SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Monica Inung Prawesti 039114038
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Monica Inung Prawesti 039114038
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Aja Dumeh...
Mulat Sarira, Hangrasa Wani
Skripsi ini dipersembahkan untuk kedua orangtuaku
yang selalu sabar membimbing, memberi nasehat, dan menanti
kelulusanku. Dipersembahkan pula untuk Emy
yang bersedia memberi masukan dan mendengarkan keluh kesah
v
tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 14 Januari 2010 Penulis
vi
Sikap pengabdian abdi dalem sudah sangat jarang ditemukan di kalangan masyarakat modern. Abdi dalem bekerja dengan pengabdian walaupun secara materi kurang dapat mencukupi kebutuhan, mereka juga masih setia memegang nilai budaya Jawa demi mencapai kepuasan batin. Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran lengkap mengenai kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta, mengetahui sistem nilai budaya Jawa yang berperan dalam proses pencapaian kepuasan hidup abdi dalem, serta bagaimana jika kepuasan hidup abdi dalem dibandingkan dengan enam aspek kesejahteraan psikologis Ryff yang sering disamaartikan dengan kepuasan hidup. Subjek penelitian ini adalah tiga orang abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta dengan kriteria batas usia minimal 65 tahun, sudah mengabdi minimal selama 20 tahun, dan telah berkeluarga. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi deskriptif. Proses pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan catatan lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek mampu mencapai kepuasan hidup. Kepuasan yang dirasakan bukan perwujudan material, melainkan ketenteraman batin. Sistem nilai budaya Jawa yang berperan dalam proses pencapaian kepuasan hidup abdi dalem yaitu nilai rukun, nilai hormat, kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan kepada raja dan keraton, budi luhur, rame ing gawe, nunggak semi, dan mupus. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak semua aspek kesejahteraan psikologis Ryff sesuai dengan kepuasan abdi dalem. Aspek-aspek tersebut adalah aspek penguasaan lingkungan pada poin kemampuan mengontrol kegiatan yang kompleks dan aspek pertumbuhan pribadi pada poin terbuka terhadap pengalaman baru.
vii
The dedicated attitude of abdi dalem has very rare found among modern society. They work with devotion to their duties, even though they get less sufficient for living. They also still faithful in Javanese culture point to achieve spiritual satisfaction. The purpose of this research is to obtain a comprehensive image of abdi dalem’s life satisfaction, to understand about Javanese cultural value system which play important role in abdi dalem’s life satisfaction attainment processes, and to try to compare between the life satisfaction of the abdi dalem and six Ryff psychological well-being aspects that often well-being generalized as life satisfaction.
The subject of this research is three abdi dalem’s of Keraton Kasunanan Surakarta that aging over 65 years. They have been serving more than 20 years, and are married. This is a qualitative research with descriptive study method. Data collecting processes was done by interviewing and field note taking.
viii
Nama : Monica Inung Prawesti Nomor Mahasiswa : 039114038
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : Kepuasan Hidup Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta berserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberi royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta,
Pada tanggal 14 Januari 2010 Yang menyatakan
ix
sangat panjang dalam menyusun skripsi ini. Syukur dan terimakasih pula penulis haturkan untuk Bunda Maria atas doa dan pertolongan yang telah diberikan.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada semua pihak, yaitu:
1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang telah memberi ijin untuk mengadakan penelitian.
2. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari, S.Psi., M.Si, selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik, yang selalu memberi semangat dan dorongan untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
x
6. Bapak dan Ibu dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas bimbingan belajarnya selama ini.
7. Seluruh staf sekretariat dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji, Mas Doni, dan Pak Gie, yang banyak membantu dalam kelancaran studi, praktikum, dan skripsi. 8. Bapak dan ibuku yang selalu memberi dorongan, dukungan, dan mendampingi
dengan setia dalam menjalani hidup. Bapak dengan kesabarannya dan ibu yang pekerja keras. Bapak dan ibuk adalah anugerah terindah dari Tuhan untukku. ”Nyuwun pangapunten pak.. buk.. lulusipun dangu.”
9. Eplik dan mas Mono yang selalu memberi dukungan, saran, dan contoh yang baik. ”Nuwun ya Plik nggo sa’kabehe..”
10.Pak Bejo Prasetyo, Pak Trisno Sewaka, dan Bu Sartinah, yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan kesediaannya untuk diwawancarai.
11.Keraton Kasunanan Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian, informasi-informasi, dan kerjasama selama proses penelitian.
12.Mbak Yemi selaku staf sekretariat Sasana Wilapa, terimakasih atas kesediaannya memberikan informasi dan bantuan kepada penulis.
xi cayank Uwiek..”
16.Adit, Samuel, Pii, Bono, dan Nug. “Thanks banget atas canda tawa dan pertolongan-pertolongannya saat aqiu membutuhkan bantuan kalian.”
17.Denok, Jane, dan Ellen. ”Makasih ya.. untuk setiap dorongan, semangat, saran, dan kritik yang kalian berikan untukqiu.”
18.Mellissa, Mitha, Natnat, Oqix, Nana, dan Oid. ”Makasih atas semangat, dorongan, dan penghiburan saat aku sedang putus asa hehe..”
19.C’mon, ”Nuwun ya Mon, wis ngancani nggarap nganti isuk hehe hehe..” 20.Bedo yang selalu setia menemaniku bermain dan memberi penghiburan,
meskipun kamu sedang capek dan ngantuk. ”Kamu benar-benar anak yang lucu dan pintar.”
21.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat melengkapi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Yogyakarta, 14 Januari 2010
1
A. Latar Belakang Masalah
“Wah, kalau dukanya itu nggak ada, hatinya selalu senang, pokoknya
hidupnya tenteram”, tutur Honggo Budoyo (51), abdi dalem juru kunci
Keraton Surakarta selama 22 tahun yang digaji Rp 55.000,00 setiap bulan.
Honggo mengatakan bahwa ia hanya mencari ketenteraman batin, ia juga
berharap bisa menjadi abdi dalem juru kunci sampai akhir hayatnya.
Sedangkan Daldiri (64), dari awal bekerja yakni tahun 1963 hanya digaji
sebanyak Rp 1.250,00. Seiring bertambahnya tahun, gajinya juga naik sedikit
demi sedikit. Gaji atau blanjan tidak menjadi orientasi hidup mereka, ia juga
mencari ketenteraman sebagai abdi dalem. Menurutnya, yang membahagiakan
menjadi juru kunci jika bisa berjabat tangan dengan para pejabat dan
orang-orang terkenal. Pengabdian yang tinggi membuat Daldiri masih bertahan
menjadi juru kunci makam keraton di usianya yang sudah berkepala enam
(Syahranny, 2007).
Bekerja merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia secara
fisik yang meliputi sandang, pangan, dan papan, serta psikologis yang meliputi
berafiliasi, berprestasi, berkuasa, dan kebutuhan untuk memenuhi eksistensi
diri (Purnamasari, 2003). Manusia pada umumnya bekerja untuk
berlomba-lomba meraih kesuksesannya masing-masing. Madjid (dalam Bastaman, 1996)
terbatas pada seberapa jauh orang yang bersangkutan menampilkan dirinya
secara lahiriah dalam kehidupan material.
Zaman modern seperti sekarang ini ternyata masih ada sekelompok
orang yang bersedia mengabdikan dirinya kepada kerabat keraton meskipun
dengan penghasilan yang kecil. Sekelompok orang yang bersedia
mengabdikan dirinya kepada kerabat keraton disebut abdi dalem. Sikap
pengabdian ini sudah sangat jarang ditemukan di kalangan masyarakat modern.
Banyak orang bekerja karena termotivasi oleh materi saja, lain halnya dengan
abdi dalem yang bekerja dengan pengabdian walau secara materi kurang dapat
mencukupi kebutuhannya.
Pada perubahan jaman seperti sekarang, masyarakat Jawa tengah
menghadapi suatu dilema, mengikuti kehidupan modern atau mempertahankan
dan memegang nilai budaya yang telah diwariskan. Tetapi pada kenyataannya
abdi dalem masih memegang nilai budaya Jawa demi mencapai kepuasan
batin yang biasanya diperoleh setelah mendapatkan gelar atau nama dari raja
yang sedang berkuasa di keraton. Selain itu, kepuasan batin biasanya juga
diperoleh setelah abdi dalem mendapatkan paringan dalem (gaji) berupa uang
yang besarnya Rp 2.000,00 – Rp 20.000,00 setiap bulan tergantung pangkat
yang dimiliki (Lugito dan Ramelan, 2008).
