• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Foto

1. Pengertian Foto

Menurut Wikipedia, foto adalah sebuah gambar yang diciptakan oleh cahaya yang jatuh pada permukaan yang peka cahaya, pada umumnya permukaan yang peka cahaya adalah film foto atau sensor elektronis seperti CMOS dan CCD.

Menurut Chambers 20th century Dictionary (1983), foto didefinisikan sebagai gambar yang dihasilkan melalui proses fotografi. Proses fotografi didefinisikan sebagai sebuah seni atau proses menciptakan gambar permanen dengan bantuan cahaya atau energi radian pada permukaan kimiawi.

Foto adalah hasil proses fotografi berupa citra media visual atau gambar. Kata foto dipergunakan untuk merepresentasikan gambaran suatu obyek yang terekam pada lempengan dua dimensi. Foto dapat dihasilkan dari beragam teknologi fotografi seperti camera obscura, kamera Single Lens Reflex dan media perekamannya dapat berupa film, kertas foto maupun sensor digital.

2. Sejarah Foto

Foto permanen pertama kali dibuat oleh penemu Prancis Joseph Nicéphore Niépce pada tahun 1826. Pembuatan foto ini didasarkan pada penemuan Johann Heinrich Schultz (1724) yang menyatakan bahwa sebuah campuran kapur dan perak akan berubah menjadi gelap apabila terekspos cahaya. Penemuan ini kemudian dikembangkan oleh Niépce dan Louis

Daguerre. Daguerre menemukan bahwa permukaan perak yang telah diberi perlakuan kimiawi berupa pemberian uap iodin, sebelum ekspos cahaya dilakukan, dan pemberian uap merkuri setelah ekspos cahaya dilakukan, dapat memunculkan gambar pada permukaan perak, kemudian permukaan perak dicuci dengan menggunakan air garam untuk membuat gambar yang muncul menjadi permanen. Proses ini menghasilkan gambar yang populer disebut sebagai daguerreotype. Keberhasilan metode ini membuat munculnya peluang baru dalam pendokumentasian gambar. Daguerre mendokumentasikan berbagai tempat di Prancis dengan menggunakan metode ini.

Ketidak-praktisan daguerreotype membuat peneliti lain mencoba berbagai metode untuk menghasilkan foto dengan cara yang lebih praktis. Pada tahun 1848 diperkenalkan metode collodion process, metode ini menggunakan gelas kaca yang telah diberi cairan collodion. Metode ini dapat menghasilkan gambar negatif yang dapat dicetak pada kertas albumen. Kemudian pada tahun 1871 ditemukan proses gelatin yang menggunakan permukaan film. Metode ini memiliki kepekaan cahaya yang sangat baik sehingga mampu merekam gerakan yang berlangsung dalam sepersekian detik. Oleh karena kemampuan metode ini untuk merekam gerak, maka metode ini diterapkan untuk membuat dokumentasi mengenai aktivitas manusia dan mulai diaplikasikan pada berbagai aspek kehidupan manusia seperti jurnalisme, forensik, maupun foto potrait. Adaptasi dari metode ini masih dipergunakan hingga saat ini dalam pembuatan foto hitam putih.

Pada tahun 1842, foto berwarna juga mulai dikembangkan oleh John Herschel. Akan tetapi, foto berwarna baru populer pada tahun 1903 dengan diperkenalkannya metode Lumière. Metode ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam menghasilkan gambar. Kesulitan dalam menghasilkan gambar berwarna membuat perkembangan foto berwarna berjalan lambat. Foto berwarna yang mudah dipergunakan muncul pada tahun 1932 dengan diperkenalkannya film berwarna Agfa dan pada tahun 1935 dengan diperkenalkannya Kodachorme. Meskipun penemuan film berwarna telah membaik, penggunaan foto berwarna baru mulai diterapkan secara menyeluruh pada tahun 60-an.

Penemuan media digital membawa pengaruh terhadap perkembangan foto. Para peneliti tertarik untuk menyimpan foto pada media digital. Pada awalnya foto digital diciptakan dengan memindai foto non-digital dengan menggunakan scanner. Kemudian perusahaan elektronik Sony memperkenalkan kamera digital Sony Mavica yang mempergunakan sensor digital untuk menghasilkan gambar. Pada tahun 1990 Kodak memperkenalkan DSC 100,kamera digital pertama yang diperdagangkan secara komersial. Perkembangan fotografi digital yang cepat dan efisien membuat penggunaan fotografi digital semakin diminati. Selain karena tidak mempergunakan film dan cepat dalam pengiriman data, foto digital dapat dengan mudah dicetak di berbagai media. Akan tetapi penggunaan film atau media non-digital tetap

dipergunakan oleh kalangan fotografer profesional karena film memiliki kualitas ketajaman foto yang lebih baik daripada film digital.

3. Jenis-jenis Foto

Menurut media penyimpanan yang dipergunakan, foto dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

a. Foto Non-Digital

Foto non-digital adalah foto yang dihasilkan melalui proses kimiawi dengan medium berupa film negatif maupun positif dan dicetak dengan medium kertas foto (kertas yang memiliki lapisan kimiawi).

b. Foto Digital

Foto digital adalah foto yang dihasilkan melalui proses digital yaitu menterjemahkan cahaya yang diterima sensor CMOS atau CCD menjadi data digital yang berupa gambar digital dalam format JPEG, TIFF, RAW dan dicetak menggunakan metode pencetakan digital menggunakan inkjet printers, dye-sublimation printer, laser printers, dan

thermal printers.

4. Foto dan Obyektivitas

Foto memiliki kemampuan untuk merepresentasikan objek dengan tingkat presisi yang tinggi. Apa yang dilihat oleh mata manusia akan direkam dalam bentuk yang sama persis di dalam foto. Seperti yang diungkapkan oleh Seno Gumira Ajidarma: “…Foto seekor kucing adalah kucing dan tiada lain selain kucing.” Ajidarma (2002). Foto bukanlah hanya sebuah alat untuk

merekam kejadian melainkan juga sebagai sebuah metode untuk menangkap realitas.

Pernyataan Ajidarma (2002) itu diperkuat pula oleh pernyataan Atkins (dalam Johnson, 1989) yang menyebut sebuah foto sebagai representasi sempurna dari obyeknya.

Menurut pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa foto menghadirkan gambar secara obyektif. Obyektif dalam hal ini adalah menghadirkan gambar sesuai dengan kondisi sesungguhnya dan apa adanya. Obyektivitas foto ini membuat foto sebagai alat yang handal untuk melaporkan kondisi sebuah peristiwa atau obyek dalam kondisi yang sesungguhnya.

Keobyektifan foto memberikan kontribusi yang penting terutama terkait dengan jurnalisme dan forensik. Dunia jurnalisme yang memiliki etika untuk menyampaikan berita seobyektif mungkin sangat terbantu dengan kemampuan foto untuk merepresentasikan peristiwa atau obyek dalam presisi yang tinggi. Sedangkan dalam dunia forensik, foto dipergunakan sebagai bukti otentik yang mencatat realitas yang terjadi dalam suatu peristiwa seperti pembunuhan dan kecelakaan. Foto dalam forensik dipergunakan sebagai alat yang mencatat realitas visual yang nantinya akan dipergunakan dalam proses penyidikan dan proses pengadilan sebagai barang bukti visual.

Dokumen terkait