• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Hasil Penelitian

3. Perbandingan Enam Aspek Kepuasan Hidup Ryff dengan Kepuasan

Hidup Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta dan Sistem Nilai

Budaya Jawa

Tabel 8. Perbandingan Enam Aspek Kepuasan Hidup Ryff dengan Kepuasan Hidup Abdi Dalem Keraton Kasunanan Surakarta dan

Sistem Nilai Budaya Jawa

Aspek Kepuasan Hidup Ryff

Kepuasan Hidup Abdi Dalem

Keraton Kasunanan Surakarta

Sistem Nilai Budaya Jawa

Penerimaan Diri

Mengetahui dan menerima segala kualitas baik dan buruk yang ada dalam diri

Mampu memberikan makna yang positif atas pengalaman masa lalu

Menerima kedudukan sebagai abdi dalem dan keadaan diri di tengah situasi ekonomi sulit. Kondisi ekonomi sulit dan gaji yang tertunda beberapa bulan diterima dengan rasa syukur, tidak mengeluh, dan kepasrahan kepada Tuhan. Trisno memaknai peristiwa bangkrut dalam usaha konveksinya sebagai

cobaan dari Tuhan, maka ia sekarang mulai membangun ibadah dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.

Nilai hormat

(menerima dan puas akan kedudukan yang diperoleh) Nilai rukun (mempunyai rasa nrima) Selalu ingat keberadaan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan (eling) Relasi Positif dengan Orang Lain Mampu menjalin relasi yang dapat menciptakan kehangatan dan kepercayaan kepada orang lain Memperhatikan kesejahteraan orang lain termasuk di dalamnya kemampuan berempati, mengasihi, dan Meskipun menghadapi masalah ekonomi sulit,

subjek mampu menyadarkan keluarga

supaya nrima, saling toleran, dan saling percaya.

Memperhatikan

kesejahteraan keluarga dengan berusaha tidak mengecewakan dan selalu mencukupi kebutuhan keluarga. Nilai rukun (mempunyai rasa nrima) Rajin bekerja menjalani kewajiban untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat (rame ing gawe)

memahami orang lain

Mampu menjalin keintiman dan kedekatan dengan orang lain, serta terdapat relasi saling

memberi dan menerima

Saling memberi dan menerima dengan keluarga direalisasikan dengan cara saling membantu dalam perekonomian keluarga. Mampu menyenangkan

hati raja dan kerabat raja, sehingga mendapat kepercayaan dari raja

karena selalu menjalankan tugas dengan baik. Mampu membina kerukunan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya dengan mengikuti kegiatan gotong royong,

rewang, layatan,

hajatan, dan saling

menolong dengan tetangganya. Nilai rukun Nilai hormat (menjalankan tugas masing-masing dengan baik) Nilai rukun (mengikuti kegiatan gotong royong seperti rewang,

layatan, dan kerja

bakti)

Otonomi Mampu mengambil keputusan yang berkaitan dengan diri sendiri Mampu bertahan menghadapi tekanan sosial dan menemukan cara mengatasinya Mampu mengambil keputusan untuk menentukan pilihan hidup sebagai abdi dalem.

Meskipun gajinya sedikit, mereka tidak pernah mempunyai keinginan keluar atau berhenti menjadi abdi dalem. Namun bersikap nrima, tidak mengeluh, tidak murka, dan selalu bersyukur. Menghadapi masalah dengan hati rohani, tenang, tenteram, dan selalu bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Nilai rukun (mempunyai rasa nrima) Rajin bekerja menjalani kewajiban untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat (rame ing gawe)

Lingkungan berbagai kegiatan yang kompleks

Mampu memilih lingkungan yang sesuai kebutuhan dan nilai pribadi

Mampu memanfaatkan berbagai peluang yang tersedia di lingkungan secara efektif mengontrol berbagai kegiatan yang kompleks kurang tampak, karena tidak memiliki kegiatan yang kompleks.

Mempunyai pilihan hidup menjadi abdi

dalem, karena merasa

senang dan cocok dengan adat istiadat, serta nilai budaya Jawa yang ditanamkan di dalam keraton. Berusaha menambah pemasukan ekonomi keluarga dengan mengerjakan pekerjaan sampingan.

