• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak terlepas dari kegiatan belajar. Istilah belajar didefinisikan secara beragam oleh para ahli. Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan perubahan pada diri seseorang sebagai hasil belajar yang ditunjukkan dalam bentuk perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap, keterampilan, kecakapan, kebiasaan serta aspek-aspek lain yang mengalami perubahan (Sudjana, dalam Jihad & Haris, 2008: 2). Serupa dengan pendapat di atas, Belajar dapat diartikan sebagai suatu aktivitas yang dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh konsep, pemahaman, atau pengetahuan baru yang memungkinkan perubahan perilaku yang relatif tetap dalam berpikir, merasa, dan bertindak (Susanto, 2013: 4).

Piaget mengatakan bahwa dengan adanya banyak pengalaman yang dimiliki oleh siswa semakin mengembangkan pemikiran dan pengetahuannya. Pengetahuan tersebut dibentuk sendiri oleh siswa melalui objek yang sedang dipelajari melalui kegiatan belajar. Proses belajar seharusnya dapat membantu siswa untuk aktif mengonstruksikan pengetahuannya (Piaget, dalam Suparno, 2001: 106-141). Kegiatan belajar sebaiknya mendorong siswa aktif untuk memperoleh pengalaman, mencari informasi, mengatur, dan mengorganisasikan Uraian dalam bab ini terdiri dari kajian pustaka, penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir.

.1. Kajian Pustaka

Uraian dalam subbab ini terdiri dari beberapa teori pendukung penelitian. Peneliti membahas beberapa hal diantaranya adalah belajar dan pembelajaran, pembelajaran IPA, pendekatan saintifik, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan materi sifat-sifat bunyi.

.1.1. Belajar dan Pembelajaran

Subbab ini menguraikan mengenai belajar dan pembelajaran. Berikut adalah uraian dari subbab tersebut.

informasi yang telah diketahui untuk mencapai suatu pengalaman yang baru (Dwijandono, 2006: 151).

Belajar tidak hanya berkaitan dengan proses, namun juga berkaitan dengan hasil. Hasil belajar dikelompokkan menjadi 3 aspek, yaitu pemahaman konsep (aspek kognitif), sikap siswa (aspek afektif), dan keterampilan proses (aspek psikomotorik) (Susanto, 2013: 5). Hasil akhir dalam kegiatan belajar adalah kemampuan siswa yang tinggi. Oleh karena itu, belajar perlu dipahami sebagai suatu kegiatan yang membantu siswa secara optimal untuk memperoleh kemajuan dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang sesuai dengan tahap perkembangannya (Suyono & Hariyanto, 2011: 18).

Pembelajaran berasal dari kata “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui atau diturut, sedangkan “pembelajaran”

berarti proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar (Tim Redaksi Kamus Besar Indonesia Pusat Bahasa, 2008: 23). Pengertian pembelajaran juga didefinisikan oleh beberapa ahli. Gagne mengatakan bahwa pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang membantu memudahkan seseorang dalam belajar, sehingga terjadi belajar yang optimal (Kurniawan, 2014: 27). Selain itu, Winkel berpendapat bahwa pembelajaran adalah pengaturan kondisi di luar siswa yang dapat mendukung proses belajar siswa (Winkel, dalam Siregar & Nara, 2011: 12). Pembelajaran juga dapat diartikan sebagai proses untuk membantu siswa agar dapat belajar dengan baik (Susanto, 2013: 19).

