• Tidak ada hasil yang ditemukan

j. Peserta didik dapat mensketsa bangun geometri menurut deskripsi

verbalnya

k. Peserta didik mampu mengkonstruksi gambar berdasarkan sifat-sifat yang diberikan

l. Peserta didik mampu mengenal perbedaan dan persamaan bangun geometri

Duval juga menyatakan jika proses berpikir geometri melibatkan tiga aktivitas (Fajriah, 2015), yaitu:

a. Proses visualisasi, yaitu proses representasi yang berupa visual dari pernyataan geometri.

b. Proses kontruksi, yaitu penggunaan alat suatu kegiatan untuk mengkontruksi suatu onfigurasi sesuai dengan alat yang digunakan misalnya penggaris, jangka, atau busur derajat.

c. Proses penalaran, yaitu sebuah proses yang diperlukan untuk sebuah bukti dan penjelasan.

Ketiga aktivitas tersebut dapat dilakukan secara terpisah. Misalnya visual tidak selalu tergantung pada konstruksi, dan pada proses konstruksi sebenarnya hanya tergantung pada koneksi antara sifat matematika yang relevan dan kendala alat yang digunakan.

B. Landasan Teori Van Hiele dan Gaya Kognitif 1. Landasan Teori Van Hiele

18 Teori Van Hiele merupakan teori yang dikembangkan oleh sepasang suami istri sekaligus peneliti dan guru di Belanda, yaitu Dina van Hiele-Geldof dan Pierre Marrie van Hiele. Teori ini berasal dari tesis mereka di Universitas Utrecht pada tahun 1957. Penelitian berdasarkan Teori Van Hiele dilakukan di Uni Soviet pada 1960-an dan hasilnya digunakan untuk merancang sebuah kurikulum yang juga mendapatkan hasil bagus.

Teori Van Hiele merupakan salah satu teori dalam aliran kognitif yang menjelaskan tentang tahap-tahap perkembangan mental anak dalam pembelajaran geometri. Terdapat 5 tahapan berpikir geometri Van Hiele, yaitu (Amir & Risnawati, 2015, hal. 94-96) : 1) Tingkat 0 (Visualisasi)

Peserta didik pada tingkat awal, mengenal dan memberi nama bentuk – bentuk geometri berdasarkan karakteristik tampilan nyata bentuk tersebut, seperti balok, kubus, bola, persegi, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, disajikan sebuah gambar persegi dan persegi panjang, peserta didik akan memberikan alasan atau sifat kotak pada bangun tesebut. Hasil pemikiran pada tingkat 0 adalah peserta didik dapat mengelompokkan bentuk-bentuk bangun yang terlihat mirip.

2) Tingkat 1 (Analisis)

Peserta didik pada tingkat analisis sudah dapat memahami sifat-sifat bangun geometri. Peserta didik sudah mampu berpikir

19 bagaimana sebuah persegi dapat terbentuk, yaitu memiliki empat sisi yang sama panjang, empat titik sudut, dan sebagainya. Pada tingkat ini peserta didik juga sudah memahami jika kumpulan bangun geometri dikelompokkan berdasarkan sifatnya.

3) Tingkat 2 (Deduksi Informal)

Pada tahap ini peserta didik memahami hubungan antara bangun geometri yang memiliki keterkaitan. Peserta didik dapat mengklasifikasikan bangun – bangun geometri secara hierarki, misalnya jika sebuah bangun berbentuk persegi maka sudah pasti sudutnya siku-siku, pesergi merupakan persegi panjang, jajargenjang adalah trapesium, belah ketupat adalah layang – layang, dan kubus adalah balok. Akan tetapi pada tahap ini peserta didik belum memahami secara rinci deduksi logis, misalnya alasan mengapa dua diagonal persegi panjang itu sama. Mungkin peserta didik dapat menjelaskan alasan hal tersebut tetapi tidak secara rinci. 4) Tingkat 3 (Deduksi)

Peserta didik pada tahap deduksi sudah mampu bekerja dengan pernyataan-pernyataan abstrak tentang sifat geometri dan membuat kesimpulan lebih berdasarkan logika. Bukan hanya menegnal sifat-sifat bentuk saja, tetapi peserta didik mampu meneliti hubungan antara sifat-sifat bangun. Misalnya, peserta didik dapat membuktikan secara deduktif bahwa garis diagonal dari sebuah persegi panjang saling berpotongan.

