• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Tinjauan Pustaka 1. Kolonialisme

Kolonialisme bangsa Belanda di Indonesia telah mengakibatkan

penderitaan lahir dan batin bagi bangsa Indonesia. Menjelang akhir abad XIX, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kolonial yang serba terbelakang. Tanah jajahan merupakan obyek eksploitasi untuk diambil keuntungan sebesar-besarnya oleh penjajah. Masyarakat pribumi dijadikan obyek pengurasan bahan dasar bagi kolonialis dan daerah koloni dijadikan tempat pemasaran barang-barang industri (Suhartono, 1994: 7). Berbagai cara telah ditempuh untuk mengusir kaum penjajah, namun sejak awal tidak juga membawa hasil yang menggembirakan. Salah satu sebabnya adalah karena bangsa Indonesia belum memiliki rasa persatuan dan kesatuan.

Kolonialisme secara etimologis berasal dari kata koloni yang artinya

daerah jajahan, berarti daerah menempatkan penduduk atau kelompok orang

yang bermukim di daerah baru yang merupakan daerah asing dan sering jauh dari tanah air, yang tetap mempertahankan ikatan dengan tanah air atau daerah asal (Poerwadharminto, 1976: 516).

Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 77) mengemukakan bahwa kolonialisme

merupakan nafsu untuk menguasai dan sistem penguasaan wilayah bangsa atau negara lain. Hal tersebut dapat diartikan sebagai nafsu untuk menguasai daerah atau bangsa lain beserta perangkat sistem yang digunakan untuk mengatur wilayah yang dikuasai.

Kansil dan Julianto (1983: 7) mengemukakan bahwa kolonialisme

merupakan rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menakhlukkan bangsa lain, baik di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dengan jalan dominasi politik,

commit to user

mengemukakan pendapat bahwa kolonialisme adalah suatu nafsu sistem yang merajai atau yang mengendalikan ekonomi atas negeri bangsa lain atau dengan kata lain kolonialisme adalah suatu rangkaian daya upaya bangsa untuk menakhlukkan bangsa lain dalam lapangan kehidupan.

Kolonialisme merupakan penguasaan suatu negara atas daerah atau

bangsa lain untuk memperluas negara (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 333). Selain itu, kolonialisme bertujuan untuk menanam sebagian masyarakat di luar batas atau lingkungan daerahnya. Namun usaha lainnya yang dilakuakan oleh para kolonialis yang memiliki beberapa koloni di daerah lain adalah berusaha untuk menyatukan koloninya menjadi satu sistem penguasaan. Usaha ke arah itu sering disebut sebagai imperialisme.

Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 37) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan kolonialisme di suatu daerah atau negara jajahan akan berlainan, hal ini karena faktor obyektif dari negara jajahan yaitu berdasarkan perbedaan mengenai kekayaan alam, kemajuan teknologi maupun sistem produksi barang. Dengan demikian dapat dimaklumi bila corak penjajah menentukan sifat dan perlakuan terhadap tanah air maupun bangsa yang dijajahnya. Oleh karena itu praktek kolonialisme sangat berlainan antara daerah satu dengan daerah lainnnya.

Munculnya kolonialisme berhubungan erat dengan adanya nasionalisme eropa yang pada waktu itu dipengaruhi oleh persaingan besar dari liberalisme

yang berkembang dalam masyarakat industri kapitalis sehingga tumbuh menjadi aliran yang penuh dengan emosi dan sentiment. Mereka merendahkan bangsa lain, sehingga nasionalisme eropa berhasil melahirkan kolonialisme (kuno).

Kolonialisme ini (kuno) bertujuan untuk mengejar kejayaan (glory), kekayaan

(gold) dan keagamaan (gospel). Namun pada sistem kolonialis kapitalis,

kolonialisme bertujuan pada pengambilalihan sumber jajahan, penyediaan buruh

murah pada perkebunan dan sebagai pasar hasil produksi kaum kapitalis (Noer Fauzi, 1999: 19).

commit to user

Kolonialisme tidak dapat dipisahkan dari kapitalisme. Menurut Noer

Fauzi (1999: 18), kapitalisme adalah suatu cara berekonomi yang ditandai oleh: (a) pemilihan pribadi alat produksi oleh pemilik modal, (b) adanya hubungan majikan-buruh yang digaji dengan uang, (c) produksi ditujukan untuk keuntungan dan pelipat gandaan modal.

