• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2018"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERMASALAHAN SEKOLAH DASAR INKLUSI KELAS BAWAH DI SD “SUKA KASIH” WILAYAH KOTA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sekolah Dasar

Oleh:

Fransisca Wahyu Eri Widiastuti NIM: 141134086

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2018

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Dengan penuh syukur skripsi ini peneliti persembahkan untuk :

1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria, atas berkat dan terang kasihNya yang selalu menyertai dan berkelimpahan serta Santa Fransisca yang selalu melindungi dalam keadaan apapun.

2. Kedua orangtuaku yang terkasih, Bapak FX. Wakidah dan Ibu Ignasia Giyati yang selalu mendoakan, memberikan semangat, dan kasih sayang. 3. Romo Celetus Nenda, Romo Gregorius Purwohartoko, Kakekku FX.

Nardi wiyono, Nenekku Theresia Sartini, Om Anton Suyadi, Om Thomas Giyanto dan Bernardus Sigit Sihono yang selalu memebrikan doa, dorongan, motivasi dan semangat.

4. Sahabat-sahabatku Riska Prasetya, Tyas Susilowati, Fitri Damayanti, Sihrumanti Dwi Praptiwi, Norman Wildan Wibisono, Rizqi Meiliyani, Ulfah Azizah, Luluk Nur Azizah, Yohana Susan Ndari Tyasing Putri, Krissy Setia Bekti, Agatha Sulistyo Rini yang telah memberikan penghiburan dan penyemangat dalam mengerjakan skripsi ini.

5. Alamamaterku tercinta Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan tempat untuk menambah ilmu pendidikan dan juga perjuangan serta memberikan kenangan yang indah.

(5)

v

MOTTO

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan

permohonan dengan ucapan syukur.” (Filipi 4 : 6)

“Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.”

(Amsal 17 : 22)

“Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka memiliki bumi.” (Matius 5 : 5)

(6)
(7)
(8)

viii ABSTRAK

PERMASALAHAN SEKOLAH INKLUSI KELAS BAWAH DI SD “SUKA KASIH” WILAYAH KOTA YOGYAKARTA

Fransisca Wahyu Eri Widiastuti Universitas Sanata Dharma

2018

Sekolah dasar inklusi adalah sekolah yang memberikan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dan di tempatkan di kelas reguler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana permasalahan sekolah dasar inklusi di SD “Suka Kasih” kelas bawah di Wilayah Kota Yogyakarta. Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Subjek penelitian adalah Guru kelas I, guru kelas II, guru kelas III dan Kepala Sekolah di SD Suka “Kasih”. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini diperoleh dengan observasi, wawancara semi terstruktur, dan dokumentasi. Instrument yang digunkaan pedoman wawancara, lembar observasi, dan daftar dokumentasi. Teknik analisis data yang diperoleh dengan cara coding data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian di SD “Suka Kasih” menunjukkan bahwa dari delapan aspek sekolah inklusi SD “Suka Kasih” telah menerapkan empat aspek sekolah inklusi yaitu identifikasi, adaptasi kurikulum (kurikulum fleksibel), merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak, dan penilaian dan evaluasi pembelajaran. Peneliti menenukan permasalahan di SD “Suka Kasih” yaitu kurangnya tenaga GPK (Guru Pendamping Khusus) untuk setiap kelas, kurangnya pelatihan untuk guru kelas mengenai ABK, sarana prasarana yang kurang memadai, pencahayaan ruang kelas yang kurang, lantai ruang kelas yang masih kurang bersih, sirkulasi udara yang tidak dapat berganti, guru masih kesulitan dalam mengenali karakter siswa, pelayanan yang diberikan untuk siswa ABK belum maksimal, dan SD “Suka Kasih” belum memiliki media pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus.

Kata Kunci: Sekolah dasar inklusi, aspek sekolah inklusi, dan permasalahan sekolah dasar inklusi

(9)

ix ABSTRACT

LOWER GRADE INCLUSION PROBLEM IN “SUKA KASIH” ELEMENTARY SCHOOL IN YOGYAKARTA CITY AREA

Fransisca Wahyu Eri Widiastuti University of Sanata Dharma

2018

Elementary school inclusion is a school that provides educational services for children with special needs and placed in regular classes. This study aims to find out how the problems of school inclusion of lower grade students in Suka Kasih Elementary School in Yogyakarta city area. Type of research used was qualitative approach using descriptive method. The subject of research was the teachers of first grade to third grade, and the principal of Suka Kasih Elementary School. Data collection techniques in this study were obtained by observation, interview, observation sheet and documentation list. Data analysis techniques obtained by coding data, data reduction, data presentation and conclusion.

The results of research in Suka Kasih Elementary School showed that from the eight aspects of elementary school inclusion school, it has implemented four aspects of inclusion schools, they were; identification, adaptation of the curriculum (flexible curriculum), designing teaching materials and child-friendly learning activities, assessment and learning evaluation. The writer found some problems in Suka Kasih Elementary School, they were; the lack of shadow teacher for each class, the lack of training for classroom teachers about children with special needs, inadequate infrastructure, less room lighting, less clean room floors, air circulation that can not be changed, teachers were still getting difficulties in recognizing character of students, service given for children with special needs was still not maximal, and the school didn’t have learning media for the students with special needs.

Keywords: elementary school inclusion, inclusion school aspect, and the problem

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya sehingga skripsi yang berjudul Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi Kelas Bawah di SD “Suka Kasih” Wilayah Kota Yogyakarta dapat peneliti selesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak maka skripsi ini tidak akan terwujud seperti adanya sekarang ini. Peneliti menyampaikan rasa terima kasih untuk segala bantuan yang diberikan, kepada yang terhormat:

1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Christiyanti Aprinastuti S. Si., M. Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

3. Kintan Limiansih, S. Pd., M. Pd., Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

4. Brigitta Erlita Tri Anggadewi, S. Psi., M. Psi., Dosen pembimbing skripsi I yang berkenan memberikan bimbingan, arahan, dukungan, dan motifasi dalam penyusunan laporan skripsi.

5. Laurensia Aptik Evanjeli, S.Psi., M.A. Dosen pembimbing skripsi II yang berkenan memberikan bimbingan, arahan, dukungan, dan motivasi dalam penyusunan laporan skripsi.

6. Sekretariat PGSD Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan bantuan dan pelayanan peneliti dengan baik.

7. Keluarga besar SD “Suka Kasih” Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian sehingga dapat menambah ilmu dan pengalaman banyak bagi penulis.

8. Seluruh Dosen yang mengajar di Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti.

(11)
(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………. ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………. iv

HALAMAN MOTTO………. v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS……… vii ABSTRAK……….. viii

ABSTRACT……….. ix

KATA PENGANTAR………. x-xii DAFTAR ISI……… xii

DAFTAR BAGAN……….. xiv

DAFTAR TABEL……… xv

DAFTAR LAMPIRAN……… xvi

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Penelitian……… 1

B. Rumusan Masalah……… 5

C. Tujuan Penelitian………... 5

D. Manfaat Penelitian……… 5

E. Asumsi Penelitian………. 6

F. Definisi Operasional………. 7

BAB II LANDASAN TEORI……….. 8

A. Kajian Pustaka……….. 8

B. Penelitian Yang Relevan……….. 22

C. Kerangka Berpikir………... 26

BAB III METODE PENELITIAN………. 27

(13)

xiii

B. Setting Penelitian……….. 27

C. Desain Penelitian……….. 29

D. Teknik Pengumpulan Data………... 34

E. Instrumen Penelitian………. 37

F. Kredibilitas dan Transferabilitas……….. 42

G. Teknik Analisis Data……… 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 47

A. Deskripsi Penelitian……….. 47 B. Hasil Penelitian………. 48 C. Pembahasan……….. 61 BAB V PENUTUP……….. 70 A. Kesimpulan……….. 70 B. Keterbatasan Penelitian……… 71 C. Saran………. 71 DAFTAR PUSTAKA………... 72 LAMPIRAN………. 74 BIODATA PENULIS………... 134

(14)

xiv

DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 2.1 Literature Map……….. 25