20 5) Tingkat 4 (Ketepatan atau Rigor)

Rigor merupakan tahapan atau tingkat teringgi pada teori Van Hiele. Peserta didik sudah memahami betapa pentingnya ketepatan sebuah teorema, postulat dan dalil dalam penggunaanya. Pembelajaran geometri pada tingkat ini sangat abstrak dan tidak harus melibatkan model konkrit atau gambar. Oleh karena itu jarang sekali peserta didik yang dapat mencapai tahap ini sekalipun mereka adalah peserta didik SMA.

Gambar 2.1 Tingkat Berpikir Geometri Menurut Teori Van Hiele

Menurut Walle (2008) terdapat empat karakteristik tingkat-tingkat Van Hiele yang membutuhkan perhatian khusus, yaitu :

1) Tingkatan-tingkatan tersebut bertahap. Peserta didik untuk mencapai tahap tertinggi harus melalui tahap-tahap sebelumnya. 2) Tingkatan-tingkatan tersebut tidaklah bergantung pada usia

21 menegah yang seharusnya berada pada tahap 3, yaitu deduksi dapat berada pada tingkat 0.

3) Pengalaman geometri merupakan faktor terbesar dalam mempengaruhi perkembangan tingkat-tingkatan tersebut. Kegiatan yang memberikan kesempatan peserta didik menelusuri, berdiskusi, dan berinteraksi, dengan materi pada tingkat selanjutnya memberikan kesempatan peserta didik dalam mengembangan tingkat pemikiran.

4) Ketika instruksi atau bahasa yang digunakan terletak pada tingkatan yang lebih tinggi daripada yang peserta didik miliki maka akan ada komunikasi yang kurang.

b) Indikator Tingkat Bepikir Geometri Van Hiele

Setiap peserta didik berpikir tentang ide-ide geometri dengan cara yang berbeda-beda. Namun setiap peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikir geometri yang dimiliki. Pada setiap tingkatan berpikir geometri Van Hiele peserta didik memiliki karakteristik tersendiri, sesuai dengan pemikirannya mengenai ide-ide geometri. Menurut Crowley (1987) karakteristik peserta didik dalam setiap tingkatan berpikir geometri, yaitu :

1) Level 0 (Visualisasi)

Peserta didik menyadari ruang hanya sebagai sesuatu yang ada di sekitar mereka. Objek geometri hanya dikenali dari penampilan fisiknya saja, bukan dari bagian atau sifatnya.

22 Seseorang yang mencapai level ini dapat mempelajari kosakata geometris, dapat mengidentifikasi bentuk yang ditentukan, dan memberikan nama, dapat mereproduksinya.

2) Level 1 (Analisis)

Analisis konsep geometris dimulai, peserta didik mulai membedakan karakteristik objek. Misalnya peserta didik dapat membuat generalisasi untuk kelompok jajaran genjang. Namun, hubungan antar bangun belum dapat dijelaskan oleh peserta didik pada level ini, hubungan timbal balik antar objek masih belum terlihat, dan definisi belum dipahami.

