BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Menurut Umar (2010:13) dalam penelitian MSDM, terdapat dua
teori utama, yaitu teori Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) dan
teori Perilaku Keorganisasian (PO). Dalam penelitian ini penulis
mengkombinasi teori perilaku organisasi dan teori manajemen sumber
daya manusia sebagai variabel-variabel penelitian.
1. Perilaku Organisasi
Davis et. al. dalam Umar (2010:33) mendefinisikan perilaku
organisasi sebagai suatu telaah dan penerapan pengetahuan tentang
bagaimana orang-orang bertindak di dalam organisasi. Perilaku
organisasi adalah sarana manusia bagi keuntungan manusia.
Sedangkan menurut Thoha (2010:5) perilaku organisasi adalah suatu
studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia dalam suatu
organisasi atau suatu kelompok tertentu yang meliputi aspek yang
ditimbulkan dari pengaruh organisasi terhadap manusia demikian pula
aspek yang ditimbulkan dari pengaruh manusia terhadap organisasi.
Menurut Robbins dalam Umar (2010:34), permasalahan pokok
dalam perilaku organisasi dapat terbagi dua yaitu:
a. Permasalahan pokok individu dalam organisasi seperti karakteristik
12 kerja; kemampuan intelektual dan kesehatan fisik; kepribadian,
seperti stress, kesadaran diri dan sikap berbudaya; belajar; persepsi
seperti kepuasan kerja dan inisiatif pengambilan keputusan; nilai,
sikap, dan keputusan kerja; motivasi.
b. Permasalahan pokok kelompok dalam organisasi seperti interaksi
kelompok, perilaku kelompok, sumber daya anggota kelompok,
struktur kelompok, kondisi ekternal kelompok, proses kelompok,
tugas kelompok, pengambilan keputusan kelompok, tim kerja,
komunikasi, kepemimpinan, keleluasaan dan politik, konflik,
perundingan, dan perilaku antarkelompok.
2. Manajemen Sumber Daya Manusia
Dalam Umar (2010:20) dijelaskan definisi manajemen sumber
daya manusia merupakan suatu perencanaan, pengorganisasian,
penggerakkan dan pengawasan atas pengadaan, pengembangan,
kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemutusan hubungan
kerja dengan maksud untuk pencapaian tujuan organisasi perusahaan
secara terpadu. Sedangkan Hasibuan (2012:10) mendefinisikan
manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur
hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu
terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat.
Menurut Hasibuan (2012:14) manajemen sumber daya manusia
mengatur dan menetapkan program kepegawaian yang mencakup
13 a. Menetapkan jumlah, kualitas, dan penempatan tenaga kerja yang
efektif sesuai dengan kebutuhan perusahaan berdasarkan job description, job specification, job requirement, dan job evaluation. b. Menetapkan penarikan, seleksi, dan penempatan karyawan
berdasarkan asas the right man in the right place and the right man in the right job.
c. Menetapkan program kesejahteraan, pengembangan, promosi, dan
pemberhentian.
d. Meramalkan penawaran dan permintaan sumber daya manusia pada
masa akan datang.
e. Memperkirakan keadaan perekonomian pada umumnya dan
perkembangan perusahaan pada khususnya.
f. Memonitor dengan cermat undang-undang perburuhan dan
kebijaksanaan pemberian balas jasa perusahaan sejenis.
g. Memonitor kemajuan teknik dan perkembangan serikat buruh.
h. Melaksanakan pendidikan, latihan , dan penilaian prestasi
karyawan.
i. Mengatur mutasi karyawan baik vertikal maupun horizontal. j. Mengatur pensiun, pemberhentian, dan pesangonnya.
3. Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah hal yang sangat penting bagi karyawan
14 dikarenakan menurunnya kepuasan kerja karyawan. Contohnya adalah
karyawan pabrik yang tidak puas dengan kerja karena minimnya upah
yang diterima melakukan aksi mogok kerja dan menuntut kenaikan
UMP. Karena kepuasan kerja dianggap penting maka banyak pakar
manajemen yang mencoba merumuskan pengertian dari kepuasan
kerja.