Pembelajaran mengandung ciri-ciri. Ciri-ciri pembelajaran dikemukakan oleh Kustandi dan Sutjipto (2011: 5-6) menjelaskan bahwa terdapat lima ciri dalam pembelajaran, yaitu (1) siswa merupakan individu yang dapat berkembang Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang dilakukan dengan sadar untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan kebiasaan yang dilakukan relatif tetap karena adanya pengalaman. Pengalaman belajar akan menjadi bermakna apabila melibatkan siswa dalam berbagai kegiatan atau percobaan. Karena itu, dalam penelitian ini, peneliti mengembangkan LKS sebagai alat belajar siswa yang memuat berbagai kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa secara aktif. .1.1.2. Pembelajaran

apabila disediakan kondisi yang menunjang, (2) menekankan pada aktivitas siswa, (3) merupakan upaya sadar dan disengaja, (4) bukan kegiatan insidental tanpa persiapan, dan (5) pemberian bantuan yang memungkinkan siswa untuk belajar. Selain memuat ciri-ciri tersebut, pembelajaran juga harus memperhatikan sarana belajar. Pendekatan konstruktivistika, siswa menggunakan bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya untuk membangun pengetahuannya sendiri.

Lingkungan belajar sangat mendukung dalam memunculkan pandangan dan aktivitas sehingga dapat membangun usaha belajar konstruktivistik (Siregar & Nara, 2011: 41). Ciri-ciri lingkungan belajar yang konstruktif juga dikemukakan oleh Hujono (dalam Trianto, 2009: 19) sebagai berikut (1) menyediakan pengalaman belajar yang menghubungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga terjadi pembentukan pengetahuan, (2) menyediakan alternatif pengalaman belajar, (3) melibatkan pengalaman konkret, (4) menimbulkan interaksi dan kerjasama antar siswa, (5) memanfaatkan berbagai media agar lebih menarik, dan (6) melibatkan siswa secara sosial emosional.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses yang dipersiapkan untuk mendukung siswa dalam belajar agar dapat belajar secara optimal. Dalam pembelajaran, lingkungan belajar menjadi hal yang penting guna membantu siswa mencari informasi mengenai kegiatan atau percobaan yang sedang dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini menghasilkan suatu produk berupa LKS yang membantu siswa dalam menyelesaikan suatu tugas dari guru dan LKS tersebut dapat dibawa kemana-kemana. Selain itu, lingkungan juga memperkuat pemahaman siswa secara nyata tentang hal yang belum diketahui siswa sebelumnya.

IPA merupakan singkatan dari Ilmu Pengetahuan Alam, terjemahan dari Natural Science atau Sciences. Science (sains) artinya ilmu pengetahuan (Iskandar, 1997: 2). Sebagai sekumpulan pengetahuan, sains merupakan susunan sistematis hasil temuan yang dilakukan para ilmuwan. Hasil temuan tersebut .1.2. Pembelajaran IPA di SD

berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, teori maupun model ke dalam kumpulan pengetahuan sesuai dengan bidang kajiannya, misalnya biologi, kimia, fisika, dan sebagainya (Fatonah, 2014: 6). IPA tidak hanya merupakan kumpulan pengetahuan tentang benda atau makhluk hidup, tetapi memerlukan kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah (Winaputra, dalam Samatowa, 2011: 3).

IPA merupakan rumpun ilmu yang memiliki karakteristik khusus yaitu mempelajari fenomena alam yang faktual (factual), baik berupa kenyataan (reality) atau kejadian (events) dan hubungan sebab-akibatnya (Wisudawati, 2014: 22). Ada dua hal berkaitan yang tidak terpisahkan dengan IPA, yaitu IPA sebagai produk, pengetahuan IPA yang berupa pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakogitif, dan IPA sebagai proses, yaitu kerja ilmiah. Serupa dengan pendapat Wisudawati, Sains merupakan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk menguasai pengetahuan, fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan, dan memiliki sikap ilmiah (Sumanto, dalam Putra, 2013: 40).