Sikap batin yang tepat (sangkan paraning dumadi) Rajin bekerja menjalani kewajiban untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat (rame ing gawe) Tujuan Hidup Memiliki keinginan

dan cita-cita yang ingin dicapai dalam hidup Percaya pada keyakinan tertentu yang memberikan arah kehidupan Mampu memaknai

Ingin mengabdi dengan baik hingga menjadi abdi yang dikasihi oleh tuannya.

Ingin mencapai

ketenteraman dan kesehatan sekeluarga melalui jalan mengabdi keraton.

Ingin meninggalkan nama yang baik apabila kelak dipanggil Tuhan, dengan cara bertingkah laku dan bertutur kata yang baik sebagai bekal menuju akhirat.

Memiliki kepercayaan kepada Tuhan yang ditunjukkan melalui rutinitas doa, serta kepasrahan kepada Tuhan atas segala peristiwa yang terjadi di dalam hidup. Bejo: pengalaman Nilai hormat (menjalankan tugas masing-masing dengan baik)

Tempat yang tepat (ingin mencapai ketenteraman batin) Selalu ingat keberadaan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan (eling) Berbudi luhur (mengatur tutur kata) Selalu ingat keberadaan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan (eling)

pengalaman hidup menjadi makna yang penuh arti mengabdi merupakan penghasilan yang didapatkan selama mengabdi, karena ia mendapatkan ketenteraman, kedamaian, dapat bergaul dengan pejabat tinggi negara, dan merasa lebih terhormat karena memiliki hubungan dekat dengan

raja.

Trisno: memandang pengalaman bangkrut sebagai cobaan dan pendidikan dari Tuhan agar ia hidup lebih baik dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sartinah: merasa bangga

karena pernah menjadi abdi dari kerabat raja, karena dengan menjadi abdi kerabat raja maka ia merasa lebih terhormat dan terpelihara Selalu ingat keberadaan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan (eling)

Sikap batin yang tepat (mawas diri) Nilai hormat (puas

dengan kedudukan yang diperoleh)

Pertumbuhan pribadi

Mampu menyadari potensi diri yang dimiliki

Terbuka terhadap pengalaman baru

Mampu berkembang ke arah yang lebih baik dan tidak berhenti pada tahap pencapaian tertentu

Menyadari potensi diri menjadi abdi dalem, karena sadar bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melayani dengan tulus dan sungguh-sungguh.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek tidak memiliki kemampuan membuka diri terhadap pengalaman baru.

Ingin memperbaiki, mendekatkan diri, dan meningkatkan kualitas relasinya dengan Tuhan,

dengan cara menjalankan hidup baik

demi ketenteraman dan

Berbudi luhur (temen) Selalu ingat keberadaan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan (eling) Berbudi luhur (mengatur tutur

kebaikan orang lain supaya mendapatkan kemakmuran dan kemurahan di akhirat, dengan mencari bekal di dunia seperti berbudi luhur, bertingkah laku, serta bertutur kata yang baik.

kata)

Tempat yang tepat (ingin mencapai ketenteraman)

D. Pembahasan

1. Kepuasan Hidup yang Dirasakan Abdi Dalem Keraton Kasunanan

Surakarta

Secara umum ketiga subjek mampu merasakan kepuasan hidup, hal ini terlihat dari perasaan senang, ayem, dan tenang yang mereka rasakan meskipun sedang menghadapi persoalan ekonomi yang sulit. Uang tidak dijadikan sebagai patokan utama dari pekerjaannya sebagai abdi dalem, karena orang Jawa memiliki sikap hidup samadya yang berarti sedang-sedang, sewajarnya, atau secukupnya saja, yang menggambarkan tidak adanya orientasi pada harta benda, atau ngoyak kadonyan (mengejar harta) secara berlebihan (Suratno dan Astiyanto, 2005).

Ketulusan dan kesungguhan terhadap pengabdiannya membuat ketiga subjek setia melayani raja dan gusti-gusti dengan kesungguhan hati, hal itu pula yang membuat mereka selalu ingin mengabdi dan melayani. Mereka meyakini bahwa hidup yang dijalaninya saat ini merupakan bagian dari rencana Tuhan yang harus dijalani dan selalu disyukuri. Manusia harus menyadari bahwa segala sesuatu yang dialami sudah sesuai dengan jatah atau pembagian dari Tuhan. Oleh sebab itu, sikap yang baik adalah

narima ing pandum, yang berarti menerima jatah dengan ikhlas dan tidak

nggersula atau menggerutu (Suratno dan Astiyanto, 2005).

