• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS DAN FUNGSI ABDI DALEM HARYA LEKA DALAM PENANGGALAN JAWA DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA PADA MASA PAKUBUWANA X

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUGAS DAN FUNGSI ABDI DALEM HARYA LEKA DALAM PENANGGALAN JAWA DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA PADA MASA PAKUBUWANA X"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

i

TUGAS DAN FUNGSI ABDI DALEM HARYA LEKA

DALAM PENANGGALAN JAWA DI KERATON

KASUNANAN SURAKARTA PADA MASA

PAKUBUWANA X

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh

DIAN SARTIKASARI

C.0507016

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO

Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan (Q.S Al Insyirah: 6)

Yang terpenting dari kehidupan bukanlah kemenangan namun bagaimana bertanding dengan baik

(Baron Pierre de Coubertin)

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta 2. Bangun Suryo Widagdo 3. Iken In Feriyanto

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mendapatkan gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada pelaksanaannya, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan fasilitas, bimbingan maupun kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan dalam perijinan untuk penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dra. Sawitri P.P. M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberi bantuan dan pengarahan.

3. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah atas bantuan dan pengarahannya.

4. Drs. Sri Agus, M.Pd. selaku pembimbing utama dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.

5. Tiwuk Kusuma H, S.S, M.Hum selaku Pembimbing Akademis penulis selama masa studi di Jurusan Ilmu Sejarah.

(8)

viii

7. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, dan Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran.

8. K.G.P.H. Puger dan B.R.M. Suryasmo selaku staf perpustakaan Sasanapustaka Kasunanan Surakarta yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada penulis dalam penyediaan data-data yang diperlukan.

9. Bapak dan Ibu yang senantiasa memberi kasih sayang, do’a dan dukungan semangat yang tak terhingga kepada penulis.

10. Teman-teman Historia Community 2007 tetap kompak dan terima kasih atas bantuannya.

11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak luput dari berbagai kekuarangan dan kelemahan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang sifatnya membangun akan penulis perhatikan dengan baik.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Surakarta, Agustus 2012

Penulis

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR ISTILAH ... xii

DAFTAR SINGKATAN...xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

ABSTRAK ... xix

ABSTRACT ... xx

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Kajian Pustaka ... 7

F. Metode Penelitian... 13

G. Sistematika Skripsi ... 17

BAB II GAMBARAN UMUM KERATON SURAKARTA A. Sejarah Singkat Kasunanan Surakarta ... 19 B. Perkembangan Wilayah Administratif Kasunanan

(10)

x

C. Struktur Birokrasi Keraton Kasunanan Surakarta

Pada Masa Pakubuwana X ... 28

D. Posisi Abdi Dalem Harya Leka dalam Keraton Kasunanan Surakarta ... 39

BAB III KEHIDUPAN ABDI DALEM HARYA LEKA PADA MASA PAKUBUWANA A. Faktor Pendorong Menjadi Abdi Dalem ... 44

B. Karakteristik Abdi Dalem Harya Leka ... 48

1. Gelar Kebangsawanan dan Gelar Kepangkatan ... 50

2. Pola Kerja Abdi Dalem ... 55

3. Masa Kerja Abdi Dalem ... 56

C. Hak Dan Kewajiban Abdi Dalem Harya Leka ... 57

1. Hak Abdi Dalem Harya Leka ... 57

a. Kepangkatan Atau Jabatan ... 57

b. Gelar Nama ... 59

c. Gaji ... 59

d. Kesejahteraan ... 59

2. Kewajiban dan Wewenang Abdi Dalem Harya Leka ... 60

D. Status Sosial dan Gaya Hidup ... 64

BAB IV PERANAN ABDI DALEM HARYA LEKA DALAM TRADISI PENANGGALAN JAWA DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA MASA PAKU BUWANA X A. Tugas Abdi Dalem Harya Leka Dalam Pentarikhan Jawa ... 66

1. Petungan Jawi ... 70

2. Pranata Mangsa ... 74

3. Petungan Pawukon ... 79

(11)

xi

2. Tahun Baru Jawa ... 85

3. Upacara Keagamaan di Keraton Surakarta ... 87

a. Garebeg Mulud ... 89

b. Garebeg Syawal ... 92

c. Garebeg Besar ... 95

4. Tradisi Upacara Adat Keraton dan Penggunaan Candrasengkala ... 96

a. Ulang Tahun Penobatan Raja Pakubuwana X... ... 96

b. Kelahiran-Kematian Pakubuwana X... ... 98

c. Garebeg Mulud Tahun Dal 1831 atau 1901 M... .... 100

d. Mahesa Lawung... ... 102

e. Penggunaan Candrasengkala ... 103

BAB V KESIMPULAN ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 115

DAFTAR INFORMAN ... 120

LAMPIRAN ... 121

(12)

xii

DAFTAR ISTILAH

1. Abdi dalem : pegawai keraton, pegawai kerajaan.

2. Abdi dalem kriya : pegawai kerajaan golongan pertukangan

3. Afdeling : bagian dari suatu wilayah administrasi, bagian dari karesidenan, umumnya setingkat kabupaten.

4. Alun-alun : tanah luas yang lapang di muka keraton.

5. Baluwarti : benteng

6. Bebed : kain/jarik tradisional Jawa

7. Bedhaya Ketawang: tarian ritual yang menggambarkan percintaan antara

Senapati dan Ratu Kidul, biasanya tarian ini dipentaskan pada acara ulang tahun penobatan raja.

8. Bendara : sebutan untuk bangsawan

9. Berkah : berkah berasal dari bahasa Arab `barakah`. Artinya,

memiliki banyak kebaikan dan bersifat tetap atau menerus.

10. Comptabiliteit : kantor keuangan atau akuntansi.

11. Distrik : kawedanan.

12. Dodot : kampuh/ kain yang panjangnya antara 7-9 kacu, dan

lebarnya dua kali kain biasa. Dipakai sebagai lapisan atas, untuk pria diatas celana berwarna polos.

13. Estri : wanita

(13)

xiii

14. Gamelan : alat musik tradisional Jawa, sebagian terdiri dari alat musik pukul, antara lain; saron, gong, kenong, kempul, kendang.

15. Garebeg : upacara hari raya maulud, hari raya lebaran, dan hari raya haji.

16. Garwa ampil : selir/istri yang bukan permaisuri.

17. Garwa padmi : permaisuri

18. Indische regeering : pemerintah Hindia

19. Kawula : hamba, rakyat, pelayan, abdi.

20. Kamukten : kemuliaan

21. Kasunanan : daerah atau wilayah yang yang dikuasai dan diperintah

oleh seorang sunan.

22. Kedhaton : bagian keraton yang dipakai untuk tempat tinggal raja

bersama keluarga dan kerabat, serta sebagian punggawa

keraton; kedhaton juga dipakai untuk tempat penyelenggaraan upacara resmi.

23. Keraton : bangunan khusus milik raja, untuk tempat tinggal raja,

tempat pemerintahan dan tempat upacara resmi.

24. Kilen : barat

25. Kiwa : kiri

26. Kori : pintu

27. Kuluk : penutup kepala berupa kopiah.

28. Lebet : njero, dalam

(14)

xiv

29. Luhur : tinggkat tinggi

30. Magang : proses latihan kerja

31. Miyos : keluar

32. Ngabekten : ujung; pernyataan bakti kepada orang tua, raja, ratu dan

pembesar lainnya.

33. Onder distrik : wilayah di bawah distrik setara dengan kecamatan.

34. Pancaniti : tempat prosesi dan peletakan sesaji dalam upacara selamatan Mahesa Lawung.

35. Paseban : balai penghadapan.

36. Pasamuan : pertemuan, acara pesta.

37. Petangan : perhitungan menurut ketentuan pandangan orang Jawa

38. Primbon : naskah jawa berupa catatan tentang bermacam-

macam hal. Isinya mengenai mistik, hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan, misalnya jimat, do’a, keterangan mengenai masa bahagia dan tidak bahagia, suratan nasib, pralambang, tafsir mimpi, ramalan dan sebagainya.

39. Priyayi : abdi dalem, punggawa kerajaan

40. Sasana : tempat

41. Seba : datang menghadap raja sambil menunggu perintah raja

yang mungkin diberikan oleh raja

42. Sentana : kerabat

(15)

xv

44. Sekaten : pasar malam.

45. Sengkala : rumusan tahun dengan kata-kata yang setiap kata

melambangkan angka.

