• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Abdi Dalem Harya Leka dalam Pentarikhan Jawa Ditetapkannya pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang pada

SURAKARTA MASA PAKU BUWANA X

A. Tugas Abdi Dalem Harya Leka dalam Pentarikhan Jawa Ditetapkannya pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang pada

susunan organisasi pemerintahan Kasunanan dan susunan pangkat serta jabatan sesuai dengan hak dan kewajibannya merupakan pembaruan sistem pemerintahan yang baik, berarti menyangkut orang-orang dalam suatu birokrasi. Dalam hal ini para abdi dalem harus jelas wewenang, tanggungjawab, hak dan kewajiban serta tugas pekerjaannya.

1

Yesy Wahyuning Tyas, Serat Wulangreh: Sebuah Analisis”, Skripsi (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2009), hlm. 11.

66 commit to user

Abdi dalem adalah pelaksana jalannya pemerintahan maupun rumah tangga keraton. Dengan bekal ketrampilan profesional dan ketrampilan artistik yang dimiliki, roda pemerintahan keraton dijalankan. Setiap abdi dalem mempunyai tugas sendiri-sendiri sesuai keterampilan yang dimilikinya. Salah satunya ialah abdi dalem Harya Leka yang bertugas sebagai ahli petang dan pentarikh. Hal ini berdasarkan Serat Wadu Aji: Harya Leka: Wadana Pananggalan, inggih punika ingkang kapitadosan anglurahi para wadya ali etanging palaksanan pananggalan, ing sapanunggalanipun.2 Dapat diartikan bahwa abdi dalem Harya Leka adalah abdi dalem yang mendapat kepercayaan memimpin para abdi yang ahli hitungan falak (ilmu perbintangan) tanggalan dan sejenisnya.

Tradisi lokal masyarakat Jawa yang menonjol adalah karya di bidang pentarikhan. Pentarikhan tersebut ditulis dalam bentuk Sengkalan3 dengan menggunakan tahun Saka. Tahun Saka (Surya Sengkala) berakhir pada tahun 1633, ketika Sultan Agung menciptakan masa baru dengan menggunakan tahun Jawa (Tahun Bulan), yaitu campuran antara tahun Saka (Tahun Matahari) dengan tahun Arab/Hijriah (Tahun Bulan). Maka pentarikhan itu disebut Candrasengkala yang menggambarkan masa lampau Jawa dalam bentuk kronik.4 Tindak lanjut dari sistem pentarikhan tersebut menumbuhkan nama-nama tahun Jawa, yaitu

2

Serat Wadu Aji, No. 226 Na, Sasanapustaka Kasunanan Surakarta. 3

Sengkalan adalah penulisan angka tahun yang disusun dalam bentuk kalimat yang tersusun baik untuk menandai peristiwa-peristiwa penting.commit to user

Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jumakir. Untuk lebih jelasnya lihat dalam tabel di bawah ini:

Tabel. 2

Tabel Nama Tahun Jawa dan Umurnya

Tahun Nama Tahun Jawa Umur Keterangan

1. Alip 354 Hari Tahun Wastu

2. Ehe 355 Hari Tahun Wuntu

3. Jimawal 354 Hari Tahun Wastu

4. Je 355 Hari Tahun Wuntu

5. Dal 354 Hari Tahun Wastu

6. Be 354 Hari Tahun Wastu

7. Wawu 354 Hari Tahun Wastu

8. Jimakir 355 Hari Tahun Wuntu

Sumber: Majalah Jaya Baya, “Petung Jawa” edisi 21 Juli 1991.

Tabel di atas menjelaskan tentang tahun-tahun Jawa, seperti: tahun Alip, Ehe, Je, Dal, Be, Wawu, Jimawal dan Jimakir. Satu tahun Jawa berumur 354 hari. Tahun ini disebut tahun wastu (pendek), sedangkan tahun panjang berumur 355 hari. Setiap delapan tahun sekali disebut satu Windu. Tiap tahun dan windu itu menurut pengertian Jawa memiliki sifat dan watak sendiri, termasuk hari dan pasaran.