Hasibuan (2012:202) menjelaskan kepuasan kerja adalah sikap
emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya yang
tercermin oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Sementara
Darsono dan Tjatjuk (2011:214) menjelaskan kepuasan kerja sebagai
seperangkat perasaan karyawan yang menyenangkan atau yang tidak
menyenangkan berdasarkan imbalan material dan imbalan psikologis
(non-material). Berbeda dengan di atas, pendapat Porter dalam Ardana (2009:23) mengenai kepuasan kerja yang dimaksud adalah selisih dari
sesuatu yang seharusnya ada dengan sesuatu yang sesungguhnya ada
dengan kondisi yang sesungguhnya ada (faktual) seseorang cenderung
semakin puas. Sedangkan Darsono dan Tjatjuk (2011:214)
berpendapat: “lingkungan eksternal di luar pekerjaan mempengaruhi perasaan pekerja. Oleh sebab itu kepuasan kerja itu merupakan bagian
dari kepuasan hidup pekerja. Jika pekerja hidupnya merasa puas,
artinya terjadi kepuasan kerja, karena kerja adalah basis kehidupan”.
Jadi kepuasan hidup pekerja juga merupakan indikator kepuasan kerja
15 Jadi kepuasan kerja diartikan sebagai suatu sikap dan perasaan
yang berkaitan atas selisih antara kinerja yang diberikan dibandingkan
dengan segala hal yang diterimanya baik berupa material maupun
non-material.
a. Faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja:
Banyak sekali pakar manajemen SDM yang mencoba
merumuskan faktor apa saja yang dapat menentukan kepuasan
kerja seorang karyawan. Robbins dalam Dasrsono dan Tjatjuk
menjelaskan (2011:216) bahwa faktor yang menentukan kepuasan
kerja adalah tipe kerja , rekan pekerja, tunjangan, diperlakukan
dengan hormat dan adil, keamanan kerja, peluang menyumbangkan
gagasan, upah, pengakuan terhadap kerja dan kesempatan untuk
maju. Menurut Hasibuan (2012:203) kepuasan kerja karyawan
dipengaruhi faktor-faktor yaitu balas jasa yang adil dan layak,
penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian, berat ringannya
pekerjaan, suasana dan lingkungan pekerjaan, peralatan yang
menunjang pelaksanaan pekerjaan, sikap pimpinan dalam
kepemimpinannya, dam sifat pekerjaan yang monoton atau tidak.
Sedangkan Darsono dan Tjatjuk (2011:218) menyimpulkan
faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, antara lain:
1) Sistem imbalan, yaitu besarnya upah, bonus, dan promosi
yang adil. Makin tinggi upah, bonus dan promosi yang adil,
16 konstan, artinya tidak ada faktor luar seperti konflik keluarga
dan konflik sosial, dan lain-lain.
2) Persepsi terhadap kualitas pengawasan, yaitu keyakinan yang
dimiliki pekerja bahwa pengawasnya benar-benar memiliki
keahlian yang dibutuhkan, dapat diteladani, dapat menerima
pendapat, mempunyai kemampuan berkomunikasi. Makin
tinggi kemampuan dan partisipasi pengawas, makin tinggi
kepuasan kerja karyawan.
3) Desentralisasi kerja, yaitu suatu tingkat di mana keputusan
(wewenang dan tanggung jawab) dapat didelegasikan kepada
bawahan. Makin terdesentralisasi kerja, makin tinggi
kepuasan kerja karyawan.
4) Stimulasi kerja dan sosial, yaitu karyawan akan lebih puas
jika diberikan beban kerja cukup tinggi dan bervariasi, karena
beban kerja yang rendah dan terus-menerus cenderung
membosankan dan tidak mempunyai tantangan. Makin tinggi
variasi dan beban kerja tinggi yang rasional, makin tinggi
kepuasan karyawan.
