commit to user
PENGAMBILALIHAN PRADATA DALEM 1903
(Studi Tentang Pengambilalihan Sistem Peradilan di Kasunanan)
SKRIPSI
Oleh :
EKO YULIANTO
K4408028
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
PENGAMBILALIHAN PRADATA DALEM 1903
(Studi Tentang Pengambilalihan Sistem Peradilan di Kasunanan)
Oleh :
EKO YULIANTO
K4408028
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
commit to user
v ABSTRAK
Eko Yulianto. PENGAMBILALIHAN PRADATA DALEM 1903 (Studi Tentang Pengambilalihan Sistem Peradilan di Kasunanan). Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari. 2012.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui sebab diambilalihnya Pradata Dalem oleh Pemerintah kolonial Belanda; (2) Untuk mengetahui sistem peradilan di Kasunanan Surakarta; (3) Untuk mengetahui prospek Pradata Dalem setelah diambilalih Pemerintah kolonial Belanda.
Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). Langkah-langkah dalam metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis. Sesuai dengan jenis penelitiannya, maka teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Pemerintah Belanda melakukan penetrasi di kasunanan karena mempunyai kepentingan politik maupun ekonomi di wilayah jajahannya, termasuk di kasunanan. Pemerintah
kolonial membutuhkan jaminan keamanan dan kepastian hukum untuk menjamin
kepentingan politik dan ekonominya di Surakarta. Oleh sebab itu, pemerintah
kolonial berusaha menekan bahkan mengurangi tindak kejahatan di Surakarta
dengan mengambilalih sistem peradilan kasunanan. Terjadi pengurangan peran
Pradata Dalem di kasunanan akibat penetrasi yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial; (2) Pemerintah kolonial melakukan penetrasi (penekanan) ke semua
bidang di Kasunanan. Pemerintah kolonial membuat berbagai kebijakan di kasunanan, salah satunya adalah menghapus semua peradilan tradisional kemudian menggantinya dengan peradilan baru yang menempatkan orang-orang Belanda di dalamnya. Pada tahun 1903, kepolisian di Swapraja Surakarta berada di bawah Residen sehingga arah kebijakan kepolisian Surakarta telah disetir oleh pemerintaah kolonial. Berbagai bidang telah dikuasai Belanda, ditambah kasunanan terlilit banyak hutang terhadap Pemerintah Kolonial Belanda sehingga tidak lagi mampu mempertahankan kekuasaan peradilan. Akibatnya, terjadi pengambilalihan Pradata Dalem Kasunanan pada tahun 1903 oleh Pemerintah
Kolonial Belanda; (3) Pengambilalihan sistem peradilan memberikan dampak
commit to user
vi ABSTRACT
Eko Yulianto. THE 1903 PRADATA DALEM TAKING OVER (A Study on the Judicature System Taking Over in Kasunanan). Thesis, Surakarta : Teacher Training and Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University, January. 2012.
The objectives of research are: (1) to find out the cause of Pradata Dalem taking over by Netherlands Colonial Government; (2) to find out the judicature system in Kasunanan Surakarta; (3) to find out the prospect of Pradata Dalem after the taking over by Netherlands Colonial Government.
This study employed a historical history. The procedure of historical method included heuristic, critical, interpretation, and historiography. Technique of collecting data used was library study. The data source employed in this research was written source. In line with its type, the technique of analyzing data used in this research was historical analysis one.
Based on the result of research, it can be concluded that: (1) The Netherlands government penetrated into Kasunanan because it had both political and economic interest in its dependency area, including Kasunanan. The colonial government required security guarantee and law certainty to ensure its political and economical interests in Surakarta. Therefore, the colonial government attempted to suppress and even to mitigate the crime in Surakarta by taking over
the kasunanan’s judicature system. There was a reduction in Pradata Dalem role
in Kasunanan due to the penetration committed by colonial government; (2) the colonial government penetrated into all sectors of Kasunanan. The colonial government made a variety of policies in Kasunanan, one of which was to eliminate all traditional judicature and then to replace it with the new one that
assigned the Dutch within it. In 1903, the Police in Surakarta’s swapraja was
under Resident so that the direction of Surakarta Police’s policy had been driven
by colonial government. Netherlands dominated various sectors; it was exacerbated by the kasunanan suffering from considerable debt to the
Netherlands’ colonial government so that it could no longer defend its judicature
power. As a result, there was Kasunanan Pradata Dalem taking over in 1903 by the Netherlands colonial government; (3) The judicature system taking over had a very substantial effect on the Kasunanan Surakarta. The Netherlands colonial authority proposed many reasons to impart its stake. Thus, the Netherlands colonial government gradually could dominate nearly all government orders in
Kasunanan Surakarta’ Palace. Kasunanan still experienced territorial
transformation in local areas, even its vital areas were taken over by Netherlands because it gave considerable benefits. The effect on education sector included the introduction of legal school in Surakarta area more beneficial to Netherlands. In
finance sector, the palace’s finance rule emerged under tight supervision by
commit to user
vii MOTTO
Raja tidak mengenal anak, sanak saudara, istri, dan kekasih; yang dianut
hanyalah kebenaran hukum keadilan.
(Paku Buwana IV)
Seorang raja diketagorikan utama, apabila penguasa itu melakukan
pemerintahan tanpa mengenal pilih kasih dan tidak bertindak sesuka hati,
melainkan selalu berpegang pada hukum yang berlaku.
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Dengan ucapan syukur kepada Allah dan shalawat atas Rasul-Nya, karya ini
kupersembahkan kepada:
Ibu, ayah dan adik Dwi tercinta yang senantiasa memberi doa dan Semangat. Semua saudaraku dan teman-temanku Sejarah ’08.
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan untuk
memenuhi sebagian persyaratan mendapat gelar Sarjana Pendidikan.
Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak
akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis
ucapkan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah menyetujui
atas permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan
skripsi ini.
4. Prof. Dr. Mulyoto, M. Pd., selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd., selaku dosen Pembimbing II yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan
Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon
maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.
7. Dra. Sutiyah, M. Pd, M.Hum selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan saran dan motivasinya kepada penulis.
commit to user
x
Semoga Allah SWT membalas amal baik semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan mendapatkan pahala
yang setimpal.
Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan
skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.
