• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka 1. Pendidikan Inklusi

Berikut ini akan dijelaskan kajian teori tentang pengertian pendidikan inklusi, tujuan pendidikan inklusi, karakterstik pendidikan inklusi, dan prinsip dasar pendidikan inklusi.

a. Pengertian Pendidikan Inklusi

Ilahi (2013: 24) berpendapat bahwa pendidikan inklusi yaitu konsep pendidikan yang merepresentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai warga negara. Pernyatan ini didukung oleh Staub dan Pack (dalam Ilahi,2013: 27) menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Sedangkan O’Neli (dalam Ilahi,2013: 27) menyatakan bahwa pendidikan inklusif mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.

Pendidikan inklusi adalah deskripsi yang lebih positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistis dan komperhensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh. Suatu komitmen yang untuk melibatkan siswa-siswa yang memiliki hambatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang memungkinkan (Smith, 2012: 45-46).

Dari beberapa pengertian dari para ahli di atas, pedidikan inklusi merupakan pelayanan pendidikan yang berkomitmen terbuka bagi sekolah-sekolah untuk menerima anak berkebutuhan khusus dan ditempatkan di kelas yang reguler bersama dengan teman seusianya.

9 b. Tujuan Pendidikan Inklusi

Ilahi (2013: 39) menyatakan bahwa pendidikan inklusif ditujukan kepada semua kelompok yang terpinggirkan, tetapi kebijakkan dan praktik inklusi anak berkebutuhan khusus telah menjadi perekat utama untuk mengembangkan pendidikan inklusi yang efektif, fleksibel, dan tanggap terhadap keanekaragaman gaya dan kecepatan belajar. Pendidikan inklusi bukan bermaksud mencampuradukkan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya, melainkan hanya berupaya memberikan kesempatan kepada mereka yang mengalami keterbatasan agar juga bisa mengenyam pendidikan secara layak dan memberikan jaminan masa depan yang cerah, pendidikan inklusi bertujuan untuk: (1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. (2) Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Stubbs (dalam Ilahi,2002: 40) mendefinisikan pendidikan inklusif harus terus berkembang jika ia ingin tetap menjadi jawaban yang riil dan berharga untuk mengatasi tantangan pendidikan dan hak asasi manusia. Tantangan inilah bagi kita untuk mengembalikan dan mengedepankan makna pendidikan sebagai proses mendewasakan manusia, baik dalam sistem ataupun tujuannya. Hakikatnya adalah untuk memanusiakan manusia sebagai bentuk perlawanan terhadap sikap diskriminatif terhadap lambang sekolah yang menolak menampung anak berkebutuhan khusus. Sesuai dengan cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan Indonesia harus membela anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat yang kurang mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan formal, akibatnya mereka merasa terpinggirkan dari lingkungan sekolah dan masyarakat.

10 Dari beberapa pendapat di atas, tujuan dari pendidikan inklusi adalah

penyelenggaraan pendidikan inklusif memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi peserta didik yang memiliki kelainan khusus. Tidak adanya perbedaan antara anak berkebutuan khusus dan anak tidak berkebutuhan khusus dalam memberikan pelayanan pendidikan.

c. Prinsip dasar Pendidikan Inklusif

Prinsip dasar pendidikan inklusif sebagai sebuah paradigma pendidikan yang menekankan pada keterbukaan dan penghargaan terhadap anak berkebutuhan khusus (Ilahi,2013: 46). Dokumen internasional sesuai pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi pada Pendidikan Kebutuhan Khusus (dalam Ilahi,2013: 49) menyatakan bahwa prinsip penyelenggaran pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus adalah semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah tanpa memandang perbedaan latar belakang kehidupannya.

Prinsip dasar pendidikan inklusif memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk membangun potensinya melalui layanan pendidikan yang tepat. Nortwich (dalam Ilahi,2013: 43) menyatakan bahwa pendidikan inklusif disebut sebagai pendekatan terhadap pendidikan khusus. Layanan inklusif tentang sikap dan perspektif para guru yang terlibat dalam pembuatan penyediaan inklusif bagi anak berkebutuhan khsus.