46. Sitinggil : tanah tinggi, tempat yang tinggi.

47. Sasana : tempat

48. Suwita : ngawula (mengabdi)

49. Tandak : penari ronggeng.

50. Tanah lungguh : tanah jabatan

51. Tayuban : tari bersama tandak

52. Tengen : kanan

53. Tiyang alit : masyarakat umum

54. Wetan : timur

55. Wisuda : pengukuhan

(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

B.R.Aj : Bandara Raden Ajeng B.R.M : Bandara Raden Mas

HB : Hamengkubuwana

K.G.P.H : Kanjeng Gusti Pangeran Harya K.P : Kanjeng Pangeran

K.R.T : Kanjeng Raden Tumenggung M.Ng : Mas Ngabehi

PB : Pakubuwana

R.M : Raden Mas

R.M.G : Raden Mas Gusti

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Gaji Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta Pada Masa

Pakubuwana X ... 47

2. Tabel Nama Tahun Jawa dan Umurnya ... 68

3. Pergantian Kurup dalam Tahun Jawa ... 73

4. Mangsa (Musim) dan Umurnya ... 75

5. Peredaran Wuku dalam Satu Minggu ... 79

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Wuku Sinta ... 80 2. Wuku Watugunung ... 81

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Denah Wilayah Keraton Kasunanan Surakarta ... 122

2. Riwayat Kalender Jawa ... 123

3. Nama Bulan Kalender Jawa dan Kalender Hijriyah ... 127

4. Petungan Jawa ... 128

5. Nomor Angka Menurut Candrasengkala dan Umurnya... 130

6. Serat Wewatoning Abdi Dalem ... 133

7. Daftar Raja yang Bertahta di Mataram-Kartasura-Surakarta ... 137

8. Serat Pawukon dan Petangan Dina ... 139

9. Upacara Garebeg ... 146

10. Upacara Mahesa Lawung ... 150

11. Bedhaya Ketawang... 155

12. Naskah Wuku Wugu (Wuku Ke-26) ... 158

13. Lampiran Foto-Foto ... 159

(20)

xx

ABSTRAK

Dian Sartikasari, C0507016, 2012. Tugas dan Fungsi Abdi Dalem Harya Leka dalam Penanggalan Jawa Pada Masa Pakubuwanan X, Skripsi, Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini membahas Tugas dan Fungsi Abdi Dalem Harya Leka dalam Penanggalan Jawa Pada Masa Pakubuwanan X. Rumusan masalah penelitian ini adalah struktur birokrasi Keraton Kasunanan pada masa Pakubuwana X, kehidupan abdi dalem harya leka di Keraton Kasunanan Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwana X, dan peranan abdi dalem Harya Leka dalam tradisi penanggalan di Keraton Kasunanan pada masa Pakubuwana X.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan tahapan heuristik (teknik pengumpulan data). Data yang diperoleh dikritik (intern dan ekstern). Kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan deskriptif analisis, yaitu menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Analisa data ini diperoleh dari dokumen, studi pustaka, dan wawancara, lalu disusun dalam sebuah historiografi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa abdi dalem Harya Leka sebagai bagian dari kelompok abdi dalem di Kasunanan Surakarta memiliki peranan penting dalam proses penyelenggaraan tradisi yang bersifat sakral. Tugas yang di emban oleh abdi dalem Harya Leka terfokus pada perhitungan penanggalan Jawa untuk menentukan pelaksanaan upacara keagamaan (hari raya Islam, seperti: Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha), serta penghitungan penanggalan Jawa yang berhubungan dengan ilmu perbintangan, tanggalan, dan sejenis perhitungan hari atau pun tahun Jawa.

Selain melakukan perhitungan untuk penentuan pelaksanaan suatu upacara, para abdi dalem Harya Leka juga melakukan perhitungan dalam menggunakan candrasengkala. Sengkalan dapat dipakai dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya untuk memperingati kelahiran dan kematian, memperingati berdirinya atau jatuhnya suatu kerajaan.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pentingnya penanggalan Jawa untuk keraton yaitu setiap pelaksanaan upacara tradisi keraton, segala sesuatunya harus diperhitungkan terlebih dahulu berdasarkan makna filosofi penanggalan Jawa. Peranan abdi dalem Harya Leka tampak semakin nyata dengan adanya pelimpahan kekuasaan dari raja untuk memimpin dan bertanggung jawab penuh terhadap lestarinya penanggalan Jawa. Dalam melakukan petungan tahun Jawa untuk menentukan upacara tradisi di Keraton Kasunanan, abdi dalem Harya Leka menggunakan penerapan ilmu Sultan Agung yang dilandasi oleh pengetahuan terhadap ajaran Islam dan nilai kejawen, seperti: penentuan awal puasa dan awal bulan Syawal, sedangkan perhitungan baik dan buruknya hari, tanggal, bulan, tahun, pranata mangsa, wuku yang dilukiskan dalam lambang dan watak merupakan catatan leluhur berdasarkan pengalaman baik buruk yang dicatat dalam primbon. Meskipun kebenarannya tidak mutlak namun sedikitnya patut menjadi perhatian sebagai jalan mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup lahir batin.

(21)

xxi

ABSTRACT

Dian Sartikasari, C0507016. Duty and Function of Courtier Harya Leka in Javanese Calendar on the Peroid of Pakubuwana X, Thesis, Department of History, Faculty of Letter and Fine Art, Sebelas Maret University of Surakarta.

This research discusses about Duty and Function of Courtier Harya Leka in Javanese Calendar on the Period of Pakubuwana X. The formulation of research problem is bureaucracy structure of Kasunanan Palace on the period of Pakubuwana X, the life of courtier Harya Leka in Kasunanan Palace of Surakarta on the reign of Pakubuwana X, and the role of courtier Harya Leka in calendar tradition in Kasunanan Palace on the period of Pakubuwana X.

This research uses history research method with heuristic phases (data collection techniques). Data are obtained and criticized (internal and external). Data analysis are being done afterward using analysis descriptive, that is portraying a phenomenon alongside its characteristics contained in that phenomenon based on the available facts. This data analysis are obtained from documents, literature studies, interview, and then arranged into a historioghraphy. The results of this research show that courtier Harya Leka as a part of the courtier group in Surakarta Palace has importants roles in the process of organizing traditions that are sacred. Duty carried by courtier Harya Leka is focused on Javanese calendar calculation to set the religious ceremony practices (Islamic feasts, such as Maulud Nabi, Idul Fitri, and Idul Adha), and Javanese calendar calculation which is assosiated with astrology, calendar, some kind of day calculation or Javanese. A side from doing calculation to set up the ceremony practices, courtiers Harya Leka are also doing calculation using candrasengkala. Sengkalan can be used in various aspects of life, for example to commemorate the birth and the death, the rise or the fall of the kingdom.

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Sistem pemerintahan di kerajaan, kekuasaan berada di tangan golongan aristrokat yaitu raja, kerabat raja dan golongan birokrat atau abdi dalem yang merupakan pejabat dalam lembaga pemerintahan kerajaan.1 Dalam struktur birokrasi kerajaan Kasunanan Surakarta, Sunan sebagai penguasa bertanggung jawab penuh terhadap lancarnya roda pemerintahan walaupun dalam pelaksanaan tugas sehari-hari diserahkan kepada patih dalem. Patih berfungsi sebagai wakil Sunan dalam bidang pemerintahan, di samping itu juga menetapkan rijksblad atau undang-undang yang berisi keputusan pemerintahan atas persetujuan Sunan dan Residen. Konsep kawula-gusti dalam hierarki sosial kerajaan tradisional meliputi golongan; (1) raja dan sentana dalem, (2) abdi dalem, dan (3) kawula dalem. Sentana dalem adalah komunitas yang mempunyai hubungan darah dengan raja.

Abdi dalem adalah rakyat yang mengabdi dalam keraton setelah melalui tahap

suwita, magang, dan wisuda. Pengertian kawula adalah merujuk pada masyarakat

yang berada di luar tembok istana.2

Berdasarkan struktur birokrasi kerajaan, abdi dalem atau golongan birokrat merupakan kelas sosial yang berada diantara raja, para bendara, serta tiyang alit atau rakyat pada umumnya. Tugas dari seorang abdi dalem adalah menjalankan

1

Wawancara dengan K.R.T Supardi tanggal 28 Juli 2011. 2

Hermanu Joebagio, Merajut Nusantara: Pakubuwana X dalam Gerakan Islam dan Kebangsaan, (Surakarta: Cakra Books, 2010), hlm. 3-4.

(23)

perintah dari raja atau ngemban dhawuh dalem, raja memberikan hak-hak khusus dan penghargaan bagi mereka, meskipun hak-hak itu berakhir apabila perintah raja selesai dilaksanakan.3 Bagi para abdi dalem setiap kata dari sunannya bukan hanya perkataan dari seseorang yang memiliki kekuasaan, namun merupakan kata sakti yang didukung dengan kekuatan-kekuatan magis segenap pusaka kerajaan. Perintah raja adalah hukum dan setiap keinginannya adalah perintah bagi rakyatnya.4 Sunan bagi para abdi dalem adalah raja yang memiliki kekuasaan politik, militer, dan keagamaan yang absolut serta diakui secara tradisional. Oleh karenanya, raja mengharapkan dukungan kekuasaan dari kelompok birokrasi kerajaan.