Belanda menerapkan sebuah dominasi, eksploitasi maupun diskriminasi di dalam sistem kolonialismenya di indonesia. Hal ini menyebabkan adanya jurang perbedaan antara penjajah dan kaum terjajah. Negara penjajah semakin besar dan kuat dalam hal modal, teknologi maupun kekuasaan, sedangkan bangsa yang terjajah semakin miskin dan sengsara sehingga menimbulkan sebuah ketergantungan bangsa yang terjajah terhadap kaum penjajah.

Belanda melancarkan ekspansi kekuasaan di Jawa pada abad ke-19; merupakan gerakan kolonialisme yang paling besar pengaruhnya terhadap perubahan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan di negara-negara yang mengalami penjajahan. Penetrasi Belanda ini telah mengakibatkan transformasi struktural dari politik dan ekonomi tradisional ke arah yang lebih modern (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 5).

Menurut Kansil dan Julianto (1983: 23), kolonialisme Belanda di Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) Membeda-bedakan warna kulit, (b) Menjadikan tanah jajahan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi negara induk, (c) Perbaikan ekonomi sosialnya sedikit, dan (d) Jarak yang jauh antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah.

Tujuan Belanda melakukan kolonialisme ke dunia timur (termasuk Indonesia) menurut Moedjanto (1988: 44) adalah dalam rangka memperluas pengaruh dan kekuasaan Pemerintah Belanda yang ditempuh dengan cara menyatukan seluruh wilayah kekuasaan daerah jajahan di bawah Kerajaan Belanda atau Pax Neerlandica (Perdamaian Nerlandika) yang mengandung arti penyatuan dan penentraman. Pax Neerlandica ini diciptakan oleh Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz (1904-1909), seorang penakhluk Aceh.

commit to user

Kolonialisme Belanda pada kenyataannya telah mengakibatkan

merosotnya keadaan sosial ekonomi penduduk yang hampir tak tertanggulangi. Ini semua dirasakan sebagai akibat dari sistem penjajahan asing sehingga sedikit demi sedikit mendorong timbulnya kesadaran untuk mencari jalan keluar dan mengakhirinya (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 26). Pelaksanaan kolonialisme ini telah membawa penderitaan bagi masyarakat pribumi, kemiskinan dan kemelaratan terjadi di mana-mana sehingga semakin memperbesar kesenjangan sosial antara bangsa penjajah dan terjajah. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat diskriminasi yang cukup mencolok. Situasi yang demikian merupakan tantangan bagi rakyat tanah jajahan untuk berusaha mempertahankan diri dan mengubah situasi yang ada (Kansil dan Julianto, 1983: 11). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Raymond Kennedy yang dikutip oleh Moedjanto (1988: 20-21) yang mengemukakan bahwa ciri-ciri masyarakat kolonial adalah: (a) Diskriminasi terhadap bangsa berwarna yang dianggapnya inferior (lebih rendah), (b)

Subordinasi (ketaatan) politik dari bangsa pribumi terhadap kekuasaan negara

jajahan, (c) Ekonomi yang tergantung kepada penjajah, (d) Kurangnya kontak sosial antara golongan rakyat dan penguasa, serta (e) Kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan sosial.

Sebagai suatu usaha untuk menguasai suatu wilayah, maka dalam

kolonialisme terdapat pihak-pihak yang terkait dalam mewujudkan cita-cita

menguasai wilayah itu. Menurut Soeharjo Hatmosoeprobo (1995: 55), “pihak

yang terkait dalam kolonialisme terdiri dari pihak kolonialis dan penguasa lokal”.