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Daftar Sekolah Dasar Inklusi ………... 13

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian ………. 29

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Wawancara Penelitian tentang Permasalahan Sekolah Inklusi Kelas Bawah di SD “Suka Kasih” Wilayah Kota Yogyakarta….38 Tabel 3.3 Tabel Pedoman Observasi... 40

Tabel 3.4 Daftar Dokumentasi……….. 41

Tabel 4.1 Jadwal Pelaksanaan Observasi……….. 48

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian………74

Lampiran 2 Surat Keterangan Melakukan Penelitian………75

Lampiran 3 Reduksi Hasil Observasi………76

Lampiran 4 Reduksi Hasil Wawancara……….91

Lampiran 5 Hasil Dokumentasi………...121

(17)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trianto (2009: 1-2) menjelaskan bahwa pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Pendidikan yang mampu mendukung pengembangan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan mencegah problema kehidupan yang dihadapinya. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan dari kurikulum yang digunakan, metode yang digunakan, dan kualitas dari tenaga pendidik. Pendidikan pada semua tingkat perlu terus-menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan. Pendidikan sangat berperan penting untuk meningkatkan sumber daya manusia yang unggul. Upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah siswa. Siswa memiliki banyak keberagaman baik dari latar belakang, fisik dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap masing-masing siswa. Jumlah anak yang memiliki kebutuhan khusus di Indonesia mencapai 46.000 anak yang menempuh pendidikan setingkat SD dan SMP. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan berharap, ke depan anak-anak ABK tersebut dapat diterima di seluruh sekolah reguler, baik sekolah negeri atau sekolah swasta (DetikNews, 2014).

Hal ini dapat ditemukan berbagai siswa yang memiliki kebutuhan khusus dan ada juga yang tidak memiliki kebutuhan khusus. Siswa yang memiliki kebutuhan khusus dan siswa yang tidak memiliki kebutuhan khusus ini, dibutuhkan keadilan untuk menyamaratakan pelayanan atau dampingan tenaga pendidik bagi siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus juga berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan anak yang lainnya dalam pendidikan. Hal ini dikarenakan memiliki hak yang mendasar dan harus terpenuhi tanpa memandang latar belakang keadaan fisik anak yang bersangkutan. Setiap warga

(18)

2 negara memiliki hak, maka dari itu warga negara harus menerima hak tanpa

dibeda-bedakan. Pemerintah berupaya untuk menghilangkan perbedaan antara anak yang normal dan anak yang memiliki kebutuhan khusus yaitu dengan didirikan Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah Luar Biasa (SLB) ini sangat membantu dalam melayani siswa berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhan yang dimiliki, akan tetapi akses untuk memperoleh layanan pendidikan khusus ini menjadi permasalahan yang cukup serius karena lokasi yang tidak terjangkau dan pendirian SLB juga tidak merata ke seluruh daerah, SLB hanya berada di Ibu Kota Kabupaten. Sebagian besar anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah baik itu di kecamatan atau di desa (Ilahi, 2013: 19).

Anak berkebutuhan khusus yang ada di seluruh Indonesia perlu diupayakan penampungan. Diadakannya kerjasama setiap provinsi dan daerahnya untuk membantu keterlaksanaan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Di Daerah Istimewa Yogyakarta penyelenggaraan sekolah inklusi ini memiliki permasalahan yang dihadapi, seperti fasilitas yang ada di sekolah yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan inklusi belum sesuai dengan siswa penyandang disabilitas dan guru pendamping khusus yang belum memadahi. Kendala-kendala seperti ini yang membuat orang tua ABK enggan menyekolahkan anaknya walaupun banyak sekolah inklusi (TribunNews, 2015).

Di Sleman sendiri tersedia 48 (empat puluh delapan) sekolah berbasis pendidikan inklusi. Jumlah tersebut terdiri dari 32 (tiga puluh dua) SD, 8 (delapan) SMP, serta 8 (delapan) SMA dan SMK. Pemerintah Kabupaten Sleman telah mengupayakan dengan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi penyandang disabilitas untuk mengenyam pendidikan yang sesuai. Penyelenggaraan pendidikan khusus pemerintah diharapkan mengkaji ulang terkait adanya banyak hal yang masih menjadi catatan, jangan sampai keberadaan sekolah inklusi ini menjadi tidak maksimal dan harus benar-benar mampu memfasilitasi kebutuhan masyarakat termasuk ABK (TribunNews, 2015).

Penyelenggaraan sekolah dasar inklusi membutuhkan penanganan secara serius dari pihak yang terkait baik dari terutama orang tua, pihak sekolah,

(19)

3 pemerintah dan masyarakat. Penanganan yang dilakukan pemerintah mengenai

perbaikan dan menunjau ulang kendala-kendala yang dialami oleh sekolah penyelenggara sekolah inklusi. Beberapa hal yang paling menjadi kendala dalam pelaksanaan pendidikan inklusi ialah kurangnya tenaga pendidik atau Guru Pendamping Khusus (GPK). Akibatnya kurangnya guru pendamping khusus, sarana prasarana yang belum memadai, fasilitas pelayanan bagi siswa ABK menjadikan sekolah menolak peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus meskipun jabatan sekolah tersebut adalah sekolah inklusi. Dari kendala yang dialami sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, pemerintah telah melaksanakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan ini memberikan warna lain dari penyeleggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang terperinci dalam pasal 15 dan 32 tentang pendidikan khusus yang menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memilki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat sekolah dasar dan menengah. Dari UU Nomor 20 tahun 2003, ini pemerintah mulai memberikan pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan kelainan berupa penyelenggaraan sekolah inklusi (Ilahi, 2013: 20).

Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian, baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik Direktorat PSLB (dalam Ilahi,2013: 26). Pendidikan inklusif yang didefinisikan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya.

Indonesia sudah menerapkan perkembangan anak dengan interaksi yang beragam dengan lingkungan dekat mereka, dengan memberikan kesempatan kepada anak berkelainan dan anak yang lainnya yang selama ini tidak bisa

(20)

4 sekolah karena berbagai hal yang menghambat mereka untuk mendapatkan

kesempatan sekolah, seperti letak sekolah yang terlalu jauh, harus bekerja membantu orang tua, dan sebab lainnya seperti ada konflik atau terkena bencana alam Sugiarmin (dalam Smith, 2012).

Penyelenggaraan pendidikan sekolah dasar inklusi, sekolah harus menerapkan 8 (delapan) aspek sekolah inklusi yang meliputi Penerimaan Peserta Didik baru (PPDB) yang mengakomodasikan semua anak, identifikasi, adaptasi kurikulum (Kurikulum Fleksibel), merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak, penataan kelas yang ramah anak, asesmen, pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif, dan penilaian dan evaluasi pembelajaran. Aspek-aspek sekolah dasar inklusi yang meliputi Penerimaan Peserta Didik baru (PPDB) yang mengakomodasikan semua anak, identifikasi, adaptasi kurikulum (Kurikulum Fleksibel), merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak, penataan kelas yang ramah anak, asesmen, pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif, dan penilaian dan evaluasi pembelajaran sangat penting untuk mengatur sekolah penyelenggara inklusi yang dimulai dari pengelolaan hingga pelaksanaan sekolah inklusi. Aspek-aspek sekolah dasar inklusi ini yang menjadi acuan bagi sekolah-sekolah dasar inklusi untuk penyelenggaraan sekolah dasar inklusi yang memenuhi syarat ketentuan dan sesuai aspek-aspek sekolah dasar inklusi.