Tarikh Jawa mulai berlaku sejak tahun 1633 Masehi, tepatnya pada hari Jumat Legi tahun Alip, dengan angka tahun Saka 1555. Pada saat itu, tahun baru tarikh Saka bertepatan dengan tahun baru Hijriyah 1 Muharram 1043. Kesempatan itu dimanfaatkan Sultan Agung di Mataram untuk mengganti sistem

4

Radjiman, Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat, (Surakarta: Toko Buku Krida, 1984), hlm. 13.

kalender yang telah ada, yakni kalender Saka (berdasarkan perhitungan matahari) diubah menjadi kalender Jawa (berdasarkan perhitungan bulan). Pada awalnya tarikh yang dipakai di Mataram adalah tarikh Saka, dengan berdasarkan perhitungan matahari. Dalam hal ini, Sultan Agung ingin menyesuaikan kalender dengan tarikh Hijriyah agar sesuai dengan agama resmi yang dianut pihak keraton yaitu agama Islam. Maka ditetapkanlah tarikh Jawa yang berdasarkan perhitungan bulan, sedangkan angka tahunnya meneruskan angka tahun Saka dan dimulai tanggal 1 Sura tahun Alip 1555. Dalam pentarikhan Jawa ini, abdi dalem Harya Leka hanya melanjutkan apa yang telah ditetapkan oleh Sultan Agung.5

Para abdi dalem Harya Leka memperhitungkan adanya tahun panjang dalam kabisat (Tahun Wuntu). Dalam satu windu (8 tahun) terdapat 3 tahun panjang. Dalam tarikh Jawa tahun kabisat (wuntu) terletak pada tahun ke-2 (Ehe), tahun ke-4 (Je), dan tahun ke-8 (Jimakhir). Dengan adanya tahun kabisat yang terletak pada tahun ke-8 (Jimakir), maka siklus atau daur tahun kabisat yang di dalam tarikh Hijriyah berlangsung selama 30 tahun, di dalam tarikh Jawa menjadi 32 tahun atau 4 windu. Jadi tiap 32 tahun kembali perhitungannya seperti semula. Keempat windu dalam 32 tahun ini masing-masing mempunyai nama sendiri-sendiri, yaitu:6

1. Windu pertama disebut windu Adi. 2. Windu kedua disebut windu Kuthara. 3. Windu ketiga disebut windu Sangara. 4. Windu keempat disebut windu Sancaya.

5

Majalah Sasmita “Riwayat Kalender Jawa” edisi Januari 2008. 6

Pemberian nama tahun dan nama windu itu erat kaitannya dengan petangan yang masih berlaku dan dipakai oleh masyarakat Jawa. Petangan adalah perhitungan berdasarkan sifat atau baik buruknya hari, bulan, tahun, dan windu dikaitkan dengan tujuan atau rencana kerja tertentu untuk memperoleh keyakinan bahwa rencana itu akan terlaksana dengan baik. Penanggalan Jawa memiliki kelebihan tersendiri, misalnya, pada hari kelahiran yang berdasarkan tumbuk kecil dan tumbuk besar. Pada tumbuk kecil terjadi setiap windu (8 tahun), tumbuk besar terjadi setiap 4 windu (32 tahun). Pada tumbuk kecil hari pancawara, hari saptawara, tanggal, bulan, dan tahun Jawa sama dengan saat peristiwa itu terjadi. Kemudian untuk tumbuk besar, tanggal, bulan dan tahun sama, kecuali hari. Hal ini diperkirakan oleh para abdi dalem Harya Leka bahwa jarang orang yang dapat memperingati tumbuk besar kelahirannya sampai tiga kali.7

1. Petungan Jawi

Kalender adalah penanggalan yang memuat nama-nama bulan, hari, tanggal, dan hari-hari keagamaan seperti yang terdapat pada kalender Masehi. Kalender Jawa memiliki arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk hari tanggal dan hari libur atau hari keagamaan, tetapi menjadi dasar dalam Petangan Jawi, yaitu perhitungan baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak suatu hari, tanggal, bulan, tahun, pranata mangsa, wuku, dan lain-lain.8 Semua itu warisan asli leluhur Jawa yang dilestarikan dalam kebijaksanaan Sultan Agung

7

Wawancara dengan K.P. Winarno Kusumo tanggal 9 Agustus 2012. 8

Purwadi, Petungan Jawa, (Kediri: Tan Khoen Swie, tanpa tahun), hlm. 23.

dalam kalendernya dan dilanjutkan oleh para abdi dalem Harya Leka di Keraton Kasunanan Surakarta.