Pada masa Pakubuwana X, salah satu pegawai keraton atau abdi dalem yang berperan penting dalam tradisi penanggalan Jawa adalah abdi dalem Harya Leka atau ahli petang dan pentarikh. Abdi dalem ini diberi tanggung jawab untuk

memimpin para abdi yang ahli hitungan falak (ilmu perbintangan) tanggalan dan sejenisnya. Perhitungan tahun Jawa atau penanggalan Jawa yang dilakukan oleh abdi dalem Harya Leka sangat penting bagi keberlangsungan peringatan peristiwa penting dan pelaksanaan kegiatan upacara di keraton. Contohnya peristiwa penting itu antara lain: peringatan hari kelahiran dan kematian, pendirian suatu bangunan, dan lain-lain.Salah satu hari Jawa yang dianggap sakral pada masa itu adalah hari anggara kasih (Selasa Kliwon), karena di Keraton Surakarta pada hari tersebut, diadakan latihan menari Bedhaya Ketawang. Dipercaya bahwa Ratu

3

Selo Sumarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1981), hlm. 26.

4

Ibid., hlm. 25.

(24)

Kidul pada setiap hari Selasa Kliwon, datang di Mataram untuk memberi pelajaran tari Bedhaya Ketawang. Isi cerita Bedhaya Ketawang menggambarkan percintaan antara Senapati dan Ratu Kidul, maka pembawa tarian itu bukanlah putri raja melainkan para abdi dalem Bedhaya. Tari itu biasa dipentaskan pada acara penobatan raja dan ulang tahun penobatan raja yang bersifat sakral.5

Selain kegiatan yang bersifat sakral, upacara keraton yang bersifat keagamaan juga dilaksanakan pada setiap tahunnya dan dirayakan secara besar-besaran, upacara ini disebut Garebeg. Antara lain; Garebeg Mulud yang dilaksanakan pada bulan Mulud/Rabiulawal sebagai hari peringatan lahirnya Nabi Muhammad, Garebeg Pasa yang dilaksanakan pada bulan Syawal, Garebeg Besar yang dilaksanakan pada bulan Besar/Dzulhijah, dan tradisi Malam Satu Sura, dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Dalam menentukan upacara keagamaan, para abdi dalem Harya Leka menggunakan dasar penanggalan Sultan Agung.

Pentingnya abdi dalem Harya Leka dalam tradisi lokal masyarakat Jawa antara lain adalah hasil karya di bidang pentarikhan.6 Dalam tradisi tersebut, pentarikhan ditulis dalam bentuk sengkalan7 dengan menggunakan tahun Saka. Masa Saka (Surya Sengkala) berakhir pada tahun 1633, ketika Sultan Agung (Raja Mataram 1613-1645 M) menciptakan masa baru bagi pentarikhan bangsa

5

Darsiti Suratman, op.cit., hlm. 176. 6

Pentarikhan merupakan tradisi penggambaran masa lampau bangsa Jawa dalam bentuk kronik.

7

Sengkalan (penulisan angka tahun) merupakan peringatan bagi peristiwa-peristiwa penting dalam bentuk susunan kalimat yang tersusun baik (Sengkalan Lamba) atau dalam bentuk gambar (Sengkalan Memet) yang memberikan gambar atau lambang pada masa waktu itu.

(25)

Jawa dengan menggunakan tahun Jawa, yaitu campuran antara tahun Saka (Tahun Matahari) dengan tahun Arab/Hijriyah (Tahun Bulan) menjadi tahun Jawa (Tahun Bulan). Maka dalam pentarikhan disebut Candrasengkala.8 Tradisi sengkalan sudah ada sejak abad VIII, diawali dengan pentarikhan prasasti Canggal dari Raja Sanjaya zaman Mataram Hindu. Contoh sengkalan yang dikemukakan adalah “Crutti Indriya Rasa” (654 Saka=732 M), “Sirna Hilang Kertaning Bumi“, (1400 Saka=1478 M) menandakan peristiwa runtuhnya kerajaan Majapahit.

Contoh-contoh tersebut mempunyai arti bahwa tahun-tahun Jawa memiliki watak, kata-kata Jawa pun memiliki watak dan nilai sendiri-sendiri. Dalam menentukan angka tahun terhadap sengkalan yang ada, harus mencantumkan pola dan nilai watak tersebut. Tindak lanjut dari sistem pentarikhan adalah tumbuhnya nama dalam tahun Jawa sampai pada nama-nama hari. Tradisi lokal Jawa ini, bagi sebagian masyarakat masih digunakan untuk memperingati ritual-ritual keraton sebagai penghormatan, misalnya acara ritual bagi orang-orang yang percaya terhadap dinamisme.9 Pencarian hari baik, biasanya digunakan untuk memilih waktu pelaksanaan sebuah kegiatan, seperti pelaksanaan upacara pernikahan, pindahan/mendirikan rumah dan pemilihan jodoh.10

8

Radjiman, Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat, (Surakarta: Krida, 1984), hlm. 13. Candra sengkala ialah sengkalan yang dipakai untuk penulisan angka tahun bulan atau tarikh Khomariyah, misalnya; Tahun Jawa dan Tahun Hijriyah.

9

Dinamisme (dalam kaitan agama dan kepercayaan) adalah pemujaan terhadap roh (sesuatu yang tidak tampak mata).

10

http//www.anneahira.com/penanggalan-jawa (diakses pada tanggal 15 Oktober 2011).

(26)

Pakubuwana X adalah salah satu raja Kasunanan yang banyak memusatkan perhatian pada bidang kesenian dan kebudayaan. Pada masa itu, kekuasaan raja sangat dipengaruhi oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Kondisi yang demikian itulah membuat Pakubuwana X melakukan politik pencitraan melalui sarana kesenian maupun kebudayaan. Kewibawaan dan kebesaran Pakubuwana X terletak pada kemampuan menerapkan “politik simbolis” yang di dalamnya terkandung simbol personal dan simbol publik. Simbol personal berhubungan dengan kewenangan dalam memberikan gelar kebangsawanan, penghormatan, dan anugerah. Simbol publik berhubungan dengan upaya memberdayakan masyarakat melalui penyediaan pendidikan Islam dan umum, pembangunan perekonomian, rumah sakit, taman hiburan rakyat, partisipasi dalam organisasi pergerakan kebangsaan, serta pengembangan tradisi budaya Jawa dan Islam.11 Maka dari itu, skripsi ini mengambil periodesasi pada masa Pakubuwana X, yang dioptimalkan lebih baik dari masa sebelumnya atau sesudahnya berdasarkan peran dan tugas abdi dalem Harya Leka.

B.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam penelitian ini. Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah posisi abdi dalem Harya Leka dalam struktur birokrasi Keraton Kasunanan pada masa Pakubuwana X?

11

(27)

2. Bagaimanakah kehidupan abdi dalem Harya Leka di Keraton Kasunanan Surakarta masa pemerintahan Pakubuwana X?

3. Bagaimanakah peranan abdi dalem Harya Leka pada masa Pakubuwana X?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui posisi abdi dalem Harya Leka dalam struktur birokrasi di Keraton Kasunanan Surakarta masa pemerintahan Pakubuwana X. 2. Untuk mengetahui kehidupan abdi dalem Harya Leka di lingkungan

Keraton Kasunanan Surakarta masa pemerintahan Pakubuwana X.

3. Untuk mengetahui peranan abdi dalem Harya Leka pada masa Pakubuwana X.

C.

Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Dari kajian tentang abdi dalem Harya Leka Kasunanan Keraton Surakarta pada masa PB X, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat serta masukan mengenai peranan abdi dalem Harya Leka dalam perhitungan tahun Jawa dan penanggalan Jawa. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi dan informasi bagi masyarakat luas secara umum. Diharapkan juga dapat memberi sumbangsih dalam dunia akademisi sebagai tambahan bahan kajian dalam bidang sejarah.

(28)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi kajian pengetahuan dalam ilmu sejarah terutama tentang tugas dan fungsi abdi dalem Harya Leka pada masa PB X. Harya leka berarti wedana12 penanggalan, yaitu abdi dalem yang mendapat kepercayaan memimpin para abdi dalem dalam perhitungan falak atau ilmu perbintangan, penanggalan, dan sejenis perhitungan hari, primbon atau pun tahun Jawa.13 Abdi dalem Harya Leka dituntut memiliki pemahaman luas terhadap ilmu perhitungan yang dapat memberikan kewibawaan dalam kekuasaan raja.

E. Kajian Pustaka

Penelitian ini memerlukan beberapa sumber-sumber berupa buku atau hasil penulisan sejarah yang sejenis, isi penulisan tersebut diharapkan dapat membantu penelitian.