Ketiga subjek juga merasa senang, tenang, dan tenteram karena keluarganya rukun dan damai. Kerukunan di dalam keluarga ketiga subjek dapat terbina karena mereka selalu menyelesaikan masalah dengan jalan

musyawarah, saling membantu, dan saling pengertian. Keadaan rukun dapat tercapai apabila semua pihak dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerjasama, saling menerima, terdapat suasana tenang dan sepakat, tanpa perselisihan dan pertentangan (Suseno, 1996). Ketiga subjek juga mampu membina kerukunan dengan abdi dalem yang lain dan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Kerukunan ini mereka bina dengan cara mengikuti kegiatan kampung dan saling menolong dengan tetangganya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suratno dan Astiyanto (2005), bahwa rukun menjadi karakteristik orang Jawa, sehingga keadaan rukun perlu dijaga dalam sebuah hubungan sosial, baik dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, ataupun bernegara.

Ketiga subjek merasa senang, ayem, dan tenteram dalam menjalani pilihan hidupnya sebagai abdi dalem. Mereka juga merasakan suatu ketenteraman batin dan keayeman selama menjalankan tugas-tugasnya sebagai abdi dalem. Ketiga subjek bersyukur karena selalu mendapatkan berkah kesehatan dan merasa sudah puas dengan semua pemberian dari keraton. Walaupun penghasilannya sebagai abdi dalem sedikit, tetapi ketika seseorang menjalaninya dengan sungguh-sungguh, dapat dikatakan orang tersebut mampu memenuhi dan menemukan makna atas pekerjaannya, serta nilai dari pekerjaannya tersebut. Bagi masyarakat Jawa, pekerjaan dinilai dalam pekerjaan itu sendiri, dan bukan sebagai ukuran untuk mendapatkan uang. Dasar utamanya, orang harus bekerja keras setiap hari dan kesehatan dihargai untuk tujuan ini (Hastjarja, 1984).

Pengabdian yang dijalani ketiga subjek dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan sepenuh hati, sehingga mereka mendapatkan kepercayaan dan mampu menyenangkan hati Ngarsa Dalem, karena selalu menjalankan kejujuran dan kebaikan. Orang Jawa berkeyakinan bahwa seseorang yang berani dan selalu berperilaku jujur akan mendapatkan kebahagiaan. Pengertian kebahagiaan ini tidak hanya dalam tataran praktis atau fisik, melainkan hingga tataran batin dan religius (Suratno dan Astiyanto, 2005).

Secara umum ketiga subjek memiliki tujuan hidup untuk memperbaiki kualitas hidup, serta berorientasi pada peningkatan kualitas relasi dengan Tuhan. Kualitas hidup yang baik menurut mereka yaitu, melakukan segala sesuatu demi kebaikan dan ketenteraman orang lain. Ketiga subjek juga memiliki tujuan hidup yang masih diharapkan dapat tercapai dalam hidup yaitu, ingin mencapai ketenteraman, keayeman, dan

kelanggengan dalam mengasuh keluarga, serta keinginan untuk mengabdi

dengan baik hingga lanjut usia. Tujuan hidup bukanlah untuk memaksimalkan perasaan positif dan meminimalkan perasaan negatif, namun meminimalkan semua nafsu dan sedapat mungkin membungkam semuanya itu untuk mengerti ”perasaan” yang lebih benar yang terletak di baliknya yaitu tentrem ing manah yang berarti kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman di dalam hati (Geertz, 1960).

Kepuasan ketiga subjek juga terlihat dari kualitas relasinya dengan Tuhan. Mereka merasa memiliki hubungan dekat dengan Tuhan, sehingga

doa-doanya selalu bermanfaat dan dikabulkan oleh Tuhan. Bagi mereka, berdoa merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mencapai kepuasan hidup. Orang Jawa sering memberi nasehat bahwa ketika menginginkan sesuatu memohonlah kepada Tuhan, karena orang Jawa meyakini bahwa pengaduan atau permohonan kepada-Nya akan didengar dan akan mendapat pertolongan, serta jalan keluar dari-Nya (Suratno dan Astiyanto, 2005). Hanya Tuhan yang mereka sembah dan hanya kepada Tuhan mereka memasrahkan hidupnya. Kepercayaan ini terlihat dari rutinitas doa yang dilakukan untuk mendapatkan yang terbaik bagi diri sendiri dan keluarga, serta kepasrahan kepada Tuhan atas segala peristiwa yang terjadi dalam hidup. Pandangan orang Jawa tradisional tentang hakekat hidup manusia sangat menonjolkan penghayatan religius terutama sikap pasrah kepada Tuhan (Hastjarja, 1984). Kepasrahan kepada Tuhan dipandang sebagai kunci kebahagiaan, karena dengan memasrahkan diri kepada Tuhan maka segala sesuatu akan berjalan dengan baik.