Dari beberapa pendapat di atas, prinsip pendidikan inklusi adalah untuk memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk memperoleh pendidikan yang layak tanpa adanya perbedaan dari setiap anak.

2. Karakteristik Pendidikan Inklusi

Karakteristik pendidikan inklusif memiliki empat karakteristik diantaranya: (1) Proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara

merespon keragaman individu

(2) Mempedulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar

11 (3) Anak kecil yang hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil

belajar yang bermakna dalam hidupnya

(4) Diperuntukkan utamanya baik anak-anak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar Direktorat Pendidikan Luar Biasa (dalam Ilahi,2013: 44)

Dalam karakteristik pendidikan inklusif, ada empat poin penting yang berkaitan dengan proses penyesuaian diri dan fleksibelitas di berbagai bidang dalam mencermati kebutuhan apa saja yang mendesak bagi anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat diantaranya :

1) Kurikulum yang Fleksibel

Ilahi (2013: 45-46) berpendapat bahwa dalam penerapan kurikulum pendidikan inklusif ini tidak harus dimulai dengan materi, melainkan yang paling penting dimulai dari bagaimana caranya menberikan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Hal ini dikarenakan anak yang memiliki kebutuhan khusus belum mampu menyesuaikannya. Dalam menerapkan pendidikan anak berkebutuhan khusus harus benar-benar didik karena hal ini akan berpengaruh dengan tingkat pemahamannya dan intelektualnya. Dalam memberikan materi bagi anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan dengan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan mereka. 2) Pendekatan Pembelajaran yang Fleksibel

Ilahi (2013: 46-47) berpendapat bahwa pendidikan inklusif mencerminkan pendekatan pembelajaran yang fleksibel yang memberikan kemudahan kepada anak berkebutuhan khusus untuk melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan potensi dan keterampilan mereka demi membangun masa depan yang lebih cerah.

3) Sistem Evaluasi yang Fleksibel

Ilahi (2013: 47) berpendapat bahwa dalam setting pendidikan inklusif, sistem penilaian yang diharapkan di sekolah, yaitu sistem penilaian yang fleksibel. Penilaian yang disesuaikan dengan anak berkebutuhan khusus dengan model penilaian kuantitatif dan kualitatif. Hal ini dikarenakan

12 bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki tingkat kemampuan yang lebih

rendah dibandingkan dengan anak normal pada umumnya. 4) Pembelajaran yang Ramah

Ilahi (2013: 47) berpendapat bahwa proses pembelajaran dalam konsep pendidikan mencerminkan pembelajaran yang ramah. Pembelajaran yang ramah bisa membuat anak semakin termotivasi dan terdorong untuk terus mengembangkan potensi dan skill mereka sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki.

3. Sekolah Dasar Inklusi

Sekolah dasar adalah pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasai jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat sekolah menenegah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTS) atau bentuk lain yang sederajat Triwiyanto (2014 : 122).

Sekolah dasar inklusi adalah sekolah pada jenjang pertama dari lembaga pendidikan yang memperoleh pendidikan selama enam tahun yang terdiri dari enam kelas. Ilahi (2013: 83-84) berpendapat bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Salamanca dalam Ilahi (2013: 85) berpendapat bahwa sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Ilahi (2013: 87) mengatakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengakomondasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat dijelaskan bahwa sekolah dasar inklusi adalah sekolah dasar reguler yang berpendidikan inklusi dan

13 memebrikan pelayanan dan menerima semua anak dengan berbagai latar

belakang baik itu anak berkebutuhan khusus atau anak yang tidak berkebutuhan khusus. Berikut ini merupakan tabel daftar nama sekolah dasar inklusi yang ada di wilayah kota Yogyakarta.