Sebelum ada perhitungan tahun Jawa atau kalender Jawa, masyarakat Jawa menggunakan Kalender Saka. Kalender ini memakai sistem Surya Pramana (Solar Sistem) atau Syamsiyah dengan dasar peredaran bumi mengitari matahari dan menggunakan tahun Hijriyah dengan dasar hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah.

Pada saat Sultan Agung menciptakan tahun Jawa, tahun Saka berjalan sampai akhir tahun 1554 kemudian diteruskan dengan angka tahun 1555 sebagai awal tahun Jawa. Tatacara penanggalan Jawa menggunakan dasar Lunar Sistem, yaitu perjalanan bulan mengintari bumi seperti kalender Hijriyah, sedangkan tahun Saka menggunakan dasar Solar Sistem. Sultan Agung menetapkan dimulainya penggunaan Kalender Jawa pada hari Jumat Legi tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 bertepatan dengan tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriyah, dan tepat pada tanggal 8 Juli 1633 Masehi.9

Para abdi dalem Harya Leka dalam petungan Jawa menggunakan dasar perhitungan dan kalender yang diciptakan oleh Sultan Agung. Beberapa hari juga perlu ditambahkan untuk menentukan petungan dan penamaan bulan Jawa.10 Abdi dalem Harya Leka sangat berhati-hati dalam penentuan petangan ini, karena berawal dari petangan ini masyarakat keraton Surakarta nantinya akan

9

Majalah Sasmita, loc.cit. 10

Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan kalender Hijriyah dan kalender Jawa lihat Riwayat Kalender Jawa dalam Majalah Sasmita, edisi Januari 2008. (terlampir).

menggunakan kalender Jawa untuk menentukan upacara tradisi Keraton pada khususnya dan tradisi masyarakat luas pada umumnya.

Petungan Jawa masih digunakan dalam masyarakat luas, diantaranya: a. Tahun Jawa, tahun ini mempunyai sifat dan petungan kejawen yang mana

petungan windu dan wuku tidak ada dalam petungan lainnya. Dalam tahun jawa ini ada yang menggunakan Pancawara (pon, wage, kliwon, legi, pahing) dan Saptawara (ahad, senin, selasa, rabu, kamis, jumat, sabtu). Di Surakarta sendiri, nama-nama Pancawara digunakan untuk penggunaan nama pasar. Misalnya pasar pon, pasar legi, pasar kliwon.

b. Bulan Jawa, terdiri dari 12 bulan yaitu Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Syawal, Dulkangidah, Besar. Umur bulan Jawa ada 2 golongan yaitu bulan-bulan ganjil umurnya 30 hari dan bulan-bulan genap umurnya 29 hari, kecuali pada bulan Besar umurnya 30 hari.

c. Tahun Wastu dan Tahun Wuntu, karena perputaran bulan 29 hari lebih sedikit maka 1 tahun itu umurnya 354 hari, lama-lama hal ini tidak cocok. Dalam hal ini, maka oleh Sultan Agung diadakan tahun Wuntu yang umurnya 355 hari. Untuk menentukan kapan adanya tahun kabisat (Wuntu) itu, abdi dalem Harya Leka menggunakan paugeran windu yang mana 1 windu itu ada 8 tahun.

Dasar perhitungan tahun Jawa dimulai pada tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 yang jatuh pada hari Jumat Legi. Tahun Jawa ini menggunakan dasar perhitungan Windu, yaitu 5 tahun Wastu (Alip, Jimawal, Dal, Be, Wawu) dan 3

tahun Wuntu (Ehe, Je, Jimakir). Dalam kurun waktu 8 tahun kemudian tanggal 1 Sura tahun Alip 1563 akan jatuh pada hari Jumat Legi juga. Ini yang dinamakan kurup Jamngiyah atau Awahgi. Kurup Jamngiyah ini umurnya sampai 15 windu atau 120 tahun. Sesudah 120 tahun perhitungannya selisih satu hari dengan perhitungan bulan. Maka, terdapat perubahan kurup berdasarkan garis edar bulan. Oleh karenanya diadakan perubahan kurup yang perhitungannya menjadi maju satu hari dan disebut kurup Kamsiyah (Amiswon). Setiap 120 tahun kurup tersebut maju sehari, kecuali untuk kurup Kamsiyah umurnya hanya 72 tahun (9 windu).11 Untuk lebih jelasnya lihat dalam tabel berikut.