Surakarta, Januari 2012
commit to user
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGAJUAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... ….. ... v
HALAMAN MOTTO ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ………. xiii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Rumusan Masalah ... 12
C.Tujuan Penelitian ... 13
D.Manfaat Penelitian ... 13
BAB II LANDASAN TEORI A.Tinjauan Pustaka ... 14
1. Kolonialisme ... 14
2. Politik kolonial ... 21
3. Pradata Dalem ... ... 27
B.Kerangka Berfikir ... 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 34
B.Metode Penelitian ... 35
C.Sumber Data ... 36
D.Teknik Pengumpulan Data ... 38
E. Teknik Analisis Data ... 40
commit to user
xii BAB IV HASIL PENELITIAN
1. Proses Pengurangan Peran Pradata Dalem Kasunanan
Surakarta ………... 47
1. Penetrasi terhadap Pemerintahan Kasunan ... 47
2. Lembaga-lembaga Peradilan Kasunanan sebelum penetrasi Pemerintah Kolonial Belanda .………... 59
3. Gangguan Keamanan di Wilayah Kasunanan …...…... 67
4. Langkah-Langkah untuk Mengatasi Gangguan Keamanan di Wilayah Kasunanan ……..…………... 75
2. Pengambilalihan Sistem Peradilan Kasunanan pada Tahun 1903 ………... 80
1. Proses Pengambilalihan Sistem Peradilan Kasunanan 1903 ……..…………... 80
2. Lembaga-Lembaga Peradilan baru akibat Pengambilalihan Sistem Peradilan di Kasunanan ... 88
3. Dampak Pengambilaliha Sistem Peradilan di Kasunanan ... 92
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan ………... 97
B. Implikasi ………... 100
C. Saran ………... 101
DAFTAR PUSTAKA ……… 103
commit to user
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Perijinan Skripsi ... 110
Lampiran 2 : Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ... 112
Lampiran 3 : Lambang Keraton Kasunanan Surakarta ... 113
Lampiran 4 : Paku Buwono X……….. ... 114
Lampiran 5 : Staadsblad 1847 nomor 30 ... 115
Lampiran 6 : Paku Buwono X dan Kanjeng Ratu Mas ... 120
Lampiran 7 : Paku Buwono X dan Residen de Vogel (1897) ... 121
Lampiran 8 : Kontrak Politik P.B. X dengan Belanda ... 122
Lampiran 9 : Surat keputusan dari Residen van Wijk tentang pengadilan... 123
Lampiran 10 : Kitab-Kitab Hukum Pengadilan Kasunanan ... 127
Lampiran 11 : Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.7, No. 2 Desember 2003 ... 133
Lampiran 12 : Jurnal Kajian Wilayah Eropa Volume V – No. 2 - 2009 ... 139
Lampiran 13 : Jurnal Kajian Wilayah Eropa Volume V – No. 2 - 2009 ... 153
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemerintahan tradisional pada masa kerajaan-kerajaan di Indonesia
terutama Keraton Jawa adalah masa yang memiliki peranan vital (Larson, 1990:
viii). Keraton merupakan masyarakat/komunitas yang mempunyai kebudayaan
sendiri. Di dalam masyarakat/komunitas itu terjadi interaksi, baik secara
individual, maupun secara kolektif (Darsiti Soeratman, 1990: 9).
Keraton membutuhkan peraturan-peraturan dan hukum yang mengikat
kepada seluruh rakyat untuk menjalankan roda pemerintahannya agar tercipta
pemerintahan yang bagus dan ideal. Dalam konsep pemerintahan, kekuasaan
sistem peradilan merupakan faktor yang prinsipil. Raja sebagai penguasa
pemerintahan keraton adalah orang yang memegang kekuasaan sistem peradilan
tersebut.
Kerajaan Jawa yang pertama kali menerapkan tata hukum dan peradilan
dalam bidang pemerintahan adalah Kerajaan Mataram. Tata hukum dan peradilan
tersebut mulai diterapkan pada masa pemerintahan Panembahan Ingalogo yang
lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Ia menarik pemimpin-pemimpin agama
Islam ke dalam istananya dan lambat laun mengubah tata cara istana sesuai
dengan ajaran Islam (Larson, 1990: 12). Dalam perkembangan selanjutnya, Tata
hukum dan peradilan yang dipergunakan adalah tata hukum dan peradilan Islam.
Peradilan ini mengambil tempat persidangan di Sittinggil atau Serambi Masjid
dalam menangani perkara kejahatan.
Kerajaan Mataram memiliki empat macam lembaga peradilan, yaitu Raad
Bale Mangu, Raad Kadipaten Anom, Raad Surambi, dan Raad Pradata (Serat
Perjanjian Dalem Nata: 41). Kerajaan Mataram selalu berpindah tempat karena
alasan keamanan dari musuh. Seiring dengan perpindahan tersebut, Kerajaan
Mataram selalu mengadakan perubahan tata hukum maupun peradilan dalam
commit to user
tersebut menjadi dua keraton besar, yakni Kasultanan di Yogyakarta Hadiningrat
dan Kasunanan di Surakarta Hadiningrat.
Keraton Kasunanan Surakarta yang pada tahun 1746 didirikan oleh Paku
Buwono II untuk dijadikan pengganti Keraton Kartasura yang telah hancur karena
serangan musuh serta perang perebutan tahta, semula adalah pusat Kerajaan
Mataram (Darsiti Soeratman, 1989: 1). Untuk memindahkan keraton dari
Kartasura ke Surakarta, Paku Buwana II membutuhkan banyak biaya, yakni untuk
membeli tanah yang dimiliki Ki Ageng Sala. Di samping itu, Paku Buwana II juga
memberikan uang pesangon bagi rakyat yang melakukan bedhol deso karena
daerahnya akan didirikan keraton baru (R.M. Sajid, 1984: 20).
Keraton Kasunanan Surakarta sebagai kerajaan, memiliki sebuah struktur
yang tersusun atas beberapa lembaga dalam pemerintahan, salah satunya adalah
lembaga peradilan keraton. Peradilan Keraton Kasunanan Surakarta apabila
dilihat secara kelembagaan, merupakan lembaga yang memberikan kontribusi
dalam menegakkan hukum, menciptakan keamanan dan ketertiban di wilayah
Keraton Kasunanan Surakarta. Selain itu, peradilan Keraton Kasunanan Surakarta
adalah sebuah lembaga hukum yang berfungsi untuk mencegah terjadinya
pelanggaran dan tindak kejahatan yang dapat mengancam eksistensi kekuasaan
raja.
Pengambilalihan kekuasaan Keraton Kasunanan sebenarnya sudah terjadi
sejak masa pemerintahan Paku Buwana II (1726-1749), dimana seluruh daerah
Kerajaan Mataram masuk ke dalam wilayah kekuasaan Pemerintah Belanda.
Akibatnya, Kerajaan Mataram bukan hanya kehilangan wilayahnya tetapi juga
harus tunduk pada peraturan Pemerintah Belanda termasuk mengenai sistem
peradilan.
Wilayah kekuasaan raja dipinjamkan kepada Pemerintah Belanda
kemudian raja akan mendapatkan uang sewa. Pemerintah Belanda akan
mendukung (apabila ada pihak yang bermaksud menggulingkan kekuasaan raja,
Belanda akan membantu mempertahankan kekuasaan tersebut) agar raja tetap
berkuasa di Keraton Kasunanan sebagai imbalan dari tanah yang dipinjamkan.
commit to user
harus menandatangani perjanjian, yang antara lain menyatakan bahwa
penobatannya sebagai raja bukan karena mewarisi, melainkan karena pemberian
dari Pemerintah Kolonial Belanda. Raja juga berjanji bahwa dia akan memerintah
sesuai dengan hukum-hukum yang ada, dan tetap setia kepada pemerintah
Belanda dengan cara membahas semua persoalan dengan residen dan mengikuti
saran serta nasihatnya sebelum memutuskan sesuatu (Houben, 1994: 274).
Raja yang berkuasa sangat mempengaruhi keberjalanan sistem peradilan
dalam pemerintahan. Sistem peradilan akan mengikut kepada raja yang berkuasa
di wilayah tersebut karena dalam politik tradisionalisme (feodalisme), seorang
raja berkuasa absolut sehingga setiap kata yang diucapkan raja bagai sumber
hukum; dalam masyarakat Jawa sering dikenal dengan istilah sabdo pandito ratu.
Peranan raja terhadap rakyat terkait masalah hukum dan keadilan adalah untuk
melakukan pemerintahan tanpa mengenal pilih kasih dan selalu berpegang teguh
pada hukum yang berlaku (Serat Raja Kapa-Kapa, tth: 19). Selain itu, raja (dalam
menjalankan pemerintahan) tidak boleh mengenal anak, sanak saudara, istri
maupun kekasih; yang dianut hanya kebenaran hukum keadilan (Serat Wulangreh,
tth: 16).
Di masa Raja-Raja Keraton Kasunanan Surakarta, lembaga peradilan dan
hukum diperlukan untuk membentengi legitimasi kekuasaannya. Peradilan di
Keraton Kasunanan telah mengalami banyak perubahan, terutama sejak
menguatnya penetrasi dari Pemerintah Kolonial Belanda. Sistem tradisional
khususnya sistem peradilan Keraton Kasunanan digeser oleh sistem peradilan
Barat yang diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda (Lembaran Sejarah Vol. 1,
No. 2, 1997/1998: 55). Belanda memperlihatkan sebuah karakter Machiavellian
yang ekstrim dan taktik pecah belah serta berbagai aturan yang semakin
memperparah perselisihan internal. Kondisi ini semakin diperburuk dengan
semakin banyaknya para elite politik lokal yang terjebak masalah keuangan dan
hutang terhadap Belanda sehingga Belanda semakin mudah dalam menanamkan
pengaruhnya di Keraton Kasunanan (Houben, 1994: xv).
