• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

9) Daya Tanggap

2.1.6. Peranan Organisasi Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI)

2.2.2.1. Pengukuran Perilaku

Ada tiga cara sederhana untuk mengukur perilaku, yaitu sebagai berikut.

1) Menghitung frekuensi perilaku.

Untuk menghitung frekuensi perilaku, kita bisa dengan cara sederhana menghitung jumlah berapa kali perilaku itu terjadi. Sekarang kita bisa melihat betapa penting untuk menjelaskan secara spesifik ketika mendeskripsikan perilaku. Untuk bisa menghitung sebuah perilaku, kita perlu mengetahui kapan itu terjadi atau tidak terjadi (Handajani, 2008).

Sebagai contoh, kita bisa menghitung jumlah perilaku yang terjadi setiap harinya. Katakanlah seorang nelayan mengeluh kepada HNSI mengenai masalah rendahnya harga jual ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Setelah dihitung, kita mungkin menemukan bahwa nelayan tersebut melakukannya dua kali di hari Senin, tiga kali pada hari Selasa dan hanya satu kali di hari Rabu. Untuk perilaku yang tidak terjadi sangat sering, kita bisa menghitung jumlah perilaku setiap minggu. Katakanlah nelayan kadang-kadang membicarakan tentang kehadiran kapal asing yang menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia dengan HNSI di pagi hari. Setelah dihitung, kita mungkin menemukan bahwa nelayan tersebut melakukannya tiga kali selama minggu lalu dan lima kali dalam minggu ini.

Ketika kita menghitung jumlah berapa kali perilaku terjadi, kita melakukannya dalam periode waktu tertentu. Beberapa perilaku yang kita ingin hitung mungkin terjadi berkali-kali dalam sehari. Bila kelihatannya akan sulit untuk menghitung perilaku ini sepanjang hari, kita dapat memilih hanya satu bagian untuk dihitung. Sebagai contoh, kita mungkin mengambil antara jam 8 - 10 pagi. Jika kita

melakukan hal ini, penting untuk mengukur pada saat yang sama setiap harinya (Handajani, 2008).

2) Mengukur durasi perilaku.

Bagi banyak perilaku, menghitung jumlah perilaku itu terjadi akan memberikan gambaran yang baik. Sebagai contoh, untuk mengukur perilaku seseorang, menghitung berapa kali itu terjadi memberikan gambaran yang baik (Handajani, 2008).

Misalnya kita ingin mengukur perilaku nelayan berupa membicarakan tentang peran HNSI terhadap bantuan yang mereka terima dari Dinas Perikanan dan Kelautan dengan nelayan yang lain. Jika kita menggunakan perhitungan dengan frekuensi untuk mengukur perilaku ini, kita akan mengetahui para nelayan hanya melakukan satu kali sehari. Kalau seperti ini tidak akan memberikan gambaran yang baik tentang tingkatan perilaku.

Dalam kondisi seperti ini, adalah lebih baik mengukur berapa lama para nelayan saling membicarakan tentang peran HNSI terhadap bantuan yang mereka terima dari Dinas Perikanan dan Kelautan. Pengukuran ini disebut mengukur durasi perilaku. Jika kita melakukan ini, kita akan mengetahui para nelayan tersebut membicarakan tentang peran HNSI selama 60 menit pada hari Senin, 80 menit pada hari Selasa, tetapi hanya 30 menit pada hari Rabu.

Tergantung pada perilaku seseorang, kita bisa mengukur perilakunya terjadi dalam detik, menit, atau jam. Poin penting adalah untuk menambahkan jumlah waktu orang tersebut berhubungan dengan perilakunya (Handajani, 2008).

3) Menghitung permanent product perilaku.

Perhitungan frekuensi atau durasi mungkin itu yang kita perlukan di banyak perilaku seseorang. Ada cara ketiga untuk mengukur perilaku yang berguna untuk kita. Yaitu dengan menghitung permanent product (hasil akhir permanen) perilaku. Beberapa perilaku menghasilkan sesuatu yang bisa dihitung: hasil akhir produk, sesuatu yang tertinggal setelah perilaku terjadi (Handajani, 2008).

Misalnya jika nelayan mempunyai kebiasaan memperbaiki peralatan menangkap ikan setiap kali selesai melaut, kita dapat menghitung berapa rata-rata usia peralatan yang digunakan oleh nelayan tersebut. Peralatan yang sering dirawat dan diperbaiki tentunya memiliki rata-rata usia yang lebih lama dibandingkan peralatan yang kurang dirawat.

Manfaat yang didapat dengan menggunakan pengukuran permanent product adalah kita tidak perlu ada di tempat ketika perilaku itu timbul. Kita dapat menghitung setelah kejadian. Kelemahannya adalah tidak semua perilaku memiliki produk yang bisa dihitung (Handajani, 2008).

Berdasarkan teori Snehandu B. Kar, analisis perilaku seseorang dapat dilakukan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi-fungsi sebagai berikut.