Tabel. 3

Pergantian kurup dalam tahun Jawa

Tahun Jawa Umur tahun kurup

Jatuhnya hari Tanggal 1 Sura

tahun Alip

1555-1674 120 tahun Jamngiyah Jumat Legi

1675-1746 72 tahun Kamsiyah Kamis Kliwon

1747-1866 120 tahun Arbangiyah Rabu Wage

1867-1986 120 tahun Salasiyah Selasa Pon

1987-2106 120 tahun Isnaniyah Senin Paing Sumber: Majalah Jaya Baya, “Petung Jawa” edisi 21 Juli 1991.

Pada kalender Jawa terdapat 3 tahun kabisat dalam satu windu (8 tahun), sedangkan kalender Hijriyah dalam 30 tahun mempunyai 11 tahun kabisat. Sehingga selama 120 tahun di tahun Jawa terdapat 45 tahun kabisat, sementara dalam kalender Hijriyah terdapat 44 tahun kabisat. Selisih tahun kabisat ini mengakibatkan selisih satu hari dalam kurun waktu 120 tahun. Maka kalender

11

Majalah Djaka Lodang “ Tahun Jawa”, No. 931 edisi Juli 1990. commit to user

Jawa menyesuaikannya dengan mengurangi umur 1 hari pada tahun terakhir dari siklus 120-an, sebagai tahun wuntu (tahun panjang).12 Penyesuaian antara kalender Jawa dan Kalender Hijriyah dimaksudkan agar peringatan hari raya Islam yang dirayakan oleh keraton Mataram dengan upacara garebeg (Maulud Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha) dapat bertepatan dengan ketentuan dalam kalender Hijriyah.

2. Pranata Mangsa

Pranata mangsa (bahasa Jawa, berarti "penentuan musim") adalah penanggalan yang berkaitan dengan musim menurut pemahaman suku Jawa, khususnya dari kalangan petani dan nelayan. Pranata Mangsa berasal dari dua kata, yaitu Pranata yang berarti aturan, dan Mangsa yang berarti musim atau waktu. Jadi Pranata Mangsa adalah aturan waktu yang digunakan oleh para petani sebagai penentuan untuk memulai mengerjakan suatu pekerjaan. Pranata Mangsa baru diadakan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana VII, yaitu tepatnya tanggal 22 Juni1855 Masehi.13

Perhitungan musim ini didasarkan pada pengalaman-pengalaman kaum tani di Jawa sebelum masa Pakubuwana VII, yang berpatokan kepada gejala alam misalnya musim penghujan dan musim kemarau. Masyarakat sejak pemerintahan Pakubuwana VII telah mengenal dan menggunakan Pranata Mangsa sebagai

12

Jumlah hari dalam 1 tahun 354 hari 8 jam 48,5 menit, sedangkan dalam 1 tahun terdapat 12 bulan. Masing-masing bulan memiliki umur 29 hari 12 jam 44 menit 2,5 detik. Dalam 1 tahun tersebut terdapat kelebihan 8 jam 48,5 menit (Kalender Hijriyah). Jadi Sultan Agung menggenapkan perhitungan tersebut menjadi 1 hari, sehingga selisih 1 hari.

13

Majalah Jaya Baya, loc.cit.

acuan menetapkan waktu yang tepat untuk melaksanakan aktivitasnya. Sistem kalender ini digunakan untuk mengetahui pergantian musim (penghujan dan kemarau) yang disesuaikan dengan masyarakat agraris.

Tugas abdi dalem Harya Leka dalam pranata mangsa (penentuan musim) sangat membantu bagi para petani. Perhitungan pranata mangsa ini menggunakan sistem peredaran bumi mengelilingi matahari (syamsiyah). Oleh karena itu Pranata Mangsa juga mengenal tahun kabisat dan basithah yang dikenal dengan sebutan wastu dan wuntu. Dengan berpegangan pada pranata mangsa, para petani bisa mengerti sifat dan keadaan di setiap musim. Tujuannya agar bisa menentukan kapan waktu yang tepat untuk menanam supaya hasil panen bagus. Selain itu, pranata mangsa pun merupakan perhitungan yang membawakan watak atau pengaruh kepada kehidupan manusia seperti halnya perhitungan-perhitungan Jawa lainnya. Dalam 1 tahun (tahun Masehi) terdapat 12 musim yang masing-masing mempunyai sifat dan keadaan yang berbeda-beda:

Tabel. 4

Mangsa (Musim) dan Umurnya:

No. Mangsa Umur Tahun

Wastu (basitah)

Umur Tahun Wuntu (kabisat)

1. Kasa (Kartika): 22 Juni -1 Agustus 41 Hari 41 Hari

2. Karo (Pusa): 2 Agustus -24 Agustus 23 Hari 23 Hari

3. Katiga (Manggasri): 25 Agustus -17 September 24 Hari 24 Hari

4. Kapat (Sitra): 18 September-12 Oktober 25 Hari 25 Hari

5. Kalima (Manggala): 13 Oktober -8 November 27 Hari 27 Hari

6. Kanem (Naya): 9 November- 21Desember 43 Hari 43 Hari

7. Kapitu (Palguna): 22 Desember- 2 Februari 43 Hari 43 Hari

8. Kawolu (Wisaka): 3 Februari- 28 Februari 26 Hari 27 Hari

9. Kasanga (Jita): 1 Maret- 25 Maret 25 Hari 25 Hari

10. Kasapuluh (Srawana): 26 maret- 18 April 24 Hari 24 Hari

11. Dhesta (Padrawana): 19 April- 11 Mei 23 Hari 23 Hari

12. Sadha (Asuji): 12 Mei- 21 Juni 41 Hari 41 Hari

365 366

Selama 1 tahun terdapat 12 musim yang masing-masing mempunyai watak sebagai berikut:14

1. Mangsa Kasa (22 Juni -1 Agustus): candra/cirinya sotya murca saking embanan (mutiara lepas dari cangkangnya). Watak dimusim ini menggambarkan keadaan; dedaunan rontok, kayu-kayu patah, belalang dan jangkrik bertelur, petani mulai menanam palawija.

2. Mangsa Karo (2 Agustus - 24 Agustus): candra/cirinya bantala rengka (tanah retak). Watak dimusim ini menggambarkan keadaan; tanah retak, cuaca panas, tanaman palawija mulai disirami, pohon randhu mulai bersemi.

3. Mangsa Katiga (25 Agustus - 17 September): candra/cirinya suta manut ing bapa (anak menurut kepada bapak). Watak dimusim ini menggambarkan keadaan; pohon gembili dan gadung mulai berbuah, kunir, jahe, temulawak mulai tumbuh, palawija mulai dipanen.

4. Mangsa Kapat (18 September - 12 Oktober): candra/cirinya waspa

kumembeng jroning kalbu (bersedih hati). Watak dimusim ini

menggambarkan keadaan; kekeringan, banyak air mata tetapi tidak menetes, pohon randu berbuah, burung manyar membuat sarang, cuaca pancaroba. 5. Mangsa Kalima (13 Oktober - 8 November): candra/cirinya pancuran emas

sumawur ing jagad (musim penghujan). Watak dimusim ini menggambarkan keadaan; mulai ada gerimis (mangsa labuh), para petani mulai menggarap sawah, pohon rempah-rempah sudah mulai tumbuh daunnya.

14

Serat Pranata Mangsa, No. I.30, Reksapustaka Mangkunegaran. commit to user

6. Mangsa Kanem (9 November - 21 Desember): candra/cirinya rasa mulya

kasucian (berbuat baik). Watak dimusim ini menggambarkan keadaan;

musim buah-buahan, keong di sawah mulai muncul, para petani mulai mengerjakan sawah.

7. Mangsa Kapitu (22 Desember - 2 Februari): candra/cirinya wisa kentar ing maruta (bertiupnya angin mengandung bisa, musim timbulnya penyakit). Watak dimusim ini menggambarkan keadaan; musim penyakit, cuacanya tidak menentu karena pergantian musim, mulai ada sungai yang banjir, para petani mulai menanam padi di sawah.

8. Mangsa Kawolu (3 Februari - 28/29 Februari): candra/cirinya anjrah jroning kayun (menentramkan hati). Watak dimusim ini menggambarkan keadaan; musim kawin (hewan), tanaman padi sudah mulai menghijau.

9. Mangsa Kasanga (1 Maret - 25 Maret): candra/cirinya wedharing wacana mulya (tersiar kabar gembira). Watak dimusim ini menggambarkan keadaan; jangkrik, gangsir, dan garengpung mulai bersuara, tanaman padi mulai menguning.