Lebih lanjut dikatakan:

Politik kolonial Belanda sampai kurang lebih tahun 1870 konsisten dengan anggapan umum di negeri Belanda bahwa tanah koloni, khususnya Jawa, adalah produsen komoditi agraris untuk ekspor. Oleh karena itu, untuk mewujudkan cita-cita menguasai Jawa, maka pihak kolonialis mengadakan pendekatan dengan penguasa lokal, dalam hal ini bupati, untuk membantu usaha itu. Tentu saja dengan satu kompensasi bahwa kekuasaan mereka adalah aman (Soeharjo Hatmosoeprobo, 1995: 55).

commit to user

Adanya ikatan desa dan ikatan feodal yang kuat antara rakyat dengan penguasa merupakan akibat dari penetrasi yang dilakukan Belanda. Belanda telah menegakkan hegemoni politik terhadap penguasa lokal dalam menerapkan sistem

kolonialismenya. Dalam konteks ini, kolonialisme Belanda adalah hegemoni

politik terhadap bangsa Indonesia yang masih menerapkan pemerintahan sederhana dengan menempatkan penguasa tradisional sebagai pimpinannya.

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah tersebut berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Ada banyak tokoh yang mengemukakan teori hegemoni, antara lain Antonio Gramsci, John Storey dan Vladimir Lenin (http://mye-learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2 Juli 2011).

Hegemoni merupakan sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang

dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral (http://mye-learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2 Juli 2011).

Antonio Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa (http://mye-learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2 Juli 2011).

commit to user

Mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan

ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas

bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi

(tekanan) melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni (http://mye-learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2 Juli 2011).

John Storey (1869-1921) mengemukakan hegemoni sebagai sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga

mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan “kepemimpinan” moral dan

intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada (http://mye-learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2 Juli 2011).

Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana seseorang merasa rela saat ada orang lain membeli barang milik kita untuk kepentingannya yang lebih mewah. Misalkan, pengusaha membeli tanah sawah A, yang kemudian akan dibangun mall atau perumahan elit pada tanah sawah tersebut. A merasa semua itu wajar saja, karena pembeli (pengusaha) tersebut mempunyai uang.

Vladimir Lenin (1870-1924), mengemukakan hegemoni sebagai sebuah

aliansi antar kelas atau kelompok kelas dan merupakan strategi untuk revolusi,

suatu strategi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan anggota-anggotanya untuk memperoleh dukungan dari kaum dominan/mayoritas (http://mye-learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2 Juli 2011).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kolonialisme di Indonesia merupakan sebuah hegemoni dari bangsa kolonial (Belanda) sebagai

commit to user

bangsa yang dominan terhadap bangsa yang berkembang (Indonesia) sebagai bangsa kelas bawah khususnya di bidang politik terhadap penguasa tradisional Indonesia. Akibat hegemoni tersebut berupa pengambilalihan kekuasaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi maupun hukum oleh Pemerintah Kolonial

Belanda.

Hilangnya kekuasaan tidak hanya disebabkan oleh faktor internal dalam kekuasaan itu sendiri, akan tetapi bisa dari faktor eksternal, antara lain karena peperangan yang melibatkan dua negara atau lebih, konflik dan perang saudara, kudeta (penggulingan kekuasaan) baik oleh militer maupun sipil dan aksi-aksi demonstrasi yang memungkinkan pergantian kekuasaan. Dalam hal ini, bangsa Indonesia kehilangan kekuasaannya lebih dikarenakan oleh adanya faktor eksternal yaitu kolonialisme bangsa Belanda meskipun ada juga faktor internal seperti kurang bersatunya bangsa Indonesia.

Kolonialisme pada dasarnya bergerak pada bidang ekonomi, politik,

kebudayaan dan sosial. Melalui bidang-bidang tersebut, kepribadian penduduk pribumi dihancurkan. Di bidang politik, penjajah melakukan dominasi politik, dalam arti kekuasaan pemerintah berada di tangan kaum penjajah yang dapat memerintah dengan sekehendak hatinya. Di bidang ekonomi, penjajah melakukan

eksploitasi ekonomi yang mengambil dan mengangkut jauh lebih banyak

kekayaan dari bumi Indonesia ke negerinya demi kemakmuran para kaum

kolonial dibandingkan dengan apa yang telah diberikan kepada negeri jajahannya.