Tentunya dalam pelaksanaan sekolah inklusi ini tidak terlepas dari permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh sekolah penyelenggara sekolah dasar inklusi. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Sulistianingsih (2017) mengenai Survey Penyelenggaraan Sekolah Dasar di Wilayah Kota Yogyakarta pada 11 (sebelas) sekolah dasar inklusi yang menujukkan hasil penelitian kesesuaian dengan penyelenggaraan prinsip sekolah dasar inklusi sebesar 14.2% sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi sesuai dengan 8 (delapan) aspek sekolah dasar inklusi. Hal ini menjadi pedoman bagi peneliti untuk meneliti penerapan penyelenggara sekolah dasar inklusi di wilayah kota Yogyakarta yang mencakup 8 (delapan) aspek sekolah dasar inklusi. Peneliti

(21)

5 terdorong untuk melakukan penelitian untuk mengetahui

permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh sekolah dalam melaksanakan 8 (delapan) aspek penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi wilayah Kota Yogyakarta. Dari latar belakang yang diuraikan di atas, peneliti mengangkat judul penelitian “Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi Kelas Bawah Di SD “Suka Kasih” Wilayah Kota Yogyakarta”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, peneliti menentkan rumusan masalah yang akan menjadi objek penelitian. Rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut: Bagaimana permasalahan sekolah dasar inklusi kelas bawah di SD “Suka Kasih” Wilayah Kota Yogyakarta ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti menentukan tujuan penelitian yaitu: Mendeskripsikan permasalahan sekolah dasar inklusi kelas bawah di SD “Suka Kasih” Wilayah Kota Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penelitian ini bermanfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberikan informasi mengenai kajian prinsip dengan penyelengaraan sekolah dasar inklusi di wilayah Yogyakarta mengenai penyelengaraan sekolah dasar inklusi yang sesuai dengan prinsip-prinsip sekolah inklusi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Sekolah Dasar Inklusi

Sekolah dasar yang menyelenggarakan pendidikan inklusi dapat mengetahui tentang data sekolah penyelenggara inklusi berdasarkan aspek-aspek sekolah inklusi.

(22)

6 b. Bagi Guru

Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi guru-guru mengenai penyelenggaraan sekolah dasar inklusi berdasarkan aspek-aspek sekolah inklusi.

c. Bagi Peneliti

Peneliti dapat mendeskripsikan penyelenggara sekolah dasar inklusi yang sekolah ada di wilayah Yogyakarta yang sesuai dengan aspek-aspek sekolah dasar inklusi dengan menggunakan penelitian kualitatif.

E. Asumsi Penelitian

Penelitian mengenai permasalahan sekolah dasar inklusi kelas bawah di wilayah kota Yogyakarta ini terdapat 11 (sebelas) sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah inklusi. Penyelenggaraan sekolah inklusi dapat berpedoman pada 8 (delapan) aspek sekolah inklusi. Sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusi sudah menerapkan 8 (delapan) aspek sekolah inklusi.

Berdasarkan penelitian Sulistianingsih (2017) yang berjudul Survey penyelenggaraan sekolah inklusi di Wilayah kota Yogyakarta terdapat 11 (sebelas) sekolah dasar inklusi yang menjadi sampel penelitian dalam menerapkan delapan aspek sekolah inklusi. Hasil penelitian tersebut diketahui 14.2% sekolah dasar inklusi sudah menerapkan aspek-aspek sekolah inklusi. Asumsinya adalah adanya kendala atau permasalahan dalam menerapkan 8 (delapan) aspek penyelengaraan sekolah dasar inklusi. SD “Suka Kasih” mengalami kendala atau permasalahan dalam menerapkan delapan aspek penyelenggaraan sekolah dasar inklusi tersebut.

(23)

7 F. Definisi Operasional

1. Sekolah Dasar

Sekolah dasar adalah sekolah yang berada pada tingkat dasar yang menjadi landasan pada jenjang selanjutnya yaitu jenjang menengah, dan jenjang atas. 2. Sekolah Dasar Inklusi

Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang memberikan pelayanan dan menerima semua anak dengan berbagai latar belakang. Latar belakang ini seperti anak yang memiliki kebutuhan khusus maupun anak yang tidak memiliki kebutuhan khusus.

(24)

8 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka 1. Pendidikan Inklusi

Berikut ini akan dijelaskan kajian teori tentang pengertian pendidikan inklusi, tujuan pendidikan inklusi, karakterstik pendidikan inklusi, dan prinsip dasar pendidikan inklusi.

a. Pengertian Pendidikan Inklusi

Ilahi (2013: 24) berpendapat bahwa pendidikan inklusi yaitu konsep pendidikan yang merepresentasikan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keterbukaan dalam menerima anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh hak dasar mereka sebagai warga negara. Pernyatan ini didukung oleh Staub dan Pack (dalam Ilahi,2013: 27) menyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Sedangkan O’Neli (dalam Ilahi,2013: 27) menyatakan bahwa pendidikan inklusif mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.

Pendidikan inklusi adalah deskripsi yang lebih positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistis dan komperhensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh. Suatu komitmen yang untuk melibatkan siswa-siswa yang memiliki hambatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang memungkinkan (Smith, 2012: 45-46).

Dari beberapa pengertian dari para ahli di atas, pedidikan inklusi merupakan pelayanan pendidikan yang berkomitmen terbuka bagi sekolah-sekolah untuk menerima anak berkebutuhan khusus dan ditempatkan di kelas yang reguler bersama dengan teman seusianya.

(25)

9 b. Tujuan Pendidikan Inklusi

Ilahi (2013: 39) menyatakan bahwa pendidikan inklusif ditujukan kepada semua kelompok yang terpinggirkan, tetapi kebijakkan dan praktik inklusi anak berkebutuhan khusus telah menjadi perekat utama untuk mengembangkan pendidikan inklusi yang efektif, fleksibel, dan tanggap terhadap keanekaragaman gaya dan kecepatan belajar. Pendidikan inklusi bukan bermaksud mencampuradukkan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya, melainkan hanya berupaya memberikan kesempatan kepada mereka yang mengalami keterbatasan agar juga bisa mengenyam pendidikan secara layak dan memberikan jaminan masa depan yang cerah, pendidikan inklusi bertujuan untuk: (1) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. (2) Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.

Stubbs (dalam Ilahi,2002: 40) mendefinisikan pendidikan inklusif harus terus berkembang jika ia ingin tetap menjadi jawaban yang riil dan berharga untuk mengatasi tantangan pendidikan dan hak asasi manusia. Tantangan inilah bagi kita untuk mengembalikan dan mengedepankan makna pendidikan sebagai proses mendewasakan manusia, baik dalam sistem ataupun tujuannya. Hakikatnya adalah untuk memanusiakan manusia sebagai bentuk perlawanan terhadap sikap diskriminatif terhadap lambang sekolah yang menolak menampung anak berkebutuhan khusus. Sesuai dengan cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan Indonesia harus membela anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat yang kurang mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan formal, akibatnya mereka merasa terpinggirkan dari lingkungan sekolah dan masyarakat.

(26)

10 Dari beberapa pendapat di atas, tujuan dari pendidikan inklusi adalah

penyelenggaraan pendidikan inklusif memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi peserta didik yang memiliki kelainan khusus. Tidak adanya perbedaan antara anak berkebutuan khusus dan anak tidak berkebutuhan khusus dalam memberikan pelayanan pendidikan.

c. Prinsip dasar Pendidikan Inklusif

Prinsip dasar pendidikan inklusif sebagai sebuah paradigma pendidikan yang menekankan pada keterbukaan dan penghargaan terhadap anak berkebutuhan khusus (Ilahi,2013: 46). Dokumen internasional sesuai pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi pada Pendidikan Kebutuhan Khusus (dalam Ilahi,2013: 49) menyatakan bahwa prinsip penyelenggaran pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus adalah semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah tanpa memandang perbedaan latar belakang kehidupannya.

Prinsip dasar pendidikan inklusif memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk membangun potensinya melalui layanan pendidikan yang tepat. Nortwich (dalam Ilahi,2013: 43) menyatakan bahwa pendidikan inklusif disebut sebagai pendekatan terhadap pendidikan khusus. Layanan inklusif tentang sikap dan perspektif para guru yang terlibat dalam pembuatan penyediaan inklusif bagi anak berkebutuhan khsus.

Dari beberapa pendapat di atas, prinsip pendidikan inklusi adalah untuk memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk memperoleh pendidikan yang layak tanpa adanya perbedaan dari setiap anak.