Pelaksanaan hukum dan peradilan Keraton Kasunanan pada awalnya
commit to user
dipakai lagi setelah masuknya hegemoni Pemerintah Kolonial Belanda.
Pemerintah Kolonial Belanda menempatkan sistem hukum dan peradilan Barat
pada posisi yang lebih tinggi di atas hukum dan peradilan Keraton Kasunanan.
Sistem peradilan di Keraton Kasunanan harus menaati
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Namun tidak
berarti sistem hukum dan peradilan mengalami perubahan total. Masyarakat Jawa
termasuk rakyat Keraton Kasunanan terbiasa menggunakan cara musyawarah
mufakat untuk menyelesaikan perkara (yang bersifat ringan).
Masyarakat Jawa lebih memilih cara yang bersifat kekeluargaan dalam
menyelesaikan perkara-perkara. Akan tetapi sikap yang seperti itu tidak berarti
bahwa mereka tidak membutuhkan lembaga pengadilan untuk menyelesaikan
suatu masalah. Lembaga pengadilan dimanfaatkan apabila suatu perkara tidak
dapat diselesaikan secara kekeluargaan melalui musyawarah mufakat (T. Roorda,
1844: 4).
Pada masa pemerintahan Paku Buwana III (1749-1788) dan IV
(1788-1820), sistem peradilan masih berjalan di bawah peraturan Pemerintah Kolonial
Belanda. Begitu juga pada saat pemerintahan Paku Buwana V (1820-1823) dan VI
(1823-1830), tidak terjadi sebuah perubahan yang signifikan dalam sistem
peradilan. Hal tersebut dikarenakan kondisi politik yang kurang mendukung
(adanya pemberontakan Samber Nyawa dan Mangkubumi), Pemerintahan raja
yang singkat serta penetrasi Pemerintah Kolonial Belanda yang semakin intensif
(Achmad Ridwan, 2010: 4-5).
Pada masa pemerintahan Paku Buwana VII (1830-1858) terjadi banyak
perubahan dalam bidang sistem peradilan. Seiring dengan bergesernya sistem
peradilan tradisional menuju sistem peradilan Barat, muncul
pengadilan-pengadilan baru di wilayah Keraton Kasunanan.
Kekuasaan pengadilan atas orang-orang bumi putera sebenarnya berada
di tangan Sunan, tetapi dalam kenyataannya Pemerintah Kolonial Belanda yang
berkuasa. Hal itu dapat dilihat dalam pelaksanaan proses pengadilan sampai
dengan pemberian hukuman yang hampir seluruhnya harus mendapatkan
commit to user
Pengambilalihan sistem peradilan yang dilakukan Belanda ini
menyebabkan kebijaksanaan Sunan banyak dipengaruhi oleh peraturan
Pemerintah Belanda. Meskipun demikian, legitimasi Sunan masih tetap terjaga di
mata rakyat. Intervensi Pemerintah Belanda terhadap sistem peradilan Kasunanan
menjadikan Sunan hanya sebagai sebuah simbol, sementara pengendali kekuasaan
di wilayah Kasunanan dipegang oleh Pemerintah Belanda.
Pengambilalihan sistem peradilan pada awal abad xx, pada masa itu
merupakan puncak perkembangan budaya Barat yang bersifat modern yang
memasuki lingkungan Keraton Kasunanan. Paku Buwana X (1893-1939) yang
bertahta pada saat itu, menunjukkan sikap lebih terbuka terhadap masuknya
unsur-unsur budaya Barat ke dalam komunitas keraton (Darsiti Soeratman, 1989:
8). Seorang Pakar Belanda, C. van Vollenhoven juga menjelaskan penetrasi
politik Belanda terhadap penguasa pribumi di Vorstenlanden pada awal abad xx,
sebagai suatu usaha yang lunak untuk membatasi hak mereka, merebut
hak-hak istimewa dalam bidang legislatif, dan menyesuaikan peraturan dan pranata
dengan yang berlaku di wilayah Gubernemen (Larson, 1990: 9).
Dalam sudut pandang Belanda, pemerintahan Jawa terdesentralisasi dan
tampak kabur, begitu juga hukum dan keamanannya. Patih secara berkala
memberikan laporan mengenai kurangnya keamanan di keraton. Kepala-kepala
polisi lebih sibuk mengurusi pendapatan mereka ketimbang menjaga keamanan
umum. Hal tersebut mengundang desakan dari Belanda untuk ikut campur dalam
persoalan tersebut. Belanda mengeluarkan kebijakan agar kepolisian ditempatkan
di bawah kontrol langsung orang-orang Eropa, yang akan berarti bahwa para
bupati dan kepala-kepala lainnya akan harus menjadi pejabat-pejabat yang
mengabdi kepada Pemerintah Belanda. Dengan dibentuknya peradilan di bawah
arahan Belanda, yang memasukkan dasar-dasar peradilan Barat dan
mengesampingkan hukum yang berdasarkan Al-Quran, membuktikan bahwa
pengelolaan peradilan telah diambilalih dari tangan Raja-Raja Keraton
Kasunanan. Secara umum, pengambilalihan sistem peradilan ini disebabkan
karena sistem tersebut dianggap sudah tidak mampu lagi untuk memberikan
commit to user
Sunan Paku Buwono X adalah Raja Keraton Surakarta yang memerintah
tahun 1893-1939. Paku Buwono X adalah seorang pribadi yang penuh nilai
keteladanan, kebijaksanaan dan keagungan. Beliau mempunyai tempat yang
sangat istimewa karena masa pengabdiannya yang cukup panjang, yakni 46 tahun.
Salah satu sifat Sunan yang paling menonjol adalah kelakuannya yang dermawan,
ia selalu mau membantu dan atau menyenangkan hati orang. Ia juga sopan dan
suka melayani, salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tak mengenal nilai
uang, Susuhunan tidak mempunyai pengetahuan tentang keadaan keuangannya.
Sunan tidak memiliki pengertian sekecil apapun tentang urusan-urusan resmi.
Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagi seorang
pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga Raja Belanda dan
Pemerintah Hindia-Belanda (Larson, 1990: 44).
Puncak pengambilalihan sistem peradilan Keraton Kasunanan terjadi
pada masa ini, masa pemerintahan Paku Buwana X. Hal ini merupakan akibat
pernyataan Sunan sebelum dinobatkan sebagai raja. Pada saat itu Paku Buwana X
bersama Gubernement menandatangani perjanjian yang berupa Acta van Verband
dan Verklaring (G.P. Rouffaer, 1983: 23).
Sunan menandatangani verklaring pada tanggal 25 maret 1893. Pada
tanggal 30 maret 1893 dilangsungkan penobatan raja yang dilanjutkan dengan
penandatanganan akta perjanjian. Dengan begitu dimulailah masa baru, masa
Pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939). Peristiwa ini merupakan tradisi baru
dalam pemerintahan Kasunanan, karena kenaikan raja-raja sebelumnya hanya
menandatangani akta perjanjian dalam setiap kenaikan tahtanya (Darsiti
Soeratman, 1990: 51).
Beberapa butir dalam verklaring antara lain mencakup masalah :
a. Perbaikan pengadilan, kepolisian dan penyelesaiannya menurut hukum.
b. Daerah terselip.
c. Ganti kerugian dari pemerintah.
d. Pemungutan pajak baru.
commit to user
f. Kerja wajib bagi penduduk yang tinggal di daerah yang disewa oleh
pengusaha asing.
g. Seremoni pada pesta dan kesempatan lain.