Ketika memecahkan suatu masalah seorang ilmuwan sering berusaha mengambil sikap tertentu yang memungkinkan usahanya mencapai hasil yang diharapkan. Sikap itu dikenal dengan nama sikap ilmiah. Ciri-ciri sikap ilmiah itu, antara lain (1) objektif terhadap fakta, objektif artinya tidak dicampuri oleh perasaan senang atau tidak senang terhadap sesuatu. Jika fakta menunjukkan bahwa sesuatu itu hitam, maka ia harus mengatakan itu hitam, meskipun menurut pendapatnya seharusnya itu putih; (2) tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, bila belum cukup data yang menyokong kesimpulan itu. Dalam mengambil keputusan harus dilakukan secara hati-hati dan harus dipikir secara matang; (3) berhati terbuka, artinya bersedia mempertimbangkan pendapat atau penemuan orang lain, sekalipun pendapat atau penemuannya itu bertentangan dengan penemuannya sendiri. Bila cukup data menunjukkan bahwa penemuannya sendiri salah, ia tidak ragu-ragu menolak penemuannya sendiri dan menerima Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa IPA atau Sains adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang gejala alam termasuk makhluk hidup.

penemuan orang lain; (4) tidak mencampur adukkan fakta dengan pendapat; (5) bersifat hati-hati; (6) ingin menyelidiki (Iskandar, 1997:10).

Dalam prosesnya, terdapat 4 unsur utama dalam IPA, yaitu IPA sebagai sikap, proses, produk, aplikasi (Parmin, 2013: 13). Pertama, IPA sebagai sikap. IPA memunculkan rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar (IPA bersifat open ended). Apabila rasa ingin tahu tersalurkan, maka sikap butuh belajar akan menjadikan dorongan dari dalam diri untuk bisa dan bekerja keras;

Kedua, IPA sebagai proses. Prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah, metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran dan penarikan kesimpulan. Kekuatan dan keterbatasan kerja ilmiah ada pada panca indera. Kelainan pada alat indera dan ketidaktelitian pada saat pengamatan menjadi perhatian guru yang sedang membimbing kerja ilmiah;

Ketiga, IPA sebagai produk. IPA menghasilkan produk berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. Belajar dengan berbuat, itu yang sangat diharapkan peserta didik. Karya sederhana apabila dihargai oleh guru, misalnya dengan memajang produk di ruang kelas akan menjadi dorongan untuk menghasilkan karya-karya berikutnya.

Keempat, IPA sebagai aplikasi. Penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari. Seberapa manfaat yang dirasakan pesera didik dari konsep yang telah dipelajari, itu yang menciptakan dorongan untuk melanjutkan belajar.

Dalam proses pembelajaran IPA keempat unsur itu diharapkan dapat muncul, sehingga peserta didik dapat mengalami proses pembelajaran secara utuh Dalam pengajaran IPA untuk sekolah dasar struktur kognitif anak tidak dapat dibandingkan dengan struktur kognitif ilmuwan. Mereka perlu diberi kesempatan untuk berlatih berpikir dan memiliki sikap ilmiah, maka pengajaran IPA dan keterampilan proses IPA untuk mereka hendaknya dimodifikasi sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya.

IPA menyediakan berbagai pengalaman untuk memahami konsep dan proses. Paling disukai oleh peserta didik dengan karakter yang berbeda-beda ketika belajar menyelesaikan suatu masalah. Cara belajar dapat disalurkan dari berbagai gaya yang berbeda. Berikut empat tujuan pembelajaran IPA bagi peserta didik (Parmin, 2013: 11).

Tujuan pertama yaitu membentuk sikap positif terhadap IPA dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Kedua yaitu memupuk sikap jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis, dan dapat bekerja sama dengan orang lain. Sikap ini bisa muncul apabila guru memfasilitas melalui suatu kerja ilmiah. Bersikap jujur sesuai hasil yang diperoleh, menyampaikan sesuai data atau fakta, terbuka dalam menerima kritik dan masukan, semangat bekerja keras, senang menyelesaikan masalah dan bekerja tidak individual, sehingga dominasi peserta didik tertentu ketika belajar tidak terjadi lagi.