Di bidang kebudayaan, penjajah melakukan penetrasi kebudayaan dengan berbagai cara, baik halus maupun paksaan, sehingga merugikan kehidupan budaya bangsa setempat. Di bidang sosial, bangsa penjajah menciptakan diskriminasi sosial yang menempatkan penjajah pada kedudukan yang jauh lebih tinggi dibandingkan bangsa yang terjajah yang dianggap bangsa kelas rendah (Cahyo Budi Utomo, 1995: 21)

Dalam pergaulan sehari-hari tidak ada kontak sosial justru yang ada hanyalah kontak fisik yang mencolok antara orang-orang Belanda dan penduduk

commit to user

pribumi. Kalangan pribumi dilarang keras untuk mengikuti berbagai perkumpulan maupun memasuki daerah tempat tinggal khusus orang-orang Belanda. Dengan adanya diskriminasi tersebut maka menggugah rakyat untuk melakukan perlawanan untuk dapat lepas dan merdeka dari belenggu penjajahan bangsa Belanda.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

kolonialisme merupakan rangkaian nafsu bangsa penjajah untuk menakhlukkan

daerah koloninya (dalam hal ini Indonesia) baik dalam politik, sosial-ekonomi maupun kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan

penetrasi kebudayaan. Hal tersebut menyulut konflik bagi bangsa terjajah

sehingga menimbulkan reaksi untuk berusaha melepaskan diri dari belenggu kesengsaraan.

2. Politik Kolonial

a. Pengertian Politik

Politik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang mengandung arti negara kota. Di samping itu, politik ditambahkan pengertian lain, yaitu: seni atau kemampuan untuk memerintah (Sukarna, 1981: 13). Menurut Miriam Budiharjo (1982: 8), politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem dan melaksanakan tujuan tersebut. Politik menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang

(private goals). Politik juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk

partai politik.

Kartini Kartono (1980: 4-6), berpendapat bahwa politik adalah semua usaha dan perjuangan dengan menggunakan bermacam-macam alat, cara dan alternatif-alternatif tertentu yang berupa tingkat untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan ide individu, kelompok, suatu sistem kewibawaan yang integral. Politik sendiri mengandung konotasi kebijaksanaan kekuasaan negara, konflik,

commit to user

pembagian dan keadilan. Bermacam-macam definisi dan uraian mengenai politik yang telah ada jelas memperlihatkan adanya unsur persamaan dan sekaligus perbedaannya. Perbedaan tersebut disebabkan karena pembuatnya sedikit atau banyak menekankan beberapa aspek politik tertentu; dilihat dari sudut pandangnya sendiri; dan beberapa unsur dipakai sebagai simbol untuk menyoroti aspek-aspek politik lainnya.

Dilihat dari struktur kelembagaannya, Kartini Kartono (1980: 6) mengartikan poliitik sebagai berikut: (a) Segala sesuatu yang ada hubungannya dengan pemerintahan (peraturan, tindakan pemerintah, undang-undang, hukum, kebijakan/policy, beleid dan lain-lain), (b) Pengaturan dan penguasaan oleh negara, (c) Cara memenuhi teoterium tertentu, (d) Organisasi, pengaturan dan tindakan negara atau pemerintah untuk mengendalikan negara secara

konstitusional dan yuridisformal, (e) Ilmu pengetahuan tentang kekuasaan. Maka

dalam pengertian dinamis, politik bukan hanya hal yang berkaitan dengan negara saja; sebab-sebab konflik, ketentuan, ketetapan, gejala dan masalah-masalah sosial tertentu bisa juga bersifat politis, atau bisa dijadikan masalah politik.

Menurut Isjwara (1982: 37) politik adalah perjuangan memperoleh kekuasaan, teknik menjalankan kekuasaan, serta penanganan terhadap masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol pelaksanaan. Menurut Iwa Kusuma Sumantri (1966: 7) hakikat politik adalah pengetahuan tentang segala sesuatu ke arah usaha penguasaan negara dan alat-alatnya atau untuk mempertahankan kedudukan penguasa atas negara dan alat-alatnya itu, atau untuk melaksanakan hubungan-hubungan tertentu dengan negara atau negara lain atau rakyatnya.

