• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Tinjauan Pustaka 1. Pembelajaran

Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari kata “instruction” (Wina Sanjaya, 2006: 78). Istilah yang sering dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat ini menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Seiring dengan perkembangan teknologi, siswa semakin mudah dalam mempelajari sesuatu melalui berbagai media. Hal ini menuntut adanya perubahan dari peran guru sebagai sumber belajar, menjadi pengelola dan fasilitator dalam proses pembelajaran. Lebih lanjut Wina mengatakan “Guru tidak lagi memposisikan diri sebagai sumber belajar yang bertugas menyampaikan informasi, akan tetapi harus berperan sebagai pengelola sumber belajar untuk dimanfaatkan siswa itu sendiri”.

Pembelajaran adalah suatu proses yang mengandung interaksi antara guru dan siswa yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Guru memberi materi sedangkan murid yang menerima, dengan kata lain dalam proses pembelajaran terjadi interaksi antara murid belajar dan guru mengajar. Menurut Syaiful Sagala (2006:61), mengatakan bahwa “Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan”. Berhasil tidaknya pendidikan siswa tergantung dari keberhasilan pembelajaran yang dilakukan guru dan siswanya. Dalam konteks pembelajaran, tujuan utama mengajar adalah membelajarkan siswa (siswa melakukan proses belajar). William H. Burton (dalam Syaiful Sagala, 2006:61) mengatakan bahwa mengajar adalah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.

Pembelajaran dapat terjadi di mana saja, selama terjadi interaksi yang bersifat edukatif. Konsep pembelajaran menurut Corey (dalam Syaiful Sagala, 2006: 61), menyatakan bahwa “Proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu,

commit to user

...”. Dalam hal ini pembelajaran dimaksudkan berupa bantuan yang diberikan secara sengaja untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan atau pengetahuan baru. Bantuan dapat berupa pemberian informasi, pengerahan, pemberian fasilitas belajar agar proses belajar berjalan lancar.

2. Apresiasi Seni

Dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan seni, istilah apresiasi seni tentu sudah tidak asing lagi. Dalam kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Soeharso & Ana Retnoningsih, 2009:47) istilah apresiasi berarti “penghargaan”. Dengan demikian apresiasi seni dapat diartikan sebagai penghargaan terhadap karya seni.

Apresiasi merupakan kegiatan menghargai dan mengerti sebuah karya. Nooryan Bahari (2008:148) menyatakan bahwa “Istilah apresiasi berasal dari kata Latin appretiatus yang merupakan bentuk past participle, yang artinya to value at price atau penilaian pada harga. Dalam bahasa Inggris disebut appreciation yang artinya penghargaan dan pengertian”. Sehingga, apresiasi tidak hanya menghargai sebuah karya seni, akan tetapi juga mengerti makna yang disampaikan senimannya melalui karya seni tersebut. Mengapresiasi adalah sebuah proses untuk memahami makna yang terkandung dalam sebuah karya seni. Nooryan juga mengatakan “Apresiasi adalah proses pengenalan nilai-nilai seni, untuk menghargai dan menafsirkan makna (arti) yang terkandung didalamnya”. Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan apresiasi seni pada akhirnya harus dapat membawa siswa kepada pengenalan dan penghayatan dari nilai-nilai yang ada dalam sebuah karya seni.

Penghargaan dan penilaian dalam apresiasi tergantung tingkat pemahaman masing-masing individu, misalnya untuk dapat menikmati performance art (pertunjukan seni) seseorang perlu memiliki pengetahuan tentang performance art, sehingga simbol-simbol yang diungkapkan melalui performance art dapat dinikmati dan dimaknai dengan baik. Bagi seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang performance art kurang mampu menikmati keindahan yang terkandung dalam performance art.

Kegiatan apresiasi seni merupakan kegiatan seni yang mengembangkan tingkat penghargaan siswa terhadap sebuah karya seni. Kegiatan ini

menumbuhkembangkan potensi siswa serta kreativitas siswa. Melalui apresiasi seni diharapkan dapat membangun sikap atau perilaku siswa untuk lebih menghargai setiap karya seni yang ditampilkan. Kegiatan berapresiasi seni sangat bermanfaat untuk memperoleh pengalaman baru, memperkaya jiwa, menanamkan rasa cinta bangsa, serta meningkatkan ketahanan seni dan budaya.