3) Level 2 (Deduksi Informal)

Peserta didik dapat membangun hubungan sifat baik di dalam bangun (dalam segi empat, sisi yang berlawanan sejajar membutuhkan sudut yang berlawanan sama) di antara bangun (persegi adalah persegi panjang karena memiliki semua sifat persegi panjang). Dengan demikian mereka dapat menyimpulkan sifat-sifat bangun dan mengenali kelas-kelas bangun. Bukti formal dapat diikuti, tetapi peserta didik tidak melihat bagaimana urutan logis dapat diubah atau melihat bagaimana membangun bukti mulai dari sesuatu yang tidak dikenal.

4) Level 3 (Deduksi)

Peserta didik pada level ini dapat membuat, bukan hanya menghafal, bukti, kemungkinan mengembangkan bukti dalam

23 lebih dari satu cara terlihat,interaksi kondisi yang diperlukan dan cukup dipahami; perbedaan antara pernyataan dan kebalikannya dapat dibuat.

5) Level 4 (Rigor)

Pada tahap ini pelajar dapat bekerja dalam berbagai sistem aksiomatik, yaitu geometri non-euclidean dapat dipelajari, dan sistem yang berbeda dapat dibandingkan. Geometri terlihat secara abstrak.

Adapun karakteristik peserta didik dalam setiap tingkatan berpikir geometri menurut J. K. Alex & K. J. Mammen (2012), yaitu :

1) Level 0 (Visualisasi)

Peserta didik pada tingkat ini mengenali bentuk geometris dengan penampilannya saja. Peserta didik dapat mengidentifikasi, memberi nama, dan membandingkan bentuk-bentuk geometris seperti segitiga, bujur sangkar, dan persegi panjang dalam bentuknya yang terlihat

2) Level 1 (Analisis)

Peserta didik dapat mengenali dan memberi nama sifat-sifat bangun geometris, tetapi mereka belum memahami perbedaan antara sifat-sifat ini dan antara bangun yang berbeda 3) Level 2 (Deduksi Informal)

Peserta didik tidak lagi menganggap bangun – bangun sebagai terdiri dari kumpulan sifat-sifat yang terpisah dan tidak

24 terkait. Sebaliknya, mereka sekarang mengakui bahwa satu bagian dari suatu bentuk berasal dari yang lain. Mereka juga memahami hubungan antara bangun – bangun yang berbeda 4) Level 3 (Deduksi)

Peserta didik pada tingkat ini membuktikan teorema secara deduktif dan memahami struktur sistem geometris. Mereka memahami kondisi yang diperlukan dan dapat mengembangkan bukti daripada mengandalkan hafalan. Mereka dapat membangun definisi bangun mereka sendiri.

5) Level 4 (Rigor)

Peserta didik pada tingkat ini dapat membangun teorema dalam sistem postulat yang berbeda dan dapat membandingkan dan menganalisis sistem deduktif

Sedangkan karakteristik peserta didik dalam setiap tingkatan berpikir geometri menurut. Burger dan Shaughnessy (1986) , yaitu :

1) Level 0 (Visualisasi)

Pemahaman peserta didik tentang konsep-konsep dasar geometris, seperti bentuk-bentuk sederhana, terutama dengan pertimbangan visual dari konsep secara keseluruhan tanpa memperhatikan sifat-sifat komponennya.

2) Level 1 (Analisis)

Pada level ini peserta didik memahami konsep-konsep geometris melalui analisis informal dari bagian – bagian bangun.

25 Sudah dapat menentukan sifat – sifat yang diperlukan dari konsep.

3) Level 2 (Deduksi Informal)

Peserta didik secara logis dapat mengurutkan konsep dari suatu bangun-bangun, membentuk definisi abstrak, dan dapat membedakan antara kebutuhan dan kecukupan seperangkat bagian dalam menentukan konsep.

4) Level 3 (Deduksi)

Peserta didik beralasan secara formal dalam konteks sistem matematika, lengkap dengan istilah yang tidak ditentukan, aksioma, sistem logis yang mendasari, definisi, dan teorema 5) Level 4 (Rigor)

Peserta didik dapat membandingkan sistem bedasarkan aksioma yang berbeda dan dapat mempelajari berbagai geometri dengan tidak adanya model nyata.