Menurut Kamus Bausastra Jawa, kata “abdi” diterjemahkan sebagai
hamba atau sahaya, dan kata “dalem” berarti patik atau abdi raja. Oleh karena
itu, menjadi abdi dalem berarti menjadi hamba raja di dalam istana, yang
2007). Dari abdi dalem itulah, kita ingin mempertahankan nilai kultural
keraton.
Komunitas kecil para sesepuh ini masih memiliki orientasi yang jelas
terhadap tradisi dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan menjadi abdi dalem,
mereka belajar tentang kesetiaan, belajar setia untuk kemanusiaan, serta
berusaha memaknai hidup masing-masing. Ada juga yang berharap, dengan
menjadi abdi dalem, mereka dapat menggunakan kesempatan ini sebagai
sarana mobilitas sosial, atau memanfaatkannya sebagai tempat mengolah batin
antar komunitas mereka. Pilihan-pilihan seperti itu bisa relevan, tetapi bisa
juga dianggap tidak sejaman dan tidak rasional. Namun, pencarian yang
mereka lakukan di masa senja kehidupannya jelas bukan demi materi
melainkan kepuasan batin dan berkah yang melimpah di kemudian hari dalam
hidupnya. Seperti yang telah dikatakan oleh Hardjowirogo (1983), bahwa
orang Jawa tidak bisa melepaskan diri dari lilitan tradisinya. Manusia Jawa
digambarkan sebagai makhluk yang tidak begitu tertarik terhadap materi, dan
merasa bangga akan gambaran mengenai dirinya.
Konsep abdi tidak terlepas dari konsep Javaisme yang mengandung
pengertian agama serta pandangan hidup orang Jawa yang menekankan
ketenteraman batin, keselarasan, dan keseimbangan. Kaidah-kaidah moril
Javaisme juga menekankan sikap narima, sabar, waspada-eling (mawas diri),
andap asor (rendah diri), dan prasaja (sahaja), serta mengatur
dorongan-dorongan dan emosi-emosi pribadi (Mulder, 1984). Berawal dari konsep ini
memandang kerja sebagai panggilan jiwa, bahkan kerja merupakan ibadah
yang menuntut kesalehan. Hal yang menjadi kunci dalam pengabdian adalah
melayani dengan baik dan setia, sehingga pelayanan diberikan bukan karena
diminta melainkan memang sudah menjadi tugasnya.
Mereka beranggapan bahwa raja bukan orang biasa, melainkan wakil
Tuhan di dunia, sehingga seorang raja memiliki kemampuan untuk
mengayomi dan memberi berkah pada rakyatnya. Mereka juga menganggap
bahwa keraton merupakan pusat kehidupan yang memberikan ketenteraman
dan ketenangan (Hastjarja, 1984). Anggapan ini membuat mereka percaya
bahwa dengan mengabdi kepada raja dan keraton, mereka akan mendapatkan
ketenteraman dan ketenangan.
Setiap orang tentu ingin agar hidupnya dalam keadaan tenang dan
tenteram, serta dapat merasakan kepuasan hidup. Beberapa orang beranggapan
bahwa kepuasan hidup terletak pada harta kekayaan yang melimpah, serta
memiliki pangkat dan kedudukan yang tinggi. Maka, untuk memperoleh
kepuasan hidup, mereka berusaha mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya,
serta mengejar pangkat dan kedudukan (Sholeh, 2008). Apabila seseorang
tidak mampu mencapai kepuasan hidup, maka orang tersebut akan merasa
kecewa, putus asa, dan marah, terlebih lagi jika melihat kondisi ekonomi pada
saat ini yang semakin sulit.
Pada prakteknya tidak sedikit orang yang memiliki harta melimpah,
rumah megah, kendaraan mewah, memiliki pangkat dan kedudukan yang
sedikit pula orang dapat merasakan kepuasan hidup, pikirannya selalu tenang,
jiwanya tenteram, padahal secara lahiriah selalu dalam keadaan kekurangan,
tidak memiliki harta yang melimpah dan pangkat yang tinggi (Sholeh, 2008).
Permasalahan inilah yang membuat peneliti tertarik melakukan penelitian
mengenai kepuasan hidup khususnya pada abdi dalem, karena abdi dalem
secara materi kurang dapat terpenuhi namun dapat merasakan kepuasan batin.
Selain itu, karena kepuasan hidup merupakan kondisi yang bersifat
khas pada orang yang mempunyai semangat hidup, dan setiap orang
mempunyai pengalaman, atau kondisi yang berbeda dalam mencapai kepuasan
hidup. Banyak perbedaan pula dalam cara seseorang memandang kehidupan
hingga ia berhasil atau tidak berhasil mencapai kepuasan hidup, dan perbedaan
tersebut dipengaruhi oleh budaya. Melalui penelitian ini, peneliti ingin
mengetahui apakah abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta mampu
mencapai kepuasan hidup dengan penghasilan yang begitu kecil, mengingat
kepuasan hidup merupakan dambaan setiap orang. Masih jarang ditemukan
pula penelitian mengenai abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta.
Shaver dan Freedman (dalam Hurlock, 1999) menggambarkan, mereka
yang puas akan hidupnya adalah orang yang mampu menerima dirinya sendiri
serta menikmati keadaan dan apa yang dimilikinya, mempertahankan
keseimbangan antara harapan dan prestasi. Dalam penelitian mengenai
kepuasan hidup, Neugarten dkk menggunakan struktur dasar kesejahteraan
psikologis (psychological well-being) untuk mengungkap kepuasan hidup,
hidup (dalam Ryff, 1989). Selain itu, Purnamasari (2003) juga menggunakan
enam aspek kesejahteraan psikologis Ryff yang meliputi penerimaan diri,
relasi positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan
hidup, dan pertumbuhan pribadi untuk mengungkap kepuasan hidup. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan enam aspek
kesejahteraan psikologis Ryff untuk mengungkap kepuasan hidup abdi dalem
Keraton Kasunanan Surakarta.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode studi deskriptif
dengan pendekatan kualitatif, harapannya dapat memperoleh hasil yang lebih
mendalam, begitu juga dalam khasanah ilmu psikologi pada umumnya masih
jarang mengungkapkan dinamika kehidupan psikologis abdi dalem.
B. Rumusan Masalah
Hal yang ingin dikaji dalam penelitian ini yaitu:
Bagaimanakah kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Memperoleh gambaran yang lengkap mengenai kepuasan hidup abdi
dalem Keraton Kasunanan Surakarta.
2. Mengetahui sistem nilai budaya Jawa yang berperan dalam proses
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis :
a. Penelitian ini memberikan sumbangan informasi mengenai cara sebuah
kultur tertentu memandang dan mengusahakan sebuah kondisi ideal.
b. Sumbangan informasi terhadap penelitian-penelitian yang mengkaji
tentang kaum minoritas, khususnya abdi dalem sebagai sekelompok
orang yang seharusnya tidak selalu dipandang irasional dan tidak
sejaman.
2. Manfaat praktis :
a. Memberikan informasi terhadap Keraton Kasunanan Surakarta dan
Pemerintah Daerah Surakarta mengenai pengabdian, kondisi
kehidupan, dan kepuasan hidup abdi dalem, sehingga dapat menjadi
bahan evaluasi untuk lebih memperhatikan kesejahteraan abdi dalem
dengan tidak menunda pemberian gaji setiap bulannya, karena abdi
dalem merupakan sekelompok orang yang masih bersedia
mempertahankan nilai kultural keraton.
b. Memberikan informasi mengenai kepuasan hidup abdi dalem dan
sistem nilai budaya Jawa yang digunakan abdi dalem untuk mencapai
kepuasan hidup atau mengatasi ketidakpuasannya. Dengan demikian
dapat menjadi masukan bagi abdi dalem yang lain dan masyarakat
8 A. Abdi Dalem Keraton
1. Pengertian
Abdi dalem keraton adalah siapa saja yang bekerja di keraton atau mengabdi kepada raja (Anonim, 2006). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), kata abdi berarti pegawai, hamba, atau orang bawahan. Menurut Kamus Bausastra Jawa, kata “abdi” diterjemahkan sebagai hamba atau sahaya, dan kata “dalem” berarti patik atau abdi raja.