Radjiman dalam bukunya yang berjudul Sejarah Mataradm Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat, 1984. Buku ini menjelaskan salah satunya tentang

tradisi lokal bangsa Jawa. Masyarakat bangsa Jawa merupakan masyarakat agraris yang memiliki sifat-sifat tertutup. Meskipun masyarakat agraris, seperti masyarakat yang lain, masyarakat agraris pun berkarya dalam membuat jejak-jejak bagi hidup mereka. Alat utama dalam kegiatan ini adalah bahasa dan sastra. Bagi bangsa Jawa, gambaran masa lampau dalam karya tradisional mereka banyak dipengaruhi oleh sejumlah mitos dari hinduisme dalam masa Jawa Hindu. Salah

12

Wedana berarti pemuka atau pemimpin pelaksana pekerjaan, dan wajib menjadi contoh tindakan.

13

(29)

satu tradisi lokal masyarakat Jawa yang menonjol dalam lingkup hasil karya masyarakat Jawa adalah karya dalam bidang pentarikhan. Dalam tradisi tersebut, pentarikhan ditulis dalam bentuk sengkalan chronogram Jawa dengan menggunakan tahun Saka. Masa Saka berakhir ketika Sultan Agung menciptakan masa baru bagi pentarikhan bangsa Jawa menggunakan tahun Jawa (campuran tahun Saka dengan tahun Arab/Hijrah) yang berakibat tumbuhnya nama-nama tahun Jawa sampai pada nama hari pasaran.

Purwadi dan Siti Maziah, dalam bukunya yang berjudul Horoskop Jawa, 2005. Buku ini menjelaskan tentang akulturasi budaya dan agama. Akulturasi pada masa Sultan Agung yaitu mengupayakan perpaduan Islam dengan Budaya Jawa yang menghasilkan kalender Jawa. Pada waktu itu kalender Saka sudah berjalan sampai akhir tahun 1554. Angka tahun 1554 itu kemudian diteruskan dalam kalender Sultan Agung dengan angka tahun 1555, dengan dasar perhitungan yang berlainan. Kalender Saka mengikuti sistem Solar (Syamsiyah), perjalanan bumi mengintari matahari, sedangkan kalender Sultan Agung mengikuti sistem lunair (Komariyah), yaitu perjalanan bulan mengintari bumi seperti kalender Hijriyah (kalender Islam). Perubahan kalender Jawa terjadi pada tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, bertepatan pada tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriyah. Tindakan Sultan Agung itu tidak hanya didorong oleh maksud memperluas pengaruh agama Islam, tetapi didorong pula oleh kepentingan politik Sultan Agung yang bertujuan untuk memusatkan kekuasaan agama kepada dirinya. Di samping itu, tindakan mengubah kalender juga mengandung maksud memusatkan kekuasaan politik pada dirinya dalam memimpin kerajaan.

(30)

Purwadi dalam bukunya yang berjudul Pranata Sosial Jawa, 2007. Ia memaparkan mengenai perhitungan pranata mangsa yang meliputi penjelasan singkat mengenai kalender saka, Pranata Mangsa, kalender Sultan Agungan, dan dasar perhitungan waktu berdasarkan petungan Jawi. Kalender Saka merupakan warisan jaman Hindu-Budha yang kemudian diganti dengan kalender Jawa atau kalender Sultan Agung yang berlaku sampai sekarang. Kalender Saka mengikuti sistem peredaran matahari, sedangkan kalender Sultan Agung mengikuti peredaran bulan (seperti kalender Hijriyah). Kalender Sultan Agung mengandung perpaduan Jawa, Hindu-Jawa dan Islam. Kalender ini dimulai pada tanggal 1 Sura tahun Alip, dengan angka tahun 1555, yang jatuh bersamaan 1 Muharram 1043 atau 8 Juli 1633 Masehi. Kalender Pranata Mangsa sudah dimiliki orang Jawa sebelum bangsa Hindu datang di pulau Jawa. Kalender atau perhitungan Pranata Mangsa ini dapat dikatakan kalendernya kaum tani yang dimanfaatkan sebagai pedoman bekerja. Meskipun Pranata Mangsa sudah berlaku sejak dahulu milik orang Jawa, namun diresmikan pada pemerintahan Pakubuwana VII, yaitu tepatnya tahun 1855 M.

Maryono Dwiraharjo dalam bukunya yang berjudul Sengkalan Dalam Budaya Jawa, 2006, yang menjelaskan bahwa sengkalan merupakan penulisan

angka tahun yang dirahasiakan dalam bentuk kelompok kata atau kalimat, tanda-tanda, lukisan-lukisan atau benda-benda. Angka tahun di dalam sengkalan merupakan urutan kebalikan dari urutan kata-kata yang bermakna angka. Sengkalan yang terdapat di dalam Karya Sastra Jawa memiliki dua fungsi yaitu:

(31)

2. Menunjukkan angka tahun peristiwa yang dilukiskan di dalam suatu karya sastra.

Angka tahun menjadi hal penting dalam mencatat suatu kejadian atau peringatan. Sengkalan dapat ditemukan di lokasi atau bangunan peninggalan sejarah masa lampau. Peninggalan sejarah yang dimaksud misalnya candi, bangunan keraton, prasasti, dan makam. Selain itu, di masyarakat daerah juga ditemukan sengkalan untuk memperingati berdirinya suatu bangunan. Sengkalan berfungsi sebagai sebuah tanda peringatan yang menunjukkan angka tahun dari suatu peristiwa. Misalnya:

a. Untuk memperingati lahirnya atau meninggalnya seseorang maupun raja. b. Untuk memperingati berdirinya atau jatuhnya suatu kerajaan.

c. Untuk memperingati perkawinan

Darsiti Soeratman dalam bukunya yang berjudul Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939 (2000) menjelaskan beberapa ciri masyarakat keraton. Masyarakat keraton merupakan masyarakat yang setengah terbuka, dengan ciri-ciri:

1. Bersifat tradisional, konservatif, peradaban bersifat involutif.

2. Raja dianggap sakral-magis demikian pula dengan benda-benda miliknya. 3. Mengutamakan status, senioritas darah atau kebangsawanan.

4. Terdapat hierarki yang menyusup di seluruh bagian kehidupan.

Ciri masyarakat keraton tersebut berlaku di Keraton Surakarta sekitar tahun 1830-1939, walaupun terdapat pola-pola umum terhadap keraton lain di kelas Kerajaan Mataram. Kehidupan dan tradisi lingkungan keraton Surakarta nampak begitu

(32)

lekat dengan pandangan hidup masyarakat Jawa. Buku tersebut juga menguraikan tentang aspek religius dari keraton yang pada dasarnya menganut ajaran islam kejawen.

Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, 2004. Menjelaskan kesetiaan priyayi pada rajanya. Kepriyayian dimulai dengan suwita pada priyayi tinggi kemudian magang pada salah satu profesi. Ketika diwisuda menjadi priyayi sungguhan menjadi suatu kehormatan bagi seseorang. Maka mata rantai kepriyayian yang bergerak dari bawah ke atas itu menjadikan hubungan politik bagi priyayi yakni patron-client-politics. Politik ini berlaku baik bagi priyayi yang bekerja dalam pemerintahan maupun priyayi yang berkerja sebagai karyawan keraton. Stratifikasi priyayi diungkapkan dalam berbagai simbol seperti jumlah sembah, pakaian, bahasa, dan tempat duduk waktu menghadap raja. Priyayi mempunyai pandangan dunia yang disebut dengan political mysticism. Bagi seorang priyayi menunggu perintah raja dengan berjaga di keraton sama kualitasnya dengan bertapa, dan mati di bawah kaki raja adalah mati mulia yang menjadi dambaan.

Dedik Agung Catriantoro FSSR UNS dalam skripsinya yang berjudul “Abdi Dalem Juru Suranata: Tugas dan Peranannya di Keraton Kasunanan Surakarta” (2000), menjelaskan bahwa keberadaan abdi dalem Juru Suranata sebagai pelaku utama memberi warna religius magis melalui penyelenggaraan tradisi ritual di lingkungan Kasunanan Surakarta. Akulturasi budaya Hindu Jawa dan Islam dalam wujud upacara-upacara sakral telah memaksa abdi dalem Juru Suranata untuk beradaptasi terhadap nilai-nilai kejawen di lingkungan keraton.

(33)

Abdi dalem Juru Suranata sebagai bagian dari kelompok abdi dalem di Kasunanan Surakarta memiliki peranan penting dalam proses penyelenggaraan pola-pola tradisi ritual yang bersifat sakral. Sebagai pelaksana dari praktek religius magis, abdi dalem Juru Suranata bertugas menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan mulai dari pemberian sesaji sampai pada prosesi upacara tradisional kerajaan. Hal ini sangat tampak dalam berbagai bentuk hajat dalem seperti upacara jumenengan dalem, wiyosan dalem, tinggalan dalem, pernikahan, khitanan, Mahesa Lawung, Labuhan, pencarian bunga wijaya kusuma dan sebagainya.