Berdasarkan ketiga karakteristik Crowley (1987), J. K. Alex & K. J. Mammen (2012), dan Burger dan Shaughnessy (1986), maka indikator tingkat berpikir geometri Van Hiele yang peneliti gunakan, yaitu :

1) Level 0 (Visualisasi)

Pada tingkat ini peserta didik dapat memberikan nama, megindentifikasi, membandingkan dan membuat bentuk –bentuk

26 geometri sederhana melalui penampilan fisik tanpa memahami sifat dan konsep bentuk.

2) Level 1 (Analisis)

Pada tingkat ini peserta didik dapat menentukan sifat – sifat dari bangun geometri, namun belum dapat memahami hubungan antara bangun geometri.

3) Level 2 (Deduksi Informal)

Pada tingkat ini peserta didik dapat membangun hubungan sifat antar bangun geometri, mengenali kelas-kelas bangun, dan dapat mengetahui definisi abstrak.

4) Level 3 (Deduksi)

Pada tingkat ini peserta didik dapat membuat bukti dan mengembangkannya lebih dari satu cara. Peserta didik juga dpaat mengaitkan istilah yang tidak ditentukan, aksioma, sistem logis yang mendasari, definisi, dan teorema.

5) Level 4 (Rigor)

Pada tingkat ini peserta didik dapat membandingkan sistem dari aksioma yang berbeda, seperti geometri non-euclidean, dan dapat mempelajari berbagai geometri dengan tidak adanya model nyata.

c) Hubungan Berpikir Geometri dengan Teori Van Hiele

Berpikir geometri adalah sebuah proses transformasi informasi mengenai sifat-sifat garis, sudut, bidang, ruang, dan hubungan antar

27 bentuk geometri yang dimiliki peserta didik untuk menghasilkan representasi mental baru. Proses ini dilakukan untuk membentuk sebuah pemahaman konsep, serta menggunakannya untuk memecahkan suatu permasalahan. Desmita (2014) menyatakan jika sejumalah ahli psikologi juga menggunakan istilah pikiran untuk menunjuk pengertian yang sama dengan kognitif, yaitu mencakup berbagai aktivitas mental seperti penalaran, pemecahan masalah, serta pembentukkan konsep. Sejalan dengan hal tersebut juga Solso mengungkapkan jika ada 3 ide dasar mengenai berpikir, yaitu 1) berpikir adalah kognitif, 2) berpikir adalah proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam sistem kognitif, 3) berpikir bersifat langsung dan menghasilkan perilaku yang memecahkan masalah (Mariam, 2015). Oleh karena itu dapat dinyatakan jika berpikir merupakan sebuah proses kognitif, sebab melalui berpikir seseorang juga bernalar, serta memecahkan masalah. Kognitif sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, dan memecahkan masalah (Desmita, 2014, hal. 97).

Jean Piaget merupakan seseorang psikologi yang berjasa mengemukakan perkembangan kognitif peserta didik. Jean Piaget menyatakan jika anak mengorganisasikan apa yang mereka pelajari dari pengalamannya (Desmita, 2014, hal. 98). Sejalan dengan

28 karakteristik teori Van Hiele, jika pengalaman peserta didik merupakan sebuah faktor yang paling besar dalam pembelajaran geometri. Pada tingkatan berpikir Van Hiele seorang peserta didik akan membangun sebuah kesatuan dari fakta atau informasi yang terpisah. Seperti halnya seorang peserta didik yang mengamati jika persegi, persegi panjang, serta jajar genjang memiliki empat sisi dan sudut sama besar. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik mulai membangun pemahaman mengenai sifat-sifat bangun segiempat. Pada hakikatnya, peserta didik dalam membangun pengetahuan tersebut memerlukan proses berpikir, perlu adanya penalaran, serta penggabungan informasi-informasi yang telah didapat sebelumnya.