Oleh karena itu, menjadi abdi dalem berarti menjadi hamba raja di dalam
istana, yang selalu mundhi dhawuh dalem atau mengemban titah raja
(dalam Soebhan, 2007). Sedangkan menurut Soebhan (2007), abdi dalem
adalah sekelompok warga masyarakat yang diberi prestise tinggi oleh
pihak keraton sebagai pihak yang menduduki posisi antara lapisan
golongan bangsawan dengan orang kebanyakan.
ditetapkan menggunakan surat kekancingan Sih Dalem (Anonim, 2006). Surat kekancingan Sih Dalem yaitu sejenis surat keputusan pengangkatan jabatan dari keraton (Nis, 2009).
Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Keraton Yogyakarta GBPH H. Joyokusumo mengatakan Keraton Yogyakarta tidak memandang abdi dalem sebagai pembantu, tetapi petugas birokrasi keraton sekaligus abdi budaya. Abdi dalem yang tinggal di tengah masyarakat menjadi penyangga budaya keraton, karena mereka yang memberitahukan kepada masyarakat tentang kultur dalam keraton (Anonim, 2006).
2. Syarat menjadi Abdi Dalem Keraton
Cara melamar supaya bisa mendapat posisi sebagai abdi dalem keraton mudah dan sederhana. Siapa saja bisa menjadi abdi dalem keraton, yang penting memiliki keinginan tulus dan ikhlas mengabdi kepada raja, serta ditetapkan menggunakan surat kekancingan Sih Dalem. Perekrutan abdi dalem baru biasanya dilakukan secara alamiah, yakni ketika ada abdi dalem yang meninggal, maka dilakukan secara gethok tular atau dari mulut ke mulut (Anonim, 2006).
B. Kepuasan Hidup
1. Pengertian
Datan dan Lohmann (dalam Purnamasari, 2003) mengatakan bahwa kepuasan hidup adalah suatu kondisi yang bersifat khas pada orang yang mempunyai semangat hidup dan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi dalam diri maupun kondisi perubahan lingkungan. Alston dan Dudley (dalam Hurlock, 1999) berpendapat bahwa kepuasan hidup merupakan kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalamannya, yang disertai tingkat kegembiraan. Haditono (1984) menyatakan, hanya orang-orang yang aktif, yang dapat berprestasi, dan yang dapat berarti bagi orang-orang lain yang membutuhkannya, maka mereka itulah yang mencapai kepuasan. Seseorang yang tidak dibutuhkan lagi dalam kehidupan bersama, yang tidak mempunyai fungsi lagi, akan tidak puas dan tidak bahagia.
Shaver dan Freedman (dalam Hurlock, 1999) menggambarkan, mereka yang puas akan hidupnya adalah orang yang mampu menerima dirinya sendiri serta menikmati keadaan dan apa yang dimilikinya, mempertahankan keseimbangan antara harapan dan prestasi. Kepuasan hidup diartikan pula sebagai penilaian individu secara global mengenai kehidupannya. Definisi lain dari istilah kepuasan hidup ini adalah penilaian kognitif terhadap keseluruhan hidup individu (Diener, 2000).
kondisi yang menyenangkan yang timbul bila kebutuhan dan harapan tertentu individu terpenuhi (Hurlock, 1999). Menurut Santrock (1995), kepuasan hidup adalah kesejahteraan psikologis secara umum atau kepuasan terhadap kehidupan secara keseluruhan. Kepuasan hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: pendapatan, kesehatan, gaya hidup yang aktif, serta adanya relasi dengan keluarga dan teman.
Peneliti menyimpulkan bahwa kepuasan hidup merupakan suatu kondisi dimana seseorang dapat menikmati pengalaman yang baik dan buruk disertai rasa gembira, dan merasakan kepuasan hati bila kebutuhan dan harapannya terpenuhi, serta dapat berarti bagi orang lain yang membutuhkannya.
2. Aspek-aspek kepuasan hidup
Istilah kesehatan mental atau well-being sering disamaartikan dengan kepuasan hidup. Dalam penelitian mengenai kepuasan hidup, Neugarten dkk menggunakan struktur dasar kesejahteraan psikologis (psychological well-being) untuk mengungkap kepuasan hidup (dalam Ryff, 1989).
peneliti juga akan menggunakan struktur dasar psychological well-being untuk mengungkap kepuasan hidup, yaitu:
a. Penerimaan diri
Jung (dalam Ryff, 1989) mengartikan penerimaan diri sebagai kemampuan seseorang untuk menerima apa adanya sisi baik serta sisi buruk dari diri sendiri. Tahap perkembangan integritas ego dari teori Erikson (dalam Ryff, 1989) tidak hanya menitikberatkan pada penerimaan diri akan tetapi juga menerima kehidupan masa lalu dengan menyertakan segala keberhasilan dan kegagalan yang telah dilalui.
Penerimaan diri merupakan kemampuan seseorang untuk mengetahui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam diri meliputi kualitas baik dan buruk, serta kemampuan seseorang untuk memberikan pemahaman yang positif atas pengalaman masa lalunya.
b. Relasi positif dengan orang lain
kepada orang lain. Birren dan Renner (dalam Ryff, 1989) menjelaskan bahwa untuk memiliki mental yang sehat, setiap orang membutuhkan kemampuan untuk merespon sesama, untuk mencintai dan dicintai, dan berhasil menjalin relasi yang di dalamnya terdapat rasa saling memberi dan menerima.
Individu yang memiliki relasi positif dengan orang lain adalah individu yang mampu menciptakan kehangatan dan memiliki kepercayaan kepada orang lain. Mereka juga memperhatikan kesejahteraan orang lain, mampu memahami, memiliki empati yang kuat, perasaan kasih dan keakraban, serta saling memberi dan menerima.
c. Otonomi
Maslow (dalam Ryff, 1989) menjelaskan tentang aktualisasi diri sebagai kemampuan untuk bertahan menghadapi tekanan sosial dan berpikir untuk bertindak dengan cara yang diyakini. Sedangkan Jahoda (dalam Ryff, 1989) menitikberatkan otonomi pada kebebasan untuk menentukan apa yang akan dilakukan, serta kemampuan mengatur diri sendiri. Otonomi pada kesejahteraan psikologis mengarah pada kemampuan untuk menentukan pilihan bagi diri sendiri, kemerdekaan diri, dan mengatur perilaku diri sendiri.
sendiri, serta mampu bertahan dalam menghadapi tekanan sosial dan menemukan cara untuk mengatasinya.
d. Penguasaan lingkungan
Birren dan Renner (dalam Ryff, 1989) mengartikan penguasaan lingkungan dalam kesehatan mental sebagai besar kecilnya individu mengambil keuntungan dari kesempatan yang tersedia di lingkungan. Sedangkan Jahoda (dalam Ryff, 1989) mengartikan penguasaan lingkungan sebagai kemampuan individu memilih atau membuat lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik seseorang. Ryff (1989) menambahkan bahwa individu tersebut juga mampu menanggulangi aktivitas yang kompleks
Kemampuan penguasaan lingkungan adalah kemampuan mengontrol aktivitas lingkungan yang kompleks, menggunakan kesempatan yang tersedia di lingkungan secara efektif, serta mampu memilih lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi.
e. Tujuan hidup
tujuan hidup adalah orang yang mampu menyatukan pengalaman-pengalaman pribadi menjadi makna yang penuh arti, karena pengalaman merupakan sesuatu yang harus dilalui untuk mencapai tujuan hidup. Ryff (1989) menambahkan bahwa individu tersebut juga memiliki keyakinan yang memberikan arah kehidupan.
Individu yang memiliki tujuan hidup adalah individu yang memiliki keinginan atau cita-cita yang ingin dicapai dalam hidup, percaya pada keyakinan tertentu yang memberikan arah kehidupan, dan mampu memaknai pengalaman hidup menjadi makna yang penuh arti.
f. Pertumbuhan pribadi
(1989) menambahkan bahwa individu tersebut juga mampu menyadari potensi diri yang dimilikinya.
Pertumbuhan pribadi merupakan kemampuan individu untuk menyadari potensi diri yang dimiliki, kemampuan membuka diri terhadap pengalaman baru, serta kemampuan untuk memproses diri ke arah yang lebih baik dan tidak berhenti pada tahap pencapaian tertentu.
