• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI KAJIAN TEORI

2.1 LANDASAN TEORITIS

Landasan teoritis merupakan sebuah acuan yang peneliti gunakan untuk mengembangkan prototipe buku cerita anak tentang tradisi nglarung. Landasan teoritis berisi teori-teori, definisi dan hasil analisa pakar yang telah ahli dibidangnya. Hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

2.1.1 Tradisi atau Upacara Adat Jawa

Berikut akan dijelaskan kajian teori mengenai tradisi atau upacara adat Jawa, macam-macam tradisi Jawa, dan tradisi nglarung.

2.1.1.1Pengertian Tradisi Jawa atau Upacara Adat Jawa

Kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya dapat dimiliki oleh warga masyarakat pendukungnya dengan jalan mempelajarinya. Ada cara-cara atau mekanisme tertentu dalam tiap masyarakat untuk memaksa tiap warganya mempelajari kebudayaan yang di dalamnya terkandung norma-norma serta nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat yang bersangkutan. Mematuhi norma-norma serta menjunjung nilai-nilai itu penting bagi warga masyarakat demi kelestarian hidup. Salah satu cara mempelajari kebudayaan yaitu dengan menghidupi tradisi atau upacara adat Jawa yang ada.

Tradisi atau upacara adat Jawa merupakan salah satu hasil budaya Jawa yang sampai saat ini masih dipertahankan keberadaannya, karena upacara adat

Jawa merupakan kegiatan pewarisan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya, dengan dilestraikannya suatu tradisi, maka generasi penerus bisa mengetahui warisan budaya luhur (Sunjata, 2013:73). Pendapat lain juga diungkapkan oleh Soepanto (1992:5) dalam Sunjata (2013:76), bahwa tradisi Jawa merupakan suatu bentuk kegiatan sosial yang melibatkan warga masyarakat di Jawa khususnya, dengan tujuan untuk mencari keselamatan secara bersama-sama. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa tradisi atau upacara adat Jawa merupakan sarana untuk mensyukuri karunia Tuhan dan sarana permohonan keselamatan, kesejahteraan dan hasil yang lebih baik untuk masa yang akan datang.

Budaya Jawa memiliki berbagai macam tradisi atau upacara adat. Peneliti menemukan beberapa macam tradisi yang ada di Jawa yaitu diantaranya nglarung, nyadran, ruwatan, mitoni, dan wiwit (methik).

2.1.1.2Macam-macam Tradisi Jawa

Berikut ini ada lima macam tradisi Jawa yang diambil oleh peneliti. 1. Nglarung

“Nglarung” berasal dari kata “larung” yaitu membuang sesuatu ke

dalam air (sungai atau laut). Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan

tradisi “nglarung” adalah memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di satu tempat (Suyami, 2008:101). Tradisi “nglarung” merupakan salah

satu kegiatan budaya yang sampai sekarang masih diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya khususnya di daerah Bantul. Tradisi tersebut pada umumnya dilakukan satu tahun sekali pada bulan Sura (Sunjata,

2013:75). Tujuan pelaksanaan upacara tersebut sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang telah dilimpahkan berupa melimpahnya hasil tangkapan ikan, disamping bentuk persembahan kepada penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul (Sunjata, 2013:117).

2. Ruwatan

Herawati (2010:4) berpendapat bahwa istilah ruwatan dalam cerita Jawa, menurut Mpu Darmaja dalam Sumardahana, berasal dari kata ruwat, ruwuwat, atau mengruwat yang artinya membuat tak kuasa, menghapus kutukan, kemalangan dan lain-lain dan terbatas dari hal-hal yang tidak baik (membebaskan). Objek yang diruwat atau dibebaskan, menurut kitab Kuncaranama dan apa yang disebut dalam Kadhang Ringgit Purwa adalah papa (kesengsaraan), mala (noda), rimang (kesedihan atau kesusahan), kalengka (kejahatan), wirangrewang (kebingungan atau kekusutan).