2. Sistem Nilai Budaya Jawa yang Berperan dalam Proses Pencapaian

Kepuasan Hidup

Kepuasan hidup yang dirasakan ketiga subjek tidak terlepas dari peran sistem nilai budaya Jawa yang diyakini dan dijalankan oleh mereka. Dalam menghadapi persoalan ekonomi yang sulit, ketiga subjek memiliki cara untuk mengatasi kondisi tersebut dengan bersikap nrima. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suseno (1996) bahwa orang Jawa diharapkan mampu menerima nasib dengan tenang, terima kasih, tanpa ada

pemberontakan, dan sanggup menunggu saatnya dengan tenang. Orang yang memiliki sikap nrima tidak akan merasakan petaka sebagai suatu kesengsaraan, namun ia akan tetap gembira dalam penderitaannya dan prihatin dalam kegembiraan (Suseno, 1984).

Ketiga subjek rajin bekerja supaya dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, mereka mempunyai keyakinan apabila mau bekerja keras pasti akan mendapat pertolongan dan rejeki dari Tuhan. Hal ini sesuai dengan sistem nilai budaya Jawa khususnya rame ing gawe, yaitu bekerja keras secara tanggung jawab untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, serta selalu menjalankan tugas atau pekerjaan yang telah diberikan oleh Tuhan (De Jong, 1976; Soetrisno, 1977).

Mereka percaya bahwa penghasilannya sudah diatur oleh Tuhan dan Ngarsa Dalem. Bagi mereka, meskipun penghasilannya sedikit yang penting halal, hidupnya tenteram dan ayem. Ketiga subjek juga berusaha menghadapi masalah ini dengan hati rohani, tenang, dan tenteram. Sejalan dengan pernyataan Geertz (1960), puntu atau yang diterjemahkan dengan ”menenangkan” merupakan mekanisme pertahanan utama orang Jawa yang terdiri tiga nilai utama yaitu trima, sabar, dan ikhlas.

Hidup rukun dan damai dilandasi budi pekerti yang luhur dapat menciptakan kebahagiaan lahir dan batin yang merupakan cita-cita masyarakat secara universal. Orang Jawa memandang dan mengalami kehidupan mereka sebagai suatu keseluruhan yang bersifat sosial-simbolis dan subyektif, bahwa dimensi hidup hanya satu saja, identitas individu

hanya bersifat sosial, dan hakekat hidup diwujudkan oleh hubungan-hubungan sosial (Hastjarja, 1984). Kerukunan yang terbina diantara ketiga subjek dengan keluarga, abdi dalem yang lain, serta masyarakat di sekitar tempat tinggalnya dipengaruhi sistem nilai budaya Jawa yang diyakini oleh mereka. Masyarakat Jawa sangat menekankan kehidupan rukun, bahkan rukun sebagai ciri karakteristik orang Jawa. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, seseorang yang tidak mampu menjaga kerukunan disebut wong ora lumrah atau wong nyleneh (manusia aneh), dan akan disisihkan atau dikucilkan dari kehidupan bermasyarakat (Suratno dan Astiyanto, 2005). Ketiga subjek membina kerukunan keluarga dengan cara menyelesaikan masalah keluarga dengan jalan musyawarah. Sedangkan kerukunan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya dibina dengan cara mengikuti kegiatan kampung seperti gotong royong, kerja bakti,

layatan, jagong, dan rewangan. Ketiga subjek juga selalu mengutamakan kejujuran dan ketemenan demi tercapainya ketenteraman serta ketenangan di masyarakat.