5) Kondisi kerja yang menyenangkan, yaitu tempat kerja yang
cahayanya cukup terang, temperatur cukup baik, udara segar
dapat melahirkan kepuasan kerja karyawan. Makin baik
kondisi lingkungan fisik pekerjaan, makin tinggi kepuasan
17 Menurut Darsono dan Tjatjuk (2011:221-222), manajemen
harus membangun kepuasan kerja SDM-nya melalui cara-cara
sebagai berikut:
1) Imbalan materiil yang layak untuk hidup, imbalan itu harus
dapat memenuhi kebutuhan makan-minum, perumahan,
kesehatan, dan pendidikan anak.
2) Memanusiakan SDM, mereka harus dijadikan subyek kerja
yang harus ditingkatkan keterampilan dan pengetahuannya.
3) Membangun sikap positif terhadap pekerjaan dan hari depan
yang lebih baik.
Cara-cara itu dapat disajikan dalam gambar 2.1:
Sumber: Darsono dan Tjatjuk, 2011:222
Gambar 2.1
Membangun Kepuasan Kerja SDM Kepuasan Kerja SDM
Manajemen berbasis hubungan manusia
18 Keterangan gambar 2.1:
1) Jika kebutuhan primer SDM terpenuhi semangat kerja dan
produktifitas kerja mereka meningkat, dan sebaliknya.
2) Manajemen harus menempatkan SDM (buruh dan karyawan)
sebagai subjek, bukan sebagai alat produksi dan bukan sebagai
barang dagangan; kepentingan, pikiran, dan perasaan SDM
harus dijadikan dasar pengambilan keputusan merekrut,
mendidik dan melatih, menempatkan, dan memberhentikan
buruh dan karyawan.
3) Dengan diperlakukan manusiawi, SDM mempunyai harapan
hari depan yang lebih baik dalam pekerjaan sehingga
meningkatkan semangat dan produktifitas kerja sertia setia
kepada perusahaan.
Biasanya karyawan yang memiliki kepuasan kerja yang
rendah terlihat dari sikapnya yang tidak biasa. Cara-cara karyawan
mengungkapkan ketidakpuasan kerja menurut Robbins (2001:154)
adalah sebagai berikut:
1) Eksit [exit]: perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi
2) Suara [voice]: aktif dan konstruktif memberikan saran dan solusi terhadap problem
3) Kesetiaan [loyalty]: pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi
19 4) Pengabaian [negelect]: membiarkan kondisi memburuk, datang terlambat, kemangkiran, pengurangan upaya dan tingkat
kekeliruan yang meningkat
4. Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi termasuk hal terpenting dalam unsur
pembentukan kinerja, karena kinerja akan dihasilkan dari komitmen
karyawan untuk bekerja dalam organisasi. Karena komitmen organisasi
menjadi unsur terpenting dalam membentuk kinerja maka banyak pakar
manajemen yang menjelaskan tentang komitmen organisasi.
Mathis dan Jackson dalam Sopiah (2008:155) memberikan definisi
“Organizational commitment is the degree to which employees believe in and accept organizational goals and desire to remain with the organization”. Yang artinya komitmen organisasi adalah derajat yang
mana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan
tetap tinggal dan tidak akan meninggalkan organisasi.
Menurut Mowday dalam Sopiah (2008:155), komitmen
organisasional merupakan dimensi perilaku penting yang dapat digunakan
untuk menilai kecenderungan pegawai. Komitmen organisasional adalah
identifikasi dan keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap
organisasi. Komitmen organisasional adalah keinginan anggota-anggota
organisasi untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi
20 Mowday, Porter, dan Steers (1982:186) mendefinisikan komitmen
organisasi sebagai: the relative strength of an individual's identification with and involvement in a particular organization. Definisi tersebut menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiliki arti lebih dari sekedar
loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan hubungan yang aktif dan keinginan
karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya.