Akta perjanjian pada pokoknya berisi ketentuan bahwa Sunan :
a. Mengakui kedudukannya sebagai vasal yang memperoleh tanah Surakarta
bukan karena kekuatan sendiri, melainkan sesuai perjanjian 1949.
b. Berjanji akan setia pada perjanjian yang dibuat oleh raja-raja sebelumnya.
c. Akan memerintah secara adil, melindungi pertanian, perdagangan dan
memajukan kesejahteraan rakyat.
d. Tidak akan melakukan hubungan politik dengan negara asing.
e. Menyatakan, jika ia tidak melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian,
pemerintah berhak menarik kembali tanah pinjaman itu.
(Darsiti Soeratman, 1990: 52).
Perubahan-perubahan pada bidang peradilan dilakukan dengan alasan
untuk lebih memantabkan sistem pemerintahan di keraton Kasunanan serta
memperbaiki sistem peradilan dan kepolisian.
Penandatanganan Verklaring dan akta perjanjian sebelum dinobatkan
menjadi raja telah membuktikan kemerosotan kewibawaan dan kedaulatan Sunan
sebagai penguasa tertinggi di keraton Kasunanan. Sunan hanya menjadi salah satu
alat politik bagi pemerintah kolonial Belanda.
Dalam perkembangannya terdapat perbedaan penafsiran antara Sunan
dan Pemerintah Kolonial Belanda mengenai butir dalam verklaring yang
membahas tentang pengadilan. Sunan menafsirkan perbaikan pengadilan sebagai
sebuah usaha untuk membuat pengadilan menjadi lebih berfungsi, tanpa
meninggalkan dasar-dasar peradilan yang berlaku di Keraton Kasunanan.
Sebaliknya, Pemerintah Belanda menghendaki agar Sunan menyerahkan sistem
peradilan Kasunanan Surakarta kepada mereka (Pemerintah Belanda).
Pada tanggal 17 Oktober 1901, Sunan terpaksa menandatangani
perjanjian penyerahan sistem peradilan kepada Pemerintah Belanda. Kekuasaan
Kasunanan harus mematuhi Pemerintah Belanda berdasarkan hasil perjanjian
commit to user
menyerahkan sistem peradilan kepada Pemerintah Belanda (Darsiti Soeratman,
1990: 52).
Dalam proses pengambialihan sistem peradilan di Keraton Kasunanan
pada tahun 1903, Pemerintah Kolonial Belanda berusaha menerapkan tata hukum
Belanda ke wilayah kekuasaan Keraton Kasunanan. Hal tersebut bertujuan untuk
mengontrol kekuasaan dan kewenangan raja serta aparat eksekutif daerah jajahan.
Pengambilalihan sistem peradilan 1903 merupakan rekayasa Pemerintah
Kolonial Belanda untuk kepentingan eksploitasi terhadap wilayah pemerintah
Keraton Kasunanan Surakarta. Pemerintah Kolonial Belanda berusaha untuk
memisahkan lembaga peradilan masyarakat pribumi dan masyarakat asing melalui
pengambilalihan sistem peradilan ini yang sekaligus menjadi pertanda
kemunduran kekuasaan pemerintah keraton Kasunanan, Sehingga sifat dasar
sistem peradilan dan lembaga pengadilan masyarakat jawa memudar. Akibatnya
pengambialihan sistem peradilan ini menjadi sarana pembentukan unsur-unsur
baru (Soerjono Soekanto, 1980: 88).
Pemerintah Kolonial Belanda mengambilalih semua kekuasaan di
Keraton Kasunanan. Ketika semua kekuasaan telah diambilalih oleh Belanda,
Raja tidak mempunyai apa-apa selain kekuasaan budaya untuk mempertahankan
eksistensi kekuasaannya, terutama budaya Islam dan Jawa.
Paku Buwana X adalah simbol tradisi Islam dan Jawa. Maka, Ia selalu
memelihara budaya/tradisi Islam tetapi juga menghidupkan tradisi Jawa. Dari sisi
tradisi Islam, Sunan memberikan hadiah pada orang Arab, Benggal, Kojar, Banjar
dan para haji yang berdzikir di masjid, tiap orang mendapat dua gulden. Para haji
itu datang dari daerah Surakarta, Yogyakarta, Madiun, Semarang, Priangan dan
Besuki. Selain itu, Sunan juga menghidupkan tradisi Jawa serta memelihara
mitos. Misalnya dengan upacara mengambil air untuk menanak nasi untuk grebeg
(sebuah perayaan resmi) mulud dari mata air Pengging, oleh para abdi dalem yang
berjalan kaki dengan membawa 12 genthong (Kuntowijoyo, 2006: 36).
Paku Buwana X mampu memainkan kartu nasionalisme Jawa melalui
budaya. Paku Buwana sering berkeliling ke berbagai daerah secara berkala
commit to user
utusan ke Ambon untuk menjenguk kuburan Paku Buwana VI (tradisi Jawa)
merupakan lambang nasionalisme dan pemberontakan simbolis Paku Buwana X
pada Pemerintah Belanda (Kuntowijoyo, 2004: 104).
Paku Buwana berhasil menghimpun massa pada acara perkawinannya
dengan putri Hamengku Buwana VII; seluruh kota penuh dipadati rakyat. Hal
yang demikian merupakan budaya afirmatif dari Paku Buwana X. Sejak itu,
pergerakan Paku Buwana selalu dipantau oleh Belanda (Kuntowijoyo, 2004: 104).
Pemerintah Belanda khawatir pergerakan Paku Buwana tersebut akan
membangkitkan nasionalisme masyarakat Jawa; karena setiap perjalanannya di
berbagai daerah, Paku Buwana disambut massa dengan meriah (Kuntowijoyo,
2004: 38).
Penguasaan bidang hukum merupakan langkah yang tepat untuk
menguasai kehidupan politik dan memantau tata pemerintahan Keraton
Kasunanan. Alasan Pemerintah Kolonial Belanda melakukan tindakan politis
tersebut adalah supaya mudah mempengaruhi serta menentukan kebijaksanaan
keraton. Pemerintah Kolonial Belanda mencoba menggeser hukum Islam dan
hukum Adat sebagai hukum asli di Keraton Kasunanan (T. Roorda, 1844: 3), dan
menggantinya dengan hukum Barat (Belanda).
Anggapan bahwa sistem peradilan Keraton Kasunanan sudah tidak
mampu memberikan jaminan stabilitas politik dan keamanan bagi rakyat serta
kerugian yang timbul akibat Perang Diponegoro (1825-1830) yang disebabkan
oleh keputusan Gubernur Jenderal untuk mengubah sistem pemilikan/penyewaan
tanah (Larson, 1990: 9), juga menjadi alasan Pemerintah Kolonial Belanda untuk
mengambilalih sistem peradilan keraton. Dengan berkurangnya kekuasaan
peradilan keraton, menjadikan eksploitasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda
semakin meningkat.
Pengambilalihan sistem peradilan pada tahun 1903, menjadi pertanda
awal kepunahan sistem dan lembaga pengadilan tradisional Jawa.
Perubahan-perubahan yang diterapkan pada kekuasaan pengadilan sangat berdampak pada
commit to user
lain mempengaruhi pranata hukum, stabilitas pranata pemerintahan, serta
kehidupan sosial masyarakat keraton.
Pengambilalihan sistem peradilan pada tahun 1903 yang digerakkan
Pemerintah Kolonial Belanda menandai gejala perubahan lembaga peradilan ke
arah modernisasi. Dampak pengambilalihan ini begitu besar dan hampir di semua
bidang merasakannya; dari rakyat biasa hingga golongan elit birokrasi keraton
bahkan keluarga raja.