Menjadi seorang abdi dalem merupakan pilihan hidup ketiga subjek, hal ini dipengaruhi sistem nilai budaya Jawa khususnya nunggak semi, karena mereka mendapat petuah supaya mengabdi wong luhur. Selama menjalani pilihan hidupnya sebagai abdi dalem, khusus subjek Sartinah menjalankan sistem nilai budaya Jawa yaitu mupus. Sartinah berusaha memupus cita-cita dan segala keinginannya karena sadar bahwa ia hanya bisa menjadi seorang abdi dalem. Oleh karena itu, Sartinah

berusaha menerima keadaan dirinya dan percaya bahwa pemberian dari Tuhan untuk dirinya memang sudah cukup seperti saat ini.

Ketiga subjek juga memiliki keyakinan bahwa raja merupakan manusia yang mendapat wahyu dari Tuhan, sebagai wakil Tuhan di dunia, dan sebagai perantara manusia dengan Tuhan. Berawal dari sistem nilai tersebut, bahwa raja adalah penerima wahyu dari Tuhan yang menjalankan perannya di dunia, maka tradisi mengabdi digunakan sebagai refleksi dari budaya Jawa yang menempatkan keraton sebagai sentral kehidupan. Keyakinan ini pula yang membuat ketiga subjek percaya bahwa mereka akan mendapatkan ketenteraman, keayeman, serta berkah kesehatan dari Tuhan melalui mengabdi keraton. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mulder (1984), bahwa orang-orang di keraton, para pegawai raja, dan masyarakat sangat mempercayai bahwa sinar kekuasaan raja yang membuat tanah subur dan kehidupan rakyat menjadi ayem tentrem kerta

raharja, maka orang harus menghormatinya dan mencari pengayomannya.

Ketiga subjek juga percaya bahwa dengan mengabdi keraton, maka kelak akan mendapatkan kemakmuran dan kemurahan, serta jalan yang enak menuju akhirat.

Selama mengerjakan tugas-tugasnya sebagai abdi dalem, ketiga subjek menjalankan sistem nilai ketemenan, kejujuran, serta nrima dengan kedudukan dan pangkat yang dimilikinya. Ketiga subjek juga selalu menjalankan tugas sebagai abdi dalem dengan sebaik-baiknya dan mereka bekerja bukan untuk mencari pangkat melainkan karena pengabdian. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Suseno (1996), bahwa orang Jawa diharapkan merasa puas dengan kedudukan yang diperolehnya, dan berusaha menjalankan tugas masing-masing dengan sebaik-baiknya.

Ketiga subjek percaya apabila mampu menyenangkan hati raja, maka mereka akan sering dipanggil untuk melaksanakan perintah raja. Mereka juga percaya apabila memiliki hubungan dekat dengan raja, maka mereka akan mendapat wahyu dari raja sehingga dipercaya dan dihormati

priyayi luhur. Namun, meskipun memiliki hubungan dekat dengan raja

dan pejabat tinggi, ketiga subjek tetap menghormati orang-orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Apabila masing-masing pihak menyadari kedudukannya, maka tatanan sosial akan terjamin dan keselarasan dapat dipertahankan, maka orang Jawa harus bersikap hormat terhadap orang lain yang berkedudukan lebih tinggi (Suseno, 1983).

Agama Jawa berintikan pada prinsip utama yang dinamakan

sangkan paraning dumadi, yang berarti dari mana manusia berasal, apa

dan siapa dia pada masa kini, serta kemana arah tujuan hidup yang dijalani dan dituju (Suparlan dalam Geertz, 1960). Ketiga subjek memiliki kepercayaan bahwa mereka hidup karena ada yang menghidupi, dan percaya bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan. Kepercayaan tersebut membuat mereka merasa harus beribadah dan berbakti kepada Tuhan, maka ketiga subjek selalu berusaha membangun ibadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Falsafah hidup dalam budaya Jawa yang mendasarkan pada keyakinan urip ana sing nguripake, yang berarti hidup

ada yang menghidupi, menunjukkan betapa kuatnya keyakinan Jawa terhadap kekuasaan Tuhan dan adanya kehidupan setelah hidup di dunia, yakni akhirat (Suratno dan Astiyanto, 2005). Keyakinan ini membuat ketiga subjek ingin meninggalkan nama yang baik apabila kelak dipanggil Tuhan, maka mereka mencari bekal di dunia demi ketenteraman dan kebaikan orang lain dengan cara berbudi pekerti, bertingkah laku, serta bertutur kata yang baik.

Kesadaran bahwa manusia berasal dari Tuhan dan kelak akan kembali kepada Tuhannya mendorong seseorang untuk menghindari perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Tuhan. Oleh sebab itu, jika berharap kelak kembalinya diterima oleh Tuhan, seseorang akan selalu berbuat baik dan tidak bertentangan dengan ketentuan Tuhan (Suratno dan Astiyanto, 2005).