Tahapan berpikir geometri pada teori Van Hiele juga sudah memuat kriteria berpikir geometri. Berdasarkan kriteria berpikir geometri menurut Suwito, yaitu peserta didik dapat menunjukkan bentuk geometri dalam objek-objek fisik, dapat memvisualisasikan bangun geometri secara verbal serta dapat mensketsa bangun geometri menurut deskripsi verbalnya termasuk kedalam tingkat visualisasi pada tahapan berpikir geometri Van Hiele. Peserta didik mampu mengkonstruksi gambar berdasarkan sifat-sifat yang diberikan, membandingkan bangun geometri berdasarkan sifat-sifatnya, mendeskripsikan bangun geometri dengan menyebut sifat-sifatnya, peserta didik dapat membuat definisi bangun geometri secara lengkap, serta menggunakan sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh bangun –

29 bangun yang diseleksi termasuk ke dalam tingkat analisis. Sedangkan kriteria berpikir geometri, yaitu peserta didik dapat menyeleksi bangun geometri, mampu menyatakan bentuk- bentuk definisi yang ekuivalen, serta mampu mengenal perbedaan dan persamaan bangun geometri termasuk ke dalam tingkat deduksi informal.

2. Landasan Teori Gaya Kognitif a) Definisi Gaya Kognitif

Gaya koginitif menurut Desmita (2014) adalah karakteristik individu dalam pengggunaan fungsi kognitif yang bersifat terus menerus dan berlangsung lama. Fungsi kognitif dalam hal ini berupa berpikir, mengingat, memecahkan masalah, membuat keputusan, mengorganisasi dan memproses informasi. Adapun menurut Slameto (2018) gaya kognitif merupakan perbedaan antar individu yang menetap dalam cara menyusun dan mengolah informasi serta pengalaman-pengalaman. Sedangkan Ausburn menyatakan jika gaya kognitif mengacu pada proses kognitif seseorang yang berhubungan dengan pemahaman, pengetahuan, persepsi, pikiran, imajinasi dan pemecahan masalah (Uno, 2010, hal. 186).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas mengenai gaya kognitif, maka dapat disimpulkan jika gaya kognitif adalah perbedaan seseorang dalam berpikir, mengingat, memecahkan masalah, membuat keputusan, mengorganisasi dan memproses informasi yang bersifat terus menerus. Perbedaan, dalam hal ini bukanlah menunjuukan

30 tingkat inteligensi atau kemampuan peserta didik. Sebab peserta didik yang memiliki gaya kognitif sama belum tentu memiliki tingkat kemampuan yang sama pula.

b) Jenis-Jenis Gaya Kognitif

Adapun jenis-jenis gaya kognitif, yaitu sebagai berikut : 1. Field Independence (FI) Dan Field Dependence (FD)

Uno (2010) menyatakan bahwa gaya kognitif field

independence (FI) dan field dependence (FD) adalah gaya kognitif

yang menggambarkan cara seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Uno juga menjelaskan bahwa individu dengan gaya kognitif field dependence (FD) cenderung akan menerima suatu pola sebagai suatu keseluruhan, orang dengan gaya ini akan mengalami kesulitan memfokuskan pada satu aspek dalam satu situasi, sedangkan individu dengan gaya kognitif field independence (FI) lebih menerima bagian terpisah dari pola

menyeluruh dan mampu menganalisa pola ke dalam komponenya. Desmita (2014) juga menyebutkan jika peserta didik dengan gaya kognitif field dependence (FD) kesulitan dalam memproses, namun mudah mempersepsi apabila informasi dimanipulasi sesuai dengan konteksnya, sehingga dapat memisahkan stimuli dalam konteksnya tepai persepsinya lemah ketika terjadi perubahan konteks. Sedangkan peserta didik dengan

31 internal sebagai arahan dalam memproses informasi dan dalam mengerjakan tugas secara tidak berurut.