Ketiga yaitu mengembangkan pengalaman untuk dapat mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan, serta mengomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis. Keempat yaitu mengembangkan penguasaan konsep dan prinsip IPA dan saling keterkaitannya dengan bidang lainnya, serta mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri. Kelima yaitu menerapkan konsep dan prinsip IPA untuk menghasilkan karya teknologi sederhana yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Peserta didik dilatih membuat suatu karya dari konsep-konsep yang memungkinkan diteruskan menjadi suatu karya; dan Keenam yaitu meningkatkan kesadaran dan berperan serta dalam menjaga kelestarian lingkungan. Menciptakan rasa cinta lingkungan, misalnya dengan menanam, memisahkan sampah organik dan anorganik, dan membudayakan hidup bersih.

dan menggunakan rasa ingin tahunya untuk memahami fenomena alam melalui kegiatan pemecahan masalah yang menerapkan langkah-langkah metode ilmiah. .1.2.4. Tujuan Pembelajaran IPA

Pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengkontruksi konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati, merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan

konsep, hukum atau prinsip yang “ditemukan” (Daryanto, 2014: 51).

Pendekatan pembelajaran ilmiah menekankan pada pentingnya kolaborasi dan kerja sama di antara peserta didik dalam menyelesaikan setiap permasalahan dalam pembelajaran (Majid, 2014: 195). Oleh karena itu, guru sedapat mungkin menciptakan pembelajaran selain dengan tetap mengacu pada standar proses dimana pembelajarannya diciptakan dengan mengedepankan kondisi peserta didik yang berperilaku ilmiah dengan bersama-sama diajak mengamati, menanya, menalar, merumuskan, menyimpulkan, dan mengomunikasikan, sehingga peserta didik dapat dengan benar menguasai materi yang dipelajari dengan baik. Dalam pembelajaran saintifik, peserta didik diharapkan untuk mencari tahu dari berbagai sumber informasi, karena informasi bisa berasal dari mana saja, kapan saja, dan tidak bergantung pada informasi searah dari guru (Hosnan, 2014: 34).

Dalam proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip atau kriteria ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria (Kemendikbud, dalam Abidin, 2014: 130) yaitu (1) substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan .1.3. Pendekatan Saintifik

.1.3.1. Pengertian Pendekatan Saintifik

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan saintifik merupakan pendekatan ilmiah yang melibatkan proses mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengomunikasikan. Pendekatan ilmiah diyakini sebagai acuan utama perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Dalam pelaksanaan proses-proses tersebut, bantuan guru sangat diperlukan. Dalam hal ini, guru hanya bertugas sebagai fasilitator dan pembimbing jika ada siswa mengalami kesulitan atau kekeliruan.

Tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik didasarkan pada keunggulan pendekatan tersebut (Hosnan, 2014: 36). Beberapa tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah sebagai berikut (1) meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa; (2) membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah secara sistematik; (3) terciptanya kondisi pembelajaran dimana siswa merasa dengan logika atau penalaran tertentu bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata; (2) penjelasan guru, respons peserta didik, dan interaksi edukatif guru-guru peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis; (3) mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analisis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran; (4) mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir berdasarkan hipotesis dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran; (5) mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespons substansi atau materi pembelajaran; (6) berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan; dan (7) tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.

.1.3.3. Prinsip Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik

Pendekatan saintifik memiliki beberapa prinsip (Daryanto, 2014: 58) yaitu (1) pembelajaran berpusat pada siswa; (2) pembelajaran membentuk student self concept; (3) pembelajaran terhindar dari verbalisme; (4) pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi konsep, hukum, dan prinsip; (5) pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan berpikir siswa; (6) pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa dan motivasi mengajar guru; (7) memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan dalam komunikasi; dan (8) adanya proses validasi terhadap konsep, hukum, dan prinsip yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya.

Proses pembelajaran pada kurikulum 2013 untuk semua jenjang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan ilmiah (saintifik). Berikut Langkah-langkah pendekatan saintifik dalam proses pembelajaran menurut beberapa para ahli, antara lain.