Apabila keragaman seni budaya dikenalkan dan dibelajarkan kepada siswa di sekolah, maka mereka akan mampu menghargai dan memahami keragaman serta perbedaan bentuk dan jenis seni budaya yang berasal dari berbagai latar belakang budaya yang ada di wilayah Nusantara. Dengan mengenal, memahami, mengerti hasil seni budaya bangsa sendiri merupakan wahana utama untuk menanamkan cinta bangsa dan cinta sesamanya, yang pada gilirannya juga dapat meningkatkan ketahanan budaya bangsa. (M.Jazuli, 2008: 84).

Apresiasi seni rupa berarti mengenal, memahami, dan memberikan penghargaan dan tanggapan terhadap karya seni rupa. Untuk melakukan kegiatan apresiasi seni, seseorang terlebih dulu harus memiliki pengertian, pemahaman, dan pemaknaan secara baik terhadap sebuah karya seni. “Materi apresiasi seni pada dasarnya adalah pengenalan tentang konsep atau makna, bentuk, dan fungsi seni rupa” (Taufik, 2003:7). Seseorang juga perlu mempelajari sejarah dan teori seni bersangkutan untuk meningkatkan pemahaman seninya. Lebih lanjut Taufik juga menjelaskan bahwa ”Selain pengenalan bentuk-bentuk seni rupa, materi apresiasi juga meliputi pengenalan tentang latar belakang sosial, budaya, dan sejarah di mana karya seni rupa dihasilkan serta makna-makna dan nilai-nilai pada seni rupa tersebut”.

Kegiatan apresiasi seni tidak hanya dapat dilakukan dengan metode ceramah teori saja, tetapi juga bisa dilakukan dengan variasi cara lain misalnya dengan langsung datang ke lapangan tempat karya seni tersebut dibuat, atau melihat tayangan pengetahuan tentang sebuah karya seni melalui media komputer, televisi, video, dan lain-lain. Yayah Khisbiyah (2001: xii) mengatakan bahwa “Apresiasi bisa juga diajarkan melalui pengalaman langsung. Misalnya, siswa menonton pertunjukan atau pameran, mendengarkan rekaman, menonton video,

commit to user

dan berpraktik serta berimprovisasi sendiri dengan instrumen dan unsur-unsur kesenian lainnya”.

Kegiatan apresiasi seni dapat dikatakan berhasil jika siswa mampu memahami dan menghargai sebuah karya seni. Yayah Khisbiyah (2001:105) mengatakan bahwa “Apresiasi seni dapat didefinisikan sebagai dicapainya kemampuan untuk memahami kesenian dengan penuh pengertian”. Sehingga jika siswa telah mampu mengenali dan memahami sebuah kesenian dengan baik, maka baru dapat dikatakan siswa tersebut telah berapresiasi dengan baik. Dalam apresiasi seni, hendaknya siswa diberikan pemahaman dan pengenalan mengenai kesenian tradisi Nusantara. Sehingga siswa mampu mengenali dan memahami jati diri bangsanya sendiri.

Dalam materi apresiasi seni terapan daerah setempat, SMA Negeri 1 Surakarta memilih materi batik yang diapresiasi lebih lanjut. Hal ini merupakan langkah yang tepat untuk siswa memahami lebih dalam karya seni yang ada di sekitar mereka. Dalam kata pengantarnya Yayah juga mengatakan bahwa “Jenis kesenian yang dipilih (dalam apresiasi seni) seyogyanya adalah kesenian tradisi Nusantara, karena sebagai anak bangsa, peserta didik sudah selayaknya mengetahui khazanah kesenian tradisi bangsanya sendiri”. Lebih lanjut lagi, Yayah mengatakan “Dengan demikian, apresiasi terhadap kesenian tradisional Nusantara ini diharapkan membantu peserta didik mengenal jati dirinya sekaligus memahami pluralitas bangsanya”.

Dalam materi apresiasi seni terapan daerah setempat yang disampaikan adalah pengetahuan dasar mengenai batik Surakarta. Di antaranya adalah sejarah munculnya batik Surakarta, jenis-jenis batik berdasarkan proses pembuatannya, proses pembuatan batik, dan makna pola batik Surakarta dan penggunaannya pada jaman dahulu dan saat ini. Dengan mengenalkan siswa lebih dalam mengenai pemahaman dan pengetahuan tentang batik Surakarta, maka diharapkan siswa mampu meningkatkan apresiasinya terhadap batik Surakarta.