Tabel 1. Ringkasan Aspek Kepuasan Hidup
Aspek Kepuasan
Hidup
Keterangan
Penerimaan Diri
Mengetahui dan menerima segala kualitas baik dan buruk yang ada dalam diri
Mampu memberikan makna yang positif atas pengalaman masa lalu
Relasi Positif dengan Orang Lain
Mampu menjalin relasi yang dapat menciptakan kehangatan dan kepercayaan kepada orang lain
Memperhatikan kesejahteraan orang lain termasuk di dalamnya kemampuan berempati, mengasihi, dan memahami orang lain
Mampu menjalin keintiman dan kedekatan dengan orang lain, serta terdapat relasi saling memberi dan menerima
Otonomi
Mampu mengambil keputusan yang berkaitan dengan diri sendiri
Mampu bertahan menghadapi tekanan sosial dan menemukan cara mengatasinya
Penguasaan Lingkungan
Mampu mengontrol berbagai kegiatan yang kompleks Mampu memilih lingkungan yang sesuai kebutuhan dan
nilai pribadi
Mampu memanfaatkan berbagai peluang yang tersedia di lingkungan secara efektif
Tujuan Hidup
Memiliki keinginan dan cita-cita yang ingin dicapai dalam hidup
Percaya pada keyakinan tertentu yang memberikan arah kehidupan
Mampu memaknai pengalaman hidup menjadi makna yang penuh arti
Pertumbuhan pribadi
Mampu menyadari potensi diri yang dimiliki Terbuka terhadap pengalaman baru
C. Nilai Kejawen
1. Sistem Nilai Budaya
Koentjaraningrat (1981) mengartikan sistem nilai budaya sebagai konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap sangat bernilai dalam hidup dan berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Koentjaraningrat (1979) juga mengatakan bahwa sistem nilai budaya merupakan konsep-konsep yang abstrak, tanpa adanya perumusan yang tegas, maka konsep-konsep itu biasanya hanya bisa dirasakan, tetapi sering tidak dapat dinyatakan dengan tegas oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Justru karena hanya bisa dirasakan dan tidak dirumuskan dengan akal yang rasional, maka konsep-konsep tersebut menjadi sangat mendarah daging pada mereka dan sulit dirubah atau diganti dengan konsep-konsep yang baru. Sedangkan Syukur (2007) menyatakan bahwa sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Sistem nilai budaya juga sebagai wujud kebudayaan ideal paling abstrak yang berada dalam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup.
berharga dalam hidupnya, yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong tingkah laku manusia.
2. Peran Sistem Nilai Budaya dalam Proses Pencapaian Kepuasan
Hidup
Setiap individu memiliki cara berpikir dan cara hidup yang dipengaruhi oleh lingkungan, golongan, jaman, situasi, dan kondisi. Hal ini pada akhirnya membentuk susunan pandangan hidup yang merupakan hasil dari cara berpikir, serta interpretasi tentang pengalaman sosial dan budaya, sehingga pandangan hidup berfungsi sebagai pedoman bagi pelaksanaan dan perbuatan di kemudian hari.
Susunan pandangan hidup juga tidak dapat terlepas dari sistem nilai budaya yang diyakini oleh masyarakat di mana kebudayaan tersebut hidup, karena sistem nilai budaya digunakan sebagai pedoman tertinggi bagi tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arah pada tindakan manusia. Selain itu, sistem nilai budaya memberi kerangka kerja dalam pengambilan keputusan, serta dalam melaksanakan keputusan tersebut. Dalam kehidupan masyarakat, sistem nilai budaya berkaitan erat dengan sikap, di mana keduanya menentukan pola tingkah laku manusia. Maka, sistem nilai budaya merupakan bagian dari kebudayaan yang memberikan arah dan dorongan perilaku manusia.
merupakan kondisi yang bersifat khas dan setiap orang mempunyai pengalaman atau kondisi yang berbeda dalam mencapai kepuasan hidup. Perilaku manusia sehari-hari pada dasarnya ditentukan, didorong, atau diarahkan oleh nilai-nilai budayanya. Nilai yang dominan akan memunculkan perilaku yang dominan dalam kehidupan manusia yang membuat manusia berbudaya. Manusia menyeleksi atau memilih aktivitas berdasarkan sistem nilai budaya yang dipercayainya. Oleh karena itu, nilai terdapat dalam setiap pilihan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang, baik berkaitan dengan hasil (tujuan) maupun cara untuk mencapainya. Dalam hal ini, terkandung pemikiran dan keputusan seseorang mengenai apa yang dianggap benar, baik, atau diperbolehkan. Seperti pernyataan Koentjaraningrat (dalam Syukur, 2007) bahwa dalam kontek yang lebih mendasar, perilaku individu maupun masyarakat pada hakekatnya dipengaruhi oleh sistem nilai budaya yang diyakininya.
seseorang bertindak sesuai sistem nilai budaya yang dianggap ideal dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini, sistem nilai budaya dijadikan sebagai preferensi dalam melakukan suatu tindakan, karena setiap individu ingin mencapai kepuasan hidup.
3. Sistem Nilai Budaya Jawa
Budaya Jawa atau kebudayaan Jawa adalah suatu pola hidup yang terbentuk oleh sejarah, yang cenderung diikuti oleh seluruh, atau sebagian tertentu masyarakat Jawa (Sujamto, 1992). Menurut Koentjaraningrat (1979), sistem nilai budaya Jawa adalah suatu rangkaian dari konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat Jawa, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga dalam hidupnya. Dengan demikian, sistem nilai budaya Jawa merupakan bagian dari kebudayaan Jawa yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong tingkah laku manusia Jawa. Sistem nilai budaya Jawa yang dianut oleh masyarakat Jawa, yaitu:
a. Pola Pergaulan Masyarakat Jawa
sedemikian rupa sehingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kaidah pertama disebut prinsip rukun dan kaidah kedua disebut prinsip hormat.
Dua prinsip tersebut menuntut bahwa dalam setiap bentuk interaksi, konflik-konflik terbuka harus dicegah dan dalam setiap situasi, pangkat dan kedudukan semua pihak yang bersangkutan harus diakui melalui sikap-sikap hormat yang tepat (Suseno, 1996). Prinsip hidup orang Jawa yang selalu berpijak pada sikap hormat dan rukun pada dasarnya bertujuan untuk mempertahankan keselarasan dan keharmonisan yang ada.
Kedua prinsip tersebut menjadi sebuah sistem nilai yang digunakan oleh masyarakat Jawa sebagai kerangka normatif dalam mengatur bentuk-bentuk interaksi dengan orang lain. Suseno (1996) mengatakan bahwa nilai rukun dan hormat secara turun-temurun telah mendasari pandangan-pandangan hidup orang Jawa, maka orang Jawa diharapkan dapat menginternalisasikan nilai rukun dan hormat dalam kehidupan sehari-hari terutama ketika mereka harus berinterkasi dengan orang lain.
pengendali tingkah laku mereka, serta menjadi sistem nilai dan berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan masyarakat Jawa (Suseno, 1996; Geertz, 1983).
1) Nilai Rukun
Masyarakat Jawa sangat menekankan kehidupan rukun. Tujuan dari prinsip kerukunan adalah mempertahankan keadaan masyarakat yang harmonis dan selaras. Rukun menjadi karakteristik orang Jawa, sehingga keadaan rukun perlu dijaga dalam sebuah hubungan sosial, baik dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, ataupun bernegara (Suratno dan Astiyanto, 2005).
Orang Jawa diharapkan juga mampu mengendalikan diri dan menyembunyikan kepentingan pribadi yang bertentangan dengan orang lain. Apabila ada kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan, maka diperlunak dengan teknik-teknik kompromi tradisional, jangan sampai ambisi-ambisi pribadi diperlihatkan, sehingga tidak akan menimbulkan konflik (Suseno, 1996). Tiap individu diharapkan berusaha menahan diri dengan bertindak sareh yang artinya sabar dan alus yang artinya lembut (Bastomi, 1992).
Rukun didasarkan pada nilai untuk mengendalikan hasrat hati sendiri, menjaganya agar tidak lepas dari kesadaran, atau setidaknya tidak terucapkan, sehingga terhindarkan dari tanggapan emosional yang berlawanan dari pihak lain (Geertz, 1983). Mereka diharapkan mampu mawas diri, mempunyai kontrol diri, dan kontrol emosi, sehingga konflik-konflik yang ada tidak menjadi kentara atau pecah di permukaan (Suseno, 1983).
tanpa pamrih kepada tetangga yang mengalami peristiwa kematian disebut layatan. Sedangkan istilah gotong royong sendiri lazim diartikan sebagai kegiatan untuk kepentingan bersama, misalnya kerja bakti memperbaiki jalan.