Langkah pertama, mengamati (observing). Kegiatan ini mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningful learning) (Daryanto, 2014: 60). Kegiatan mengamati memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media objek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Pengamatan sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik, sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan observasi, peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru. Kegiatan mengamati yang dilakukan menggunakan panca indera untuk memperoleh informasi (Sani, 2014: 54). Pengamatan yang cermat sangat dibutuhkan untuk dapat menganalisis suatu permasalahan atau fenomena. Guru dapat menanyangkan sebuah video dan meminta siswa melakukan pengamatan tentang hal-hal tertentu serta membuat catatan (Sani, 2014: 57).

Kedua, menanya (questioning). Kegiatan selanjutnya setelah siswa mengamati, siswa menjadi penasaran, ingin tahu yang diwujudkan dengan mengajukan pertanyaan. Siswa perlu dilatih untuk merumuskan pertanyaan terkait dengan topik yang akan dipelajari. Aktivitas belajar ini, sangat penting untuk meningkatkan keingintahuan (curiosity) dalam diri siswa dan mengembangkan kemampuan mereka untuk belajar sepanjang hayat (Sani, 2014: 57). Pada saat guru bertanya, pada saat itu guru membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula guru mendorong muridnya untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik (Kurniasih & Sani, 2014: 32). Di sini, peserta didik masih memerlukan bantuan guru untuk mengajukan pertanyaan sampai ke tingkat dimana peserta bahwa belajar itu merupakan suatu kebutuhan; (4) diperolehnya hasil belajar yang tinggi; (5) melatih siswa dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis artikel ilmiah; dan (6) mengembangkan karakter siswa.

didik mampu mengajukan pertanyaan secara mandiri. Melalui kegiatan bertanya, dikembangkan rasa ingin tahu peserta didik. Semakin terlatih dalam bertanya, maka rasa ingin tahu semakin dapat dikembangkan (Daryanto, 2014: 64).

Ketiga, menalar (associating). Fase pembelajaran ini dilakukan saat siswa sudah memperoleh informasi dari hasil penelitian yang dilakukan. Dengan data yang telah dikumpulkannya, siswa dapat membandingkan antara yang telah diketahuinya sebelumnya dengan fakta dari fenomena atau objek yang diamatinya. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukkannya menjadi penggalan memori (Daryanto, 2014: 71). Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu dikenal sebagai mengasosiasi. Agar penguasaan konsep siswa lebih bermakna dan kokoh, siswa didorong untuk melakukan refleksi dengan memeriksa ulang penguasaan konsep sebelum dan sesudah pembelajaran. Dengan cara ini siswa akan tumbuh pengetahuan metakognitif.

Keempat, mencoba (experimenting). Langkah selanjutnya adalah mencoba. Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai (Kurniasih & Sani, 2014: 41). Kegiatan mencoba dilakukan dalam rangka mengumpulkan informasi. Aktivitas mengumpulkan informasi dilakukan melalui mengeksplorasi, berdiskusi, mendemonstrasikan, meniru bentuk/gerak, melakukan eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengumpulkan data dari narasumber melalui angket, wawancara, dan memodifikasi/ menambahi/mengembangkan. Kegiatan mengumpulkan informasi akan menumbuhkan kemampuan kolaborasi, bekerja dengan tim, belajar empati, sharing, dan sikap-sikap sosial lainnya seperti jujur, teliti, disiplin, tanggung jawab, dan peduli.