Di dalam pranata hukum dan peradilan, pengambilalihan pradata dalem
ini mengakibatkan dihapuskannya beberapa lembaga peradilan yang pernah
dimiliki pemerintah Keraton Kasunanan. Contohnya, Pengadilan Balemangu tidak
berfungsi setelah tahun 1847 (Pangreh Pradja Bond Soerakarta, 1938: 115).
Sedangkan Peradilan Kadipaten Anom, yang merupakan pengadilan bagi sentana
dalem, sejak pengambilalihan sistem peradilan pada tahun 1903 dialihkan pada
Pengadilan Pradata Gedhe. Akibatnya pemerintah Keraton Kasunanan hanya
menyelenggarakan dua jenis pengadilan. Diantaranya Pengadilan Pradata Gedhe
dan Surambi.
Proses pengambilalihan sistem peradilan pada tahun 1903, setidaknya
mempengaruhi kehidupan sosial di lingkungan Keraton Kasunanan. Pengaruh
aspek sosial bukan hanya dirasakan oleh rakyat, golongan elit birokrasi di
Keraton Kasunanan Surakarta juga merasakan dampak dari apa yang telah
diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda tersebut. Dengan adanya
pengambilalihan sistem peradilan oleh Belanda, maka semua kasus/perkara yang
terjadi di luar Keraton Kasunanan, seperti: pencurian, pemerkosaan, pembunuhan,
gadai-menggadai, hutang-piutang, dsb. menjadi tanggung jawab Belanda. Raja
hanya bertanggung jawab terhadap perkara yang terjadi di dalam keraton.
Dalam bidang pendidikan mulai diperkenalkan sekolah hukum meskipun
yang bisa masuk hanya dari kalangan atas masyarakat keraton. Ada anggapan
bahwa pendidikan hukum dipandang sebagai persiapan untuk menjadi
pegawai-pegawai pemerintahan, sehingga sekolah ini banyak diminati masyarakat,
terutama kaum priyayi. Sarana pendidikan hukum tersebut merupakan salah satu
commit to user
Sekolah ini sebenarnya untuk lebih memprofesionalkan penyelenggaraan hukum
kolonial yang lebih banyak menguntungkan Pemerintah Kolonial Belanda (Daniel
S. Lev, 1990: 325).
Pangambilalihan ini juga berpengaruh pada tata pemerintahan keraton.
Dalam konsep negara yang baik, keraton harus mempunyai tiga lembaga dalam
menjalankan roda pemerintahan keraton, antara lain: lembaga
perundang-undangan (badan legislatif), lembaga penyelenggara pemerintahan (badan
eksekutif) dan lembaga peradilan (badan yudikatif). Namun konsep tersebut tidak
berlaku dalam tata pemerintahan Keraton Kasunanan (Pangreh Pradja Bond
Soerakarta, 1938: 110).
Dalam susunan kelembagaan sebagai suatu bentuk negara yang bersifat
tradisional, di Keraton Kasunanan Surakarta ada lembaga pelaksana negara yang
bertugas membantu Sunan dalam menjalankan roda pemerintahan. Pada masa
pemerintahan Kanjeng Sunan Paku Buwana X, di Keraton Kasunanan Surakarta
terdapat Raad (dewan) beserta abdi dalem yang mendampingi Sunan dalam tugas
pemerintahan.
Dalam bidang pemerintahan, Penguasa Kolonial Belanda mengajukan
berbagai alasan untuk menanamkan pengaruhnya. Sehingga sedikit demi sedikit,
Pemerintah Kolonial Belanda mampu menguasai hampir seluruh tatanan
pemerintahan di Keraton Kasunanan Surakarta. Dampak pada bidang ini adalah
perubahan pada teritorial di daerah-daerah.
Dalam bidang hukum, perubahan begitu terlihat pada tata hukum dan
sistem peradilan yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada
dasarnya dampak di bidang ini lebih ditekankan untuk mengacu pada masalah
penanggulangan tindak kejahatan dan kerusuhan yang terjadi di wilayah Keraton
Kasunanan Surakarta.
Dalam bidang keuangan keraton, pada masa pemerintahan Kanjeng
Sunan Paku Buwana X muncul aturan keuangan keraton. Anggaran belanja
keraton dipisahkan dengan pengeluaran pribadi raja. Keperluan keraton diatur
dalam laporan keuangan (begrooting) yang lebih rinci sehingga pertanggung
commit to user
Dalam bidang peradilan, terjadi perubahan yang signifikan. Lembaga
pengadilan yang tersisa hanya Pengadilan Surambi dan Pradata Gedhe.
Pengawasan lembaga Pengadilan Surambi sepenuhnya dipegang langsung oleh
Residen. Kemudian para penghulu keraton tidak lagi menempati posisi teratas
pada susunan organisasi Pengadilan Surambi. Residen menunjuk abdi dalem
wedana sebagai ketua, menggantikan penghulu, yang bertanggung jawab dalam
proses pengadilan (Lembaran Sejarah vol 1, no 2, 1997: 70).
Perkembangan Pradata Dalem (sistem peradilan) dan eksistensinya di
Kasunanan Surakarta sangat menarik untuk diteliti, di mana bidang-bidang hukum
dan peradilan di Kasunanan Surakarta selalu mengalami perubahan seiring dengan
pergantian Raja-Raja di Kasunanan sehingga akhir dari tatanan hukum dan
peradilan di wilayah Kasunanan diambilalih dan dikuasai Pemerintahan Kolonial
Belanda. Setelah dianggap tidak mampu lagi memberi jaminan stabilitas politik
dan keamanan terhadap penduduk, Pradata Dalem dihapus oleh Pemerintah
Belanda dan diganti dengan sistem peradilan Barat.
Dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis dalam
mengkaji mengenai sistem peradilan di Kasunanan Surakarta menggunakan judul “Pengambilalihan Pradata Dalem 1903 (Studi Tentang Pengambilalihan Sistem Peradilan di Kasunanan)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka didapat rumusan
masalah sebagai berikut :
1 Bagaimana proses berkurangnya peran Pradata Dalem Kasunanan
Surakarta?
2 Bagaimana pengambilalihan Pradata Dalem tahun 1903?
3 Bagaimana dampak pengambilalihan Pradata Dalem tahun 1903 bagi
commit to user C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah :
1 Untuk mengetahui proses berkurangnya peran Pradata Dalem Kasunanan
Surakarta.
2 Untuk mengetahui pengambilalihan Pradata Dalem tahun 1903.
3 Untuk mengetahui dampak pengambilalihan Pradata Dalem tahun 1903
bagi Kasunanan Surakarta.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
a Menambah kajian tentang pengambilalihan sistem peradilan di
Kasunanan.
b Memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka
pengembangan ilmu sejarah.
c Dapat menambah wawasan pembaca, khususnya mahasiswa tentang
sistem peradilan di Kasunanan sehingga diharapkan nantinya ada studi
lebih lanjut mengenai pengambilalihan sistem peradilan di keraton lain.
2. Manfaat Praktis
a Menambah perbendaharaan referensi di Perpustakaan Program Sejarah
FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b Dapat memberikan motivasi kepada para sejarawan untuk selalu
mengadakan penelitian ilmiah.
c Merupakan sumber referensi bagi mahasiswa Program Sejarah FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang akan meneliti lebih lanjut
mengenai pengambilalihan sistem peradilan di Kasunanan.
d Mencoba memberi sumbangan pemikiran bagi masyarakat mengenai
commit to user
14 BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kolonialisme
Kolonialisme bangsa Belanda di Indonesia telah mengakibatkan
penderitaan lahir dan batin bagi bangsa Indonesia. Menjelang akhir abad XIX,
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kolonial yang serba terbelakang.