G.A. Jacobsen dan W.H. Lipman dalam Sukarna (1990: 13) mengemukakan bahwa ilmu politik adalah ilmu tentang negara. Hal itu bertalian dengan: (a) hubungan antara individu yang satu dengan yang lain, yang diatur oleh negara dengan undang-undang, (b) hubungan antara individu atau kelompok orang dengan negara, (c) hubungan antara negara dengan negara. George C. Simpson dalam Sukarna (1990: 14) menyebutkan bahwa politik bertalian dengan bentuk-bentuk kekuasaan, cara memperoleh kekuasaan, Studi tentang lembaga-lembaga kekuasaan dan perbandingan sistem kekuasaan yang berbeda.

commit to user

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa politik pada intinya merupakan seni dan ilmu pengetahuan tentang ketatanegaraan, segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain, dan merupakan tipu muslihat, kelicikan akal atau daya upaya ke arah penguasaan negara, serta mengatur segala daya upaya guna mencapai apa yang diinginkan. Dalam pelaksanaan politik itu ada kebijaksanaan, kekuasaan, pemerintahan, atau negara.

b. Politik Kolonial

Verenigde Oost Indish Compagnie (VOC) gulung tikar pada tahun 1799.

Pada tanggal 1 Januari 1800, VOC resmi dibubarkan. Wilayah-wilayah yang menjadi miliknya beralih menjadi kepemilikan Pemerintah Hindia Belanda. Semua kegiatannya terutama kegiatan perdagangan diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda dan sejak itu usahanya ditekankan pada eksploitasi ekonomi yang disertai eksploitasi politik. (Ricklefs, 2008: 241)

Pada masa awal penerapannya, politik kolonial Belanda di Indonesia masih bersifat konservatif disebabakan politik kolonial pada masa VOC masih bersifat monopolistis dan sistem ini masih dipertahankan oleh Pemerintah

Kolonial Belanda sampai akhir abad 18. Pemerintah Kolonial Belanda terus

melanjutkan politik kolonial konservatif dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari upeti dan keuntungan perdagangan yang semuanya guna kepentingan kerajaan (Cahyo Budi Utomo, 1995: 5).

Politik kolonial Belanda yang bersifat konservatif merupakan sebuah sistem pemerintahan yang pengkoordinasiannya melalui kepala-kepala pribumi. Kepala-kepala pribumi diserahi tugas mengurus masalah-masalah penduduk. Hal yang tampak paradoksal dalam politik kolonial Belanda ialah pengaruh penetrasi

kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda yang mendorong ke arah perubahan sosial termasuk individualisasi kebebasan, namun pemakaian kekuasaan kepala desa menambah kekuasaan tradisional. Dengan dukungan penguasa Belanda, kepala desa bertambah kekuasaannya namun di mata rakyat telah berubah menjadi agen

commit to user

penguasa kolonial (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosutanto, 1975: 310).

Politik kolonial yang bersifat konservatif atau pemerintahan tidak langsung ini mendapat kritikan pedas dari golongan liberal yang menganjurkan suatu sistem pemerintahan langsung berdasarkan prinsip liberal dan perdagangan secara intensif partikelir. Periode 1800-1830 memang merupakan suatu periode yang ditandai oleh pertentangan-pertentangan yang tajam dalam melaksanakan politik kolonial, baik pada sistem konservatif maupun pada sistem liberal

(Sartono Kartodirjo, 1967: IX). Dalam memilih sistem pemerintahan langsung atau tidak langsung akan diterapkan rezim kolonial, sehingga perlu mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain: (1) bagaimana daerah tersebut menghadapi penetrasi kekuasaan kolonial, apakah secara damai atau dengan perlawanan keras; (2) seberapa jauh kelembagaan politik bisa berfungsi terhadap situasi yang baru. Dalam kebijakan politiknya, pemerintah kolonial mengakui dan menerima lembaga-lembaga pribumi yang otentik, maka dari itu rakyat disuruh memilih sendiri kepala mereka, mengatur dan mengelola keuangan, memungut pajak, menjatuhi hukuman kepada pelanggar peraturan di daerah tersebut (Sartono Kartodirdjo, 1993: 12).