Luthans (2008:147) mengartikan komitmen organisasi sebagai :
a. A strong desire to remain a member of particular organization, keinginan yang kuat untuk mempertahankan seorang anggota dari
organisasi tertentu.
b. A willingness to exert high levels of effort on behalf of the organization, sebuah kemauan yang kuat untuk berusaha mempertahankan nama baik organisasi.
c. A definite belief in, and acceptance of, the values and goals of the organization, keyakinan dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Jadi komitmen organisasi diartikan sebagai sikap karyawan untuk
berorganisasi dengan menerima dan menjunjung tinggi nama baik
organisasi dan mengamalkan budaya-budaya yang terkandung dalam
organisasi.
a. Dimensi Komitmen Organisasi
Meyer dan Allen dalam Luthans (2008:148) mengemukakan
21 1) Komitmen afektif (affective commitment), yaitu perasaaan emosional pada organisasi yang memunculkan kemauan untuk
tetap tinggal dalam organisasi dan membina hubungan sosial serta
menghargai nilai hubungan dengan organisasi dikarenakan
keterlibatannya dengan organisasi tersebut.
2) Komitmen kontinyu (continuance commitment), yaitu perasaan berat untuk meninggalkan organisasi dikarenakan kebutuhan untuk
bertahan dengan pertimbangan biaya apabila meninggalkan
organisasi dan penghargaan yang berkenaan dengan keterlibatan
diri di dalam organisasi. Hal ini mungkin disebabkan takut
kehilangan promosi atau keuntungan-keuntungan lainnya karena
lamanya bekerja.
3) Komitmen normatif (normative commitment), yaitu perasaan pekerja yang mengharuskan untuk bertahan dalam organisasi
karena ia merasa harus dan itu adalah hal yang baik untuk
dilakukannya. Hal ini disebabkan kewajiban dan tanggung jawab
terhadap organisasi yang didasari atas pertimbangan norma, nilai
dan keyakinan karyawan terhadap organisasi.
5. Stress Kerja
Stress dalam bekerja merupakan kasus yang sudah dianggap biasa
dalam dunia bekerja. Karena setiap pekerjaan dari bawah hingga tingkat
manajemen atas pasti berpotensi munculnya stress kerja, baik karena
22 Menurut Umar (2010:44) stress didefinisikan sebagai suatu kondisi
ketegangan yang memengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi
seseorang pekerja. Terdapat hubungan langsung antara stress dan kinerja.
Menurut Higgins dalam Umar (2010:55), bila karyawan tidak memiliki
stress maka tantangan tidak ada dan akibatnya kinerja rendah. Semakin
tinggi tingkat stress karena tantangan kerja yang juga bertambah, maka
akan mengakibatkan kinerja juga bertambah. Tetapi jika stress sudah
maksimal, tantangan kerja yang bertambah tidak lagi dapat meningkatkan
kinerjanya, melainkan akan menurunkan kinerjanya. Jadi stress kerja
seorang karyawan harus berada dalam posisi standar maksimal kinerja
sesorang.
Menurut Mitchel, Luthans, Stoner, dan Freeman dalam Ogunjimi
et al (2009) kondisi yang memaksa karyawan untuk bekerja menyimpang
dari karyawan yang lain (karena stress kerja) disebabkan oleh: kondisi
keuangan yang lemah, peraturan organisasi, ketidakterlibatan dalam
pembuatan aturan, konflik, lemahnya suasana kerja, ketidakamanan
pekerjaan, perubahan dalam organisasi, kurangnya motivasi, dan lemahnya
kemampuan kerja. Dan menurut Siegrist dalam Ogunjimi et al (2009)
stress kerja dapat dihubungkan pada respon dari bahaya pada fisik dan
emosional yang terjadi ketika kapasitas dari pekerjaan tidak sesuai dengan
kemampuan karyawan, sumber daya atau kebutuhan kerja yang kurang,
23 Jadi stress kerja diartikan sebagai kondisi dimana seseorang
mengalami tekanan kerja yang tidak sesuai dengan kapasitas kerja
seseorang sehingga orang itu mengalami gejala-gelaja fisik dan psikologis
yang menurunkan kinerjanya.
