• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Teori

Dalam dokumen ANJAN SWASTI HARDIYANTI D0108038 (Halaman 26-61)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

Landasan teori adalah teori yang digunakan untuk membantu menjelaskan variabel-variabel penelitian yang akan digunakan untuk merumuskan kerangka berpikir. Dalam penelitian ini, variabel-variabel penelitian yang digunakan antara lain:

1. Pelayanan

Salah satu harapan yang muncul semenjak dikeluarkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah semakin optimalnya pembangunan dan pelayanan publik di daerah. Hal tersebut juga diungkapkan dalam jurnal internasional Decentralization and the Provision of Public Services: Framework and Implementation oleh Aehyung Kim:

goods and services. It is viewed as a way to make government more efficient, (Dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara di seluruh dunia telah

dipandang sebagai suatu cara untuk membuat pemerintah lebih efisien, responsif, dan akuntabel.)

(Jurnal Internasional : Aehyung Kim. 2008. Decentralization and the Provision of Public Services: Framework and Implementation. World Bank Policy Research Working Paper No. 4503)

Hal ini tak lepas dari keberadaan pelayanan publik yang dianggap sebagai garda terdepan dalam pencapaian tujuan nasional sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Hal ini mengandung makna bahwa pelayanan publik merupakan implementasi dari penyelenggaraan pemerintah yang bertujuan untuk memajukan tujuan nasional terutama kesejahteraan rakyat (UU Nomor 25 Tahun 2009).

Menurut Sedarmayanti (2009:243) yang dimaksud pelayanan berarti melayani suatu jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam segala bidang. Sebab kegiatan pelayanan kepada masyarakat merupakan salah satu tugas dan fungsi administrasi negara.

Sedangkan menurut Ivancevich, Lorenzi, Skinner dan Crosby dalam Ratminto & Atik Septi Winarsih (2007:2) mengemukakan:

lah produk-produk yang tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan menggunakan

peralatan-Ini adalah definisi yang paling simpel. Sedangkan definisi yang lebih rinci diberikan oleh Gronroos sebagai mana dikutip di bawah ini:

tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk Gronroos (1990:27)

Dari dua definisi tersebut di atas dapat diketahui bahwa ciri pokok pelayanan adalah tidak kasat mata (tidak dapat diraba) dan melibatkan upaya

manusia (karyawan) atau peralatan lain yang disediakan oleh perusahaan penyelenggara pelayanan. Ciri-ciri lain yang lebih lengkap yang dapat dipakai untuk memahami pengertian pelayanan telah diberikan oleh Zemke sebagaimana di kutip olehCollins dan Mc Laughlin (1996: 559) dapat dilihat dalam tabel 2.1 di bawah ini:

Tabel 2.1

Karakteristik Produk (Barang) dan Pelayanan

Produk (Barang) Jasa Pelayanan

Konsumen memiliki objeknya Konsumen meniliki kenangan. Pengalaman atau memori tersebut tidak bisa dijual atau diberikan kepada orang lain

Tujuan pembuatan barang adalah keseragaman, semua barang adalah sama

Tujuan penyelenggaraan pelayanan adalah keunikan. Setiap konsumen dan setiap

Suatu produk atau barang dapat di simpan di gudang, sampelnya dapat dikirim ke konsumen

Suatu pelayanan terjadi saat tertentu, ini tidak dapat disimpan di gudang atau di kirimkan contohnya

Konsumen adalah pengguna akhir yang

Kontrol kualitas dilakukan dengan cara membandingkan output dengan spesifikasinya

Konsumen melakukan kontrol kualitas dengan cara membandingkan harapannya dengan pengalamannya

Jika terjadi kesalahan produksi, produk (barabg) dapat ditarik kembali dari pasar

Jika terjadi kesalahan, satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk memperbaiki adalah meminta maaf

Moral karyawan sangat penting Moral karyawan berperan sangat penting Ratminto & Atik Septi Winarsih (2007:3)

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 mendefinisikan pelayanan publik sebagai:

Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(Keputusan MENPAN Nomor 63/2003)

Mengikuti definisi tersebut di atas, pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah,

dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(Ratminto & Atik Septi Winarsih, 2007:5).