Tabel 2.1 Daftar Sekolah Dasar Inklusi No. Sekolah Dasar Inklusi Kecamatan

1 Sekolah Negeri Karanganyar Mergangsan 2 Sekolah Negeri Wirosaban Umbulharjo 3 Sekolah Negeri Mendungan 2 Umbulharjo 4 Sekolah Bopkri Bintaran Mergangsan 5 Sekolah Bopkri Karang Waru Tegalrejo 6 Sekolah Negeri Tegalpanggung Danurejan 7 Sekolah Negeri Baciro Gondokusuman 8 Sekolah Negeri Balirejo Umbulharjo 9 Sekolah Negeri Tamansari 1 Wirobrajan 10 Sekolah Negeri Panembahan Kraton 11 Sekolah Negeri Juara Gondokusuman

Tabel 2.1 Daftar Sekolah Dasar Inklusi

Dari tabel 2.1 di atas dapat diketahui bahwa Kecamatan Mergangsan terdapat dua sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah inklusi yaitu SD N Karanganyar dan SD Bopkri Bintaran. Di Kecamatan Umbulharjo ini terdapat tiga sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah inklusi yaitu SD N Wirosaban, SD N Mendungan 2, dan SD N Balirejo. Di Kecamatan Tegalrejo terdapat satu sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah inklusi yaitu SD Bopkri Karang Waru. Di Kecamatan Danurejan terdapat satu sekolah dasar yang menyelnggarakan sekolah inklusi yaitu SD N Tegalpanggung. Di Kecamatan Gondokusuman terdapat dua sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah inklusi yaitu SD N Baciro dan SD N Juara. Di Kecamatan Wirobrajan terdapat satu sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah

14 inklusi yaitu di SD N Tamansari 1. Terakhir di Kecamatan Kraton terdapat satu

sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah inklusi yaitu di SD Panembahan. 4. Aspek Penyelenggara Sekolah Inklusi

a. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang mengakomodasi semua anak Tulkipt LIRP dalam Kustawan (2013:90) menyatakan bahwa sekolah yang ramah anak terhadap anak merupakan sekolah di mana semua anak memiliki hak untuk belajar mengembangkan semua potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin dalam lingkungan yang nyaman dan terbuka. Menjadi “ramah” apabila keterlibatan dan partisipasi semua pihak dalam pembelajaran tercipta secara alami dengan baik. Dalam pelaksanan penerimaan peserta didik baru Kustawan (2013: 90-91) menyatakan bahwa penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SD/MI pada setiap tahun pembelajaran perlu mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah. Sumber daya yang dimikili sekolah antara lain: sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan, sumber daya sarana dan prasarana, dan sumber daya biaya. Satuan pendidikan tersebut harus mengakomodasikan kursi peserta didik (quota) paling sedikit 1 (satu) peserta didik yang memiliki hambatan/gangguan/kelainan dalam satu kelompok belajar yang akan diterima. Kuota peserta didik yang memiliki kelainan yang diterima minimal satu (1) peserta didik yang memiliki kelainan untuk setiap rombongan belajar dan paling banyak sesuai dengan kekuatan dan daya dukung sekolah, jadi berkisar 1-3 peserta didik berkebutuhan khusus dalam satu kelas. Pengaturan ini dalam upaya memberikan layanan yang optimal sesuai dengan kekuatan sekolah dan dalam upaya pemerataan penyebaran peserta didik berkebutuhan khusus di setiap satuan pendidikan di wilayah/daerahnya masing-masing. Dalam pelekasanaan penerimaan peserta didik baru, sekolah membentuk panitia penerimaan peserta didik baru yang dilengkapi dengan pendidikan guru (guru berpendidikan khusus dan/atau konselor) yang sudah memahami tentang pendidikan inklusif dan keberagaman karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus. Bagi sekolah

15 yang memiliki psikolog atau bekerjasama dengan psikolog, maka psikolog

tersebut dapat ikut serta dalam kepanitiaan PPDB Kustawan (2013:91). Kustawan (2013:92) menjelaskan persyaratan PPDB bagi peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) perlu dituangkan pada pedoman PPDB misalnya, setiap calon peserta didik baru ketika mendaftar harus menyerahkan/melampirkan hasil pemeriksaan dokter umum/dokter spesialis untuk calon peserta didik yang berkebutuhan khusus. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif menerima peserta didik berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki dengan sekolah dan mengalokasikan kursi/kuota untuk peserta didik berkebutuhan khusus.

Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) harus mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki oleh sekolah. Seperti sumber daya tenaga kependidikan, sumber sarana dan prasarana, dan sumber daya biaya. Sekolah juga membentuk panita PPDB dan melibatkan GPK atau konselor sebagai panitia PPDB. Sekolah dalam PPDB juga menyertakan persyaratan seperti surat keterangan dari dokter yang menyatakan bahwa siswa tersebut memiliki kebutuhan khusus.

b. Identifikasi

Kustawan (2013:93) menjelaskan bahwa identifikasi adalah upaya guru (pendidik) dan tenaga kependidikan lainnya untuk menentukan dan mengenali anak yang mengalami hambatan/kelainan/gangguan baik fisik, intelektual, mental, emosional dan sosial dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan khususnya. Dalam buku Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif dalam Kustawan (2013: 93) menyatakan bahwa istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan asesmen dimaknai sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan/penyimpangan

16 (Fisik, intelektual, sosial, emosional/tingkah laku) dalam rangka pemberian

layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inklusi. Dalam buku Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif (dalam Kustawan,2013: 93) menyatakan bahwa identifikasi dapat diartikan menemukenali. Identifikasi anak berkebutuhan khusus adalah suatu upaya menemukenali anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak berkelainan dengan berbagai gejala-gejala yang menyertainya.

Bebrapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa identifikasi adalah proses penjaringan untuk menemukan anak yang berkebutuhan khusus sehingga dapat diberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhannya.

c. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel)

Kustawan (2013: 106) menjelaskan bahwa guru diwajibkan untuk menyusun perencanaan pembelajaran harus benar-benar memenuhi kebutuhan khusus yang dimiliki oleh anak dan berpusat pada anak. Salamanca dalam Kustawan (2013: 105) menjelaskan bahwa kurikulum yang digunakan harus fleksibel yang dapat dengan mudah disesuaikan dengan kebutuhan anak. Bagi sekolah yang menyelenggarakan sekolah inklusif guru menggunakan kurikulum fleksibel untuk anak berebutuhan khusus yaitu dengan memberlakukan modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi anak berkebutuhan khusus. Nasution (dalam Ilahi,2013: 168) berpendapat bahwa kurikulum merupakan salah satu komponen penting pada lembaga pendidikan formal yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolok-ukur keberhasilan, dan kualitas hasil pendidikan.

Beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa adaptasi kurikulum yang digunakan untuk anak berkebutuhan khusus fleksibel dengan disesuaikan dengan kebutuhan ABK. Kurikulum sebagai acuan untuk menentukan isi pembelajaran dan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan.

17 d. Merancang bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran yang Ramah Anak

Dalam kegiatan pembelajaran antara lain pembelajaran yang dilakukan dibuat lebih efektif sehingga mampu mengundang setiap anak untuk berpartisipasi secara rutin. Bahan ajar yang atau materi pembelajaran (instructional materials) fleksible atau ramah anak secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari anak berkebutuhan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhannya atau hambatannya dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan Kustawan (2013: 111). Ilahi (2013: 172-173) menjelaskan bahwa tujuan mengajar yang telah ditentukan, diperlukan bahan ajar. Bahan ajar tersusun atas topik-topik dan sub-sub topik. Tertentu yang mengandung ide pokok yang relevan dengan tujuan yang ditetapkan.