1) Niat seseorang (behavior intention). 2) Dukungan sosial (social-support).

3) Ada tidaknya informasi mengenai objek yang bersangkutan (accessibility of information).

5) Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation) (Notoadmodjo, 2003).

Berikut ini adalah uraian tentang masing-masing fungsi tersebut dalam pembentukan perilaku manusia.

1) Niat seseorang (behavior intention).

Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan pertimbangan yang menjadi dasar kesadaran sosial seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku sosialnya untuk bertindak sehubungan dengan peran suatu organisasi serta penerapan sebuah program yang sedang berjalan (Budiman, 2010).

Misalnya seorang nelayan kecil yang terus berpikir agar kelak dikemudian hari menjadi nelayan toke akan terus berupaya dan berproses mengembangkan perekonomiannya dan memperbaiki dirinya dalam perilaku sosialnya.

2) Dukungan sosial (social-support) dari masyarakat sekitarnya.

Dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok yang berdasarkan kepentingan bersama (Niven, 2005).

Sumber dari dukungan sosial ini adalah orang lain yang akan berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat merasakan kenyamanan secara fisik dan psikologis. Orang lain ini terdiri dari pasangan hidup, orang tua, saudara, anak,

kerabat, teman, rekan kerja, staf medis serta anggota dalam kelompok kemasyarakatan (Niven, 2005).

Sheridan dan Radmacher (1992), Sarafino (1998) serta Taylor (1999) membagi dukungan sosial kedalam lima bentuk yaitu sebagai berikut.

a) Dukungan instrumental (tangible assisstance).

Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stress karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah dengan lebih mudah.

b) Dukungan informasional.

Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu, Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.

c) Dukungan emosional.

Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.

d) Dukungan pada harga diri.

Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat induividu, perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.

e) Dukungan dari kelompok sosial.

Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas sosial dengannya. Dengan begitu individu akan merasa memiliki teman senasib (Niven, 2005).

3) Ada tidaknya informasi mengenai objek yang bersangkutan (accessibility of information).

Nilai informasi ditentukan dari dua hal yaitu manfaat dan biaya. Suatu informasi dikatakan bernilai apabila manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya mendapatkannya. Sebagian besar informasi dinikmati oleh lebih dari satu pihak sehingga sulit untuk menghubungkan suatu informasi dengan biaya untuk memperolehnya dan sebagian besar informasi tidak dapat ditaksirkan keuntungannya dengan satuan uang tetapi dapat ditaksir nilai efektivitasnya (Rahmat, 2012).

Tata Sutabri (2003: 27) berpendapat bahwa nilai informasi tidak mudah untuk dinyatakan dengan ukuran yang bersifat kuantitatif. Namun, nilai informasi dapat dijelaskan menurut skala relatif. Misalnya, jika suatu informasi dapat menghasilkan hal yang mengurangi ketidakpastian bagi pengambilan keputusan,

maka nilai informasinya tinggi. Sebaliknya, jika suatu informasi kurang memberikan relevansi bagi pengambilan keputusan, informasi tersebut dikatakan kurang bernilai atau informasinya rendah (Rahmat, 2012).

4) Otonomi pribadi yang bersangkutan.

Pribadi seseorang memiliki otonomi penuh untuk melakukan perbuatan apapun. Setiap manusia memiliki kemerdekaan, memiliki hak asasi. Tetapi kemerdekaannya itu tentu ada batas wilayahnya, yaitu ketika bersinggungan dengan kemerdekaan orang lain (Hidayat, 2011).

Ada yang menyadari dan menerapkan otonomi tersebut, ada yang menyadari tetapi tidak menerapkan otonomi tersebut (karena suatu sebab). Tetapi ada juga yang tidak menyadari dan tentu tidak menerapkan otonomi tersebut (Hidayat, 2011).

5) Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak (action situation).

Pengaruh situasi dapat dipandang sebagai pengaruh yang timbul dari faktor yang khusus untuk waktu dan tempat yang spesifik yang lepas dari karakteristik seseorang dan karakteristik obyek. Situasi seseorang adalah faktor lingkungan sementara yang menyebabkan suatu situasi dimana perilaku orang tersebut muncul pada waktu tertentu dan tempat tertentu (Dimara, 2011).

Karakteristik meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku,

bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakterisitik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks (Azwar, 2007).

Untuk tidak sekedar memahami, tapi juga agar dapat memprediksi perilaku, Icek Ajzen dan Martrin Fishbein mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (theory of reasoned action) (Ajzen & Fishbein, 1980 dalam Brehm & Kassin, 1990; Ajzen, 1988). Dengan mencoba melihat penyebab perilaku volisional (perilaku yang dilakukan atas kemauan sendiri), teori ini didasarkan atas asumsi-asumsi bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal, bahwa manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan bahwa secara eksplisit maupun implisit manusia mempertibangkan tindakan mereka (Azwar, 2007)