Sedangkan pengertian pelayanan publik menurut Sinambela (2008:5-6) adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya negara dalam hal ini pemerintah (birokrasi) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat, misalnya kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.

Dalam perspektif hubungan antara masyarakat dan pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik, menurut Moleong dalam Ismail dkk (2010:85) mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan terhadap keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Hal ini mengandung makna bahwa pelayanan publik merupakan salah satu wujud dan fungsi aparatur negara dalam memberikan layanan pada masyarakat, dalam posisinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.

Sedarmayanti (2004) dalam jurnal Pelayanan Satu Atap sebagai Strategi Pelayanan Prima di Era Otonomi Daerah oleh Agung Priyono

mengemukakan bahwa pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan yang bersifat sederhana, terbuka, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau. Sedarmayanti (2004) lebih lanjut menegaskan, bahwa hakekat dari pelayanan publik adalah:

1. Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah di bidang pelayanan umum

2. Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan, sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

(Jurnal Pelayanan Satu Atap sebagai Strategi Pelayanan Prima di Era Otonomi Daerah, Spirit Publik volume 2 nomor 2 tahun 2006 oleh Agung Priyono).

Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna jasa, penyelenggara pelayanan harus memenuhi asas-asas pelayanan yang tertuang dalam Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004 sebagai berikut:

a. Tranparansi

Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh demua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti b. Akuntabilitas

Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan

c. Kondisional

Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efidiensi dan efektivitas.

d. Partisipatif

Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

e. Kesamaan Hak

Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gemder dan status ekonomi

f. Keseimbangan Hak dan Kewajiban

Pemberi dan penerima pelayanan public harus memenuhui hak dan kewajiban masing-masing pihak

Peningkatan pelayanan kepada publik banyak ditentukan oleh sejauhmana pemerintah dapat menyusun sebuah legislasi yang dapat diterjemahkan dengan tepat dan para manajer publik dalam bentuk perubahan struktur organisasi maupun perubahan dalam bentuk-bentuk pelayanan. Untuk menghasilkan proses, produk, dan mutu pelayanan yang berkualitas, Islamy

dalam Maiyulnita (2007) menyebutkan ada beberapa dimensi orientasi pelayanan yang harus dipenuhi sebagai berikut:

1. Quality. Pelanggan sangat berkepentingan dengan pelayanan yang bermutu. Pelayanan harus berorientasi pada mutu, sehingga perlu didengar dan dilihat pandangan pelanggan serta pengalaman mereka atas mutu pelayanan yang diterimanya.

2. Access. Pelayanan harus mudah diakses oleh pelanggan, di antaranya letak kantor pelayanan harus bisa dijangkau, jam kerja kantor pelayanan harus sesuai dengan peluang dan kesempatan pelanggan, aparat dan sistem pelayanan harus menjamin terpenuhinya kebutuhan kejiwaan dan sosial pelanggan, dan pelanggan harus mudah memahami informasi pelayanan.

3. Choice. Pelayanan harus berorientasi pada pilihan dan keinginan pelanggan. Aparat perlu mencermati dan memahami dengan baik dan benar apa yang menjadi pilihan, keinginan pelanggan dan kemudian berusaha memenuhinya.

4. Participative control. Rakyat mempunyai hak untuk mengawasi dan mengendalikan pelayanan yang mereka terima.

(Ismail dkk, 2010:68-69)

Pelayanan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan publik yang termasuk dalam kategori pelayanan jasa yang diberikan oleh pemerintah sebagai pemberi layanan kepada masyarakat

sebagai pengguna layanan. Adapun pengertian jasa seperti yang didefinisikan oleh Kotler dalam Fandy Tjiptono (1997:23) adalah setiap tindakan atau perbuatan yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.

Jasa memiliki 4 karakteristik utama yang membedakan dari barang, yaitu:

1. Intangibility

Jasa berbeda dengan barang. Jika barang merupakan suatu objek, alat, atau benda; maka jasa adalah suatu perbuatan kinerja (performance), atau usaha. Jasa bersifat intangible, maksudnya tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar, atau diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi. Konsep intangible pada jasa memiliki dua pengertian, yaitu:

a. Sesuatu yang tidak dapat disentuh dan tidak dapat dirasa

b. Sesuatu yang tidak dapat dengan mudah didefinisikan, diformulasikan, atau dipahami secara rohaniyah.