10. Mangsa Kadasa (26 Maret - 18 April): candra/cirinya gedhong minep jroning kalbu (pintu gerbang tertutup dalam hati). Watak dimusim ini menggambarkan keadaan; musimnya hewan pada hamil, burung mulai bertelor, padi yang menguning sudah mulai dipanen.

11. Mangsa Dhesta (19 April - 11 Mei): candra/cirinya sotya sinarawedi. Watak dimusim ini menggambarkan keadaan; anak burung mulai menetas dan diberi makan.

12. Mangsa Sadha (12 Mei – 21 Juni): candra/cirinya tirta sah saking sasana. Watak dimusim ini menggambarkan keadaan; tidak ada orang berkeringat karena musim dingin, cuacanya dingin, kacang kedelai mulai ditanam.15

Dari 12 musim yang berhubungan dengan pertanian di atas masing-masing digunakan oleh para petani untuk melakukan aktivitas pertanian, pada bulan Juni dan Agustus (mangsa kasa) para petani membakar jerami yang masih tersisa di sawah, menggarap tanah dan menanam palawija. Pada mangsa karo palawija mulai tumbuh. Mangsa katiga, Palawija bisa dipanen pada saat musim kemarau datang, ketika tanah menjadi sangat kering. Mangsa kapat, petani mulai mengerjakan tanah untuk ditanami padi karena pada mangsa kalima mulai ada hujan. Mangsa kalima, pada saat musim hujan datang, para petani menggarap pengairan dan membuat pematang. Mangsa kanem mulai membajak sawah dan menyebar benih di sawah, kemudian pada mangsa kapitu bibit mulai di tanam karena pada mangsa ini banyak hujan. Mangsa kawolu padi mulai kelihatan hijau, mangsa kasanga padi mulai berbunga, mangsa kasepuluh padi mulai menguning, dan padi siap dipanen pada mangsa dhesta. Pada mangsa sadha hari-hari sangat panas, hal ini dimanfaatkan para petani untuk menjemur padi dan memasukkannya ke lumbung.16

Pranata mangsa tidak menggunakan dasar penanggalan Jawa (berdasarkan perhitungan bulan) karena kalender ini digunakan untuk menentukan musim kemarau dan penghujan. Oleh karena itu perhitungan pranata mangsa ini

15

LihatMajalah Jaya Baya, “Petung Jawa” edisi 21/7/1991. (terlampir).

16

Darsiti Suratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000), hlm. 302.

menggunakan sistem peredaran bumi mengelilingi matahari (Masehi). Akan tetapi watak bawaan suatu musim digambarkan sesuai keadaan alam masyarakat agraris (khususnya masyarakat Jawa).

3. Petungan Pawukon

Pawukon berasal dari kata wuku, jumlah wuku ada 30 buah dengan nama masing-masing, dari yang ke-1 Wuku Sinta hingga terakhir Wuku Watugunung. Tiap wuku berumur 7 hari sehingga siklus berumur 30x7 hari= 210 hari. Wuku pertama (Sinta) mulai hari Minggu Pahing sampai dengan Sabtu Pon. Wuku ke 30 atau terakhir (Watugunung) mulai hari Minggu Kliwon sampai dengan Sabtu Legi. Untuk lebih jelasnya lihat dalam uraian tabel berikut:

Tabel. 5

Peredaran Wuku dalam Satu Minggu: Minggu Pahing hingga Sabtu Pon Minggu Wage hingga Sabtu Kliwon Minggu Legi hingga Sabtu Pahing Minggu Pon hingga Sabtu Wage Minggu Kliwon hingga Sabtu Legi 1. Sinta 6. Gumbreg 11. Galungan 16. Pahang 21. maktal 26. Wugu 2. Landep 7. Waringit 12. Kuningan 17. Karuwelut 22. Wuyu 27. Wayang 3. Wukir 8. Warigagung 13. Langkir 18. Marakeh 23. Manahil 28. Kulawu 4. Kurantil 9. Julungwangi 14. Mandasia 19. Tambir 24. Parangbakat 29. Dukut 5. Tolu 10. Sungsang 15. Julungpujud 20. Mendangkungan 25. Bala 30. Watugunung Sumber: Purwadi, Petangan Jawa, (Kediri: Tan Khoen Swie, tanpa tahun), hlm. 68.