Nining Tri Lestari FSSR UNS dalam skripsinya yang berjudul “Kehidupan Abdi Dalem Keraton Kasultanan Yogyakarta Masa Pemerintahan Hamengkubuwana X (suatu studi sejarah sosial di Yogyakarta)” (2000), menjelaskan bahwa di lingkungan keraton status abdi dalem berada di bawah Sultan dan para bangsawan. Abdi dalem adalah pembantu Sultan yang harus senantiasa melaksanakan apa yang dititahkan Sultan. Kebanyakan dari para abdi dalem di Kasultanan Yogyakarta sudah mampu dalam hal ekonomi yang diperoleh dari kerja sampingan mereka atau pekerjaan mereka sebelum menjadi abdi dalem. Mereka mengabdi di keraton dengan satu tujuan yaitu untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi sebagai seorang priyayi dan mencari ketenangan hidup yang mereka yakini akan diperoleh dengan mengabdikan diri kepada Sultan dan keraton. Kehidupan di dalam keraton berlangsung sebagaimana masyarakat biasa, hanya saja di keraton dijalankan dengan lebih disiplin sesuai adat dan tata krama yang berlaku.

(34)

F. Metode Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini berlokasi di wilayah Keraton Kasunanan Surakarta, karena penelitian ini mengkaji tentang abdi dalem. Salah satunya adalah abdi dalem Harya Leka. Abdi dalem tersebut adalah ahli hitungan falak (ilmu perbintangan),

penanggalan, perhitungan hari, tahun Jawa dan sejenisnya, yang biasa digunakan untuk menentukan pelaksanaan upacara di Keraton Kasunanan Surakarta.

2. Metode Penelitian

Suatu penelitian ilmiah perlu didukung dengan metode, karena peranan sebuah metode dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting. Berhasil atau tidaknya tujuan yang akan dicapai tergantung dari metode yang digunakan. Di dalam hal ini, suatu metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan obyek yang diteliti. Agar dapat memahami kehidupan masyarakat keraton yang kompleks maka dipakai pendekatan multi-dimensional, sehingga berbagai faktor dapat diungkapkan, antara lain faktor sosial, kultural dan religius. Jalinan berbagai faktor itu terjadi karena interaksi antarwarga masyarakat dan sifat saling ketergantungan, merupakan unsur yang perlu diperhatikan.14

Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah. Menurut Louis Gottschalk yang dimaksud metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari pengalaman

14

(35)

masa lampau.15 Metode sejarah ini terdiri dari 4 tahap yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.

a. Heuristik/ pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data atau sumber yang berupa studi dokumen dan studi pustaka.

1) Studi Dokumen

Fokus penelitian dalam studi ini adalah peristiwa yang sudah lampau, maka salah satu sumber yang digunakan adalah sumber dokumen. Dokumen dibedakan menjadi dua macam yaitu dokumen dalam arti sempit dan dokumen dalam arti luas. Menurut Sartono Kartodirdjo, dokumen dalam arti sempit adalah kumpulan data verbal dalam bentuk tulisan seperti surat kabar, catatan harian, laporan dan lain-lain.16 Di satu sisi dokumen dalam arti luas meliputi artefak, foto-foto, dan sebagainya. Penggunaan dokumen dalam penelitian ini adalah dokumen dalam arti sempit. Studi dokumen mempunyai arti metodologis yang sangat penting, sebab selain bahan dokumen menyimpan sejumlah besar fakta dan data sejarah, bahan ini juga dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan, apa, kapan dan mengapa.17 Studi tentang dokumen bertujuan untuk menguji dan memberi gambaran tentang teori sehingga memberi fakta dalam mendapat pengertian

15

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, edisi terjemahan Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 32.

16

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), hlm. 98.

17

Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif, (Jakarta: PT. Gramedia, 1982), hlm. 97-122.

(36)

historis tentang fenomena yang unik.18 Dokumen yang berhasil penulis kumpulkan untuk penelitian ini antara lain: Arsip dari Sasanapustaka Kasunanan Surakarta; Serat Wadu Aji (226 NA/SMP-KS/198) yang menjabarkan para punggawa/abdi keraton berdasarkan nama dan pangkat masing-masing; Serat Pawukon No. 264 Ha. Serat Wadu Aji, naskah ketik No. P.4, Reksapustaka

Mangkunegaran. 2) Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan sebagai bahan pelengkap dalam sebuah penelitian. Dalam penelitian ini sumber pustaka yang digunakan hanya yang berkaitan dengan tema penelitian. Tujuan dari studi pustaka adalah untuk menambah pemahaman teori dan konsep yang diperlukan dalam penelitian. Sumber pustaka yang digunakan antar lain: skripsi, buku, surat kabar, artikel dan sumber lain yang memberikan informasi tentang tema yang diteliti. Buku-buku yang digunakan dalam penulisan ini peneliti memperoleh sumber dari perpustakaan Sasanapustaka Kasunanan Surakarta, Reksapustaka Mangkunegaran, Perpustakaan Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Perpustakaan Ilmu Sejarah, dan buku-buku koleksi pribadi.

3) Wawancara

Metode wawancara merupakan suatu metode yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu. Cara ini berguna untuk

18

Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen”, Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hlm. 47.

(37)

mendapatkan sumber lisan dari orang yang mengalami peristiwa itu.19 Keterangan responden dalam penelitian ini hanya sebagai sumber sekunder, karena penelitian ini sudah tidak sezaman.

b. Kritik sumber

Kritik sumber bertujuan untuk mencari keaslian sumber yang diperoleh melalui kritik intern dan ekstern20. Kritik intern bertujuan untuk mencari keaslian isi sumber atau data, sedangkan kritik ekstern bertujuan untuk mencari keaslian sumber.

c. Interpretasi Data

Tahap berikutnya adalah interpretasi, yaitu penafsiran terhadap data-data yang sudah terseleksi. Tujuan dari interpretasi adalah menyatukan sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah dan bersama teori disusunlah fakta tersebut ke dalam interpretasi secara menyeluruh.21 Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi analisis. Deskripsi analisis artinya menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Setelah itu dari sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, tahap selanjutnya adalah diadakan analitis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan isinya, kemudian akan diuraikan dan

19

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hlm. 162-196.

20

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 58.

21

Ibid., hlm. 64.

(38)

dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis, berupa kisah sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.22

d. Historiografi

Tahap terakhir adalah historiografi, yaitu penyajian hasil penelitian berupa penyusunan fakta-fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut teknik penulisan sejarah.

G. Sistematika Skripsi

Dalam penelitian tentang abdi dalem harya leka Keraton Kasunanan Surakarta Pada Masa Pakubuwana X, sistematikanya terbagi menjadi lima bab, yaitu:

Bab I, dalam bab pendahuluan menjelaskan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka dan metode penelitian serta sistematika skripsi.

Bab II, menjelaskan tentang gambaran umum Keraton Kasunanan yang mencakup sejarah keraton, struktur bangunan keraton, perkembangan administrasi wilayah sampai pada masa Pakubuwana X, dan struktur birokrasi Keraton Kasunanan Surakarta masa Pakubuwana X.

Bab III, menjelaskan tentang kehidupan abdi dalem harya leka di Keraton Kasunanan Surakarta masa pemerintahan Pakubuwana X yang meliputi faktor pendorong menjadi abdi dalem, karakteristik abdi dalem, hak dan kewajiban abdi dalem Harya Leka, serta status sosial dan gaya hidup abdi dalem.

22

Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, (Jakarta: Yayasan Indayu, 1978), hlm. 36.

(39)

Bab IV, menjelaskan tentang tugas dan peranan abdi dalem Harya Leka Keraton Kasunanan Surakarta pada Masa Pakubuwana X. Peranan ini meliputi tradisi penggunaan penanggalan Jawa, berisi tentang pelaksanaan acara keagamaan dan tradisi upacara keraton lainnya.

Bab V, adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dari empat bab sebelumnya untuk menjawab secara singkat permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini.

(40)

BAB II

GAMBARAN UMUM KERATON KASUNANAN SURAKARTA

A.