2. Karakteristik Pendidikan Inklusi

Karakteristik pendidikan inklusif memiliki empat karakteristik diantaranya: (1) Proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara

merespon keragaman individu

(2) Mempedulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar

(27)

11 (3) Anak kecil yang hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil

belajar yang bermakna dalam hidupnya

(4) Diperuntukkan utamanya baik anak-anak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar Direktorat Pendidikan Luar Biasa (dalam Ilahi,2013: 44)

Dalam karakteristik pendidikan inklusif, ada empat poin penting yang berkaitan dengan proses penyesuaian diri dan fleksibelitas di berbagai bidang dalam mencermati kebutuhan apa saja yang mendesak bagi anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat diantaranya :

1) Kurikulum yang Fleksibel

Ilahi (2013: 45-46) berpendapat bahwa dalam penerapan kurikulum pendidikan inklusif ini tidak harus dimulai dengan materi, melainkan yang paling penting dimulai dari bagaimana caranya menberikan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Hal ini dikarenakan anak yang memiliki kebutuhan khusus belum mampu menyesuaikannya. Dalam menerapkan pendidikan anak berkebutuhan khusus harus benar-benar didik karena hal ini akan berpengaruh dengan tingkat pemahamannya dan intelektualnya. Dalam memberikan materi bagi anak berkebutuhan khusus harus menyesuaikan dengan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan mereka. 2) Pendekatan Pembelajaran yang Fleksibel

Ilahi (2013: 46-47) berpendapat bahwa pendidikan inklusif mencerminkan pendekatan pembelajaran yang fleksibel yang memberikan kemudahan kepada anak berkebutuhan khusus untuk melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan potensi dan keterampilan mereka demi membangun masa depan yang lebih cerah.

3) Sistem Evaluasi yang Fleksibel

Ilahi (2013: 47) berpendapat bahwa dalam setting pendidikan inklusif, sistem penilaian yang diharapkan di sekolah, yaitu sistem penilaian yang fleksibel. Penilaian yang disesuaikan dengan anak berkebutuhan khusus dengan model penilaian kuantitatif dan kualitatif. Hal ini dikarenakan

(28)

12 bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki tingkat kemampuan yang lebih

rendah dibandingkan dengan anak normal pada umumnya. 4) Pembelajaran yang Ramah

Ilahi (2013: 47) berpendapat bahwa proses pembelajaran dalam konsep pendidikan mencerminkan pembelajaran yang ramah. Pembelajaran yang ramah bisa membuat anak semakin termotivasi dan terdorong untuk terus mengembangkan potensi dan skill mereka sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki.

3. Sekolah Dasar Inklusi

Sekolah dasar adalah pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasai jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat sekolah menenegah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTS) atau bentuk lain yang sederajat Triwiyanto (2014 : 122).

Sekolah dasar inklusi adalah sekolah pada jenjang pertama dari lembaga pendidikan yang memperoleh pendidikan selama enam tahun yang terdiri dari enam kelas. Ilahi (2013: 83-84) berpendapat bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Salamanca dalam Ilahi (2013: 85) berpendapat bahwa sekolah inklusif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi. Ilahi (2013: 87) mengatakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengakomondasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat dijelaskan bahwa sekolah dasar inklusi adalah sekolah dasar reguler yang berpendidikan inklusi dan

(29)

13 memebrikan pelayanan dan menerima semua anak dengan berbagai latar

belakang baik itu anak berkebutuhan khusus atau anak yang tidak berkebutuhan khusus. Berikut ini merupakan tabel daftar nama sekolah dasar inklusi yang ada di wilayah kota Yogyakarta.

Tabel 2.1 Daftar Sekolah Dasar Inklusi No. Sekolah Dasar Inklusi Kecamatan

1 Sekolah Negeri Karanganyar Mergangsan 2 Sekolah Negeri Wirosaban Umbulharjo 3 Sekolah Negeri Mendungan 2 Umbulharjo 4 Sekolah Bopkri Bintaran Mergangsan 5 Sekolah Bopkri Karang Waru Tegalrejo 6 Sekolah Negeri Tegalpanggung Danurejan 7 Sekolah Negeri Baciro Gondokusuman 8 Sekolah Negeri Balirejo Umbulharjo 9 Sekolah Negeri Tamansari 1 Wirobrajan 10 Sekolah Negeri Panembahan Kraton 11 Sekolah Negeri Juara Gondokusuman

Tabel 2.1 Daftar Sekolah Dasar Inklusi

Dari tabel 2.1 di atas dapat diketahui bahwa Kecamatan Mergangsan terdapat dua sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah inklusi yaitu SD N Karanganyar dan SD Bopkri Bintaran. Di Kecamatan Umbulharjo ini terdapat tiga sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah inklusi yaitu SD N Wirosaban, SD N Mendungan 2, dan SD N Balirejo. Di Kecamatan Tegalrejo terdapat satu sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah inklusi yaitu SD Bopkri Karang Waru. Di Kecamatan Danurejan terdapat satu sekolah dasar yang menyelnggarakan sekolah inklusi yaitu SD N Tegalpanggung. Di Kecamatan Gondokusuman terdapat dua sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah inklusi yaitu SD N Baciro dan SD N Juara. Di Kecamatan Wirobrajan terdapat satu sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah

(30)

14 inklusi yaitu di SD N Tamansari 1. Terakhir di Kecamatan Kraton terdapat satu

sekolah dasar yang menyelenggarakan sekolah inklusi yaitu di SD Panembahan. 4. Aspek Penyelenggara Sekolah Inklusi

a. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang mengakomodasi semua anak Tulkipt LIRP dalam Kustawan (2013:90) menyatakan bahwa sekolah yang ramah anak terhadap anak merupakan sekolah di mana semua anak memiliki hak untuk belajar mengembangkan semua potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin dalam lingkungan yang nyaman dan terbuka. Menjadi “ramah” apabila keterlibatan dan partisipasi semua pihak dalam pembelajaran tercipta secara alami dengan baik. Dalam pelaksanan penerimaan peserta didik baru Kustawan (2013: 90-91) menyatakan bahwa penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SD/MI pada setiap tahun pembelajaran perlu mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah. Sumber daya yang dimikili sekolah antara lain: sumber daya pendidik dan tenaga kependidikan, sumber daya sarana dan prasarana, dan sumber daya biaya. Satuan pendidikan tersebut harus mengakomodasikan kursi peserta didik (quota) paling sedikit 1 (satu) peserta didik yang memiliki hambatan/gangguan/kelainan dalam satu kelompok belajar yang akan diterima. Kuota peserta didik yang memiliki kelainan yang diterima minimal satu (1) peserta didik yang memiliki kelainan untuk setiap rombongan belajar dan paling banyak sesuai dengan kekuatan dan daya dukung sekolah, jadi berkisar 1-3 peserta didik berkebutuhan khusus dalam satu kelas. Pengaturan ini dalam upaya memberikan layanan yang optimal sesuai dengan kekuatan sekolah dan dalam upaya pemerataan penyebaran peserta didik berkebutuhan khusus di setiap satuan pendidikan di wilayah/daerahnya masing-masing. Dalam pelekasanaan penerimaan peserta didik baru, sekolah membentuk panitia penerimaan peserta didik baru yang dilengkapi dengan pendidikan guru (guru berpendidikan khusus dan/atau konselor) yang sudah memahami tentang pendidikan inklusif dan keberagaman karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus. Bagi sekolah

(31)

15 yang memiliki psikolog atau bekerjasama dengan psikolog, maka psikolog

tersebut dapat ikut serta dalam kepanitiaan PPDB Kustawan (2013:91). Kustawan (2013:92) menjelaskan persyaratan PPDB bagi peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK) perlu dituangkan pada pedoman PPDB misalnya, setiap calon peserta didik baru ketika mendaftar harus menyerahkan/melampirkan hasil pemeriksaan dokter umum/dokter spesialis untuk calon peserta didik yang berkebutuhan khusus. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif menerima peserta didik berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki dengan sekolah dan mengalokasikan kursi/kuota untuk peserta didik berkebutuhan khusus.

Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) harus mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki oleh sekolah. Seperti sumber daya tenaga kependidikan, sumber sarana dan prasarana, dan sumber daya biaya. Sekolah juga membentuk panita PPDB dan melibatkan GPK atau konselor sebagai panitia PPDB. Sekolah dalam PPDB juga menyertakan persyaratan seperti surat keterangan dari dokter yang menyatakan bahwa siswa tersebut memiliki kebutuhan khusus.

b. Identifikasi

Kustawan (2013:93) menjelaskan bahwa identifikasi adalah upaya guru (pendidik) dan tenaga kependidikan lainnya untuk menentukan dan mengenali anak yang mengalami hambatan/kelainan/gangguan baik fisik, intelektual, mental, emosional dan sosial dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan khususnya. Dalam buku Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif dalam Kustawan (2013: 93) menyatakan bahwa istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan asesmen dimaknai sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan/penyimpangan

(32)

16 (Fisik, intelektual, sosial, emosional/tingkah laku) dalam rangka pemberian

layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inklusi. Dalam buku Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif (dalam Kustawan,2013: 93) menyatakan bahwa identifikasi dapat diartikan menemukenali. Identifikasi anak berkebutuhan khusus adalah suatu upaya menemukenali anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak berkelainan dengan berbagai gejala-gejala yang menyertainya.

Bebrapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa identifikasi adalah proses penjaringan untuk menemukan anak yang berkebutuhan khusus sehingga dapat diberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhannya.

c. Adaptasi Kurikulum (Kurikulum Fleksibel)

Kustawan (2013: 106) menjelaskan bahwa guru diwajibkan untuk menyusun perencanaan pembelajaran harus benar-benar memenuhi kebutuhan khusus yang dimiliki oleh anak dan berpusat pada anak. Salamanca dalam Kustawan (2013: 105) menjelaskan bahwa kurikulum yang digunakan harus fleksibel yang dapat dengan mudah disesuaikan dengan kebutuhan anak. Bagi sekolah yang menyelenggarakan sekolah inklusif guru menggunakan kurikulum fleksibel untuk anak berebutuhan khusus yaitu dengan memberlakukan modifikasi yang disesuaikan dengan kondisi anak berkebutuhan khusus. Nasution (dalam Ilahi,2013: 168) berpendapat bahwa kurikulum merupakan salah satu komponen penting pada lembaga pendidikan formal yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolok-ukur keberhasilan, dan kualitas hasil pendidikan.

Beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa adaptasi kurikulum yang digunakan untuk anak berkebutuhan khusus fleksibel dengan disesuaikan dengan kebutuhan ABK. Kurikulum sebagai acuan untuk menentukan isi pembelajaran dan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan.

(33)

17 d. Merancang bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran yang Ramah Anak

Dalam kegiatan pembelajaran antara lain pembelajaran yang dilakukan dibuat lebih efektif sehingga mampu mengundang setiap anak untuk berpartisipasi secara rutin. Bahan ajar yang atau materi pembelajaran (instructional materials) fleksible atau ramah anak secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari anak berkebutuhan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhannya atau hambatannya dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan Kustawan (2013: 111). Ilahi (2013: 172-173) menjelaskan bahwa tujuan mengajar yang telah ditentukan, diperlukan bahan ajar. Bahan ajar tersusun atas topik-topik dan sub-sub topik. Tertentu yang mengandung ide pokok yang relevan dengan tujuan yang ditetapkan.

Beberapa pendapat para ahli di atas merancang bahan ajar dan kegiatan pembelajaran yang ramah anak dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang dilakukan dibuat efektif sehingga mampu berpartisipasi. Bahan ajar yang digunakan terdiri dari pengetahuan, keterampilan dan sikap.

e. Penataan Kelas yang Ramah Anak

Penataan ruang kelas menurut Everston dan Weistein (dalam Friend,2015: 285) menyatakan bahwa pengelolaan kelas mencakup semua hal yang dilakukan oleh para guru demi mengoptimalkan proses belajar-mengajar yang efektif, mulai dari mengatur siswa-siswa, ruang, waktu, hingga materi. Kerr dan Nelson (dalam Friend,2015: 288) mengemukakan bahwa cara penataan unsur-unsur fisik dalam suatu ruang kelas dapat berdampak pada proses belajar dan perilaku siswa di sejumlah area. Friend (2015: 288) penataan unsur-unsur fisik ruang kelas mempengaruhi kondisi dan suasana belajar bagi seluruh berkebutuhan khusus. Penataan unsur fisik mencakup penampilan ruang kelas dalam pemanfataan ruang kelas yang meliputi area dinding, pencahayaan, area lantai serta ruang penyimpan. Kustawan (2013) menjelaskan bahwa guru yang baik akan mengenal keberagaman anak didiknya, mengetahui kekuatannya, kelemahannya, dan kebutuhannya. Selain

(34)

18 itu melaksanakan pembelajaran dengan baik, menggunakan metode

pembelajaran yang bervariatif, menggunakan media pembelajaran yang bervariatif, menggunakan media pembelajaran adaptif menggunakan alat peraga pembelajaran untuk membantu siawa dalam memahami suatu materi pembelajaran yang tentunya memenuhi kebutuhan anak, sehingga pengetahuan dan pemahaman anak tentang materi yang dipelajari dapat berkembang sesuai dengan tujuan, dapat menciptakan lingkungan belajar yang menarik dan menyenangkan bagi semua anak. Kelas harus dirancang agar menyenangkan, nyaman dan aman serta dapat menimbulkan gairah atau motivasi anak untuk giat belajar. Penataan ruang belajar hendaknya memungkinkan anak didik duduk berkelompok dan memudahkan guru bergerak secara leluasa.

Beberapa pendapat dari para ahli di atas, menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk belajar dan penataan kelas yang ramah anak ini meliputi penataan fisik ruang kelas seperti pencahayaan yang cukup, area dinding, lantai yang bersih agar peserta didik lebih nyaman dalam mengikuti pembelajaran.

f. Asesmen

Overton dalam Friend (2015:209) menyatakan bahwa asesmen didefinisikan sebagai proses pengumpulan informasi untuk memantau kemajuan dan mengambil keputusan pendidikan ketika diperlukan. Ada 6 (enam) ranah penting penting dalam proses pengambilan informasi asesmen dalam pengambilan keputusan pembelajaran yaitu screening, diagnosis, penempatan program, penempatan kurikulum, evaluasi pengajaran dan evaluasi program.

a) Screening

Friend (2015:210) menyatakan bahwa screening meliputi keputusan untuk menentukan jika proses kemajuan seorang siswa dianggap cukup berbeda dengan teman-teman sekelasnya sehingga patut untuk menerima

(35)

19 perubahan pengajaran, atau pada akhirnya, asesmen yang lebih mendalam

untuk menetapkan adanya kondisi disabilitas.

Screening yang di lakukan oleh sekolah melalui GPK dengan melakukan tes untuk mengetahui hasil yang nantinya akan dilakukan pertimbngan untuk melakukan tindakan selanjutnya. Tes yang dilakukan ini meliputi keterampilan berhitung, membaca, dan menulis terkait dengan materi yang pernah diajarkan sebelumnya.

b) Diagnosis

Friend (2015: 211) menyatakan bahwa keputusan besar yang terkait dengan diagnosis menyangkut kelayakan atas layanan pendidikan khusus, pertimbangan berdasarkan ketentuan bukan bahwa siswa dianggap layak untuk dianggap menyandang disabelitas atau tidak.

GPK terlebih dahulu melakukan pengamatan pada siswa yang terindikasi memiliki kebutuhan khusus. Pengamatan yang dilakukan meliputi hasil belajar siswa, siswa saat mengikuti pelajaran, dan tingkah laku siswa di kelas. Setelah GPK menemukan kelemahan yang dialami oleh siswa, kemudian GPK melakukan tindakan seperti bimbingan untuk siswa tersebut selama beberapa kali. Jika hasil yang diperoleh selama mengikuti bimbingan dari GPK belum memenuhi kriteria maka siswa tersebut memerlukan tindakan yang lebih serius. Pada akhirnya siswa layak untuk menerima layanan ketidak mempuan dalam belajar karena tidak memberikan respons baik terhadap bantuan tambahan belajar.

c) Penempataan program

Friend (2015: 2115) menyatakan bagian utama dari keputusan penempatan program berkenaan dengan ranah yang menjadi tempat berlangsungnya layanan pendidikan khusus yang diterima siswa, misalnya saja di ruang kelas pendidikan umum, ruang sumber, atau ruang kelas pendidikan khusus yang terpisah.