Kerukunan terungkap pula dalam kebiasaan rembug desa (musyawarah desa). Dalam rembug desa, semua suara dan pendapat diperdengarkan. Kebulatan kehendak atau kebulatan pikiran dicapai berdasarkan pertimbangan, pemberian, dan penerimaan pendapat dari seluruh partisipan, karena semua pendapat dihormati, maka kerukunan dapat terwujud (Suseno, 1996).
untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat tanpa menginginkan pamrih (imbalan), serta selalu menjalankan tugas, atau pekerjaannya yang telah diberikan oleh Tuhan (De Jong, 1976; Soetrisno, 1977).
2) Nilai Hormat
Di dalam masyarakat Jawa terdapat hirarki atau sistem tataran sosial. Oleh karena itu, nilai hormat menyatakan bahwa setiap orang dalam cara berbicara dan membawa diri harus mewujudkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya. Sikap hormat mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan sosial masing-masing pihak yang ditunjukkan melalui tata krama dan sopan santun yang sesuai, baik dalam berbicara maupun bertingkah laku. Kedua belah pihak harus menyadari bahwa terkadang situasi sebenarnya bukan seperti yang tampak di permukaan, tetapi semua akan merasa berbahagia selama kesesuaian yang dangkal itu tidak terganggu (Geertz, 1983; Suseno, 1996).
sebaik-baiknya. Maka orang Jawa harus bersikap hormat terhadap orang lain yang berkedudukan lebih tinggi, sedangkan terhadap yang berkedudukan lebih rendah harus dikembangkan sikap kebapakan atau keibuan, serta rasa tanggung jawab. Apabila masing-masing pihak menyadari kedudukannya, maka tatanan sosial akan terjamin dan keselarasan dapat dipertahankan (Suseno, 1983). Menurut Geertz (1983) pernyataan hormat antara dua pihak ditentukan oleh sistem tataran yang berbeda-beda meliputi status, umur komparatif, jabatan, dan lain-lain, serta ditentukan juga oleh jarak sosial yang menyebabkan orang Jawa selalu bersikap hormat kepada siapapun yang tidak terlalu dikenal.
keluarga biasanya akan dihinggapi oleh perasaan isin. Untuk mengatasi hal itu, seseorang akan berusaha untuk memperluas wilayah keakrabannya untuk mewujudkan hubungan sosial sebagai hubungan kekeluargaan di mana dia tidak akan merasa isin. Cara kedua yang biasanya dilakukan adalah dengan mentaati tata krama kesopanan yang ketat karena aturan-aturan itu menjamin bahwa kata-kata dan pembawaan kita cocok, sehingga kita tidak akan merasa isin. Saat usia semakin dewasa, orang Jawa akan belajar tentang perasaan sungkan. Sungkan adalah perasaan yang dekat dengan isin tetapi dalam arti yang lebih positif. Sungkan bukanlah suatu rasa yang harus dicegah, dan didalamnya tidak terkandung perasaan berbuat suatu kesalahan. Melalui perasaan sungkan, seseorang menunjukkan sikap hormat terhadap atasan atau seseorang yang belum dikenal. Sungkan adalah rasa malu positif saat berhadapan dengan atasan. Perasaan wedi, isin, dan sungkan akan mendukung seseorang untuk selalu bersikap hormat (Geertz, 1983; Suseno, 1996).
Selain itu untuk menjaga kerukunan masyarakat harus saling membantu, tidak menunjukkan perbedaan sosial dan ekonomi, serta menghormati pendapat orang lain (Suseno, 1983).
b. Pandangan Hidup Orang Jawa
Gaya hidup orang Jawa ialah kebatinan, maksudnya gaya hidup yang memupuk batinnya. Dengan segi batinlah manusia dapat mencapai persatuan dengan Tuhan, dan raja-raja dianggap sebagai unsur mistik paling kuat di dunia karena kesaktian mereka terkandung dalam hubungan erat dengan Tuhan, sehingga akan menjamin kesejahteraannya. Orang-orang di keraton, para pegawai raja, dan masyarakat yang paling jauh pun sangat mempercayai bahwa sinar kekuasaan raja yang membuat tanah subur dan kehidupan rakyat menjadi ayem tentrem kerta raharja (Mulder, 1984). Maka orang harus menghormatinya dan mencari pengayomannya.
Mulder (1984) mengatakan bahwa sumber budaya Jawa berpusat pada pendidikan budi pekerti, budi luhur, budi utama, sopan santun, lemah lembut, ramah tamah, sabar, dan menerima apa adanya. Seseorang yang memiliki budi pekerti luhur selalu nrima ing pandum artinya menerima apa yang telah diberikan oleh Tuhan. Kodiran (dalam Koentjaraningrat, 1981) mengatakan bahwa kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia sudah diatur dalam alam semesta, sehingga tidak sedikit mereka yang bersikap nrima. Sikap hidup nrima berarti bahwa orang yang sedang dalam keadaan kecewa dan dalam keadaan kesulitan pun harus bereaksi dengan rasional, tidak ambruk, dan tidak menentang. Sikap nrima memberi daya tahan untuk menanggung nasib yang buruk. Orang yang memiliki sikap nrima tidak akan merasakan petaka sebagai suatu kesengsaraan, ia akan tetap gembira dalam penderitaannya dan prihatin dalam kegembiraan (Suseno, 1984). Sikap ini membuat kehidupan masyarakat Jawa lebih tenang, ayem, tentrem kerta raharja. Hidup rukun dan damai dilandasi budi pekerti yang luhur dapat menciptakan kebahagiaan lahir batin yang merupakan cita-cita masyarakat secara universal.
kesetiaan untuk terus-menerus berpikir dalam kerangka keraton. Abdi dalem mengabdi karena membutuhkan berkah, ketentraman dan ketenangan dari pusat kehidupan. Dengan orientasi tersebut, upah yang kecil tidak lagi diperhitungkan.
c. Koordinat Umum Etika Jawa
Kriteria keberhasilan bagi orang Jawa pada akhirnya merupakan suatu keadaan psikologis, yaitu keadaan slamet, atau ketenteraman batin yang tenang. Semua proses itu dilandasi nilai-nilai luhur dalam ungkapan Jawa yang berbunyi sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana. Menurut Soehardi (2006) makna yang tepat adalah ”sebaiknya tidak mengutamakan kepentingan sendiri, dan rajin melakukan kewajiban, untuk memelihara ketenteraman masyarakat dan dunia.” Agar dapat menjalankan nilai-nilai yang luhur, Magnis Suseno (1996) mereformulasikan dalil empat sikap yang menurut orang Jawa harus dilalui: (1) sikap batin yang tepat, (2) tindakan yang tepat, (3) tempat yang tepat, dan (4) pengertian yang tepat.
1) Sikap batin yang tepat
yang selalu siap menghadapi segala sesuatu yang mungkin terjadi, dan kondisi eling, ialah keadaan yang selalu ingat akan keberadaan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Orang Jawa mempunyai kewajiban untuk selalu sadar dari mana asal-usul dirinya, kewajiban apa yang harus dilakukan, dan ke mana arah tujuan hidupnya (sangkan paraning dumadi).
mengendalikan letupan emosi, dan mengatur tutur kata. Upaya-upaya mawas diri ini akan menjadi lebih sempurna, jika disertai dengan sikap sabar, nrima, temen, rila, dan budi luhur.
2) Tindakan yang tepat
Sikap batin yang tepat menentukan tindakan yang tepat. Tindakan yang tepat adalah perwujudan dari ungkapan rame ing gawe atau dharma, yang berarti rajin bekerja menjalankan kewajiban untuk kepentingan keseluruhan masyarakat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan kesejahteraan manusia pada umumnya. Apabila banyak orang sudah mampu mawas diri, artinya memiliki sikap batin yang tepat, dengan sendirinya orang tersebut telah bekerja menjalankan kewajibannya.
3) Tempat yang tepat
ketertiban dan ketenteraman masyarakat, serta memelihara tatanan kosmos.