Tanah jajahan merupakan obyek eksploitasi untuk diambil keuntungan
sebesar-besarnya oleh penjajah. Masyarakat pribumi dijadikan obyek pengurasan bahan
dasar bagi kolonialis dan daerah koloni dijadikan tempat pemasaran
barang-barang industri (Suhartono, 1994: 7). Berbagai cara telah ditempuh untuk
mengusir kaum penjajah, namun sejak awal tidak juga membawa hasil yang
menggembirakan. Salah satu sebabnya adalah karena bangsa Indonesia belum
memiliki rasa persatuan dan kesatuan.
Kolonialisme secara etimologis berasal dari kata koloni yang artinya
daerah jajahan, berarti daerah menempatkan penduduk atau kelompok orang
yang bermukim di daerah baru yang merupakan daerah asing dan sering jauh dari
tanah air, yang tetap mempertahankan ikatan dengan tanah air atau daerah asal
(Poerwadharminto, 1976: 516).
Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 77) mengemukakan bahwa kolonialisme
merupakan nafsu untuk menguasai dan sistem penguasaan wilayah bangsa atau
negara lain. Hal tersebut dapat diartikan sebagai nafsu untuk menguasai daerah
atau bangsa lain beserta perangkat sistem yang digunakan untuk mengatur
wilayah yang dikuasai.
Kansil dan Julianto (1983: 7) mengemukakan bahwa kolonialisme
merupakan rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menakhlukkan bangsa lain, baik
di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dengan jalan dominasi politik,
commit to user
mengemukakan pendapat bahwa kolonialisme adalah suatu nafsu sistem yang
merajai atau yang mengendalikan ekonomi atas negeri bangsa lain atau dengan
kata lain kolonialisme adalah suatu rangkaian daya upaya bangsa untuk
menakhlukkan bangsa lain dalam lapangan kehidupan.
Kolonialisme merupakan penguasaan suatu negara atas daerah atau
bangsa lain untuk memperluas negara (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2003: 333). Selain itu, kolonialisme bertujuan untuk menanam sebagian
masyarakat di luar batas atau lingkungan daerahnya. Namun usaha lainnya yang
dilakuakan oleh para kolonialis yang memiliki beberapa koloni di daerah lain
adalah berusaha untuk menyatukan koloninya menjadi satu sistem penguasaan.
Usaha ke arah itu sering disebut sebagai imperialisme.
Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 37) menyatakan bahwa dalam
pelaksanaan kolonialisme di suatu daerah atau negara jajahan akan berlainan, hal
ini karena faktor obyektif dari negara jajahan yaitu berdasarkan perbedaan
mengenai kekayaan alam, kemajuan teknologi maupun sistem produksi barang.
Dengan demikian dapat dimaklumi bila corak penjajah menentukan sifat dan
perlakuan terhadap tanah air maupun bangsa yang dijajahnya. Oleh karena itu
praktek kolonialisme sangat berlainan antara daerah satu dengan daerah lainnnya.
Munculnya kolonialisme berhubungan erat dengan adanya nasionalisme
eropa yang pada waktu itu dipengaruhi oleh persaingan besar dari liberalisme
yang berkembang dalam masyarakat industri kapitalis sehingga tumbuh menjadi
aliran yang penuh dengan emosi dan sentiment. Mereka merendahkan bangsa lain,
sehingga nasionalisme eropa berhasil melahirkan kolonialisme (kuno).
Kolonialisme ini (kuno) bertujuan untuk mengejar kejayaan (glory), kekayaan
(gold) dan keagamaan (gospel). Namun pada sistem kolonialis kapitalis,
kolonialisme bertujuan pada pengambilalihan sumber jajahan, penyediaan buruh
murah pada perkebunan dan sebagai pasar hasil produksi kaum kapitalis (Noer
commit to user
Kolonialisme tidak dapat dipisahkan dari kapitalisme. Menurut Noer
Fauzi (1999: 18), kapitalisme adalah suatu cara berekonomi yang ditandai oleh:
(a) pemilihan pribadi alat produksi oleh pemilik modal, (b) adanya hubungan
majikan-buruh yang digaji dengan uang, (c) produksi ditujukan untuk keuntungan
dan pelipat gandaan modal.
Belanda menerapkan sebuah dominasi, eksploitasi maupun diskriminasi
di dalam sistem kolonialismenya di indonesia. Hal ini menyebabkan adanya
jurang perbedaan antara penjajah dan kaum terjajah. Negara penjajah semakin
besar dan kuat dalam hal modal, teknologi maupun kekuasaan, sedangkan bangsa
yang terjajah semakin miskin dan sengsara sehingga menimbulkan sebuah
ketergantungan bangsa yang terjajah terhadap kaum penjajah.
Belanda melancarkan ekspansi kekuasaan di Jawa pada abad ke-19;
merupakan gerakan kolonialisme yang paling besar pengaruhnya terhadap
perubahan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan di negara-negara yang
mengalami penjajahan. Penetrasi Belanda ini telah mengakibatkan transformasi
struktural dari politik dan ekonomi tradisional ke arah yang lebih modern (Sartono
Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 5).
Menurut Kansil dan Julianto (1983: 23), kolonialisme Belanda di
Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) Membeda-bedakan warna kulit,
(b) Menjadikan tanah jajahan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi negara induk, (c) Perbaikan ekonomi sosialnya sedikit, dan (d) Jarak
yang jauh antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah.
Tujuan Belanda melakukan kolonialisme ke dunia timur (termasuk
Indonesia) menurut Moedjanto (1988: 44) adalah dalam rangka memperluas
pengaruh dan kekuasaan Pemerintah Belanda yang ditempuh dengan cara
menyatukan seluruh wilayah kekuasaan daerah jajahan di bawah Kerajaan
Belanda atau Pax Neerlandica (Perdamaian Nerlandika) yang mengandung arti
penyatuan dan penentraman. Pax Neerlandica ini diciptakan oleh Gubernur
commit to user
Kolonialisme Belanda pada kenyataannya telah mengakibatkan
merosotnya keadaan sosial ekonomi penduduk yang hampir tak tertanggulangi. Ini
semua dirasakan sebagai akibat dari sistem penjajahan asing sehingga sedikit
demi sedikit mendorong timbulnya kesadaran untuk mencari jalan keluar dan
mengakhirinya (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 26). Pelaksanaan kolonialisme ini
telah membawa penderitaan bagi masyarakat pribumi, kemiskinan dan
kemelaratan terjadi di mana-mana sehingga semakin memperbesar kesenjangan
sosial antara bangsa penjajah dan terjajah. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat
diskriminasi yang cukup mencolok. Situasi yang demikian merupakan tantangan
bagi rakyat tanah jajahan untuk berusaha mempertahankan diri dan mengubah
situasi yang ada (Kansil dan Julianto, 1983: 11). Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Raymond Kennedy yang dikutip oleh Moedjanto (1988: 20-21) yang
mengemukakan bahwa ciri-ciri masyarakat kolonial adalah: (a) Diskriminasi
terhadap bangsa berwarna yang dianggapnya inferior (lebih rendah), (b)
Subordinasi (ketaatan) politik dari bangsa pribumi terhadap kekuasaan negara
jajahan, (c) Ekonomi yang tergantung kepada penjajah, (d) Kurangnya kontak
sosial antara golongan rakyat dan penguasa, serta (e) Kurangnya perhatian
terhadap kesejahteraan sosial.
Sebagai suatu usaha untuk menguasai suatu wilayah, maka dalam
kolonialisme terdapat pihak-pihak yang terkait dalam mewujudkan cita-cita
menguasai wilayah itu. Menurut Soeharjo Hatmosoeprobo (1995: 55), “pihak
yang terkait dalam kolonialisme terdiri dari pihak kolonialis dan penguasa lokal”.