3. Kepuasan Hidup Abdi Dalem Kasunanan Surakarta jika

Dibandingkan dengan Enam Aspek Kesejahteraan Psikologis Ryff yang Sering Disamaartikan dengan Kepuasan Hidup

a. Penerimaan diri

Ryff (1989) mengatakan bahwa penerimaan diri merupakan kemampuan seseorang untuk mengetahui dan menerima berbagai aspek dalam diri termasuk kualitas baik dan buruk, serta mampu memberikan pemahaman yang positif atas pengalaman masa lalunya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek mampu menerima situasi hidup yang mereka hadapi saat ini. Penerimaan diri ini meliputi

penerimaan akan kedudukannya sebagai abdi dalem dan keadaan diri di tengah situasi ekonomi yang sulit. Ryff (1989) menyatakan bahwa kondisi keuangan mempengaruhi penerimaan diri, dalam hal ini kondisi ekonomi yang sulit dan gaji yang tertunda selama beberapa bulan dapat diterima ketiga subjek dengan rasa syukur, tidak mengeluh, dan penuh kepasrahan kepada Tuhan. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Hardjowirogo (1983), bahwa manusia Jawa digambarkan sebagai makhluk yang tidak begitu tertarik terhadap materi, dan merasa bangga akan gambaran mengenai dirinya.

Subjek Trisno mampu memberikan makna positif atas pengalaman masa lalunya, hal ini terlihat dari cara subjek memandang dan menerima pengalaman bangkrut yang pernah dialaminya. Trisno memaknai peristiwa tersebut sebagai cobaan dari Tuhan, maka sekarang ia mulai membangun ibadah dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Suratno dan Astiyanto (2005) mengatakan bahwa ketika kita bersedih dan dihadapkan pada berbagai kesulitan, sebaiknya tetap tabah seraya memohon kekuatan kepada Tuhan dengan keyakinan segala persoalan yang tidak menyenangkan sebagai ujian atau cobaan dari Tuhan.

b. Relasi positif dengan orang lain

Individu dikatakan memiliki relasi positif dengan orang lain apabila mampu mampu menciptakan kehangatan dan memiliki kepercayaan kepada orang lain. Mereka juga memperhatikan

kesejahteraan orang lain, mampu memahami, memiliki empati yang kuat, perasaan kasih dan keakraban, serta saling memberi dan menerima (Ryff, 1989). Meskipun menghadapi persoalan ekonomi yang sulit, ketiga subjek mampu menjalin relasi yang dapat menciptakan perasaan hangat dan kepercayaan di dalam keluarga, dengan cara menyadarkan keluarganya supaya nrima, saling toleran, dan saling percaya. Ketiga subjek juga selalu memperhatikan kesejahteraan keluarga dengan berusaha tidak mengecewakan dan selalu mencukupi kebutuhan keluarga. Selain itu, ketiga subjek mampu menjalin keintiman yang terdapat relasi saling memberi dan menerima dengan anggota keluarga yang direalisasikan dengan cara saling membantu dalam perekonomian keluarga.

Ketiga subjek juga mampu membina kerukunan dengan kerabat keraton, abdi dalem yang lain, serta masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Hal ini terlihat bahwa ketiga subjek mampu menyenangkan hati raja maupun kerabat raja, sehingga mereka mendapatkan kepercayaan untuk menyelesaikan tugas-tugas khusus dari raja. Ketiga subjek juga mampu membina kerukunan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya dengan cara mengikuti kegiatan kampung seperti gotong royong, rewang, layatan, dan hajatan, serta saling menolong dengan tetangganya. Dalam masyarakat Jawa, kerukunan diwujudkan pula melalui tradisi gotong royong yang merupakan kerjasama secara sukarela yang dilakukan untuk membantu seseorang atau dilakukan

demi kepentingan bersama. Gotong royong untuk meringankan beban seseorang misalnya diwujudkan dalam rewang dan layatan (Suseno, 1996). Hal ini sejalan dengan penelitian Ryff (1989) yang menyatakan bahwa pada budaya timur yang masyarakatnya bersifat kolektif, kecenderungan untuk sedapat mungkin menjalin relasi positif dengan

Dokumen terkait