Pawukon dipercaya sebagai penggambaran watak bawaan atau pengaruhnya kepada kehidupan manusia dan kesesuaiannya dengan alam.17 Penggambaran watak wuku berupa lambang-lambang dewa, air, daun, dan burung.18 Berikut ini adalah contoh penggambaran watak Wuku Sinta (Wuku ke-1), dan Wuku Watugunung (Wuku ke-30):

17

Purwadi, loc.cit. 18

Serat Pawukon, No. 648 Ha, Sasanapustaka Kasunanan Surakarta. commit to user

Gambar. 1 Wuku Sinta

Sumber: Herjaka H.S, Pawukon, 1997.

Ciri-ciri Wuku Sinta adalah sebagai berikut :

a. Dewa yang menaungi wuku Sinta adalah dewa Batara Yamadipati (dewa pencabut nyawa).

b. Pohonnya adalah pohon gendayakan yang berarti menjadi tempat perlindungan bagi orang sengsara dan orang melarikan diri.

c. Burungnya adalah burung Gagak yang menandakan tajam firasatnya, dapat mengetahui wangsit atau kejadian penting yang masih tersembunyi tetapi bakal terjadi, cepat menyelesaikan segala pekerjaan.

d. Gedong atau rumahnya berada di depan artinya senang memperlihatkan kekayaannya.

e. Membawa panji-panji (bendera), sebagai tanda bahwa yang bersangkutan akan mendapatkan kemuliaan.

f. Kakinya masuk di dalam air, artinya perintahnya tegas di awal, namun pada akhirnya melunak.

Penggambaran watak wuku Sinta, yaitu:

1. Kelebihan watak wuku Sinta adalah suka berprihatin 2. Kelemahan watak wuku ini yaitu sedikit angkuh.

3. Bencana wuku ini adalah kemalangan yang terjadi pada usia separo-baya, kira-kira umur 40 tahun sampai dengan 50 tahun.

Cara mencegah agar terhindar dari celaka perlu mengupayakan selamatan, berupa: beras sapitrah atau 3,5 kg dimasak dengan lauk rendang kerbau. Setelah nasi dan lauknya masak, yang bersangkutan bersama keluarga membaca doa penolak mara-bahaya. Selesai doa, nasi dan lauknya dibagi-bagikan kepada keluarga dan sanak saudara. Selama 7 hari dihitung dari waktu slametan, yang bersangkutan tidak diperkenankan pergi dari rumah ke arah timur laut.

Gambar. 2 Wuku Watugunung

Sumber: Herjaka H.S, Pawukon, 1997.

Ciri-ciri Wuku Watugunung adalah sebagai berikut:

a) Dewa yang menaungi wuku Watugunung adalah Batara Antaboga dan

b) Gambar Candhi di depan yakni menggambarkan sifat senang bersemedi, meditasi seperti pandhita, selalu prihatin.

c) Pohonnya adalah pohon Wijayakusuma. Artinya bagus parasnya, tetapi tidak senang keramaian (bergaul dengan orang banyak).

d) Burungnya adalah burung Gogik yang berarti dengki, tidak suka keramaian.

Penggambaran watak wuku Watugunung, yaitu:

1) Kelebihan watak wuku Watugunung adalah teliti, hati-hati, mempunyai cita-cita tinggi, romantis.

2) Kelemahan watak wuku ini yaitu pencemburu, dan mudah tersinggung. 3) Bencana wuku ini adalah karena penganiayaan atau dianiaya.

Untuk mencegah agar terhindar dari celaka perlu mengupayakan slametan. Caranya adalah membuat tumpeng dari nasi yang dimasak dengan cara di-dang (memakai kukusan). Banyaknya beras yang dimasak adalah sapitrah atau 3,5 kg. Lauknya ikan air tawar dan daging jenis burung, buah-buahan, jadah, macam-macam bubur, serta sayur 9 macam-macam. Kemudian dalam slametan disertai doa agar terhindar dari celaka. Selain itu, selama 7 hari setelah slametan, yang bersangkutan tidak boleh pergi ke arah Timur, karena tempat bersemayamnya bencana yang digambarkan sebagai Batara Kala berada di Timur

B. Peranan Abdi dalem Harya Leka di Keraton Kasunanan