Sejarah Singkat Kasunanan Surakarta

Keraton Surakarta atau lengkapnya disebut Keraton Surakarta Hadiningrat, merupakan istana Kasunanan Surakarta. Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1744 sebagai pengganti Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan di tahun 1743. Pemberontakan Cina yang terjadi di Mataram dipimpin oleh R.M Garendi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kuning. Pemberontakan itu mengakibatkan jatuhnya Istana Kartasura ke tangan musuh, kemudian oleh Sunan Pakubuwana II istana dipindahkan ke sebelah timur yaitu ke Desa Sala, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Surakarta. Pada tahun 1743 pemberontakan Cina telah dipadamkan oleh kerajaan

Mataram dengan bantuan VOC.1

Geger Pecinan merupakan konflik awal perebutan kekuasaan di Mataram

Kartasura. Peristiwa ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina di Batavia pada tahun 1740 yang kemudian menjalar ke sepanjang pantai utara Jawa.2 Penyebabnya adalah pembunuhan massal yang dilakukan oleh Kompeni Belanda di Batavia. Pembunuhan massal tersebut sebagai akibat dari beratnya tekanan pembayaran pajak dari pemerintahan Belanda di bawah Gubernur Jenderal Valkenir, orang-orang Cina lalu mengadakan pemberontakan. Pada peristiwa itu

1

Wasino, 1994, Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX)”, Thesis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta, hlm. 34.

2 Ibid.

(41)

Keraton Mataram berhasil dikuasai oleh pemberontak. Pada tanggal 30 Juni 1742 pasukan gabungan pemberontak yang terdiri dari orang-orang Cina, Kapitan Sepanjang, Bupati Pati (Tumenggung Mangononeng), Bupati Grobogan (Raden Adipati Martapura), salah seorang cucu Sunan Amangkurat II, dan Putra Pangeran Tepasana yang bernama Raden Mas Garendi berhasil merebut Keraton Kartasura, hingga memaksa Sunan Pakubuwana II menyingkir.3

Pasukan gabungan pemberontak4 lebih memihak kepada Cina. Hal ini disebabkan karena Sunan Pakubuwana II lebih memihak Belanda. Sunan Pakubuwana II yang awalnya ingin meredam pemberontakan dengan menunjuk Patih Adipati Natakusuma beserta Tumenggung Martapura dan Tumenggung Mangunhoneng untuk membujuk Belanda agar mengurangi tekanan atau memberi keringanan kepada orang-orang Cina dalam membayar pajak, namun hal tersebut tidak membuahkan hasil. Bahkan Sunan Pakubuwana II memecat Patih Natakusuma yang mengakibatkan kemarahan besar di kalangan pemberontak Cina.

Raden Mas Garendi dipandang paling berjasa dalam memimpin pemberontakan, oleh orang-orang Cina kemudian diangkat menjadi raja baru di Kartasura (sebagai raja tandingan) menggantikan Sunan Pakubuwana II yang melarikan diri. Sebagai raja, Raden Mas Garendi menggunakan gelar Susuhunan Amangkurat Amral atau yang dikenal dengan Susuhunan Amangkurat Prabu Kuning (Sunan Kuning). Sementara itu, Sunan Pakubuwana II meloloskan diri

3

Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1999), hlm. 69-71.

4

Para bupati pesisir utara Jawa antara lain: Jepara, Juwana, Demak, Rembang, Tegal, Semarang, dan Surabaya.

(42)

dari keraton menuju ke daerah Ponorogo dan didampingi oleh Pangeran Adipati Anom dan Mayor van Hohendorf. Lolosnya Sunan dari Istana Kartasura terjadi pada hari Sabtu Wage, 27 Rabingulakhir tahun Alip 1667 dengan sengkalan swara karungu obahing bumi (1667 Jawa atau 1742 Masehi).5

Gubernur Jenderal Valkenir di Batavia mengetahui peristiwa penyerbuan keraton Kartasura oleh pemberontak Cina, dan memerintahkan kepada pasukan Kompeni untuk membantu Sunan merebut kembali keraton Kartasura. Namun ketika pasukan Kompeni bersiap-siap untuk menghalau pemberontak, Pangeran Cakraningrat berhasil memukul mundur bala tentara Cina dari Istana Kartasura, dan kemudian berganti menguasainya. Pasca peristiwa tersebut Belanda khawatir menyaksikan kekuatan dan keberanian Pangeran Cakraningrat, sehingga pemimpin Belanda Reynier de Klerk dikirim ke Surabaya untuk membujuk Pangeran Cakraningrat agar kembali ke Madura dan menyerahkan Istana kepada Kompeni.6 Di sisi lain, Sri Susuhunan Pakubuwana II kembali ke Kartasura. Kembalinya Sunan Pakubuwana II dari Ponorogo ini terjadi pada hari Rabu Legi, 22 Syawal, tahun Alip 1667, ditandai dengan Candrasengkala kontap karungu rengganing praja (1667 Jawa atau 1742 Masehi).7

(43)

keramat. Kedua, letak Desa Sala dekat dengan bengawan (sungai besar di Jawa sebagai penghubung Jawa Timur dan Jawa Tengah), selain itu digunakan untuk berbagai kepentingan antara lain; ekonomi sosial, politik, dan militer (sampai abad XIX). Ketiga, karena Sala telah menjadi desa, maka untuk mendirikan keraton tidak diperlukan tenaga pembabat hutan. Keempat, dihubungkan dengan bangunan suci yakni Sala atau Cala (Sans) yang berarti ruangan atau bangsal besar. Kelima, dihubungkan dengan pengaruh dan kepentingan kompeni. Keenam, menggunakan petangan sesuai adat yang berlaku. Menurut kepercayaan orang Jawa, keadaan tanah akan sangat berpengaruh pada penghuni rumah yang didirikan di atas tanah itu.8

Berdasarkan beberapa pertimbangan yang meliputi bidang ekonomi, sosial, politik, pertahanan, religi dan adat, maka Desa Sala dijadikan pusat istana terakhir Kerajaan Mataram. Setelah resmi istana Kerajaan Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini menjadi saksi penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan Pakubuwana II kepada VOC di tahun 1749. Pakubuwana II terlibat perjanjian dengan VOC yang isinya bahwa Sunan Pakubuwana harus menyerahkan seluruh wilayah Mataram kepada VOC dengan janji keturunan Sunan Pakubuwana II berhak naik tahta kerajaan dan akan diberikan pinjaman kerajaan Mataram. Jadi siapa pun yang menjadi raja hanyalah karena kemurahan hati VOC dan menjadi simbol semata. Akibat perjanjian tersebut secara de jure pemerintahan kerajaan Mataram

8

Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000), hlm. 66-73.

(44)

sudah berakhir.9 Berdasarkan Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta.

B.

Perkembangan Wilayah Administratif

Kasunanan Surakarta

Berdirinya Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta didasarkan pada Perjanjian Giyanti10 13 Februari 1755. Di dalam perjanjian Giyanti tersebut terdapat pembagian wilayah kekuasaan Mataram, kewenangan menggunakan gelar, dan dinyatakan bahwa kedua kerajaan tersebut terpisah satu sama lain.

Administrasi wilayah di Kasunanan Surakarta masih berpedoman pada zaman Mataram yaitu wilayah dibagi menjadi 3 daerah yakni; Kuthagara, Negara Agung, dan Mancanegara, sedangkan wilayah Negara Agung terbagi dalam kekuasaan Bupati Nayaka yang disebut Nayaka Wolu. Kedelapan Kanayakan ini terbagi dalam dua kelompok: empat Bupati Nayaka Lebet dan empat Bupati Nayaka Jawi, yang termasuk Bupati Lebet ialah Bupati Nayaka Gedong Kiwa dan Tengen, Bupati Nayaka Keparak Kiwa dan Tengan, sedangkan yang termasuk

Perjanjian Giyanti adalah perjanjian antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang isinya tentang pembagian Kerajaan Mataram menjadi dua wilayah kekuasaan (Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat), kewenangan menggunakan gelar (Raja Surakarta bergelar Susuhunan dan Raja Yogyakarta bergelar Sultan), dan pernyataan mengenai perpisahan antara kedua kerajaan tersebut. Perjanjian ini melibatkan tiga pihak, yaitu Pakubuwana III, Pangeran Mangkubumi (Sultan HB I), dan Kompeni Belanda.

(45)

Penumping. Perubahan yang terjadi pada masa Pakubuwana II yaitu delapan Kanayakan itu diubah menjadi 12 Bupati antara lain ; 4 Bupati Lebet tetap, dan 8 Bupati Jawi yaitu: Bupati Sewu, Numbak Anyak, Bumi, Dumija, Bumi Gede

Kiwa, Bumi Gede Tengen, Panekar, Panumping.11

Wedana Keparak Kiwa dan Tengen berkewajiban mengepalai prajurit pengawal raja dan bertanggung jawab terhadap bawahannya. Namun, sejak Pakubuwana IV mengadakan perjanjian dengan Pemerintah Inggris tanggal 1 Agustus 1812, terdapat ketentuan bahwa Raja Jawa beserta para Bupatinya (Bupati Keparak) tidak diperkenankan membuat tentara (serdadu) tanpa ada ijin dari Inggris. Hal demikian maka posisi Wedana Keparak mengalami perubahan.