Berdasarkan silabus kelas X SMA Negeri 1 Surakarta tahun ajaran 2010/2011, dalam pelajaran Seni Budaya materi apresiasi seni lebih dominan teori. Materi apresiasi yang lebih didominasi penyampaian teori membuat siswa

kurang antusias dengan materi pembelajaran tersebut. Penyampaian materi yang kurang tepat oleh guru juga menjadi faktor lain penyebab siswa kurang antusias dengan materi apresiasi seni. Akibat dari kurangnya antusias siswa terhadap materi pembelajaran apresiasi karya seni rupa terapan daerah setempat adalah rata-rata hasil belajar siswa X-4 SMA Negeri 1 Surakarta tahun ajaran 2010/2011 pada materi apresiasi seni rupa hanya sampai pada standar penilaian cukup yaitu 76, secara otomatis berpengaruh pada tingkat apresiasi siswa terhadap batik Surakarta itu sendiri.

Kegiatan apresiasi yang ditingkatkan dalam penelitian ini adalah pemahaman siswa terhadap materi dan sikap menghargai siswa terhadap karya seni rupa terapan daerah yaitu Batik Surakarta. Kegiatan tersebut dinilai peningkatannya melalui hasil pengamatan selama penelitian berlangsung di kelas dan nilai tes berdasarkan indikator yang sudah ditentukan. Pada hasil akhirnya, apresiasi siswa dikatakan baik jika siswa memenuhi indikator-indikator yang telah ditentukan.

3. Batik Surakarta

Batik memang saat ini tengah menjadi sebuah perbincangan menarik dalam kancah dunia internasional. Bukan hanya karena kerumitan proses pembuatan, akan tetapi juga keunikan dan keindahan corak dan motif yang sangat indah dan penuh dengan makna. Asmito (dalam Edi Kurniadi, 1996:3) berpendapat “Bahwa batik merupakan satu unsur kebudayaan Indonesia asli. Batik di Indonesia dikagumi oleh bangsa lain bukan hanya karena prosesnya yang rumit yang membutuhkan ketekunan dan waktu yang lama, tetapi corak atau motifnya sangat halus”.

a. Pengertian Batik

Batik merupakan salah satu warisan budaya yang dimiliki Indonesia. Melalui batik dapat dipelajari banyak hal mengenai ilmu hidup karena biasanya setiap motif batik selalu mengandung makna tertentu. Batik Indonesia juga merupakan karya seni yang dikagumi dunia internasional dan patut untuk dibanggakan. Batik merupakan seni menggambar di atas kain dengan

commit to user

menggunakan canthing dan malam (lilin batik) untuk dijadikan pakaian keluarga raja-raja di Indonesia zaman dahulu.

Istilah batik berasal dari „amba‟(jawa), yang artinya menulis dan „nitik‟. Kata batik sendiri merujuk pada teknik pembuatan corak -menggunakan canthing atau cap- dan pencelupan kain, dengan menggunakan bahan perintang warna corak bernama „malam‟ (lilin) yang diaplikasikan di atas kain. Sehingga menahan masuknya bahan pewarna. (Aep S Hamidi (2010: 7).

Santosa Doellah (2002:10) berpendapat bahwa “Batik adalah sehelai wastra -yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional- beragam hias pola batik tertentu yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam „lilin batik‟ sebagai bahan perintang warna”. Jadi kain batik adalah kain yang memiliki ragam hias atau corak tertentu yang dibuat dengan canting dan atau cap dengan menggunakan malam sebagai bahan perintang warna.

b. Sejarah Batik Surakarta

Kerajaan Mataram pada abad 16 menjadi awal berkembangnya batik di tanah Jawa khususnya di Solo dan Yogyakarta. Nicolas Van Gna (dalam Edi Kurniadi, 1996:3) mengatakan bahwa ”Batik pada jaman Mataram bertambah halus kualitasnya setelah adanya pengiriman mori dari Belanda”. Wilayah Kerajaan Mataram kemudian terpecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Pecahnya kerajaan Mataram menjadi Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta menjadikan adanya pembagian benda-benda peninggalan kerajaan Mataram. Seperti gamelan, keris, tombak, dan benda-benda peninggalan lainnya. Namun untuk peninggalan berupa tatanan busana, berdasarkan perintah dari Pakubuwono II kepada Pakubuwono III, maka seluruh busana yang dimiliki Keraton Surakarta diberikan kepada Hamengkubuwono I raja dari Keraton Yogyakarta.