Kelima, mengomunikasikan (networking). Langkah terakhir adalah mengomunikasikan, kegiatan dimana siswa menginformasikan pengetahuan

yang telah dibangunnya. Guru diharapkan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengomunikasikan apa yang telah mereka pelajari (Daryanto, 2014: 80). Kegiatan ini dapat dilakukan melalui menuliskan atau menceritakan apa yang ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menemukan pola. Hasil tersebut disampaikan di depan kelas dan dinilai oleh guru sebagai hasil belajar peserta didik atau kelompok peserta didik tersebut. Bekerja sama dalam sebuah kelompok merupakan salah satu cara membentuk kemampuan siswa untuk dapat membangun jaringan dan berkomunikasi. Setiap siswa perlu diberi kesempatan untuk berbicara dengan orang lain, menjalin persahabatan yang potensial, mengenal orang yang dapat memberi nasihat atau informasi, dan dikenal oleh orang lain (Sani, 2014: 71). Melalui kegiatan ini siswa belajar untuk berkomunikasi secara efektif, menumbuhkan etika berkomunikasi, menggunakan bahasa yang baik dan efektif. Selain itu kegiatan ini juga melatih siswa untuk berani dan santun dalam mengajukan pertanyaan dan berargumentasi, menghargai pendapat orang lain, berpendapat secara kritis dan proaktif.

Lembar Kerja Siswa (student work sheet) merupakan lembaran-lembaran berisi tugas yang harus dikerjakan oleh siswa. Lembar kerja ini berisi petunjuk dan langkah-langkah untuk menyelesaikan suatu tugas yang diberikan oleh guru kepada siswanya (Majid, 2009: 176). Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa dapat berupa tugas teori dan tugas praktik. Tugas teoritis misalnya tugas membaca sebuah cerita, kemudian membuat rangkuman dan selanjutnya dipresentasikan, sedangkan tugas praktis dapat berupa kerja laboratorium atau kerja lapangan, misalnya siswa mengamati sebuah alat musik yang dimainkan, kemudian siswa diminta untuk menganalisis dan menyimpulkan benda yang telah diamatinya tersebut.

LKS bukan merupakan “Lembar Kegiatan Siswa”, akan tetapi “Lembar Kerja Siswa” (Prastowo, 2014: 269). LKS merupakan materi ajar yang sudah

dikemas sedemikian rupa sehingga siswa diharapkan dapat mempelajari materi ajar tersebut secara mandiri. Dalam LKS, siswa akan mendapatkan materi, .1.4. Lembar Kerja Siswa

ringkasan, dan tugas yang berkaitan dengan materi. Selain itu, dalam LKS siswa dapat menemukan arahan yang terstruktur untuk memahami materi yang diberikan.

Lembar kegiatan siswa merupakan lembaran yang berisi pedoman bagi siswa untuk melakukan kegiatan terprogam (Trianto, 2010: 212). Selain itu, Lembar kegiatan siswa merupakan alat belajar siswa yang memuat berbagai kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa secara aktif. Kegiatan yang diberikan dapat berupa pengamatan, eksperimen, dan pengajuan pertanyaan (Depdikbud, dalam Trianto, 2010: 212).

LKS dibagi dua karakteristik, yaitu lembar kerja yang berisi sarana untuk melatih, mengembangkan keterampilan peserta didik dalam menemukan konsep dalam suatu tema, dan lembar kerja ini tidak terstruktur; lembar kerja siswa yang dirancang untuk membimbing siswa dalam suatu proses pembelajaran tanpa bimbingan guru dan lembar kerjanya terstruktur (Trianto, 2010: 212). Dalam menyusun lembar kerja siswa, ada beberapa kriteria yang harus ditentukan, yaitu mengacu pada kurikulum; mendorong siswa untuk belajar dan bekerja; bahasa yang digunakan mudah dipahami oleh peserta didik; dan tidak dikembangkan untuk menguji konsep-konsep yang sudah diujikan guru dengan cara duplikasi.

Dalam mengembangkan lembar kerja, siswa harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: persyaratan pedagogik, persyaratan konstruksi, dan teknis. Maksud dari persyaratan pedagogik adalah lembar kegiatan siswa yang dibuat harus berdasarkan asas-asas pembelajaran yang efektif, seperti memberi proses menemukan konsep dan petunjuk mencari tahu (Ibrahim, dalam Trianto, 2010: 213). Maksud dari persyaratan konstruksi adalah dalam mengembangkan lembar kerja siswa, harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami yang sesuai

Dokumen terkait