Sehingga dapat disimpulkan jika peserta didik dengan gaya kognitif field dependence (FD) cenderung memproses infromasi secara menyeluruh, serta memiliki kesulitan memfokuskan dan memproses satu aspek atau informasi dalam satu situasi. Sedangkan peserta didik dengan field independence (FI) cenderung memproses informasi secara terpisah, sehingga memungkinkan mengerjakan tugas secara tidak berurut dan peserta didik lebih menerima bagian terpisah dari pola menyeluruh dan mampu menganalisa pola ke dalam komponenya.

2. Gaya Kognitif Impulsif dan Reflektif

Gaya kognitif impulsif dan reflektif merupakan gaya kognitif yang menunjukkan kecepatan berpikir. Desmita (2014) menyatakan bahwa peserta didik dengan gaya kognitif impulsif akan cenderung cepat, namun melakukan sedikit kesalahan dalam proses tersebut. Sedangkan peserta didik dengan gaya kognitif reflektif akan cenderung menggunakan waktu lebih banyak untuk merespon dan merenungkan akurasi jawaban, tetapi cenderung memberikan jawaban yang benar. Nasution mengungkapkan jika akan peserta didik dengan gaya impulsif akan mengambil keputusan dengan cepat tanpa memikirkan secara mendalam, sedangkan perserta didik gaya reflektif akan mempertimbangkan

32 segala alternatif sebelum mengambil keputusan dalam situasi yang tidak mempunyai penyelesaian mudah (Nasriadi, 2019). Sejalan dengan Desmita dan Nasution, Arifin menjelasan jika peserta didik dengan gaya reflektif lebih lambat dalam memberi reaksi terhadap stimulus yang diberikan, sedangkan perserta didik dengan gaya impulsif cenderung lebih cepat dalam memeberi reaksi (Nasriadi, 2019).

Dapat disimpulkan jika peserta didik dengan gaya kognitif impulsif cenderung cepat memberi reaksi terhadap stimulus yang diberikan namun tanpa memikirkan secara mendalam sehingga melakukan sedikit kesalahan. Sedangkan peserta didik dengan gaya kognitif reflektif cenderung lebih lambat dalam memberi reaksi terhadap stimulus yang diberikan namun mempertimbangkan segala alternatif sebelum mengambil keputusan.

3. Gaya Kognitif Verbalizer dan Visualizer

McEwan & Reynolds menyatakan bahwa gaya kognitif yang berkaitan dengan kebiasaan seseorang menggunakan alat indranya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu visualizer dan

verbalizer (M. Syahid, 2019, hal. 52). Menurut Sari dan Budiarto

(2016) peserta didik dengan gaya kognitif visualizer cenderung lebih mudah untuk menerima, memproses, menyimpan, dan menggunakan informasi dalam bentuk gambar maupun grafik. Sedangkan seseorang dengan gaya kognitif verbalizer cenderung

33 lebih mudah untuk menerima, memproses, menyimpan, dan menggunakan informasi dalam bentuk teks atau tulisan.

c) Gaya Kognitif Verbalizer dan Visualizer

Gaya kognitif verbalizer dan visualizer, pertama kali dikembangkan oleh Paivio. Menurut Paivo “Informasi yang masuk diproses dan direpresentasikan secara mental dalam dua cara: secara verbal dan visual” (Kameliani, 2019). Menurut Uno (2010) gaya kognitif yang berkaitan dengan kebiasan dan kesukaan seseorang dalam menggunakan alat inderanya, khususnya pada kemampuan melihat gerakan secara visual dan pemahaman auditori atau verbal termasuk ke dalam dimensi gaya kognitif perceptual modality

preference.