Beberapa pendapat para ahli di atas merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang dilakukan dibuat efektif sehingga mampu berpartisipasi. Bahan ajar yang digunakan terdiri dari pengetahuan, keterampilan dan sikap.

e. Penataan Kelas yang Ramah Anak

Penataan ruang kelas menurut Everston dan Weistein (dalam Friend,2015: 285) menyatakan bahwa pengelolaan kelas mencakup semua hal yang dilakukan oleh para guru demi mengoptimalkan proses belajar-mengajar yang efektif, mulai dari mengatur siswa-siswa, ruang, waktu, hingga materi. Kerr dan Nelson (dalam Friend,2015: 288) mengemukakan bahwa cara penataan unsur-unsur fisik dalam suatu ruang kelas dapat berdampak pada proses belajar dan perilaku siswa di sejumlah area. Friend (2015: 288) penataan unsur-unsur fisik ruang kelas mempengaruhi kondisi dan suasana belajar bagi seluruh berkebutuhan khusus. Penataan unsur fisik mencakup penampilan ruang kelas dalam pemanfataan ruang kelas yang meliputi area dinding, pencahayaan, area lantai serta ruang penyimpan. Kustawan (2013) menjelaskan bahwa guru yang baik akan mengenal keberagaman anak didiknya, mengetahui kekuatannya, kelemahannya, dan kebutuhannya. Selain

18 itu melaksanakan pembelajaran dengan baik, menggunakan metode

pembelajaran yang bervariatif, menggunakan media pembelajaran yang bervariatif, menggunakan media pembelajaran adaptif menggunakan alat peraga pembelajaran untuk membantu siawa dalam memahami suatu materi pembelajaran yang tentunya memenuhi kebutuhan anak, sehingga pengetahuan dan pemahaman anak tentang materi yang dipelajari dapat berkembang sesuai dengan tujuan, dapat menciptakan lingkungan belajar yang menarik dan menyenangkan bagi semua anak. Kelas harus dirancang agar menyenangkan, nyaman dan aman serta dapat menimbulkan gairah atau motivasi anak untuk giat belajar. Penataan ruang belajar hendaknya memungkinkan anak didik duduk berkelompok dan memudahkan guru bergerak secara leluasa.

Beberapa pendapat dari para ahli di atas, menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk belajar dan penataan kelas yang ramah anak ini meliputi penataan fisik ruang kelas seperti pencahayaan yang cukup, area dinding, lantai yang bersih agar peserta didik lebih nyaman dalam mengikuti pembelajaran.

f. Asesmen

Overton dalam Friend (2015:209) menyatakan bahwa asesmen didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi untuk memantau kemajuan dan mengambil keputusan pendidikan ketika diperlukan. Ada 6 (enam) ranah penting penting dalam proses pengambilan informasi asesmen dalam pengambilan keputusan pembelajaran yaitu screening, diagnosis, penempatan program, penempatan kurikulum, evaluasi pengajaran dan evaluasi program.

a) Screening

Friend (2015:210) menyatakan bahwa screening meliputi keputusan untuk menentukan jika proses kemajuan seorang siswa dianggap cukup berbeda dengan teman-teman sekelasnya sehingga patut untuk menerima

19 perubahan pengajaran, atau pada akhirnya, asesmen yang lebih mendalam

untuk menetapkan adanya kondisi disabilitas.

Screening yang di lakukan oleh sekolah melalui GPK dengan melakukan tes untuk mengetahui hasil yang nantinya akan dilakukan pertimbngan untuk melakukan tindakan selanjutnya. Tes yang dilakukan ini meliputi keterampilan berhitung, membaca, dan menulis terkait dengan materi yang pernah diajarkan sebelumnya.

b) Diagnosis

Friend (2015: 211) menyatakan bahwa keputusan besar yang terkait dengan diagnosis menyangkut kelayakan atas layanan pendidikan khusus, pertimbangan berdasarkan ketentuan bukan bahwa siswa dianggap layak untuk dianggap menyandang disabelitas atau tidak.