Siswa-siswa yang terindikasi memiliki kebutuhan khusus dilakukan pendekatan berdasarkan respons mereka terhadap pengajaran berbasis bukti

(36)

2

0

dalam beragam tingkatan intensitas. Meskipun demikian, tidak dipungkiri bahwa siswa-siswa memiliki kkebutuhan berbeda dan sebagian mereka mungkin memerlukan pengajaran dalam ranah tertentu pada tingkat intensitas yang tidak dapat dilangsungkan di ruang kelas pendidikan umum. Oleh karena itu sangat penting untuk membuat keputusan penempatan yang dilandaskan atas pengukuran yang memang mencerminkan kemampuan siswa di kelas secara akurat.

d) Penempatan kurikulum

Friend (2015: 216) menyatakan penempatan kurikulum meliputi keputusan mengenai level mana yang akan dipilih untuk memulai pengajaran siswa. informasi mengenai penempatan kurikulum tentu juga dapat dijadikan sebagai patokan pengukuran bagi para guru untuk mengetahui sejauh apa siswa penyandang disabilitas mengakses kurikulum pendidikan umum.

Informasi mengenai penempatan kurikulum tentu juga dapat dijadikan sebagai patokan pengukuran bagi para guru untuk mengetahui sejauh apa siswa-siswa penyandang disabilitas mengakses kurikulum pendidikan umum. Seorang siswa mampu membaca buku dua tingkat di bawah kelasnya dapat dianggap mengalami kesulitan mengakses kurikulum baca pendidikan umum. e) Evaluasi pengajaran

Friend (2015: 217) menyatakan bahwa keputusan dalam evaluasi pengajaran meliputi keputusan untuk melanjutkan atau mengubah prosedur pengajaran yang telah diterapkan pada siswa. Keputusan ini dibuat dengan memantau kemajuan siswa secara cermat.

GPK melakukan program tutor teman sebaya yaitu siswa yang memiliki kesulitan belajar bersama dengan teman sebayanya mendapatkan hasil yang baik. Dari hasil yang telah diperoleh digunakan untuk mencari tahu program tutor teman sebaya sesuai untuk siswa yang memiliki kesulitan belajar.

(37)

21 f) Evaluasi program

Friend (2015: 217) menyatakan bahwa keputusan evaluasi program meliputi keputusan untuk menghentikan, melanjutkan, atau memodifikasi program pendidikan khusus seorang siswa. Kustawan (2013: 97) menjelaskan bahwa asesmen yang dilakukan dengan memfokuskan perhatiannya pada proses pembelajaran siswa yang terjadi di rumah, sekolah dan lingkungan belajar lain serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses pembelajaran siswa. Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa asesmen adalah pengumpulan informasi dan untuk memantau kemajuan dari proses pembelajaran siswa dengan 6 ranah seperti screening, diagnosis, penempatan program, penempatan kurikulum, evaluasi pengajaran dan evaluasi program.

Seorang siswa yang memiliki kebutuhan khusus gangguan membaca berhasil mencapai level patokan dalam kelancaran dan pemahaman baca untuk tingkat kelasnya, program belajarnya pun berubah. Kemudian dimasukkan ke dalam pendidikan umum untuk keseluruhan blok membaca dan proses kemajuannya dipantau dengan cermat untuk memastikan bahwa pencapaiannya ini dapat dipertahankan.

g. Pengadaan dan Pemanfaatan media Pembelajaran Adaptif

Kustawan (2013: 117) berpendapat bahwa media pembelajaran adaptif bagi anak berkebutuhan husus hakekatnya adalah media yang dirancang, dibuat, dipilih dan digunakan dalam pembelajaran sehingga dapat bermanfaat atau berguna dan cocok dalam kegiatan pembelajaran. Pemilihan media pembelajaran disesuaikan dengan tujuan, kebutuhan, materi, kemampuan dan karakteristik anak akan semangat menunjang efisiensi dan efektifiats proses dan hasil pembelajaran.

Media pembelajaran untuk anak yang memiliki hambatan pengelihatan (anak tunanetra) dapat mengembangkan media tiruan peta timbul untuk mendukung mata pelajaran IPS. Sedangkan untuk mengenal macam-macam hewan dapat menggunakan model atau miniatur untuk mendukung mata pelajaran IPA dan Bahasa Indonesia.

(38)

22 h. Penilaian dan evaluasi Pembelajaran

Kustawan (2013: 124) berpendapat bahwa evaluasi merupakan proses yang penting dalam bidang pengambilan keputusan, memilih informasi yang tepat, mengumpulkan dan menganalisis informasi tersebut agar diperoleh data yang tepat yang akan digunakan pengambilan keputusan dalam memilih diantara beberapa alternatif. Adapun karakteristik evaluasi, (1) mengidentifikasi aspek-aspek yang anak dievaluasi, (2) memfasilitasi pertimbangan-pertimbangan, (3) menyediakan informasi yang berguna, (4) melaporkan penyimpangan/kelemahan untuk memperoleh remediasi dari yang dapat diukur saat itu juga. Karakteristik dari evaluasi pembelajaran ini untuk mengetahui hasil yang telah dicapai oleh siswa dengan beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung pencapaian tujuan.

Kustawan (2013: 127) menyatakan teknik penilaian yang dapat dipergunakan oleh guru di SD/MI penyelenggara sekolah inklusif adalah sebagai berikut : (1) Tes tertulis adalah teknik penilaian yang menuntut jawaban secara tertulis, baik berupa tes objektif dan uraian. (2) Tes lisan adalah dilaksanakan peserta didik melalui komunikasi langsung tatap muka antara peserta didik dengan guru atau beberapa guru.

5. Anak Berkebutuhan Khusus

Ilahi (2013:138) berpendapat bahwa anak berkebutuahn khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau permanen sehingga membutuhkan pelayanan khusus yang lebih intens. Kebutuhan mungkin disebabkan oleh kelainan atau memang bawaan dari lahir atau karena masalah tekanan ekonomi, politik, sosial, emosional, dan perilaku yang menyimpang. Disebut berkebutuhan khusus karena anak tersebut memiliki kelainan dan keberbedaan dengan anak normal pada umumnya.

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang pertama berjudul “Permasalahan-Permasalahan yang Dihadapi Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi”(Tarnoto, 2011) penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan-permasalahan yang dialami guru

(39)

23 dan sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi pada tingkat SD di

wilayah Kota Yogyakarta. Dari hasil penelitian ini menunjukkan ada berbagai permasalahan yang ditemui guru terkait kesiapan sekolah itu sendiri seperti kurangnya kompetensi guru dalam menghadapi siswa ABK, permasalahan terkait kurangnya kepedulian orang tua terhadap ABK, selain itu banyaknya siswa ABK dalam satu kelas, dan kurangnya kerjasama dari berbagai pihak seperti masyarakat, ahli professional, dan pemerintah.

Penelitian yang kedua dengan judul “Guru Pendamping Khusus (GPK): Pilar Pendidikan Inklusi” (Zakia, 2015). Penelitian ini bertujuan untuk optimalisasi peran dan tugas guru pendamping khusus di sekolah inklusi, menemukan dampak yang dialami sekolah inklusi dengan tidak tersedianya guru pendamping khusus di sekolah inklusi. Kualifikasi GPK (Guru Pendamping Khusus) yaitu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang materi yang akan diajarkan/dilatihkan, dan memahami karakteristik siswa. Tugas dari guru membuat suasana batin anak didik semakin terkontrol dan mampu mendayagunakan segenap potensinya demi peningkatan prestasi. Guru berperan penting dalam penerapan metode pembelajaran yang sesuai supaya potensi anak didik dapat berkembang dengan cepat.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa GPK masih bertugas seperti guru pada umumnya yaitu berdiri di kelas dan mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. GPK mengajar layaknya seperti guru kelas dan bahkan ada juga yang menjadi guru kelas karena permasalahan kekurangan guru yang dialami pihak sekolah. Dampak yang dialami oleh sekolah akibat kekurangan guru pendamping khusus dalam pendidikan inklusi adalah pemenuhan kebutuhan ABK terutama program khususnya tidak terpenuhi, ABK dianggap sebagai pengganggu dalam kelancaran pelaksanaan pogram pendidikan, guru kelas tidak dapat memfasilitasi kebutuhan ABK di kelas, kebijakan sekolah untuk menerima siswa-siswa normal dan ABK dengan tingkat hambatan yang ringan. Sedangkan ABK dengan tingkat hambatan sedang dan berat langsusng diarahkan ke SLB.