4) Pengertian yang tepat
Tabel 2. Ringkasan Sistem Nilai Budaya Jawa
Sistem Nilai Budaya Jawa
Nilai Rukun
Kontrol emosi Mampu melakukan kontrol emosi
Gotong royong Mengikuti kegiatan gotong royong (rewang, layatan, kerja bakti)
Musyawarah Mengikuti dan menjalankan rembug desa atau musyawarah
Rasa menerima Mempunyai perasaan rila, nrima, dan sabar
Sepi ing pamrih Tidak memperbesar keinginan melebihi kemampuannya dan tidak menginginkan sesuatu yang bukan haknya
NilaiHormat
Puas kedudukan Menerima dan puas akan kedudukan yang diperolehnya Menjalankan tugas
dengan baik
Menjalankan tugas masing-masing dengan sebaik-baiknya
Menghormati atasan Hormat pada orang lain yang berkedudukan lebih tinggi Rasa takut Mempunyai perasaan wedi, isin, dan sungkan
Tidak campur tangan
Tidak mencampuri urusan orang lain secara langsung kecuali jika diminta
Koordinat Umum Etika Jawa
Sikap batin yang tepat
Mawas diri, waspada, eling, sangkan paraning dumadi, serta berbudi luhur (mengatur tutur kata dan temen).
Tindakan yang tepat Rajin bekerja menjalani kewajiban untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, raja, keraton, dan masyarakat (rame ing gawe)
Tempat yang tepat Menjaga kesejahteraan, menjaga keselarasan, dan ingin mencapai ketenteraman batin
Pengertian yang tepat
Kemampuan menjalankan tiga dalil sikap yaitu: sikap batin yang tepat, tindakan yang tepat, dan tempat yang tepat
4. Peran Sistem Nilai Budaya Jawa dalam Proses Pencapaian Kepuasan
Hidup
berakar dalam mentalitas mereka dan sulit digantikan oleh nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat.
Sistem nilai budaya Jawa turut berperan dalam membentuk susunan pandangan hidup yang digunakan sebagai pedoman dalam bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini individu. Sujamto (dalam Widodo, 2004) mengatakan bahwa ketundukan terhadap hukum-hukum tersebut sebagai salah satu corak dan watak budaya Jawa yang khas. Bagi orang Jawa, hukum-hukum yang tidak tampak sesungguhnya memberi pengaruh pada apa yang terjadi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila nilai hormat dan rukun dapat dipraktekkan, maka yang ingin dicapai adalah suasana harmonis, seimbang, dan selamat yang juga merupakan suatu keadaan yang diidealkan dan diupayakan secara nyata melalui tindak-tanduk konkrit atas dasar prinsip nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini, suasana selamat merupakan keadaan psikologis berupa ketenteraman batin yang tenang dan semua proses itu dilandasi nilai-nilai luhur yang dalam ungkapan Jawa berbunyi sepi ing pamrih, rame ing gawe, memayu hayuning bawana.
terpisahkan antara dirinya, lingkungan (masyarakat), lingkungan alam semesta, dan hubungannya dengan Tuhan. Niels Mulder (dalam Dharsono, 2008) juga menyatakan bahwa masyarakat Jawa mempunyai paugeran (aturan adat) yang mengacu pada ajaran budaya yang tertulis dan tidak tertulis.
Pada akhirnya, jika seseorang bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan sistem nilai budaya Jawa, maka kehidupan orang Jawa akan harmonis, seimbang, dan selamat, karena kondisi ini merupakan keadaan yang diidealkan dan diupayakan oleh orang Jawa demi mencapai kepuasan hidup. Dengan kata lain, sistem nilai budaya Jawa turut berperan dalam proses pencapaian kepuasan hidup, karena jika orang Jawa mampu menjalankan prinsip rukun dan prinsip hormat, mampu menjalankan pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, keselarasan, dan keseimbangan, serta menjalankan nilai-nilai luhur melalui dalil empat sikap, maka dapat dikatakan bahwa ia telah mencapai kepuasan hidup
D. Konsep Kesejahteraan Psikologis Ryff dan Kepuasan Hidup dalam
Sistem Nilai Budaya Jawa
kemampuan seseorang untuk mengetahui dan menerima segala kualitas baik dan buruk yang ada dalam diri. Hal ini selaras dengan sistem nilai budaya Jawa, bahwa ketenteraman batin akan dicapai apabila seseorang memiliki rasa menerima, dengan kata lain mempunyai perasaan rila, nrima, sabar, dan sepi ing pamrih. Orang Jawa diharapkan juga mampu menerima dan puas akan kedudukan yang diperolehnya (Suseno, 1983). Selain itu, Ryff (1989) juga mengatakan penerimaan diri yaitu kemampuan seseorang untuk memberikan makna positif atas pengalaman masa lalu. Dalam hal ini, konsep Ryff selaras dengan sistem nilai budaya Jawa yaitu memiliki sikap batin yang tepat, khususnya mawas diri.
langsung, kecuali jika diminta, dan selalu menjaga kesejahteraan serta keselarasan dengan orang lain (Suseno, 1983).
Konsep otonomi Ryff (1989) mengatakan bahwa otonomi merupakan kemampuan seseorang mengambil keputusan bagi diri sendiri. Konsep ini tidak selaras dengan sistem nilai budaya Jawa karena orang Jawa cenderung memiliki sikap tidak percaya kepada diri sendiri, yang beranggapan bahwa seseorang sebaiknya bertindak dengan berpedoman kepada para tokoh atasan (Hastjarja, 1984). Ryff (1989) juga mengatakan bahwa otonomi merupakan kemampuan seseorang bertahan menghadapi tekanan sosial dan menemukan cara untuk mengatasinya. Hal ini selaras dengan sistem nilai budaya Jawa yaitu memiliki sikap batin yang tepat khususnya waspada, karena orang Jawa diharapkan selalu siap menghadapi segala sesuatu yang mungkin terjadi (Suseno, 1996).
yaitu melakukan tindakan yang tepat, khususnya rame ing gawe (Suseno, 1996).
Tujuan hidup dalam konsep Ryff (1989) yaitu memiliki keinginan dan cita-cita yang ingin dicapai dalam hidup, hal ini selaras dengan sistem nilai budaya Jawa yaitu memiliki sikap batin yang tepat khusunya sangkan paraning dumadi, karena orang Jawa diharapkan tahu ke mana arah tujuan hidupnya (Suseno, 1996). Dalam Ryff (1989), tujuan hidup juga berarti percaya pada keyakinan tertentu yang memberikan arah kehidupan, hal ini juga selaras dengan sistem nilai budaya Jawa yaitu memiliki sikap batin yang tepat khusunya eling, karena orang Jawa diharapkan selalu ingat akan keberadaan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Suseno, 1996). Selain itu, Ryff (1989) juga mengatakan bahwa tujuan hidup merupakan kemampuan seseorang dalam memaknai pengalaman hidup menjadi makna yang penuh arti. Konsep ini selaras dengan sistem nilai budaya Jawa yaitu memiliki sikap batin yang tepat khusunya mawas diri. Dalam memaknai pengalaman hidup menjadi makna yang penuh arti dibutuhkan kemampuan untuk introspeksi diri.
membunuh daya kreatifitas dan inisiatif (Hastjarja, 1984). Selain itu, Ryff (1989) mengatakan bahwa pertumbuhan pribadi yaitu mampu berkembang ke arah yang lebih baik dan tidak berhenti pada tahap pencapaian tertentu. Namun, konsep ini juga tidak selaras dengan sistem nilai budaya Jawa karena orang Jawa cenderung mempertahankan kondisi yang sudah ada daripada menciptakannya (Widodo, 2004).