a. Model stress pekerjaan
Menurut Kreitner dan Kinicki (2005:353-355) stressor dibagi
menjadi empat tingkatan yaitu:
1) Tingkat individu, yaitu keamanan kerja yang berkaitan dengan
kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan kinerja.
2) Tingkat kelompok, disebabkan oleh dinamika kelompok dan
perilaku manajerial. Para manajer menciptakan stress pada para
karyawan dengan menunjukkan perilaku yang tidak konsisten,
gagal memberikan dukungan, menunjukkan kekurangpedulian,
memberikan arahan yang tidak memadai, menciptakan suatu
lingkungan dengan produktivitas yang tinggi, dan memfokuskan
pada hal-hal negatif sementara itu mengabaikan kinerja yang baik.
3) Tingkat organisasi, contohnya sebuah lingkungan dengan tekanan
yang tinggi yang menempatkan permintaan kerja yang terus
menerus pada para karyawan akan menyalakan respon stress.
4) Tingkat luar organisasi, contohnya konflik yang berkaitan dengan
penyeimbangan kehidupan kerier dan keluarga seseorang
24
b. Faktor penyebab stress dan solusinya
Menurut Hasibuan (2012:204) faktor-faktor yang membuat
stress kerja yaitu:
1) Beban kerja yang sulit dan berlebihan
2) Tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar
3) Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai
4) Konflik antar pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja
5) Balas jasa yang terlalu rendah
6) Masalah-masalah keluarga seperti anak, istri, mertua, dan lain-lain.
Menurut Hasibuan (2012:204) prestasi kerja karyawan yang
stress pada umumnya akan menurun karena mereka mengalami
ketegangan pikiran dan berperilaku aneh, pemarah, dan menyendiri.
Untuk mengatasi stress dilakukan dengan pendekatan kejiwaan dan
konseling. Menurut Darsono dan Tjatjuk (2011:282) orang yang stress
membutuhkan konseling karena dalam konseling dapat membahas
masalah penyebab stress dan berusaha menyelesaikannya dengan baik.
Konseling membantu kesehatan mental orang yang mempunyai
masalah atau orang yang stress.
6. Kepemimpinan
Hingga saat ini pengertian kepemimpinan masih dianggap semu
dan rancu. Sebagaimana yang dikatakan Bennis dalam Yukl (2009:3)
bahwa konsep kepemimpinan selalu kabur atau kembali menjadi tidak
25 untuk menemukan dan menghentikan perkembangan istilah
kepemimpinan, tetapi tetap saja konsep ini tidak ada yang tuntas
mendefinisikannya. Sebagian besar definisi kepemimpinan mencerminkan
asumsi bahwa kepemimpinan selalu berkaitan dengan proses yang
disengaja dari seseorang untuk menekankan pengaruhnya yang kuat
terhadap orang lain untuk membimbing, membuat struktur, memfasilitasi
aktivitas dan hubungan di dalam perusahaan atau organisasi.
Hasibuan (2012:170) mendefinisikan kepemimpinan adalah cara
seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan, agar mau bekerja
sama dan bekerja secara produktif untuk memcapai tujuan organisasi.
Sedangkan Chowdhury (2005:87) mendefinisikan kepemimpinan adalah
suatu proses pengaruh yang tidak bersifat memaksa, kepemimpinan
menghasilkan penerimaan atau komitmen pada sebagian anggota
organisasi untuk melaksanakan tindakan yang memberikan kontribusi bagi
efektifitas organisasi. Pengukuran efektifitas disini biasanya digunakan
sebagai suatu indikator dari kepemimpinan. Hemphill & Coons, dalam
Yukl (2009:4) juga mendefinisikan kepemimpinan sebagai perilaku
individu yang mengarahkan aktivitas kelompok untuk mencapai sasaran
bersama.