Wedana Gedong Kiwa dan Tengen, mempunyai tugas yakni merencanakan anggaran pendapatan dan belanja Istana Kerajaan. Tugas tersebut semakin bertambah sejak banyak daerah Mancanegara yang diserahkan kepada Gupermen, maka uang ganti rugi yang masuk istana semakin besar dan itu merupakan kewajiban dari Wedana Gedong dalam mengatur dan mengelolanya.

Serat Catatan Siti Dhusun menjelaskan bahwa daerah-daerah Negara

Agung pada periode Kasunanan Surakarta adalah: 1. Daerah Kuthagara.

Merupakan daerah tempat tinggal Raja berserta keluarga dan pejabat-pejabat tinggi kerajaan serta abdi dalem terdekat dengan Raja. Daerah ini berbatasan dengan tembok kota atau benteng. Surakarta dibatasi pintu Bajranala

11

Radjiman, Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Hadiningrat, (Surakarta: KRIDA, 1984), hlm. 163.

(46)

Utara dan Selatan, pintu Gapit barat dan timur, yang sekarang disebut daerah Baluwarti.

2. Daerah Negara Agung.

Adalah daerah yang berada di luar Kuthagara berbatasan dengan daerah Mancanegara. Daerah ini merupakan daerah apanage para sentana dalem dan merupakan tanah lungguh para abdi dalem serta Bumi Narawita milik Raja. Tanah apanage merupakan tanah pancen (siti dahar) bagi sentana dalem yang tidak

menjabat, misalnya nenek Raja, Ibu Raja, Permaisuri, Putera Mahkota. Tanah lungguh merupakan gaji bagi para pegawai kerajaan (abdi dalem), sejak dari Patih

sampai dengan Jajar. Jumlah dan luas tanah lungguh yang diberikan berdasarkan pada tinggi rendahnya jabatan yang dipangkunya, sedang tanah apanage pun diberikan berdasarkan tingkatan kebangsawanannya. Selanjutnya Bumi Narawita adalah tanah milik pribadi raja, untuk jaminan hidup raja beserta keluarganya.12

Daerah Negara Agung terbagi dalam beberapa kelompok daerah, yaitu daerah Sewu, Bumi, Bumijaya, Numbak Anyar, Bumi Gede Kiwa dan Tengen, Panekar, dan Panumping. Masing-masing daerah dikepalai oleh seorang abdi dalem Bupati.

3. Daerah Mancanagara

Ialah daerah yang terletak di luar wilayah Negara Agung. Daerah Mancanagara terbagi menjadi dua wilayah yaitu daerah Mancanagara Kilen dan Wetan.

12

Soepomo, De Reorganisatie in Het Agrarischstelsel in het Gewest, (Surakarta, Reksapustaka Mangkunegaran, 1937), hlm. 6.

(47)

Daerah Mancanegara Kilen meliputi daerah Banyumas, Banjar, Pasir, Ayah, Kalibeber, Roma, Jabarangkah, Palerden, Wora-Wari, Tersana, Bobotsari, Kartanagara, Dayaluhur, Lebaksiyu, Balapulang, Bentar, Banjarnegara, Prabalingga, Purwakerta. Jepara, Salatiga, dan Blora.

Daerah Mancanegara Wetan meliputi daerah Panaraga, Kediri, Madiun, Pacitan, Kaduwang, Magetan, Caruban, Kertasana, Srengat dan Blitar, Jipang, Grobogan, Warung, Sela, Blora, Rawa, Karangbret, Japan (Lamongan), Jagaraga. 4. Daerah Pesisir

Daerah ini terdiri dari dua daerah, yaitu Pesisir Wetan dan Kilen. Daerah pesisir Wetan terdiri dari daerah Jepara Kudus, Cengkalsewu, Pati, Juana, Pajangkungan, Rembang, Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Bangil, Besuki, Blambangan, Banyuwangi, dan Madura. Daerah Pesisir Kilen meliputi daerah Pekalongan, Brebes, Wiradesa, Bentar, Lebaksiyu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, dan Demak.

Daerah-daerah tersebut sejak zaman Pakubuwana II di Surakarta dan raja-raja sesudahnya sering mengalami perubahan wilayah. Daerah Kasunanan Surakarta, sejak Palihan Nagari 1755 sampai pada masa Pakubuwana X (1893-1939) semakin sempit karena setiap ada perjanjian akibat pergantian raja baru selalu diikat dengan perjanjian yang berisi pengurangan luas daerah dengan pemerintah Gupermen Belanda.

Keraton Surakarta mengalami penyusutan kekuasaan atas daerah-daerah yang dikuasainya dalam perkembangannya. Penyusutan kekuasaan raja terutama dikarenakan faktor intern keraton, yaitu perebutan tahta kerajaan selalu menjadi

(48)

masalah. Sesudah raja yang berkuasa mangkat, seringkali terjadi peristiwa-peristiwa tidak diharapkan di balik pergantian tahta yang dapat berkembang menjadi perang suksesi dengan tujuan dapat mempertahankan atau memperoleh tahta. Raja atau pangeran meminta bantuan VOC yang mempunyai kekuasaan militer. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh VOC dan tradisi ini dilanjutkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini, menurut pemerintah kolonial merupakan lingkup kekuasaan raja yang diambil dan diperluas, sehingga akhirnya habislah kekuasaan raja menurut konsep politik.13

Dengan demikian kedudukan Sunan sangat merosot, sekalipun Ia menjadi raja yang berkuasa di wilayahnya, namun Ia tidaklah merdeka. Karena kekuasaan politis raja sudah sangat terbatas, maka untuk tetap menjaga legitimasinya raja mengembangkan kekuasaan simbolis. Tak salah jika raja menerapkan kebijakan itu sebab simbol-simbol tersebut terbukti sangat efektif bagi masyarakat tradisional.

Politik simbolis yang diterapkan oleh Pakubuwana X mengandung simbol personal dan simbol publik. Simbol personal berhubungan dengan kewenangan dalam memberikan gelar kebangsawanan, penghormatan, dan anugerah. Simbol publik berhubungan dengan upaya memberdayakan masyarakat melalui penyediaan pendidikan Islam dan umum, pembangunan perekonomian, rumah sakit, taman hiburan rakyat, partisipasi dalam organisasi pergerakan kebangsaan, serta pengembangan tradisi budaya Jawa dan Islam.14

13

Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 63. 14

Hermanu Joebagio, Merajut Nusantara: Pakubuwana X dalam Gerakan Islam dan Kebangsaan, (Surakarta: Cakra Books, 2010), hlm. 16.

(49)

C.

Struktur Birokasi Keraton Kasunanan Surakarta

Pada Masa Pakubuwana X

Sunan Pakubuwana X dilahirkan pada tanggal 29 November 1866 sebagai putra dari Sunan Pakubuwana IX (R.M.G Daksino) dengan Kanjeng Ratu Pakubuwana (B.R. Aj Kustiyah). Pakubuwana X merupakan cucu dari Sunan Pakubuwana VI (R.M.G Supardan) yang sering disebut sebagai Sunan Banguntapa. Sunan Pakubuwana X semasa kecil bernama Raden Mas Gusti Sayidin Malikul Kusno. Ketika Ia berumur 3 tahun diangkat sebagai Adipati Anom (Putra Mahkota) dan diberi nama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram. Pada tanggal 23 Juli 1890, ketika masih menjadi Pangeran Pati, Ia menikah dengan seorang Putri Sri Mangkunegara IV yang bernama B.R.Aj Sumarti.15

Setelah Sunan Pakubuwana IX wafat pada tanggal 17 Maret 1893 di Surakarta, maka pada hari Kamis Wage tanggal 12 Ramadhan tahun Je 1822 atau 30 Maret 1893, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram X naik tahta menjadi raja menggantikan ayahnya, bergelar lengkap Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X Senapati Ingalaga Ngabdulrahman Sayidin

Panatagama Kalifatullah. Pada tahun 1924, Sunan Pakubuwana X diangkat

sebagai Letnan Jenderal oleh Pemerintah Belanda.16

15

Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, op.cit., hlm. 155-156. 16

Serat Pusaka Jawi, Naskah ketik No. B.536, Reksapustaka Mangkunegaran.

(50)

Semasa Sunan Pakubuwana X bertahta, keadaan Praja Surakarta Hadiningrat sudah memasuki zaman baru. Keraton sendiri telah beberapa kali mengalami perubahan pembangunan dan penambahan, sehingga membuat wajahnya semakin anggun, sedangkan kota Solo atau Surakarta juga telah berada dalam tingkat yang cukup maju. Struktur pemerintahan keraton secara berkesinambungan disempurnakan untuk menyesuaikan kebutuhan. Untuk itu Sunan Pakubuwana X membentuk kantor-kantor yang bertugas dalam bidangnya masing-masing. Di antaranya adalah kantor kabinet yang dinamakan Sitoradiya dan kantor Comptabiliteit yang dinamakan Panti Wardaya.

