekuensi financial yang ditimbulkan dari keputusannya itu, oleh karena itu kemampuan untuk memahami implikasi keuangan dari keputusan yang diambil merupakan hal yang mendasar dalam literasi keuangan.

Pengaruh pendidikan dan

partisipasi di pasar modal dapat dijelaskan dengan argument bahwa pendidikan yang semakin tinggi akan meningkatkan literasi keuangan. Beberapa literatur juga menemukan hubungan yang kuat antara

financial literacy dan savings, serta

investment behavior. Lusardi and Mitchell (2007) misalnya menunjukkan bahwa rumah tangga dengan tingkat literasi keuangan yang lebih tinggi akan cenderung memiliki rencana pensiun lebih matang bahkan ketika masa pensiun tiba, kelompok ini akan memiliki aktiva lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang tidak melakukan perencanaan pensiun. Ada juga yang menemukan bahwa pada tingkat literasi keuangan yang lebih tinggi, mereka akan lebih memiliki perilaku yang bertanggung jawab secara keuangan, misalnya jumlah cek yang ditolak lebih sedikit, dan membayar tingkat bunga yang lebih rendah atas property.

Beberapa fakta ini menunjukkan bahwa tindakan memperbaiki literasi keuangan telah menjadi focus yang penting baik bagi para pembuat keputusan

di pemerintahan maupun swasta.

Pemerintah juga telah mendanai berbagai program yang berkaitan dengan program pelatihan literasi keuangan bagi masyarakat (baik di tingkat sekolah menengah, kursus / pendidikan keuangan,

dan lain-lain) bahkan kelompok tertentu (bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah, Ibu rumah tangga, UKM, dan lain- lain).

Beberapa temuan peneliti

menemukan bahwa edukasi berkaitan

dengan literasi keuangan dapat

mempengaruhi level literasi keuangan dan

financial behavior. Penelitian Mandell mencoba membandingkan antara siswa sekolah menengah berpartisipasi dalam program literasi keuangan di sekolahnya

dengan siswa yang tidak ikut

berpartisipasi. Ternyata hasilnya, program literasi keuangan tidak menunjukkan pengaruh. Di Indonesia, hal ini mungkin dapat dijelaskan, bahwa di SMU sistem pendidikan yang diberikan lebih dititik beratkan pada segi akademis untuk masuk ke Perguruan Tinggi dengan peningkatan wawasan terhadap ilmu pengetahuan, dan kurang memberikan pelajaran praktek, selain itu pula di SMU seseorang lebih banyak mendapatkan bimbingan dan motivasi dari guru, sehingga membuat kemandirian dan rasa tanggung jawab pada lulusan SMU masih belum terbina dengan baik.

Krishna, Maya Sari, dan Rofaida (2009) melakukan penelitian tingkat literasi financial dari mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia dan ternyata hasilnya literasi keuangan yang dimiliki oleh para mahasiswa tersebut

masih rendah. Hal ini menunjukkan pengetahuan financial para mahasiswa sebagai pembentuk literasi keuangan mahasiswa masih belum optimal dan perlu dikembangkan lagi. Argumennya adalah kurikulum perkuliahan baik untuk mahasiswa fakultas ekonomi maupun yang non ekonomi tidak dilengkapi dengan materi berkaitan dengan pengelolaan keuangan personal (personal finance), tetapi lebih kepada materi keuangan yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka tidak diajari bagaimana cara mengelola uang yang mereka dapatkan selama bekerja