Peserta didik dengan gaya kognitif verbalizer cenderung lebih mudah mengolah, dan menyimpan informasi berupa teks atau tulisan, sedangkan peserta didik dengan gaya kognitif visualizer akan cenderung mengolah, dan menyimpan informasi berupa gambar, seperti grafik, tabel dan lain sebagainya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mandelson bahwa individu yang memiliki gaya kognitif

visualizer cenderung lebih banyak dalam gambar, lebih lancar dengan

ilustrasi dan terjemahan, serta memahami dan menyukai permainan yang lebih visual, seperti teka-teki, sedangkan individu yang memiliki gaya kognitif verbalizer lebih cenderung mengatakan dan akan lebih

34 memilih untuk berkomunikasi kepada seseorang dengan menunjukkan bagaimana mereka melakukannya (Fatri, Maison, & Syaiful, 2019).

Sejalan dengan Mandelson, Mayer dan Massa juga menyatakan peserta didik dengan gaya kognitif visualizer -verbalizer, sebagian akan cenderung lebih baik mengolah informasi dalam bentuk kata-kata sedangkan dan sebagian lainnya akan cenderung lebih baik dalam bentuk visual (M. Syahid, 2019). Perbedaan ini disebabkan oleh kecenderungan peserta didik dalam menggunakan alat indera. Peserta didik yang terbiasa memperoleh informasi dengan melihat maka akan memiliki kecenderungan memperoleh dan mengolah informasi secara visual. Sebaliknya peserta didik yang terbiasa memperoleh informasi dengan mendengar akan memiliki kecenderungan memperoleh dan mengolah informasi secara verbal.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan jika gaya kognitif verbalizer merupakan cara konsisten peserta didik mengolah, dan menyimpan informasi berupa gambar, seperti grafik, tabel dan lainnya. sedangkan gaya kognitif visualizer merupakan cara konsisten peserta didik mengolah dan menyimpan informasi berupa kata-kata atau tulisan.

Skemp menyatakan “Jika simbol visual adalah gambar yang menyerupai bentuk asli atau nyata, sedangkan simbol verbal adalah kata yang digunakan untuk menyatakan objeknya” (Ilma, 2017, hal. 9). Berikut sifat-sifat simbol visual dan simbol verbal :

35 1) Sifat simbol visual, yaitu :

a) Bersifat abstrak, misalnya bentuk dan kedudukan. b) Lebih sulit untuk dikomunikasikan

c) Lebih mewakili hasil pemikiran yang lebih individual d) Simultan atau bersamaan

e) Bersifat intuitif 2) Sifat simbol verbal, yaitu :

a) Bersifat abstrak yang bebas dari susunan ruang seperti misalnya bilangan

b) Lebih mudah dikomunikasikan

c) Lebih mewakili hasil kesepakatan dari pemikiran bersama d) Sekuensial atau berurutan

e) Bersifat logika

Klasifikasi gaya kognitif verbalizer dan visualizer peserta didik dapat diidentifikasi melalui Visualizer and Verbalizer

Questionnare (VVQ), yaitu angket yang berisi 20 butir pertanyaan

mengenai gaya kognitif verbalizer dan visualizer. VVQ juga diadapatasi dalam penelitian Mandelson dengan judul “from whom

cognitive style and attention on processing of new photos”.

Richardson menyebutkan bahwa banyak penelitian yang menggolongkan gaya kognitif verbalizer dan visualizer menggunakan VVQ (Firdaus, 2017). Adapun, Mendelson menjelaskan karakteristik gaya kognitif verbalizer dan visualizer, yaitu sebagai berikut :

36 Tabel 2. Karakteristik gaya kognitif verbalizer dan visualizer Gaya

Kognitif

Karakteristik

Verbalizer Lebih mengingat lebih banyak tentang berita.

Kurang mengingat tentang cerita ketika disertai gambar.

Visualizer Lebih akurat mengingat informasi yang terkandung dalam gambar berwarna

Lebih mudah mengingat gambar yang ada pada berita atau bacaan.

Dokumen terkait