Sunan Pakubuwana X mengadakan pembangunan untuk menyejahterakan rakyatnya. Usaha-usaha yang dilakukan meliputi berbagai bidang yaitu bidang sosial ekonomi, pendidikan, politik dan budaya. Upaya yang dilakukan oleh Sunan Pakubuwana X di bidang sosial ekonomi ialah mengadakan kredit untuk pembangunan rumah bagi rakyat yang kurang mampu. Pasar dan jembatan pun dibangun sebagai sarana vital dalam perekonomian dan perhubungan. Bidang pendidikan menjadi salah satu perhatiannya, sebagai contoh adalah didirikannya sekolah Pamardi-Putri dan Kasatrian bagi kepentingan kerabat keraton. Selain itu didirikan pula organisasi pemuda sebagai wadah kegiatan para pemuda. Sunan Pakubuwana X juga memberikan dukungannya pada kaum pergerakan, yaitu dengan memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan, seperti gedung Habiproyo yang memperlancar tugas dan kegiatan kaum pergerakan. Sunan juga memberi kebebasan penuh kepada kerabat keraton untuk terjun ke gelanggang pergerakan.

(51)

Di bidang budaya, Sunan sebagai pelindung kebudayaan Jawa juga berusaha mempertahankan tradisi yang berlaku di dalam kedudukan seorang raja yang berhubungan dengan kemegahan, kekuasaan, serta kebesaran lewat tradisi upacara dan pesta. Selain itu, Ia juga menaruh perhatian pada pandangan hidup yang terdapat dalam serat-serat lama termasuk suluk dan primbon.17

Komunitas Keraton Surakarta tersusun secara hierarki dan secara tradisional dibagi dalam kelompok sosial, dimana raja berada pada tingkatan paling atas dalam hirarki kerajaan dan mempunyai kedudukan yang sangat istimewa di dalam masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Raja adalah orang yang berkuasa di suatu kerajaan (negara). Ia memimpin kerajaan dan rakyatnya dengan kekuasaan absolut atau mutlak, maka sabda raja berarti perintah, ini

tercermin dari ungkapan Jawa “Sabda Pandita Ratu”, yang artinya setiap ucapan

raja (sabda raja) harus terlaksana.18

Struktur pemerintahan pada masa Pakubuwana X masih sama seperti pada raja-raja sebelumnya, di mana raja menduduki dan memiliki jabatan kekuasaan tertinggi. Untuk melaksanakan roda pemerintahan, Sunan dibantu oleh para sentana dalem dan abdi dalem. Mereka berkedudukan sebagai wakil raja. Dalam

menjalankan roda pemerintahan, sentana dalem dan abdi dalem menerima pelimpahan tugas dan tanggung jawab dari Sunan. Jalannya roda pemerintahan

17

Suluk dan primbon merupakan bagian dari tradisi tradisional. Suluk berupa tembang. Lihat Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi di Indonesiasentris, (Yogyakarta: Ombak, 2006), hlm 95. Primbon memuat bermacam-macam catatan pengalaman leluhur yang diturunkan kepada generasi penerusnya. Lihat Darsiti Suratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000), hlm. 339.

18

(52)

tetap berdasarkan kebijaksanaan raja. Di bawah raja terdapat suatu Dewan Menteri (Kabinet) yang berkantor di Sasana Wilapa. Dewan tersebut berfungsi sebagai pembantu raja, yang mana tugasnya adalah mengurus surat dari dan untuk raja. Dewan ini dipimpin oleh seorang abdi dalem bupati dibantu oleh Bupati Anom. Para abdi dalem dalam dewan tersebut biasanya disebut kelompok abdi dalem Carik Kasepuhan.

Pada masa Pakubuwana X, terdapat pemisahan antara pemerintahan istana/keraton (lebet) dengan pemerintahan kerajaan (nagari=jawi). Pemerintahan istana (lebet) diserahkan kepada Reh Kasentanan, sedangkan pemerintahan kerajaan (nagari) dilaksanakan oleh Reh Kepatihan.19 Pemerintahan masa Pakubuwana X dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Pemerintahan Istana/Keraton

Kerajaan Surakarta seperti halnya negara-negara tradisional Jawa lainnya, dianggap sebagai suatu rangkaian dari beberapa lingkaran konsentris dengan raja di tengah-tengahnya. Segala kewibawaan dan kekuasaan berada di tangan raja dan kekuasaan ini dibenarkan dengan pengukuhan Illahi. Paling dekat dengan raja adalah lingkaran pertama atau lingkaran dalam, yaitu istana atau keraton.

Keraton yang sangat besar dan lengkap tersebut memerlukan suatu perangkat yang dapat dipakai untuk mengurusi segala keperluannya. Perangkat yang mengurusi hal itu adalah pemerintahan keraton, yang dipimpin oleh seorang

19

Radjiman, op.cit., hlm. 203.

(53)

pembesar keraton. Dalam menjalankan tugasnya pemerintahan istana diserahkan kepada putra sentana dalem yang dibagi dalam beberapa lembaga.20

2. Pemerintahan Kerajaan

Pemerintahan Kerajaan (Nagari) merupakan pelaksana kebijaksanaan raja. Pemerintah Kerajaan dipimpin oleh seorang Patih. Kelompok ini merupakan kelompok abdi dalem njawi yang tugasnya sebagai pelaksana kebijaksanaan raja dalam urusan kerajaan. Pemerintah kerajaan sering disebut Rijksbestuur, artinya

yang memerintah Negara (kerajaan). Patih disebut juga “Warangkaning Nata”,

artinya wakil raja. Berarti patih diberi hak oleh raja untuk mengatur negara, mengadakan hubungan dengan negara lain, terutama dengan pemerintah Belanda serta pembesar Mangkunegaran.21 Pemerintahan Kerajaan (Nagari) diserahkan kepada Patih, dalam struktur Reh. Seperti halnya pemerintahan istana/keraton, pemerintah kerajaan juga mempunyai bagian-bagian yang bertugas menangani bidang yang berlainan.

Struktur pemerintahan pada masa Pakubuwana X dapat dilihat di bagan berikut:

20

Radjiman, dari surat kabar Pawarti Soerakarta, 1939, hlm. 59-71. 21

Ibid., hlm. 209.

(54)

Bagan 1

Struktur Birokrasi Masa Pemerintahan Pakubuwana X Tahun 1893-1939 Raja sebagai Kepala Urusan Pemerintahan Kerajaan

Sumber: Sri Wulandari, 1989, “Sejarah Kampung Kauman Surakarta Tahun

1900-1945 (Sebuah Studi Perubahan Sosial)”, Skripsi Fakultas Sastra

dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

Dst. Raja

Panitra Dalem (Sekretaris)

Putro Sentono Dalem (Reh Kasentanan)

Patih (Reh Kepatihan)

a. Reh Kasentanan

b. Lembaga Reh Kanayakan c. Lembaga Kas Keraton d. Lembaga Reh Parentah e. Lembaga Pengurus Usaha

Perkebunan

f. Lembaga Harta Benda

a. Golongan Sekretariat b. Golongan Pengelola

Keuangan

c. Golongan Pengadilan dan Pemerintahan

Bupati Nayaka

Panewu

Mantri

Gambar

Tabel
Gambar
  Tabel. 1
Tabel Nama Tahun Jawa dan Umurnya
+6

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu hal yang menarik adalah Abdi Dalem Keraton memiliki keris seperti yang merupakan simbol identitas priyayi Jawa.. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian

Ada beberapa cara dalam pengangkatan seseorang menjadi Abdi Dalem yaitu dengan rekomendasi dari orang tua, maksudnya adalah seseorang yang orang tuanya telah

Tidak hanya raja yang tertahan masuk ke Keraton, abdi dalem dan sentana pro rekonsiliasi juga tidak bisa memasuki Keraton karena sejumlah pintu masuk Keraton tertutup rapat..

Penelitian ini menjelaskan mengenai motivasi masyarakat Yogyakarta menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta, Pengangkatan abdi dalem punokawan Keraton Yogyakarta dan

Sistem nilai budaya Jawa yang berperan dalam proses pencapaian kepuasan hidup abdi dalem yaitu nilai rukun, nilai hormat, kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan kepada raja

Dari paparan fakta-fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa meski para abdi dalem niyaga berasal dari kampung Kemlayan adalah produk masa lalu Keraton Kasunanan, mereka dapat

Upaya revitalisasi yang telah dilakukan tidak hanya menjadi tanggung jawab Keraton Kasunanan Surakarta sebagai pemilik dan pengageng parentah di kawasan Keraton

Setiap abdi dalem memiliki tanggung jawab terhadap amanah yang telah diberikan oleh Sultan, diantaranya sebagai penerima tamu, penghubung antara keraton dan pemerintah kota / dinas,