Pada tahun 1830, politik kolonial Belanda berdasarkan prinsip-prinsip dan praktek yang satu sama lain bertentangan, akan tetapi sejauh itu diganti dengan sistem yang tetap dan konsekuen, yang kemudian dikenal dengan sistem tanam paksa atau cuulturstelsel. Kenyataannya, pada tahun 1830 kepentingan-kepentingan negara induk yang bersifat menentukan laju Pemerintah Kolonial

Belanda terutama perbendaharaan keuangan mampu ditutup dengan keuntungan finansial yang didapat dari sistem tersebut. Keuntungan dari sistem tersebut untuk menutup biaya-biaya administrasi di Jawa, tetapi juga untuk mendukung posisi keuangan di negeri Belanda yang sedang memburuk (Ricklefs, 2008: 259-260).

Pada tahun tersebut, di bawah pemerintahan Gubernur Jendral Johanes van Den Bosch sistem tanam paksa mulai diberlakukan, yang dalam beberapa hal merupakan reaksi terhadap sistem tanah terdahulu. Pengalaman-pengalaman yang di dapat dari stelsel tanah memberikan pelajaran, bahwa kekuasaan feodal yang

commit to user

masih sangat berpengaruh itu masih harus dihormati, dan bahwa orang-orang Eropa tidak akan dapat mencapai apa-apa jika orang-orang Eropa tidak menggunakan organisasi desa, dan bahwa untuk produksi ekspor diperlukan pimpinan orang-orang Eropa (Prajudi Atmosudirjo, 1983: 183).

Politik kolonial Belanda telah memaksa Elite Kerajaan Jawa tergeser dari urusan-urusan politik. Pemberontakan-pemberontakan terhadap Pemerintah

Kolonial Belanda telah benar-benar ditinggalkan sesudah tahun 1830. Meskipun

terjadi beberapa kerusuhan di daerah-daerah kekuasaan kolonial namun sangat jarang yang melibatkan para anggota kerajaan. Perasaan benci terhadap Pemerintah Kolonial Belanda tampaknya masih tetap berlanjut di beberapa kalangan istana, tetapi hal ini tidak menyebabkan timbulnya perlawanan yang serius terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda. Hal ini dikarenakan para Residen

Belanda menyelenggarakan kekuasaan di kerajaan-kerajaan tersebut walaupun terdapat perbedaan-perbedaan antara kerajaan-kerajaan itu dengan daerah-daerah yang diperintah secara langsung karena adanya perbedaan dalam dasar hukum penguasa Belanda (Ricklefs, 2008: 274).

Kalangan elite tinggi di daerah, yang merupakan landasan kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda di luar kerajaan-kerajaan Jawa mengalami perubahan dalam kedudukan mereka di bawah liberalisme ketika semangat baru bagi pembaharuan sosial mewarnai kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda. Selama dilaksanakannya sistem tanam paksa, para bupati dan kalangan elite

pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya memperoleh banyak keuntungan, baik dalam hal penghasilan maupun jaminan kedudukannya di dalam pemerintahan (Ricklefs, 2008: 279).

Pelaksanaan sistem tanam paksa melibatkan berbagai unsur pokok, antara lain yaitu birokarasi pemerintahan Barat, para kepala pribumi, organisasi desa, tanah pertanian dan tenaga kerja rakyat, pengusaha dan modal swasta Barat (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 55). Reaksi terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa dimulai sekitar tahun 1848 baik melalui perdebatan-perdebatan di parlemen maupun dalam sejumlah tulisan-tulisan yang mengutuk dengan hebat tentang sistem tersebut serta segala konsekwensinya. Sebelum

commit to user

adanya revolusi konstitusi Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1848, politik

kolonial Belanda berada diluar pengawasan parlemen. Tahun ini yang menjadi

titik balik berakhirnya politik kolonial konservatif dan mengawali perjalanan politik baru, yakni politik kolonial Liberal (Sartono Kartodirjo, 1967: XIII).

Peralihan dari kebijaksanaan politik kolonial konservatif ke politik

Dokumen terkait