2. Inseparability

Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi. Sedangkan jasa di lain pihak, umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi antara penyedia jasa pelanggan mempunyai ciri khusus dalam pemasaran jasa.

3. Variability

Jasa bersifat sangat variabel, artinya banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan dan dimana jasa tersebut dihasilkan. Dalam penegndalian jasa dapat melakukan tiga tahap sebagai berikut:

a. Melakukan investasi dalam seleksi dan pelatihan personil yang baik

b. Melakukan standarisasi proses pelaksanaan jasa (service-performance process). Hal ini dapat dilakukan dengan jalan menyiapkan suatu diagram alur, dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor potensial yang dapat menyebabkan kegagalan dalam jasa tersebut

c. Memantau kepuasan pelanggan melalui system saran dan keluhan, survei pelanggan, sehingga pelayanan yang kurang baik dapat dideteksi dan dikoreksi.

4. Perishability

Jasa merupakan komoditas tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. (Fandy Tjiptono, 1997:24-27)

Menurut Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1991) dalam Ismail dkk (2010:5), kualitas jasa harus mengacu pada syarat-syarat utama untuk dapat memberikan kualitas pelayanan yang diharapkan, yaitu harus menetapkan

standar pelaksanaan yang spesifik, adanya komunikasi yang baik, dan tidak adanya kesenjangan antara jasa yang diharapkan masyarakat dengan layanan yang diberikan oleh unit pelayanan.

Pengertian dari pelayanan jasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan kesehatan. Kesehatan merupakan aspek penting dari hak asasi manusia (HAM), sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tertanggal 10 November 1948. Sebagai hak asasi manusia, maka hak kesehatan adalah hak yang melekat pada seseorang karena kelahirannya sebagai manusia, bukan karena pemberian seseorang atau negara, dan oleh sebab itu tentu saja tidak dapat dicabut dan dilanggar oleh siapa pun. Karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Universal Declaration of Human Rights pada pasal 25 huruf (a) menegaskan bahwa:

in kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya maupun keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan, serta usaha-usaha social yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada waktu mengalami pengangguran, menderita sakit, menjadi orang cacat, janda, mencapai usia lanjut atau mengalami kekurangan nafkah dan lain-lain karena keadaan di kuar

Pemenuhan kebutuhan akan kesehatan memerlukan pelayanan yang perlu penanganan yang berbeda dengan kebutuhan yang lain, karena pemenuhan kebutuhan kesehatan aktivitasnya lebih kompleks sehingga perlu adanya layanan publik, campur tangan negara (pemerintah), khususnya dalam

penyediaan barang-barang, jasa layanan maupun aktifitas penunjang yang diperlukan.

Pelayanan kesehatan seperti yang diungkapkan Levey dan Loomba dalam Azrul Azwar (1996:35) adalah:

-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan,

Agar suatu pelayanan kesehatan dapat dikatakan baik maka harus memiliki persyaratan pokok, diantaranya:

1. Tersedia dan berkesinambungan

Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit untuk ditemukan serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada saat setiap dibutuhkan.

2. Dapat diterima dan wajar

Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat serta bersifat wajar.

3. Mudah dicapai

Penegertian ketercapaian yang dimaksud disini terutama berkaitan dengan lokasi atau pengaturan distribusi sarana kesehatan agar merata di setiap tempat.

4. Mudah dijangkau

Hal ini dipandang dari sudut biaya, sehingga harus diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.

5. Bermutu

Pengertian mutu yang dimaksud disini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan dan di pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.

(Azrul Azwar, 1996: 38-39).

Dalam Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004 dimana dinyatakan bahwa setiap penyelenggaraan pelayanan publik termasuk pelayanan kesehatan haruslah memiliki prinsip dan standar pelayanan yang dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Prinsip pelayanan publik yang tercantum dalam Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004 meliputi:

1. Kesederhanaan

Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.

2. Kejelasan

Kejelasan ini mencakup kejelasan dalam hal:

a. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik b. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab

dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan/ sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran 3. Kepastian Waktu

Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

4. Akurasi

Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah. 5. Keamanan

Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.

6. Tanggungjawab

Pimpinan penyelenggaraan pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

7. Kelengkapan Sarana dan Prasarana

Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi komunikasi dan informatika (telematika).