3. Nyadran

Upacara tradisi nyadran adalah rangkaian upacara adat yang sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa dan biasa dilakukan pada bulan Ruwah menjelang bulan puasa (Herawati, 2010: 25). Tradisi ini dilakukan pada tanggal 15 Ruwah (pembukaan nyadran), 17 Ruwah (Sadranan Pitulasan), 21 Ruwah (Sadranan Slikuran), 23 Ruwah (Sadranan Telulikuran), dan 25 Ruwah (Sadranan Penutup/Sadranan Slawean). Tujuannya adalah mengingatkan pada kematian, hidup hanya mampir minum, dan kuburan adalah rumah masa depan kita yang sesungguhnya (nilai berempati dan

nilai ketuhanan), menggambarkan betapa penting kita belajar untuk akrab dengan kematian (nilai reflektif) dan juga bisa menyehatkan jiwa dan kesadaran kita (nilai kesehatan) karena adanya kekuatan psikologis untuk meneguhkan kembali jati diri dan identitas kita sebagai manusia (nilai kemanusiaan) (Prasetyo, 2010: 6).

4. Mitoni (Tujuh Bulanan)

Dalam tradisi jawa “mitoni” merupakan rangkaian upacara yang saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat jawa. Upacara “mitoni”

merupakan suatu upacara yang dilakukan pada seorang perempuan yang hamil dan dilakukan pada saat usia kandungan menginjak tujuh bulan. Upacara ini bertujuan agar bayi dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh perlindungan dan keselamatan. Upacara yang dilakukan pada saat mitoni antara lain siraman, memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain dari calon ayah ke calon ibu, ganti busana, memasukkan kelapa gading, memutus lilitan lawe/lilitan benang/janur, memecahkan periuk dan gayung, minum jamu sorongan, dan nyolong endhog (Yana, 2012:50).

Dari pengertian tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa “mitoni”

merupakan salah satu tradisi Jawa yang digunakan untuk mendoakan ibu dan calon bayinya agar sehat dan selalu dalam lindunganNya sampai lahir di bumi.

5. Wiwit (Methik)

Tradisi “wiwit” disebut juga dengan upacara mboyong mbok Sri, yaitu perilaku untuk memuliakan mbok Sri atau Dewi Padi. Orang yang melaksanakan upacara tersebut adalah penduduk pedesaan, khususnya yang melakukan pekerjaan sebagai petani. Mereka melakukan hal itu karena merupakan kelanjutan, menyusul setelah panenan pertama (methik) (Saksono, 2012:78)

2.1.1.3Tradisi Nglarung

Nglarung merupakan salah satu upacara tradisional yang ada di Jawa.

“Nglarung” berasal dari kata “larung” yaitu membuang sesuatu ke dalam air (sungai atau laut). Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan tradisi “nglarung”

adalah memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat (Suyami,

2008: 101). Tradisi “nglarung” merupakan salah satu kegiatan budaya yang

sampai sekarang masih diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya khususnya di daerah Bantul. Tradisi tersebut pada umumnya dilakukan satu tahun sekali pada bulan Sura yaitu bulan pertama pada kalender Jawa (Sunjata, 2013:75).

Dari beberapa pernyataan di atas, peneliti menyimpulkan “nglarung”

adalah kegiatan budaya yang dilakukan masyarakat nelayan setiap satu tahun sekali pada bulan Sura dengan menghanyutkan sesuatu/sesaji ke dalam air (sungai atau laut). Tujuan pelaksanaan upacara tersebut sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang telah dilimpahkan berupa melimpahnya hasil tangkapan ikan, disamping bentuk persembahan kepada

penguasa laut selatan, Kanjeng Ratu Kidul (Sunjata, 2013: 117). Peneliti

menyimpulkan tujuan dari upacara tradisi “nglarung” adalah untuk mengucap

syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat yang telah dilimpahkanNya.

Di dalam tradisi nglarung saat pelaksaan ritual sesaji juga terdapat beberapa fungsi sosial di antaranya adalah : (a) fungsi sebagai sarana kerukunan hidup, (b) fungsi sebagai kegotongroyongan, (c) fungsi sebagai alat pengendali atau pengawas norma-norma masyarakat yang selalu dipatuhi oleh pendukungnya, (d) fungsi sebagai sarana hiburan, (e) fungsi pelestarian tradisi, dan (f) fungsi sebagai pengesahan pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan masyarakat desa. 2.1.1.3.1 Tata Cara Tradisi Nglarung

Tradisi “nglarung” dilaksanakan setiap satu tahun sekali pada bulan Sura yaitu bulan pertama pada kalender Jawa. Tradisi tersebut berlangsung dua tahap tata cara, yaitu kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan upacara (Purwadi, 2005:86).

Dokumen terkait