Semenjak terbaginya wilayah Mataram tersebut segala isen-isen keprabon berupa pusaka, gamelan, titihan kereta, tandu/ joli/ kremun, juga dibagi menjadi dua, juga busana corak Mataram dikehendaki oleh KP

Mangkubumi dibawa ke Yogyakarta. Mengenai masalah busana itu sebelumnya telah diwasiatkan oleh Pakoe Boewono II kepada Pakoe Boewono III, sebelum diangkat menjadi raja “Mbesok menawa pamanmu Mangkubumi hangersakake ageman, paringna”. Artinya „apabila kelak pamanmu Mangkubumi menghendaki busana, berikan saja‟. (Kalinggo, 2002:8)

Sejak saat itu, seluruh peninggalan kerajaan Mataram yang berupa busana dibawa ke Yogyakarta seperti yang dapat dilihat sampai sekarang. Karena seluruh busana diberikan pada Hamengkubuwono I, maka terjadilah kekosongan tatanan busana khususnya motif batik di keraton Surakarta. Oleh karena itu, mulai pemerintahan Pakubuwono III di keraton Surakarta akhirnya dibuatlah tatanan busana gaya Surakarta berikut pola-pola batiknya. Seperti yang diungkapkan Kalinggo (2002:9) “Selanjutnya Sampeyan Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakoe Boewono III membuat busana sendiri dengan gagrak Surakarta (gaya Surakarta). Termasuk dalam kain bathik untuk nyampingan coraknya mengalami perubahan-perubahan menyesuaikan dengan busana baru”. Kemudian Kalinggo juga menyatakan, “Sejak disesuaikan dengan model busana yang baru itu, bathik Surakarta mulai berkembang corak-corak atau motifnya. Aneka ragam corak baru bathik di Surakarta itu yang kemudian disebut sebagai bathik gagrak Surakarta”. Di sinilah kemudian batik berkembang di Surakarta.

Pada awalnya, pembuatan batik keraton dikerjakan di dalam keraton dan dibuat khusus untuk keluarga raja. Penciptaan pola dan pembatikannya dikerjakan oleh para putri istana, sedangkan pekerjaan lanjutan dilaksanakan oleh para abdi dalem. Menurut Santosa Doellah (2002: 54) mengatakan bahwa “Pada zaman dahulu, pembuatan batik yang pada tahap pembatikannya hanya dikerjakan oleh putri-putri di lingkungan keraton dipandang sebagai kegiatan penuh nilai kerohanian yang memerlukan pemusatan pikiran, kesabaran, dan kebersihan jiwa dengan dilandasi permohonan, petunjuk, dan ridha Tuhan Yang Maha Esa”. Karena itulah, motif atau ragam hias batik senantiasa terkesan memiliki keindahan dan mengandung nilai-nilai yang berkaitan erat dengan latar belakang penciptaan, penggunaan, dan penghargaan yang dimilikinya.

commit to user

Peningkatan kebutuhan batik di lingkungan keluarga dan kerabat keraton membuat batik tak dapat lagi hanya dikerjakan oleh para putri istana dan abdi dalemnya. Keadaan ini menyebabkan munculnya kegiatan pembatikan di luar tembok istana. Batik kemudian tidak hanya dikerjakan di dalam tembok keraton, akan tetapi juga dikerjakan para abdi dalem di rumah mereka sendiri untuk memenuhi pesanan dari keraton.

Batik telah ada sejak lama di Indonesia dan setelah pertengahan abad ke-17 (setelah masa Kartasura), maka batik yang dulunya hanya dipakai oleh para bangsawan saja, kemudian fungsinya telah meluas dan keluar pagar keraton. Sejak itulah batik dapat dipakai oleh rakyat biasa walaupun masih terbatas pada jenis motif-motif tertentu, serta dikerjakan sebagai pekerjaan sambilan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. (Edi Kurniadi, 1996:5).