(40)

24 Penelitian yang ketiga dengan judul “Layanan Anak Berkebutuhan Khusus di

Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SSPI) Sekolah Dasar Wilayah Kecamatan Lendah Kabupaten Kulon Progo”(Aniska 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan layanan yang diberikan sekolah terhadap ABK di sekolah dasar penyelengara pendidikan inklusif di wilayah Kecamatan Lendah Kabupaten kulon Progo. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Layanan akademik dilihat dari (a) aspek peserta didik: sekolah telah memberikan layanan berupa identifikasi dan asesmen bagi anak berkebutuhan khusus; (b) aspek kurikulum: sekolah belum melakukan pengembangan kurikulum khusus ABK; (c) aspek sarana dan prasarana: sarana dan prasarana yang ada di sekolah masih sama seperti sekolah pada umumnya namun di SD Negeri Ngentakrejo sudah menyediakan sarana berupa akses jalan untuk ABK dan proses pembuatan ruangan khusus untuk pendampingan ABK; (d) aspek pendidik: pendidik masih merasa kesulitan dalam melayani ABK. (2) Layanan non-akademik dilihat dari (a) aspek pengembangan life skills: masih sebatas ekstrakulikuler, di SD Negeri Ngentakrejo sudah merencanakan adanya kegiatan cetak batako, paving block, salon, dan membatik; (b) aspek kegiatan ekstrakulikuler: layanan yang diberikan sekolah masih sama yaitu tidak membeda-bedakan antara anak baik atau ABK maupun non-ABK.

Ketiga penelitian ini memiliki relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Penelitian pertama hasil penelitian adanya permasalahan-permasalahan yang yang dihadapi sekolah, kebanyakan adalah dari sumber dayanya seperti kekurangan tenaga pendamping khusus. Penelitian yang kedua menjelaskan akan pentingnya guru Pendamping Khusus (GPK) ini adalah pokok dari pendidikan inklusi. GPK memiliki peran yang begitu penting untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus. Penelitian yang ketiga menjelaskan bahwa perlu adanya layanan seperti layanan akademik, sekolah memberikan layanan identifikasi dan asesmen, layanan kurikulum dan materi, layanan saran dan prasarana. Layanan non akademik seperti skill dengan kegiatan ekstrakurikuler, dan juga layanan untuk siswa dengan tidak membeda-bedakan

(41)

25 siswa yang mengalami kebutuhan khusus dan juga siswa yang normal. Ketiga

hasil penelitian tersebut maka, perlu adanya penelitian yang lebih lanjut yang mengenai penyelenggaraan sekolah dasar inklusi terkait dengan adanya permasalahan dan hambatan yang ada. Penelitian ini memiliki ke khasan tersendiri dibandingkan peelitian yang terdahulu yaitu dengan memberikan deskripsi tentang penerapan sekolah dasar inklusi dan permasalahan yang ada di sekolah dasar inklusi Literature map penelitian yang relevan dapat dilihat berikut:

Bagan 2.1 Literature map Deni Laylatul Zakia pada tahun 2015 dengan judul penelitian “Guru Pembimbing Khusus (GPK): pilar Pendidikan Inklusi” Mengoptimalisasi peran dan tugas guru pembimbing khusus di sekolah inklusi, menemukan dampak yang dialami sekolah inklusi dengan tidak tersedianya guru pendamping khusus di sekolah inklusi.

Taruri Deti Aniska pada tahun 2011 dengan judul

“Layanan Anak

Berkebutuhan Khusus

di Sekolah

Penyelenggara

Pendidikan Inklusif (SPPI) Sekolah Dasae Wilayah Kecamatan Lendah Kabupaten Kulon Progo”

Layanan yang diberikan sekolah ABK di sekolah penyelenggara

pendidikan inklusif. Pelayanan yang diberikan seperti layanan akademik dan non akademik.

Fransisca Wahyu Eri Widiastuti

Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi Kelas Bawah di SD Suka Kasih Wilayah Kota Yogyakarta Nissa Tarnoto pada

tahun 2011 dengan judul penelitian “Permasalahan-permasalahan yang Dihadapi Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi Pada Tingkat SD” Permasalahan-permasalahan yang dialami oleh guru dan sekolah dalam penyelenggaran

pendidikan inklusi serta kurangnya pemahaman orang tua dan kesadaran orang tua mengenai anak berkebutuhan khusus.

(42)

26 C. Kerangka Berpikir

Di wilayah kota Yogyakarta terdapat beberapa sekolah dasar inklusi diantaranya terdapat 11 (sebelas) sekolah penyelenggara inklusi yang berada di beberapa kecamatan di Wilayah Kota Yogyakarta. Wilayah kota Yogyakarta ini terdapat di daerah yang berada di tengah kota sehingga mendapatkan posisi yang strategis. Selain itu, penyebaran sekolah inklusi ini setiap kecamatan minimal terdapat 3 sekolah dasar inklusi yang telah mendapatkan SK dari pemerintah. Akan tetapi, sekolah penyelenggara inklusi ini walaupun berada di tengah kota tetapi juga memiliki kendala yang dihadapi atau permasalahan-permasalahan yang timbul, sehingga dapat menjadi salah satu faktor penghambat terselenggaranya sekolah inklusi di wilayah ini.

Peneliti terdorong untuk melakukan penelitian di sekolah dasar kelas bawah untuk mengetahui secara rinci permasalahan-permasalahan yang dialami. Peneliti mengambil data dengan melakukan wawancara, observasi dan dokumentasi untuk guru kelas bawah dan sekolah. Wawancara ini bersifat semi terstruktur, sehingga guru kelas dan sekolah dapat menjawabnya sesuai dengan yang dialaminya. Data yang sudah didapatkan lalu diolah dan dianalisis. Data yang sudah diperoleh digunakan sebagai deskripsi mengenai permasalahan-permasalahan yang ada di sekolah inklusi di wilayah Yogyakarta. Hasil penelitian ini diharapkan membantu semua pihak yang berkepentingan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi di kelas bawah sekolah dasar di wilayah Yogyakarta. Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengambil judul “Permasalahan Sekolah Dasar Inklusi Kelas Bawah Di SD “Suka Kasih” Wilayah Kota Yogyakarta”.

(43)

27

27

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif ini diharapkan dapat membantu mengetahui permasalahan sekolah penyelenggara pendidikan inklusi di SD “Suka Kasih” wilayah Kota Yogyakarta. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berlandaskan kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian lebih menekanankan makna dari generalisasi Sugiyono (2012: 9). Jonker (2011:71) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah untuk mengidentifikasi karakteristik dan struktur fenomena serta peristiwa dalam konteks alamnya.

Dalam penelitian ini, peneliti hanya melakukan penelitian sesuai dengan kejadian atau fenomena yang terjadi secara nyata sesuai dengan kondisi di lapangan. Terkait dengan permasalahan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan permasalahan sekolah inklusi kelas bawah di SD “Suka Kasih” wilayah kota Yogyakarta.