Pengertian kepemimpinan sering dikatakan rancu dengan
manajemen. Bernis dan Nanus dalam Munandar (2006:166) melihat
perbedaan yang mendasar antara manajemen dan kepemimpinan. To manage, menurut mereka berarti to bring about, to accomplish, to have
26
charge of or responsibility for, to conduct. Sedangkan leading, adalah influencing, guiding in direction, course, action, opinion. Hersey dan Blancart dalam Munandar (2006:166) mengatakan bahwa: In essence leadership is a broader concept than management. Namun menurut Davis dalam Munandar (2006:166): Leadership is part of management, but not all of it. A manager is required to plan and organize, for example, but all we ask of the leader is that he gets others to follow.
Jadi kepemimpinan diartikan sebagai kekuatan untuk
mempengaruhi dan menggerakkan orang lain agar rela, mampu dan dapat
bekerja mengikuti sasaran dan tujuan manajemen yang telah ditentukan
sebelumnya dengan efisien, efektif, dan ekonomis.
a. Perbedaan antara pemimpin dan manajer
Dennis dalam Kreitner dan Kinicki (2005:301) menyebutkan
perbedaan antara pemimpin dan manajer adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1
Perbedaan Pemimpin dengan Manajer
Pemimpin Manajer
Melakukan inovasi Mengurus
Mengembangkan Mempertahankan
Memberikan inspirasi Mengendalikan Memiliki pandangan jangka
panjang Memiliki pandangan jangka pendek
Menanyakan apa dan mengapa Menanyakan bagaimana dan kapan
Memunculkan Mengawali
Menentang status quo Menerima status quo
27
b. Efektivitas kepemimpinan
Menurut Umar (2010:38) kepemimpinan yang efektif
tergantung pada landasan manajerial yang kokoh. Dan terdapat lima
landasan kepemimpinan yang kokoh, yaitu cara berkomunikasi, cara
memberikan motivasi, kemampuan memimpin, kemampuan
mengambil keputusan, dan kekuasaan positif.
Sedangkan menurut Anoraga (2001:2) ukuran efektifitas
kepemimpinan adalah yang berkemampuan untuk mempengaruhi
orang lain, melalui komunikasi yang baik langsung maupun tidak
langsung dengan maksud untuk menggerakkan orang-orang tersebut
agar dengan penuh pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia
mengikuti segala kehendak pemimpin itu.
c. Variabel-variabel kunci kepemimpinan
Variabel-variabel kunci dalam teori kepemimpinan Yukl
(2009:13) dibagi tiga, yang pertama adalah karakteristik pemimpin
yang terdiri dari ciri pengikut (motivasi, kepribadian, nilai), keyakinan
dan optimisme, keterampilan dan keahlian, perilaku, integritas dan
etika, taktik pengaruh, dan sifat pengikut. Yang kedua adalah
karakteristik pengikut yang terdiri dari ciri pimpinan (kebutuhan, nilai,
konsep pribadi), keyakinan dan optimisme, keterampilan dan keahlian,
sifat dari pemimpinnya, kepercayaan pada pemimpin, komitmen dan
upaya tugas, dan kepuasan terhadap pemimpin dan pekerjaan. Dan
28 organisasi, besarnya unit organisasi, posisi kekuasaan dan wewenang,
struktur dan kerumitan tugas, kesaling tergantungan tugas, keadaan
lingkungan yang tidak menentu, dan ketergantungan eksternal.