Tabel 3. Ringkasan Konsep Kesejahteraan Psikologis Ryff dan Kepuasan Hidup dalam Sistem Nilai Budaya Jawa
Aspek Kepuasan
Hidup
Keterangan Sistem Nilai
Budaya Jawa Keterangan
Penerimaan Diri
Mengetahui dan menerima segala kualitas baik dan buruk yang ada dalam diri
Mampu
memberikan makna yang positif atas pengalaman masa lalu
Rasa menerima (mempunyai
Penerimaan diri dibutuhkan perasan menerima, sepi ing pamrih, dan puas kedudukan
Dalam memberikan makna positif atas pengalaman masa lalu dibutuhkan sikap batin yang tepat untuk
Mampu menjalin relasi yang dapat menciptakan
kehangatan dan kepercayaan
kepada orang lain Memperhatikan
kesejahteraan orang lain termasuk di dalamnya
Mampu menjalin
Melakukan kontrol emosi
Gotong royong Musyawarah
Berbudi luhur (mengatur tutur kata)
Tempat yang tepat (menjaga
kesejahteraan dan
keintiman dan kedekatan dengan orang lain, serta terdapat relasi saling memberi dan menerima
keselarasan)
Otonomi
Mampu mengambil keputusan yang berkaitan dengan diri sendiri
Mampu bertahan menghadapi
tekanan sosial dan menemukan cara sikap tidak percaya kepada diri sendiri,
yang berarti seseorang
sebaiknya bertindak dengan
berpedoman kepada para tokoh atasan
Selalu siap
tekanan sosial dan menemukan cara mengatasinya
Penguasaan Lingkungan
Mampu mengontrol berbagai kegiatan yang kompleks
Mampu memilih lingkungan yang sesuai kebutuhan dan nilai pribadi
Mampu memanfaatkan
berbagai peluang yang tersedia di lingkungan secara efektif
Tindakan yang tepat (rame ing
Rajin bekerja untuk memanfaatkan
berbagai peluang yang tersedia di lingkungan secara efektif
Tujuan Hidup
Memiliki keinginan dan cita-cita yang ingin dicapai dalam hidup
Percaya pada
Sikap batin yang tepat (sangkan paraning dumadi)
Sikap batin yang
Orang Jawa
diharapkan tahu ke mana arah tujuan hidupnya
keyakinan tertentu yang memberikan arah kehidupan
Mampu memaknai pengalaman hidup menjadi makna yang penuh arti
tepat (eling)
Sikap batin yang tepat (mawas diri)
diharapkan selalu
ingat akan keberadaan dirinya
sebagai makhluk ciptaan Tuhan
Untuk memaknai pengalaman hidup dibutuhkan sikap batin yang tepat untuk introspeksi diri
Pertumbuhan pribadi
Mampu menyadari potensi diri yang dimiliki
Terbuka terhadap pengalaman baru
Mampu
berkembang ke arah yang lebih baik dan tidak berhenti pada tahap pencapaian tertentu
Sikap batin yang tepat (mawas diri)
Untuk menyadari potensi diri yang dimiliki
membutuhkan sikap batin yang tepat untuk introspeksi diri
Orang Jawa
sebaiknya bertindak dengan
berpedoman kepada para tokoh atasan, nilai budaya ini membunuh daya kreatifitas dan inisiatif
Orang Jawa
E. Pertanyaan Penelitian
Peneliti ingin mengungkap kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta menggunakan enam aspek kesejahteraan psikologis Ryff yang sering disamaartikan dengan kepuasan hidup. Enam aspek tersebut digunakan peneliti sebagai pedoman dalam pengambilan data, karena aspek Ryff tersebut digunakan untuk mengukur kepuasan hidup seseorang secara general, mengingat kepuasan hidup juga dipengaruhi perbedaan budaya. Oleh karena itu, peneliti juga menggunakan sistem nilai budaya Jawa untuk menganalisa sistem nilai budaya Jawa apa saja yang digunakan abdi dalem untuk mencapai kepuasan hidup atau mengatasi ketidakpuasannya. Namun, sistem nilai budaya Jawa tersebut tidak digunakan peneliti sebagai pedoman dalam pengambilan data, melainkan hanya digunakan untuk menganalisa data.
Pada akhirnya, peneliti akan membandingkan kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta dengan kepuasan hidup dari sudut pandang konsep Ryff dan kepuasan hidup dari sudut pandang sistem nilai budaya Jawa. Peneliti berasumsi bahwa tidak semua konsep kepuasan hidup Ryff selaras dengan sistem nilai budaya Jawa, serta kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta.
1. Bagaimanakah kepuasan hidup yang dirasakan abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta? Pertanyaan penelitian ini untuk mengetahui gambaran kepuasan hidup yang dirasakan abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta secara umum.
2. Sistem nilai budaya Jawa apa saja yang berperan dalam proses pencapaian kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta? Pertanyaan penelitian ini untuk mengetahui sistem nilai budaya Jawa apa saja yang digunakan abdi dalem untuk mencapai kepuasan hidup atau mengatasi ketidakpuasannya.
45 A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
dengan metode studi deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dengan cara mendeskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2005).
Dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak berusaha untuk
memanipulasi latar penelitian, melainkan melakukan studi terhadap suatu fenomena di mana fenomena tersebut ada. Penelitian kualitatif menekankan pentingnya kedekatan dengan orang-orang yang berada pada situasi penelitian agar dapat memperoleh pemahaman secara jelas dan menyeluruh tentang realitas yang diteliti. Penelitian kualitatif memiliki dasar filosofis yang berbeda, tidak menekankan upaya generalisasi (jumlah) melalui perolehan sampel acak, melainkan berupaya memahami sudut pandang dan konteks subjek penelitian secara mendalam (Poerwandari, 2005).
B. Subjek Penelitian
Pemilihan subjek penelitian dalam penelitian kualitatif disesuaikan
tujuan penelitian (Poerwandari, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta, sehingga dalam pemilihan subjek penelitian, peneliti memilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Subjek dalam penelitian ini adalah tiga orang abdi dalem yang dikhususkan bagi abdi dalem yang mengabdi Keraton Kasunanan Surakarta.
Patton (dalam Poerwandari, 2005) mengatakan bahwa peneliti menentukan kriteria subjek berdasarkan kesesuaian dengan masalah dan tujuan penelitian, maka kriteria subjek dalam penelitian ini adalah:
1. Abdi dalem dengan batas usia minimal 65 tahun. Peneliti menetapkan kriteria tersebut dengan pertimbangan bahwa orang-orang dewasa lanjut seringkali memiliki persepsi yang lebih optimis mengenai perkembangan akhir kehidupan daripada orang-orang dewasa yang berusia muda atau paruh baya.
2. Abdi dalem dengan kriteria lama mengabdi Keraton Kasunanan Surakarta minimal selama 20 tahun. Penetapan kriteria tersebut dengan pertimbangan bahwa peneliti beranggapan dengan pengabdian minimal selama 20 tahun, maka pengalaman sebagai abdi dalem sudah cukup mendalam.
Prosedur pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah theory-based atau operational construct sampling (pengambilan sampel berdasarkan teori, atau berdasarkan konstruk operasional). Sampel dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai tujuan penelitian yaitu mengetahui kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta. Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili (bersifat representatif terhadap) fenomena yang dipelajari (Poerwandari, 2005).
C. Fokus Penelitian
Peneliti membuat fokus penelian bertujuan memberikan definisi secara tepat untuk menghindari kekaburan atau salah pengertian, serta digunakan peneliti untuk memperjelas batas-batas dalam membuat instrumen pengumpulan data. Batasan istilah-istilah yang digunakan sebagai fokus penelitian ini, yaitu:
1. Batasan kepuasan hidup dalam penelitian ini:
a. Penerimaan diri yaitu mampu mengetahui dan menerima segala kualitas baik dan buruk yang ada dalam diri, serta mampu memberikan makna positif atas pengalaman masa lalu.
kepada orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain termasuk kemampuan berempati, mengasihi, dan memahami orang lain, serta mampu menjalin keintiman dan kedekatan dengan orang lain yang terdapat relasi saling memberi dan menerima.
c. Otonomi yaitu mampu mengambil keputusan bagi diri sendiri, serta mampu bertahan menghadapi tekanan sosial dan menemukan cara untuk mengatasinya.
d. Penguasaan lingkungan yaitu mampu mengontrol berbagai kegiatan yang kompleks, mampu memilih lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi, serta mampu memanfaatkan berbagai peluang yang tersedia di lingkungan secara efektif.
e. Tujuan hidup yaitu memiliki keinginan dan cita-cita yang ingin dicapai dalam hidup, percaya pada keyakinan tertentu yang memberikan arah kehidupan, serta mampu memaknai pengalaman hidup menjadi makna yang penuh arti.
f. Pertumbuhan pribadi yaitu mampu menyadari potensi diri yang dimiliki, terbuka terhadap pengalaman baru, serta mampu berkembang ke arah yang lebih baik dan tidak berhenti pada tahap pencapaian tertentu.
Melakukan kontrol emosi, mengikuti kegiatan gotong royong (rewang, layatan, kerja bakti), mengikuti rembug desa atau musyawarah, mempunyai rasa menerima (rila, nrima, sabar), dan sepi ing pamrih. b. Nilai hormat, meliputi:
Menerima dan puas akan kedudukan yang diperoleh, menjalankan tugas dengan baik, menghormati orang lain yang berkedudukan lebih tinggi, dan tidak mencampuri urusan orang lain secara langsung kecuali jika diminta.
c. Koordinat umum etika Jawa, meliputi:
- Mampu introspeksi diri (mawas diri), selalu siap menghadapi segala sesuatu yang mungkin terjadi (waspada), selalu ingat keberadaan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan (eling), tahu ke mana arah tujuan hidupnya (sangkan paraning dumadi), berbudi luhur (mengatur tutur kata dan temen).