Semakin lama rakyat menjadi tertarik dengan batik karena proses pembuatannya yang menarik, di samping itu corak dan motif yang digambar pada kain dengan lilin menjadi daya tarik tersendiri. Batik pun berkembang dari yang hanya digunakan oleh keluarga keraton, menjadi pakaian yang disenangi rakyat biasa di luar keluarga keraton.

Awalnya batik dikerjakan terbatas dalam keraton saja. Hasilnya pun hanya untuk dipakai raja, keluarga, dan para abdi dalemnya. Karena banyak pengikut raja yang tinggal di luar keraton, proses mengerjakan kerajinan ini dibawa dan dikerjakan di rumah masing-masing. Lama-kelamaan, masyarakat di luar keraton banyak yang menjadi pengrajin batik. Dan selanjutnya, meluas menjadi pekerjaan rumahan kaum perempuan untuk mengisi waktu senggang. Terjadilah perubahan. Batik yang awalnya hanya dijadikan pakaian keluarga keraton, menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik perempuan maupun pria. (Aep S Hamidi, 2010:9).

Perkembangan penggunaan batik yang semakin pesat pada saat itu menyebabkan penurunan makna atau nilai yang terkandung pada motif batik yang digunakan. Kalinggo Honggopuro (2002:9) mengatakan bahwa “Tatanan dalam penggunaan bathik menjadi kabur. Kain bathik yang diperuntukkan bagi bangsawan dan untuk kawula tidak jelas, sehingga sulit untuk membedakan status para pemakainya”. Pemakaian batik yang semakin lama semakin meluas menyebabkan tatanan dalam penggunaan kain batik menjadi kabur. Oleh karena itu kemudian Pakubuwono III membuat suatu aturan tatanan pemakaian kain batik

commit to user

di Surakarta agar penggunaannya lebih teratur serta penghayatan terhadap makna yang dikandung setiap motifnya tidak pudar.

Menurut Santosa Doellah (2002: 55) “Perluasan pemakaian batik menyebabkan pihak keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta membuat ketentuan mengenai pemakaian pola batik. Ketentuan tersebut diantaranya mengatur sejumlah pola yang hanya boleh dikenakan oleh raja dan keluarga istana. Pola yang hanya boleh dikenakan oleh keluarga istana ini disebut sebagai “pola larangan”.

Pakubuwono III mengatakan “Ana dene kang arupa jejarit kang kalebu laranganingsun, bathik sawat lan bathik parang, bathik cemukiran kang calacap modang, bangun tulak, lenga teleng lan tumpal, apa dene bathik cemukiran kang calacap lung-lungan, kanng sun wenangake anganggoa pepatihingsun lan sentananingsun dene kawulaningsun padha wedia.” Yang artinya, “Ada beberapa jenis kain bathik yang menjadi larangan saya yaitu bathik lar, bathik parang, bathik cemukiran yang berujung seperti paruh podang, bangun tulak lenga teleng serta berwujud tumpal dan juga bathik cemukiran yang berbentuk ujung lung (daun tumbuhan yang menjalar di tanah), yang saya ijinkan memakai adalah patih dan para kerabat saya. Sedangkan para kawula tidak diperkenankan”. (Kalinggo Honggopuro, 2002:9).

Pola larangan tersebut di antaranya: pola parang, terutama parang rusak barong, pola cemukiran, udan liris, semen, dan beberapa pola lainnya. Pola larangan ini berlaku di kalangan keraton Surakarta dan keraton Yogyakarta. Santosa Doellah (2002:55) mengatakan “Seiring dengan perubahan zaman, pihak keraton pun memperlonggar kebijakan mengenai pola larangan. Peraturan pola larangan hanya berlaku di dalam keraton, terutama bila ada upacara-upacara”. Pola ini pada akhirnya tidak hanya dipakai oleh raja dan keluarganya saja, akan tetapi juga dapat dipakai oleh masyarakat umum. Namun penggunaan pola larangan ini masih berlaku pada di lingkungan keraton baik Surakarta maupun Yogyakarta terutama pada saat upacara-upacara adat Jawa tertentu.

c. Makna Pola Batik Surakarta dan Penggunaanya

Pola-pola batik Surakarta yang sering dikenal di antaranya truntum, sidoluhur, sidomukti, dan lain-lain. Berikut ini akan dijelaskan beberapa pola batik Surakarta yang masih sering dijumpai dan digunakan masyarakat Surakarta

commit to user

pada acara-acara tertentu terutama pada upacara-upacara adat Jawa. Pola-pola Batik Surakarta tersebut antara lain:

1. Pola Parang

Kata parang merupakan perubahan dari kata “pereng” atau pinggiran sebuah tebing yang berbentuk “lereng”. Pola parang termasuk salah satu pola larangan, yaitu pola batik yang tidak boleh dikenakan oleh rakyat jelata. Pola parang hanya boleh dikenakan raja dan keturunannya, serta para pejabat keraton dan bangsawan. Pola parang tidak diperbolehkan bagi rakyat biasa karena yang membuat pola ini adalah Panembahan Senopati, yaitu pendiri kerajaan Mataram yang nantinya memiliki keturunan Raja-raja Mataram.

Asti Suryo Astuti mengatakan, “Awal mula terciptanya motif parang adalah pada waktu itu Panembahan Senopati melakukan meditasi dan berjalan dari pantai Kusumo menuju desa Dlepih. Ditengah-tengah perjalanan itu atau pada saat meditasi itu menghadap ke laut, beliau melihat tebing atau pereng-pereng yang terkena air dan hempasan ombak sehingga perengnya rusak. Maka ada pola parang rusak. Sehingga pada saat beliau pulang lalu minta dibuatkan pola parang rusak. Oleh karena itu pola parang rusak dan turunannya (yaitu parang barong, parang kusumo, parang klithik, dan beberapa jenis parang lainnya) tidak boleh dipakai jika bukan keturunan dari Panembahan Senopati”.

Pola parang yang diciptakan oleh Panembahan Senopati tersebut diilhami oleh tebing atau pereng yang rusak karena hempasan ombak. Maka pola yang diciptakan Panembahan Senopati tersebut dinamakan Parang Rusak. Pola parang rusak melambangkan kekuatan, kekuasaan, kewibawaan, kebesaran, dan gerak cepat, sehingga pemakainya diharapkan dapat sigap dan sekatan. Konon, menurut kepercayaan bahwa membuat batik parang tidak boleh melakukan kesalahan dalam pembatikannya, atau harus sekali jadi. Karena jika melakukan kesalahan dalam pembatikannya, maka dapat menghilangkan kekuatan gaibnya.

Gambar 3. Batik Parang Rusak (Dokumentasi: Jauharsari, 2010)

2. Pola Lereng - Udan Riris

Pencipta pola udan Riris adalah Pakubuwono III. Latar belakang lahirnya pola ini adalah dari keprihatinan Pakubuwono III karena Perjanjian Giyanti yang membagi dua Kerajaan Mataram, yaitu Suarakarta dan Yogyakarta. Ketika itu Pakubuwono melakukan semedi dengan berendam di Sungai Premulung di desa Laweyan. Pada saat beliau melakukan semedi tersebut, tiba-tiba turun gerimis yang tertiup angin. Suasana tersebut mengilhami beliau untuk menciptakan pola batik. Sepulang dari semedi baliau langsung minta dibuatkan motif batik dengan pola yang berbentuk garis-garis miring atau diagonal seperti air hujan tertiup angin yang dilihatnya selama ia bersemedi. Motif ini kemudian dinamakan dengan udan riris. Pola ini juga termasuk pola larangan. Makna simbolis dari udan riris adalah melambangkan kesuburan atau mengarah pada kemakmuran.

commit to user

Gambar 4. Batik Udan Riris (Dokumentasi: Heriyanto, 2008) 3. Truntum

Dalam bahasa jawa, truntum berarti menuntun. Pola truntum ini awal mulanya diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk yaitu salah satu permaisuri Pakubuwono ke IV yang bersedih hatinya karena merasa diabaikan oleh raja karena belum juga dikaruniai keturunan. Kanjeng Ratu Beruk dikembalikan ke keputren, yaitu tempat putri atau selir-selir raja tinggal. Karena bersedih, Ratu Beruk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berpuasa beberapa hari. Konon, beliau tiba-tiba mendapatkan bisikan untuk membatik. Di tengah kesendirian itulah ia melihat di langit di tengah malam banyak bintang gemerlap menemani dirinya dalam kesepian. Insipirasi itulah yang ditangkap dan dituangkan dalam pola batik. Pada suatu hari dalam perjalanan membuat batik tersebut, kebetulan

Dokumen terkait