Lebih lanjut dikatakan:
commit to user
Adanya ikatan desa dan ikatan feodal yang kuat antara rakyat dengan
penguasa merupakan akibat dari penetrasi yang dilakukan Belanda. Belanda telah
menegakkan hegemoni politik terhadap penguasa lokal dalam menerapkan sistem
kolonialismenya. Dalam konteks ini, kolonialisme Belanda adalah hegemoni
politik terhadap bangsa Indonesia yang masih menerapkan pemerintahan
sederhana dengan menempatkan penguasa tradisional sebagai pimpinannya.
Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah
tersebut berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi
kekuasaan yang lain. Ada banyak tokoh yang mengemukakan teori hegemoni,
antara lain Antonio Gramsci, John Storey dan Vladimir Lenin
(http://mye-learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2 Juli 2011).
Hegemoni merupakan sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang
dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan
dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi)
mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan
politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna
intelektual dan moral (http://mye-learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2
Juli 2011).
Antonio Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah
proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif
mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan
kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang
dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat
dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan
kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring
kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka
yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya
usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa
commit to user
Mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai
berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan
ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas
bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas
dominan. Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan
(pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah
dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi
(tekanan) melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni
(http://mye-learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2 Juli 2011).
John Storey (1869-1921) mengemukakan hegemoni sebagai sebuah
kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga
mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan “kepemimpinan” moral dan
intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat
konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas
bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna
budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada
(http://mye-learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2 Juli 2011).
Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana seseorang merasa rela
saat ada orang lain membeli barang milik kita untuk kepentingannya yang lebih
mewah. Misalkan, pengusaha membeli tanah sawah A, yang kemudian akan
dibangun mall atau perumahan elit pada tanah sawah tersebut. A merasa semua itu
wajar saja, karena pembeli (pengusaha) tersebut mempunyai uang.
Vladimir Lenin (1870-1924), mengemukakan hegemoni sebagai sebuah
aliansi antar kelas atau kelompok kelas dan merupakan strategi untuk revolusi,
suatu strategi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan anggota-anggotanya
untuk memperoleh dukungan dari kaum dominan/mayoritas
(http://mye-learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2 Juli 2011).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kolonialisme di
commit to user
bangsa yang dominan terhadap bangsa yang berkembang (Indonesia) sebagai
bangsa kelas bawah khususnya di bidang politik terhadap penguasa tradisional
Indonesia. Akibat hegemoni tersebut berupa pengambilalihan kekuasaan dalam
bidang politik, sosial, ekonomi maupun hukum oleh Pemerintah Kolonial
Belanda.
Hilangnya kekuasaan tidak hanya disebabkan oleh faktor internal dalam
kekuasaan itu sendiri, akan tetapi bisa dari faktor eksternal, antara lain karena
peperangan yang melibatkan dua negara atau lebih, konflik dan perang saudara,
kudeta (penggulingan kekuasaan) baik oleh militer maupun sipil dan aksi-aksi
demonstrasi yang memungkinkan pergantian kekuasaan. Dalam hal ini, bangsa
Indonesia kehilangan kekuasaannya lebih dikarenakan oleh adanya faktor
eksternal yaitu kolonialisme bangsa Belanda meskipun ada juga faktor internal
seperti kurang bersatunya bangsa Indonesia.
Kolonialisme pada dasarnya bergerak pada bidang ekonomi, politik,
kebudayaan dan sosial. Melalui bidang-bidang tersebut, kepribadian penduduk
pribumi dihancurkan. Di bidang politik, penjajah melakukan dominasi politik,
dalam arti kekuasaan pemerintah berada di tangan kaum penjajah yang dapat
memerintah dengan sekehendak hatinya. Di bidang ekonomi, penjajah melakukan
eksploitasi ekonomi yang mengambil dan mengangkut jauh lebih banyak
kekayaan dari bumi Indonesia ke negerinya demi kemakmuran para kaum
kolonial dibandingkan dengan apa yang telah diberikan kepada negeri jajahannya.
Di bidang kebudayaan, penjajah melakukan penetrasi kebudayaan dengan
berbagai cara, baik halus maupun paksaan, sehingga merugikan kehidupan budaya
bangsa setempat. Di bidang sosial, bangsa penjajah menciptakan diskriminasi
sosial yang menempatkan penjajah pada kedudukan yang jauh lebih tinggi
dibandingkan bangsa yang terjajah yang dianggap bangsa kelas rendah (Cahyo
Budi Utomo, 1995: 21)
Dalam pergaulan sehari-hari tidak ada kontak sosial justru yang ada
commit to user
pribumi. Kalangan pribumi dilarang keras untuk mengikuti berbagai perkumpulan
maupun memasuki daerah tempat tinggal khusus orang-orang Belanda. Dengan
adanya diskriminasi tersebut maka menggugah rakyat untuk melakukan
perlawanan untuk dapat lepas dan merdeka dari belenggu penjajahan bangsa
Belanda.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
kolonialisme merupakan rangkaian nafsu bangsa penjajah untuk menakhlukkan
daerah koloninya (dalam hal ini Indonesia) baik dalam politik, sosial-ekonomi
maupun kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan
penetrasi kebudayaan. Hal tersebut menyulut konflik bagi bangsa terjajah
sehingga menimbulkan reaksi untuk berusaha melepaskan diri dari belenggu
kesengsaraan.
2. Politik Kolonial
a. Pengertian Politik
Politik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang
mengandung arti negara kota. Di samping itu, politik ditambahkan pengertian
lain, yaitu: seni atau kemampuan untuk memerintah (Sukarna, 1981: 13). Menurut
Miriam Budiharjo (1982: 8), politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam
suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan
dari sistem dan melaksanakan tujuan tersebut. Politik menyangkut tujuan-tujuan
dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang
(private goals). Politik juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk
partai politik.
Kartini Kartono (1980: 4-6), berpendapat bahwa politik adalah semua
usaha dan perjuangan dengan menggunakan bermacam-macam alat, cara dan
alternatif-alternatif tertentu yang berupa tingkat untuk mencapai tujuan tertentu
sesuai dengan ide individu, kelompok, suatu sistem kewibawaan yang integral.
commit to user
pembagian dan keadilan. Bermacam-macam definisi dan uraian mengenai politik
yang telah ada jelas memperlihatkan adanya unsur persamaan dan sekaligus
perbedaannya. Perbedaan tersebut disebabkan karena pembuatnya sedikit atau
banyak menekankan beberapa aspek politik tertentu; dilihat dari sudut
pandangnya sendiri; dan beberapa unsur dipakai sebagai simbol untuk menyoroti
aspek-aspek politik lainnya.
Dilihat dari struktur kelembagaannya, Kartini Kartono (1980: 6)
mengartikan poliitik sebagai berikut: (a) Segala sesuatu yang ada hubungannya
dengan pemerintahan (peraturan, tindakan pemerintah, undang-undang, hukum,
kebijakan/policy, beleid dan lain-lain), (b) Pengaturan dan penguasaan oleh
negara, (c) Cara memenuhi teoterium tertentu, (d) Organisasi, pengaturan dan
tindakan negara atau pemerintah untuk mengendalikan negara secara
konstitusional dan yuridisformal, (e) Ilmu pengetahuan tentang kekuasaan. Maka
dalam pengertian dinamis, politik bukan hanya hal yang berkaitan dengan negara
saja; sebab-sebab konflik, ketentuan, ketetapan, gejala dan masalah-masalah
sosial tertentu bisa juga bersifat politis, atau bisa dijadikan masalah politik.
Menurut Isjwara (1982: 37) politik adalah perjuangan memperoleh
kekuasaan, teknik menjalankan kekuasaan, serta penanganan terhadap
masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol pelaksanaan. Menurut Iwa Kusuma Sumantri
(1966: 7) hakikat politik adalah pengetahuan tentang segala sesuatu ke arah usaha
penguasaan negara dan alat-alatnya atau untuk mempertahankan kedudukan
penguasa atas negara dan alat-alatnya itu, atau untuk melaksanakan
hubungan-hubungan tertentu dengan negara atau negara lain atau rakyatnya.