B. Setting Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sekolah dasar inklusi yang ada di wilayah Kota Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan berdasarkan daftar nama sekolah dasar inklusi yang ada di wilayah Kota Yogyakarta. Peneliti memilih SD “Suka Kasih” sebagai tempat penelitian. Penelitian sebelumnya yang berjudul “Survey Pelaksanaan Sekolah Inklusi di Wilayah Kota Yogyakarta” dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa SD “Kasih Ibu” yang lebih sedikit dalam menerapkan aspek sekolah inklusi setelah di konfirmasi di SD tersebut tidak memiliki siswa berkebutuhan khusus sehingga pihak sekolah menyarankan untuk mencari sekolah lain. Peneliti akhirnya memilih SD “Suka kasih”

(44)

28 sebagai tempat penelitian karena SD “Suka Kasih” menerapkan empat aspek

sekolah dasar inklusi. SD “Suka Kasih” sudah dinyatakan sebagai sekolah inklusi adalah sekolah yang sudah mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari Dinas Pendidikan.

2. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah guru kelas I, guru kelas II, guru kelas III, dan kepala sekolah di sekolah dasar inklusi yang ada di wilayah kota Yogyakarata.

3. Objek Penelitian

Objek pada penelitian ini adalah permasalahan penyelenggara sekolah dasar inklusi di SD “Suka Kasih” wilayah kota Yogyakarta terkait dengan delapan aspek sekolah peneyelenggaraan pendidikan inklusi. SD “Suka Kasih” dalam hasil penelitian survey penyelenggaraan sekolah inklusi di wilayah Kota Yogyakarta menyebutkan bahwa SD “Suka Kasih” menerapkan empat aspek sekolah inklusi dari delapan aspek sekolah inklusi.

4. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2017 sampai bulan Januari 2018. Peneliti melakukan kegiatan dimulai dari menentukan judul skripsi yang dilakukan pada bulan Juni, peneliti menyususn instrumen penelitian pada bulan Juli 2017. Setelah menyususn instrumen peneliti melakukan pengumpulan data di lapangan hingga bulan Januari 2018. Setelah peneliti memperoleh data, kemudian peneliti mulai mengolah data dan menyusun skripsi dengan bimbingan dosen pembimbing.

(45)

29 Tabel 3.1 Jadwal Penelitian

No Rencana Aktivitas

Tahun 2017 Tahun 2018

Mei Jun Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr 1. Permohona n perizin Sekolah 2. Permintaan surat pengantar penelitian dari Universitas 3. Tahap observasi 4. Tahap wawancara 5. Penyusunan laporan penelitian

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian C. Desain Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif dengan wawancara semi terstruktur. Suryabrata (dalam Darmadi,2014: 184) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah untuk membuat perencanaan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Nawawi (dalam Darmadi,2014: 185) menjelaskan bahwa metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana adanya. Suprapto (2013: 13) menyatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian terhadap sikap, status, pendapat kelompok individu, perangkat kondisi

(46)

30 dan prosedur, suatu sistem pemikiran dalam rangka membuat deskripsi atau

gambaran secara sistematik yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah actual pada masa kini.

Metode penelitian kualitatif ini akan memperoleh pemahaman dan penafsiran yang mendalam mengenai makna, kenyataan, dan fakta yang relevan. Emzir (2012) menyatakan bahwa penelitian kualitatif menggunakan metode-metode ilmiah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian mareka, meskipun langkah-langkah yang diambil lebih fleksibel. Adapun langkah-langkah sebagai berikut:

1) Mengidentifikasi sebuah topik atau fokus

Peneliti membaca penelitian sebelumnya mengenai survey penyelenggaraan sekolah dasar inklusi di Wilayah Kota Yogyakarta. Peneliti mencoba menemukan permasalahan yang dialami sekolah peneyelenggaraan pendidikan inklusi berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Peneliti terdorong untuk melakukan penelitian berdsarakan delapan aspek sekolah inklusi hal apa saja yang masih menjadi kenala atau permsalahan.

2) Melakukan tinjauan pustaka

Peneliti melakukan tinjauan pustaka untuk mengidentifikasi informasi penting yang relevan dengan studi dan untuk menulis suatu pertanyaan peneliti (rumusan masalah). Peneliti mengunakan tinjauan pustaka yang berkaitan dengan fokus pembahasan penelitian. Tinjauan pustaka seperti pendidikan inklusi, tujuan pendidikan inklusi, karakteristik pendidikan inklusi,dan delapan aspek sekolah inklusi.

3) Mengidetifikasi peran peneliti

Peneliti sebagai pemberi fasilitas bagi narasumber dalam menyamapaikan pendapat sesuai dengan keadaan yang tejadi di sekolah. Peneliti dapat menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi yang terjadi selama penelitian berlangsung. Peneliti dapat melakukan penelitian berdasarkan waktu yang tepat untuk melakukan penelitian.

(47)

31 4) Mengelola jalan masuk lapangan dan menjaga hubungan baik di lapangan

Peneliti sebelum melakukan penelitian melakukan izin terlebih dahulu dengan narasumber yang akan diteliti. Setelah melakukan perizinan peneliti datang se sekolah sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati bersama dengan narasumber.

5) Memilih partisipan

Peneliti melakukan penelitian dengan guru kelas I, guru kelas II, guru kelas III, dan kepala sekolah sebagai partisipan yang sesuai dengan fokus penelitian yang diangkat oleh peneliti. Guru kelas I, guru kelas II, guru kelas III, dan kepala sekolah telah dipilih oleh peneliti yang akan diobservasi dan diwawancara oleh peneliti sesuai dengan fokus topik yang akan dibahas oleh peneliti.

6) Menulis pertanyaan-pertanyaan bayangan

Peneliti mempersiapakan beberapa pertanyaan dengan fokus ke delapan aspek sekolah inklusi dengan indikator-indikator yang telah disesuaikan. Pertanyaan ini menjadi instrumen bagi peneliti dalam melakukan wawancara dengan guru kelas I, guru kelas II, guru kelas III, dan kepala sekolah. Pedoman yang digunakaan oleh peneliti dengan delapan aspek sekolah inklusi yang meliputi penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang mengakomodasi semua anak, identifikasi, adaptasi kurikulum (kurikulum adaptif), merancang bahan ajar yang ramah anak, penataan kelas yang ramah anak, asesmen, pengadaan dan pemanfaatan media pembelajaran adaptif, dan penilaian dan evaluasi pembelajaran.

7) Pengumpulan data

Peneliti melakukan pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dengan observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Setelah peneliti mendapatkan data dari berbagai sumber, kemudian membandingkan dengan teknik triangulasi data. Peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur Esterberg (dalam Sugiyono,2012: 233) menyatakan bahwa wawancara semi terstruktur adalah pelaksanaanya lebih bebas yang bertujuan untuk

Gambar

Tabel 2.1 Daftar Sekolah Dasar Inklusi    No.  Sekolah Dasar Inklusi  Kecamatan
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian  C.  Desain Penelitian
Tabel 3.2 Kisi-kisi Instrumen Wawancara Penelitian tentang Permasalahn  Sekolah Inklusi Kelas Bawah di SD “Suka Kasih” Wilayah Kota Yogyakarta
Tabel 3.3 Pedoman Observasi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui variabel – variabel tekstur yang penting dalam roti tawar dan membandingkan tiga merk roti tawar (Wonder, Swiss dan

Penarikan simpulan dilakukan berdasarkan hipotesis dengan menghitung hasil kuesioner dan didukung oleh teori-teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti sehingga digunakan

Tahapan pertama yang akan dilakukan pemilihan kapal dan rute yang terbaik yang akan dibantu dengan menggunakan metode Linear Programming , Vehicle Routing Problem ,

DAFTAR NAMA PELAMAR YANG DINYATAKAN LULUS SELEKSI ADMINISTRASI PENGADAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL KEMENTERIAN SOSIAL. TAHUN

Klik pada tabel untuk memilih tautan yang ingin Anda letakkan pada banner.. • Halaman Detail Produk: Arahkan pelanggan ke halaman detail produk • Halaman Kata

Melalui empat hal yang telah penulis tentukan dalam seni dampeng ini, maka akan dapat menjelaskan kepada kita tentang struktur melodi dan makna teks dampeng

Setelah kita buat bagian table ini, sekarang kita akan isi bagian tablenya, dengan cara mengubah tampilan viewnya menjadi Data Sheet View dengan cara klik menu View , pilih

(1) Pemantau Pemilu melakukan pemantauan pada suatu daerah tertentu sesuai dengan rencana pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf f dan huruf g yang