7. Kinerja
Kinerja selalu dijadikan ukuran dari keberhasilan atas suatu
jabatan. Kesuksesan individu ataupun kerlompok yang bekerja juga dapat
diindikasikan dari kinerjanya. Maka kinerja adalah goal yang menjadi
kesuksesan suatu organisasi.
Kinerja menurut Ilyas (2002:65) adalah penampilan hasil karya
personel baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja
dapat berupa penampilan individu maupun kelompok.
Sulistiyani (2003:223) berpendapat bahwa kinerja seseorang
merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat
dinilai dari hasil kerjanya. Sedangkan menurut Bernardin dan Russell
dalam Sulistiyani (2003:223-224) menyatakan bahwa kinerja merupakan
catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi pegawai tertentu atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu.
Jadi kinerja diartikan sebagai segala kecakapan yang berpengaruh
pada hasil kerja di dalam suatu wewenang jabatan dan tanggung jawab
kerja yang dapat dipertanggungjawabkan pada suatu organisasi.
a. Klasifikasi Ukuran Kinerja
Wibowo (2012: 235) mengklasifikasikan beberapa tipe ukuran
29 1) Produktifitas, yaitu hubungan antara input dan output suatu proses
2) Kualitas, yaitu kualitas hasil kerja internal (cacat, susut, ditolak)
maupun eksternal (kepuasan pelanggan, frekuensi pemesanan
ulang)
3) Ketepatan Waktu, yaitu presentase pengiriman tepat waktu sesuai
yang dijanjikan
4) Cycle time, yaitu jumlah waktu yang diperlukan untuk naik dari
satu titik ke titik lain dalam suatu proses.
5) Pemanfaatan Sumber Daya, yaitu besarnya sumber daya yang
disediakan untuk digunakan semaksimal mungkin
6) Biaya, yaitu besarnya biaya yang ditanggung perusahaan terhadap
kinerjanya.
b. Model teori kinerja
Untuk mengetahui faktor apa saja yang memperngaruhi, maka
Gibson dalam Ilyas (2002:66) secara teoritis merumuskan tiga
variabel yang mempengaruhi kinerja yaitu variabel individu, variabel
organisasi, dan variabel psikologis. Variabel tersebut dapat dijelaskan
30 Gambar 2.2
Model Variabel Kinerja
c. Evaluasi kinerja
Menurut Ilyas (2002:87) penilaian kinerja merupakan suatu
evaluasi terhadap penampilan kerja personel dengan
membandingkannya dengan standar baku penampilan. Menurut Hall
dalam Ilyas (2002:87), penilaian kinerja merupakan proses yang
berkelanjutan untuk menilai kualitas kerja personel dan usaha untuk
memperbaiki unjuk kerja dalam organisasi. Menurut Certo dalam Ilyas
(2002:87), penilaian kinerja adalah proses penelurusan kegiatan pribadi
personel pada masa tertentu dan menilai hasil karya yang ditampilkan
terhadap pencapaian sasaran sistem manajemen. Selanjutnya Ilyas
(2002:88) menyimpulkan definisi penilaian kinerja sebagai proses Variabel Individu:
- Kemampuan dan keterampilan fisik dan mental - Latar belakang (keluarga dan pengalaman) - Demografis (umur, etnis, jenis kelamin Perilaku Individu (apa yang dikerjakan)
Kinerja (hasil yang diharapkan)
Variabel Psikologis: - Persepsi - Sikap - Kepribadian - Belajar - Motivasi Variabel organisasi: - Sumber daya - Kepemimpinan - Imbalan - Struktur - Supervisi - Kontrol
31 formal yang dilakukan untuk mengevaluasi tingkat pelaksanaan
pekerjaan atau unjuk kerja (performance appraisal) seorang personel
dan memberikan umpan balik untuk kesesuaian tingkat kinerja.
Jadi evaluasi kinerja adalah proses menilai dan meninjau kinerja
dari segala perpektif baik dari internal maupun eksternal yang
kemudian diberikan umpak balik positif dalam menanggapi kinerja