8. Kemudahan Akses

Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.

9. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan

Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.

10.Kenyamanan

Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah, dan lain-lain.

(Ratminto & Atik Septi Winarsih, 2007:22-23)

Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima layanan. Menurut Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004, standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:

1. Prosedur Pelayanan

Prosedur pelayanan yang dilakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan

2. Waktu Penyelesaian

Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan

3. Biaya Pelayanan

Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian layanan

4. Produk Pelayanan

Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

5. Sarana dan Prasarana

Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan publik

6. Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan

Kompetensi petugas pemberi pelayananharus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan.

(Ratminto & Atik Septi Winarsih, 2007:23-24)

Pihak pelayanan publik dalam memberikan layanan publik setidaknya harus mengetahui kebutuhan yang dilayani, menerapkan persyaratan

manajemen untuk mendukung kinerja dan memantau dan mengukur kinerja, sebagai perwujudan dari apa yang harus diperhatikan dan dilakukan oleh pelayan publik agar kualitas layanan menjadi baik, maka dalam memberikan layanan publik seharusnya mudah dalam pengurusan bagi yang berkepentingan (prosedurnya sederhana), mendapat pelayanan yang wajar, mendapatkan pelayanan yang sama tanpa pilih kasih, dan mendapatkan perlakuan jujur dan terus terang (transparansi).

Dalam Ismail dkk (2010:19-20) dikemukakan adanya berbagai kelemahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, antara lain:

1. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.

2. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.

3. Kurang aksesibel. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.

4. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang terkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.

5. Birokratis. Pelayanan biasanya dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil. Di lain pihak, kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.

6. Kurang mau mendengar keluhan/ saran/ aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/ saran/ aspirasi dari masyarakat pengguna layanan. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.

7. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.

Untuk mengetahui keberhasilan dalam penyelenggaraan pelayanan publik ini maka diperlukan penilaian kinerja. Penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai misinya. Dalam Dwiyanto (2002:45), untuk organisasi pelayanan publik, informasi mengenai kinerja sangat berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan pengguna jasa. Hal ini serupa dengan apa yang dikatakan Wisniewski and Stewart dalam jurnal Public Services and Performance Management: The High Performance Working Inventory. Journal of Finance and Management in Public Service oleh Armitage, Andrew Armitage dan Diane Keeble-Allen:

decision making and the public acountability of any organization in any (Informasi mengenai kinerja adalah isi yang sangat penting untuk kontrol manajemen, informasi pembuatan keputusan dan akuntabilitas publik di sektor apapun)

(Jurnal Internasional: Armitage, Andrew & Diane Keeble-Allen. 2009:5. Public Services and Performance Management: The High Performance Working Inventory. Journal of Finance and Management in Public Service. Vol 8. No 1)

Menurut Kumorotomo dalam Dwiyanto (2002:52) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik antara lain:

1. Efisiensi

Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis. Apabila diterapkan secar objektif, kriteria. seperti likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas merupakan kriteria efisiensi yang sangat relevan.

2. Efektivitas

Apakah tujuan dan didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai? Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, serta fungsi agen pembangunan.

3. Keadilan

Keadilan mempertanyakan distnibusi dan alokasi layanan yang diselenggarakanoieh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan. Keduanya mempersoalkan apakah tingkat efektivitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat terpenuhi. Isu-isu yang mnyangkut pemerataan pembangunan, layanan kepada kelompok pinggiran dan sebagainya, akan mampu dijawab melalui kriteria ini.

4. Daya Tanggap

Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagan diri daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap.

Sedangkan Agus Dwiyanto (2002:49) mengemukakan bahwa penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi publik, seperti efisiensi dan efektivitas, tetapi harus dilihat juga indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan responsivitas. Penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokasi publik seringkali memiliki kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak memiliki alternatif sumber pelayanan. Untuk itu Agus Dwiyanto mengemukakan lima indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik, yaitu:

1. Produktivitas

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahaini sebagai rasio antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa

terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.

2. Kualitas Layanan

Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dan organisasi publik. Dengan demikian, kepuasaan masyarakat terhadap Layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai

Dalam dokumen ANJAN SWASTI HARDIYANTI D0108038 (Halaman 26-61)

Dokumen terkait