- Rajin bekerja menjalani kewajiban untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat (rame ing gawe).
- Menjaga kesejahteraan, menjaga keselarasan, dan ingin mencapai ketenteraman batin.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Dalam penelitian ini wawancara merupakan alat utama yang digunakan untuk memperoleh data. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkaitan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Banister dalam Poerwandari, 2005), sehingga dalam wawancara, peneliti harus menerima segala informasi yang diberikan oleh subjek penelitian tanpa membantah, mengecam, menyetujui atau tidak menyetujuinya.
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman yang ada, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Patton dalam Poerwandari, 2005).
kepuasan hidup Ryff. Meskipun peneliti juga ingin mengetahui sistem nilai budaya Jawa apa saja yang digunakan abdi dalem untuk mencapai kepuasan atau mengatasi ketidakpuasannya, namun peneliti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai sistem nilai budaya Jawa dalam proses wawancara, karena sistem nilai budaya Jawa hanya digunakan peneliti dalam proses analisis data. Berikut ini adalah guide interview yang memuat topik pertanyaan yang akan digunakan sebagai pedoman dalam wawancara:
Tabel 4. Panduan Wawancara
No Topik Keterangan Hal yang diungkap
1. Latar belakang subjek
Mengungkap identitas diri subjek
Usia
Status pernikahan Pekerjaan suami / istri Jumlah anak
Jumlah cucu
Jumlah tanggungan keluarga Pekerjaan sampingan Sumber keuangan keluarga 2. Latar
belakang mengabdi
Mengungkap pengalaman mengabdi
Lama mengabdi Alasan mengabdi
Apa yang membuat bertahan mengabdi Kapan mengenal figur/sosok abdi dalem Apakah dari keluarga abdi dalem
Apakah masih keturunan raja
Pekerjaan sebelum menjadi abdi dalem Pangkat awal mengabdi
Bertugas dimana Tugasnya apa
Bertugas setiap berapa hari sekali
Pernah mengalami kenaikan pangkat atau tidak
Perasaan ketika menerima kenaikan pangkat
Apakah menginginkan pangkat yang lebih tinggi (alasan)
Perasaan selama menjadi abdi dalem 3. Kepuasan
hidup aspek penerimaan
Mengungkap penerimaan diri abdi dalem
Pengetahuan dan penerimaan kualitas yang baik dan buruk dalam diri
diri
Kemampuan menjalin relasi dan kualitas relasi dengan raja, kerabat kerajaan, sesama abdi dalem, keluarga, dan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Kualitas relasi ini meliputi: -Relasi yang dapat menciptakan
perasaan nyaman, hangat dan kepercayaan pada orang lain
-Memperhatikan kesejahteraan orang lain (kemampuan berempati, mengasihi, dan memahami orang lain) -Kemampuan menjalin keintiman dan
kedekatan dengan orang lain (tercipta rasa saling memberi dan menerima) 5. Kepuasan
Kemampuan mengambil keputusan berkaitan dengan diri sendiri
Kemampuan bertahan dalam menghadapi tekanan sosial dan menemukan cara mengatasinya
6. Kepuasan
Kemampuan mengatasi dan menangani masalah
Kemampuan mengontrol berbagai kegiatan yang kompleks
Kemampuan memilih lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi
Kemampuan memanfaatkan peluang di lingkungan secara efektif
7. Kepuasan
Memiliki keinginan dan cita-cita yang ingin dicapai dalam hidup
Percaya pada keyakinan tertentu yang memberikan arah kehidupan
Kemampuan memaknai pengalaman hidup menjadi makna yang penuh arti 8. Kepuasan arah yang lebih baik
Kemampuan menyadari potensi diri yang dimiliki
Keterbukaan terhadap pengalaman baru Kemampuan melanjutkan proses
2. Catatan Lapangan
Catatan lapangan berisi deskripsi tentang apapun yang dianggap penting oleh peneliti untuk diamati. Supaya diperoleh catatan lapangan yang lengkap dan informatif, peneliti harus menuliskannya secara langsung pada saat melakukan observasi di lapangan. Catatan lapangan harus deskriptif, diberi tanggal dan waktu, dan dicatat dengan menyertakan informasi-informasi dasar seperti di mana observasi dilakukan, siapa yang hadir di sana, bagaimana setting fisik lingkungan, interaksi sosial, dan aktivitas apa yang berlangsung (Poerwandari, 2005).
E. Analisis Data
Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2005) mengatakan bahwa analisis data kualitatif merupakan upaya peneliti untuk mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari, dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, lalu memutuskan apa yang dapat dideskripsikan. Dalam penelitian kualitatif, data tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar, foto), atau bentuk-bentuk non angka lain (Poerwandari, 2005).
pengungkapan kekayaan data (Poerwandari, 2005). Dalam hal ini peneliti menganalisa temuan-temuan yang muncul dari data mentah (induktif), dan analisa tersebut juga ditentukan oleh tujuan penelitian (deduktif). Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam analisis data adalah sebagai berikut: 1. Organisasi Data
Poerwandari (2005) mengatakan bahwa data yang telah diperoleh dari hasil wawancara diorganisasikan dengan rapi, sistematis, dan selengkap mungkin sehingga memungkinkan peneliti untuk mendapatkan kualitas data yang baik. Data yang dianggap penting untuk disimpan dan diorganisasi oleh peneliti meliputi:
a. Data mentah berupa kaset hasil rekaman dan catatan lapangan. b. Data yang sudah diproses menjadi transkrip hasil wawancara. c. Data yang sudah dikategorisasikan.
2. Kategorisasi
Glaser dan Strauss (dalam Moleong, 2005) mengatakan bahwa kategorisasi adalah upaya memilah-milah setiap satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan, sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta. Langkah-langkah kategorisasi yang dilakukan oleh peneliti yaitu: a. Menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) sedemikian rupa sehingga
b. Memberikan nama untuk masing-masing berkas, serta membubuhkan tanggal, waktu, dan lokasi wawancara di setiap berkas.
c. Memberi tanda (garis bawah) pada kutipan dari transkrip verbatim yang menunjukkan pengalaman-pengalaman kepuasan dan ketidakpuasan. d. Mendeskripsikan secara singkat setiap pengalaman kepuasan dan
ketidakpuasan masing-masing subjek.
e. Menganalisa kepuasan dan ketidakpuasan yang muncul dari masing-masing subjek.
f. Mengkategorikan kepuasan dan ketidakpuasan yang telah dianalisa ke dalam kategori yang memiliki kesamaan tema. Dalam proses pengkategorian, peneliti juga menemukan cara yang digunakan ketiga subjek untuk mencapai kepuasan atau mengatasi ketidakpuasan.
3. Interpretasi
Setelah langkah-langkah organisasi data dan kategorisasi terpenuhi, maka peneliti dapat mulai menganalisa dengan memberikan perhatian pada substansi data yang telah dikumpulkan dengan membaca transkrip berulang-ulang untuk mengidentifikasi tema-tema yang muncul dan memperoleh ide umum tentang tema, sekaligus untuk menghindari kesulitan dalam mengambil kesimpulan (Poerwandari, 2005).
a. Membaca secara berulang-ulang kepuasan, ketidakpuasan, dan cara yang digunakan untuk mencapai kepuasan yang telah dikategorikan untuk mengidentifikasi tema-tema umum yang muncul.
b. Menemukan struktur dari kepuasan, ketidakpuasan, dan cara yang digunakan untuk mencapai kepuasan.
c. Melalui cara-cara yang digunakan subjek untuk mencapai kepuasan atau mengatasi ketidakpuasan, peneliti dapat menemukan sistem nilai budaya Jawa yang digunakan oleh ketiga subjek untuk mencapai kepuasan.
4. Penarikan Kesimpulan
Tahap akhir yang dilakukan adalah penarikan kesimpulan mengenai kepuasan hidup abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta. Melalui hasil kategorisasi dan interpretasi, peneliti dapat menemukan pola yang membawa peneliti pada pengetahuan tentang kepuasan hidup dan sistem nilai budaya Jawa yang berperan dalam proses pencapaian kepuasan hidup ketiga subjek penelitian.
F. Keabsahan Data
Pemeriksaan keabsahan data: 1. Credibility