G.A. Jacobsen dan W.H. Lipman dalam Sukarna (1990: 13)
mengemukakan bahwa ilmu politik adalah ilmu tentang negara. Hal itu bertalian
dengan: (a) hubungan antara individu yang satu dengan yang lain, yang diatur
oleh negara dengan undang-undang, (b) hubungan antara individu atau kelompok
orang dengan negara, (c) hubungan antara negara dengan negara. George C.
Simpson dalam Sukarna (1990: 14) menyebutkan bahwa politik bertalian dengan
bentuk-bentuk kekuasaan, cara memperoleh kekuasaan, Studi tentang
commit to user
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa politik pada
intinya merupakan seni dan ilmu pengetahuan tentang ketatanegaraan, segala
urusan dan tindakan mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara
lain, dan merupakan tipu muslihat, kelicikan akal atau daya upaya ke arah
penguasaan negara, serta mengatur segala daya upaya guna mencapai apa yang
diinginkan. Dalam pelaksanaan politik itu ada kebijaksanaan, kekuasaan,
pemerintahan, atau negara.
b. Politik Kolonial
Verenigde Oost Indish Compagnie (VOC) gulung tikar pada tahun 1799.
Pada tanggal 1 Januari 1800, VOC resmi dibubarkan. Wilayah-wilayah yang
menjadi miliknya beralih menjadi kepemilikan Pemerintah Hindia Belanda.
Semua kegiatannya terutama kegiatan perdagangan diambil alih oleh Pemerintah
Hindia Belanda dan sejak itu usahanya ditekankan pada eksploitasi ekonomi yang
disertai eksploitasi politik. (Ricklefs, 2008: 241)
Pada masa awal penerapannya, politik kolonial Belanda di Indonesia
masih bersifat konservatif disebabakan politik kolonial pada masa VOC masih
bersifat monopolistis dan sistem ini masih dipertahankan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda sampai akhir abad 18. Pemerintah Kolonial Belanda terus
melanjutkan politik kolonial konservatif dengan tujuan untuk mendapatkan hasil
dari upeti dan keuntungan perdagangan yang semuanya guna kepentingan
kerajaan (Cahyo Budi Utomo, 1995: 5).
Politik kolonial Belanda yang bersifat konservatif merupakan sebuah
sistem pemerintahan yang pengkoordinasiannya melalui kepala-kepala pribumi.
Kepala-kepala pribumi diserahi tugas mengurus masalah-masalah penduduk. Hal
yang tampak paradoksal dalam politik kolonial Belanda ialah pengaruh penetrasi
kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda yang mendorong ke arah perubahan sosial
termasuk individualisasi kebebasan, namun pemakaian kekuasaan kepala desa
menambah kekuasaan tradisional. Dengan dukungan penguasa Belanda, kepala
commit to user
penguasa kolonial (Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan
Nugroho Notosutanto, 1975: 310).
Politik kolonial yang bersifat konservatif atau pemerintahan tidak
langsung ini mendapat kritikan pedas dari golongan liberal yang menganjurkan
suatu sistem pemerintahan langsung berdasarkan prinsip liberal dan perdagangan
secara intensif partikelir. Periode 1800-1830 memang merupakan suatu periode
yang ditandai oleh pertentangan-pertentangan yang tajam dalam melaksanakan
politik kolonial, baik pada sistem konservatif maupun pada sistem liberal
(Sartono Kartodirjo, 1967: IX). Dalam memilih sistem pemerintahan langsung
atau tidak langsung akan diterapkan rezim kolonial, sehingga perlu
mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain: (1) bagaimana daerah tersebut
menghadapi penetrasi kekuasaan kolonial, apakah secara damai atau dengan
perlawanan keras; (2) seberapa jauh kelembagaan politik bisa berfungsi terhadap
situasi yang baru. Dalam kebijakan politiknya, pemerintah kolonial mengakui dan
menerima lembaga-lembaga pribumi yang otentik, maka dari itu rakyat disuruh
memilih sendiri kepala mereka, mengatur dan mengelola keuangan, memungut
pajak, menjatuhi hukuman kepada pelanggar peraturan di daerah tersebut (Sartono
Kartodirdjo, 1993: 12).
Pada tahun 1830, politik kolonial Belanda berdasarkan prinsip-prinsip
dan praktek yang satu sama lain bertentangan, akan tetapi sejauh itu diganti
dengan sistem yang tetap dan konsekuen, yang kemudian dikenal dengan sistem
tanam paksa atau cuulturstelsel. Kenyataannya, pada tahun 1830
kepentingan-kepentingan negara induk yang bersifat menentukan laju Pemerintah Kolonial
Belanda terutama perbendaharaan keuangan mampu ditutup dengan keuntungan
finansial yang didapat dari sistem tersebut. Keuntungan dari sistem tersebut untuk
menutup biaya-biaya administrasi di Jawa, tetapi juga untuk mendukung posisi
keuangan di negeri Belanda yang sedang memburuk (Ricklefs, 2008: 259-260).
Pada tahun tersebut, di bawah pemerintahan Gubernur Jendral Johanes
van Den Bosch sistem tanam paksa mulai diberlakukan, yang dalam beberapa hal
merupakan reaksi terhadap sistem tanah terdahulu. Pengalaman-pengalaman yang
commit to user
masih sangat berpengaruh itu masih harus dihormati, dan bahwa orang-orang
Eropa tidak akan dapat mencapai apa-apa jika orang-orang Eropa tidak
menggunakan organisasi desa, dan bahwa untuk produksi ekspor diperlukan
pimpinan orang-orang Eropa (Prajudi Atmosudirjo, 1983: 183).
Politik kolonial Belanda telah memaksa Elite Kerajaan Jawa tergeser dari
urusan-urusan politik. Pemberontakan-pemberontakan terhadap Pemerintah
Kolonial Belanda telah benar-benar ditinggalkan sesudah tahun 1830. Meskipun
terjadi beberapa kerusuhan di daerah-daerah kekuasaan kolonial namun sangat
jarang yang melibatkan para anggota kerajaan. Perasaan benci terhadap
Pemerintah Kolonial Belanda tampaknya masih tetap berlanjut di beberapa
kalangan istana, tetapi hal ini tidak menyebabkan timbulnya perlawanan yang
serius terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda. Hal ini dikarenakan para Residen
Belanda menyelenggarakan kekuasaan di kerajaan-kerajaan tersebut walaupun
terdapat perbedaan-perbedaan antara kerajaan-kerajaan itu dengan daerah-daerah
yang diperintah secara langsung karena adanya perbedaan dalam dasar hukum
penguasa Belanda (Ricklefs, 2008: 274).
Kalangan elite tinggi di daerah, yang merupakan landasan kekuasaan
Pemerintah Kolonial Belanda di luar kerajaan-kerajaan Jawa mengalami
perubahan dalam kedudukan mereka di bawah liberalisme ketika semangat baru
bagi pembaharuan sosial mewarnai kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda.
Selama dilaksanakannya sistem tanam paksa, para bupati dan kalangan elite
pemerintahan yang lebih tinggi tingkatannya memperoleh banyak keuntungan,
baik dalam hal penghasilan maupun jaminan kedudukannya di dalam
pemerintahan (Ricklefs, 2008: 279).
Pelaksanaan sistem tanam paksa melibatkan berbagai unsur pokok,
antara lain yaitu birokarasi pemerintahan Barat, para kepala pribumi, organisasi
desa, tanah pertanian dan tenaga kerja rakyat, pengusaha dan modal swasta Barat
(Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 55). Reaksi terhadap pelaksanaan
sistem tanam paksa dimulai sekitar tahun 1848 baik melalui
perdebatan-perdebatan di parlemen maupun dalam sejumlah tulisan-tulisan yang mengutuk