GPK terlebih dahulu melakukan pengamatan pada siswa yang terindikasi memiliki kebutuhan khusus. Pengamatan yang dilakukan meliputi hasil belajar siswa, siswa saat mengikuti pelajaran, dan tingkah laku siswa di kelas. Setelah GPK menemukan kelemahan yang dialami oleh siswa, kemudian GPK melakukan tindakan seperti bimbingan untuk siswa tersebut selama beberapa kali. Jika hasil yang diperoleh selama mengikuti bimbingan dari GPK belum memenuhi kriteria maka siswa tersebut memerlukan tindakan yang lebih serius. Pada akhirnya siswa layak untuk menerima layanan ketidak mempuan dalam belajar karena tidak memberikan respons baik terhadap bantuan tambahan belajar.

c) Penempataan program

Friend (2015: 2115) menyatakan bagian utama dari keputusan penempatan program berkenaan dengan ranah yang menjadi tempat berlangsungnya layanan pendidikan khusus yang diterima siswa, misalnya saja di ruang kelas pendidikan umum, ruang sumber, atau ruang kelas pendidikan khusus yang terpisah.

Siswa-siswa yang terindikasi memiliki kebutuhan khusus dilakukan pendekatan berdasarkan respons mereka terhadap pengajaran berbasis bukti

2

0

dalam beragam tingkatan intensitas. Meskipun demikian, tidak dipungkiri bahwa siswa-siswa memiliki kkebutuhan berbeda dan sebagian mereka mungkin memerlukan pengajaran dalam ranah tertentu pada tingkat intensitas yang tidak dapat dilangsungkan di ruang kelas pendidikan umum. Oleh karena itu sangat penting untuk membuat keputusan penempatan yang dilandaskan atas pengukuran yang memang mencerminkan kemampuan siswa di kelas secara akurat.

d) Penempatan kurikulum

Friend (2015: 216) menyatakan penempatan kurikulum meliputi keputusan mengenai level mana yang akan dipilih untuk memulai pengajaran siswa. informasi mengenai penempatan kurikulum tentu juga dapat dijadikan sebagai patokan pengukuran bagi para guru untuk mengetahui sejauh apa siswa penyandang disabilitas mengakses kurikulum pendidikan umum.

Informasi mengenai penempatan kurikulum tentu juga dapat dijadikan sebagai patokan pengukuran bagi para guru untuk mengetahui sejauh apa siswa-siswa penyandang disabilitas mengakses kurikulum pendidikan umum. Seorang siswa mampu membaca buku dua tingkat di bawah kelasnya dapat dianggap mengalami kesulitan mengakses kurikulum baca pendidikan umum. e) Evaluasi pengajaran

Friend (2015: 217) menyatakan bahwa keputusan dalam evaluasi pengajaran meliputi keputusan untuk melanjutkan atau mengubah prosedur pengajaran yang telah diterapkan pada siswa. Keputusan ini dibuat dengan memantau kemajuan siswa secara cermat.

GPK melakukan program tutor teman sebaya yaitu siswa yang memiliki kesulitan belajar bersama dengan teman sebayanya mendapatkan hasil yang baik. Dari hasil yang telah diperoleh digunakan untuk mencari tahu program tutor teman sebaya sesuai untuk siswa yang memiliki kesulitan belajar.

21 f) Evaluasi program

Friend (2015: 217) menyatakan bahwa keputusan evaluasi program meliputi keputusan untuk menghentikan, melanjutkan, atau memodifikasi program pendidikan khusus seorang siswa. Kustawan (2013: 97) menjelaskan bahwa asesmen yang dilakukan dengan memfokuskan perhatiannya pada proses pembelajaran siswa yang terjadi di rumah, sekolah dan lingkungan belajar lain serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses pembelajaran siswa. Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa asesmen adalah pengumpulan informasi dan untuk memantau kemajuan dari proses pembelajaran siswa dengan 6 ranah seperti screening, diagnosis, penempatan program, penempatan kurikulum, evaluasi pengajaran dan evaluasi program.

Seorang siswa yang memiliki kebutuhan khusus gangguan membaca berhasil mencapai level patokan dalam kelancaran dan pemahaman baca untuk tingkat kelasnya, program belajarnya pun berubah. Kemudian dimasukkan ke dalam pendidikan umum untuk keseluruhan blok membaca dan proses kemajuannya dipantau dengan cermat untuk memastikan bahwa

Dokumen terkait