• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Landasan Teori

Menurut P.J.A Andriani, Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (IAI,2006:1).

Menurut Rochmat Soemitro (Resmi 2009:1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa imbal (kontraprestasi) yang dapat langsung ditunjukkan serta digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. Definisi ini kemudian disempurnakan, menjadi: “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public invesment.

Menurut S.I. Djajadinigrat, Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas Negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal

balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum (Resmi, 2009:1)

Menurut Dr. N. J. Feldmann, Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Resmi, 2009:2).

Dari semua definisi yang ada, dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran yang dibayarkan oleh wajib pajak kepada negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara, berdasarkan Undang-undang yang berlaku dan tidak ada timbal-balik secara langsung.

Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pajak adalah:

a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

c. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.

2.2.2. Fungsi Pajak

Pajak memiliki fungsi yang sangat strategis bagi berlangsungnya pembangunan suatu Negara. Pajak memiliki fungsi (IAI, 2006:2), sebagai berikut:

1. Fungsi Penerimaan (Budgetair), Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.

2. Fungsi Mengatur (Regulatoir), Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi. 3. Fungsi Redistribusi, Dalam fungsi ini lebih ditekankan unsur

pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Fungsi ini terlihat dari adanya lapisan tarif dalam pengenaan pajak.

4. Fungsi Demokrasi, Pajak dalam fungsi demokrasi merupakan wujud sistem gotong royong. Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat pembayar pajak.

2.2.3. Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Resmi (2009:11) dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu :

a. Official Assessment System

Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan para aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur perpajakan (peranan dominan ada pada aparatur perpajakan).

b. Self Assessment System

Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk:

 Menghitung sendiri pajak yang terutang;  Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang;  Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang;

 Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang;  Mempertanggungjawabkan pajak yang terutang.

c. With Holding System

Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga ini dilakukan sesuai peraturan sesuai perundang-undangan perpajakan, keputusan presiden dan peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetor, dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada pihak ketiga yang ditunjuk.

2.2.4. Syarat-syarat Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2003:2) pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Pemugutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang

adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomi)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.

2.2.5. Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam

suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya (IAI,2006:7)

Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak (Resmi,2009:80)

2.2.5.1. Subyek Pajak Penghasilan

Dalam terminologi pajak, seseorang atau badan usaha yang menerima atau memperoleh penghasilan dikenal sebagai subjek pajak (Dirjen Pajak,2006:18)

Resmi (2009:81) Berdasar Pasal 2 ayat (1) UU No.36 tahun 2008 mengelompokkan subyek pajak sebagai berikut :

1. Subjek Pajak Orang Pribadi.

Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia maupun di luar Indonesia

2. Subjek Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.

Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.

3. Subjek Pajak Badan

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas (PT), perseroan komanditer (CV), perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya termasuk reksa dana.

4. Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Seperti kantor cabang, kantor perwakilan, pabrik, gedung kantor dan orang atau badan usaha yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.

2.2.5.2. Objek Pajak Penghasilan

Objek Pajak merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau keadaan) yang dikenakan pajak. Objek Pajak penghasilan adalah penghasilan. Penghasilan yang dimaksud dalam perpajakan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai sebagai konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun (Resmi,2009:86)

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan menurut Resmi (2009:86) dapat dikelompokkan menjadi :

1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara.

2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan

3. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak digunakan untuk usaha.

4. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok sebelumnya, seperti

keuntungan karena pembebasan utang, hadiah undian, keuntungan karena selisih kurs.

2.2.5.3. Penetapan Tarif Umum Pajak Penghasilan

Tarif pajak merupakan persentase tertentu yang digunakan untuk menghitung besarnya PPh. Tarif PPh yang berlaku di Indonesia dikelompokkan menjadi dua yaitu tarif umum sesuai pasal 17 UU No.7 Tahun 1983 (sebagaimana telah diubah beberapa kali dan yang terakhir adalah dalam UU No.36 Tahun 2008) dan tarif lainnya.

Sistem penerapan tarif Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 17 UU PPh dibagi menjadi dua, yaitu Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, dan Wajib Pajak dalam negeri badan dan bentuk usaha tetap. 1. Tarif PPh untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, yaitu :

Tabel 2 : Tarif Pajak Orang Pribadi

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp.50.000.000 5% Di atas Rp.50.000.000 s/d Rp.250.000.000 15% Di atas Rp.250.000.000 s/d Rp.500.000.000 25% Di atas Rp.500.000.000 30%

2. Tarif PPh untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah 28% (dua puluh delapan persen). Tarif tersebut menjadi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak Tahun pajak 2010.

2.2.6. Pemahaman Self Assessment System

Self Assessment System sebagai sistem penetapan pajak di Indonesia telah diterapkan sejak tax reform tahun 1983, setelah sebelumnya pernah memakai system Official Self Assessment. Pembaharuan itu dilakukan antara lain melalui penyerdehanaan jenis-jenis pajak, penyederhanaan ketentuan cara pemenuhan kewajiban pajak, dan pemberian wewenang kepada wajib pajak. Self AssessmentSystem itu sendiri adalah sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Menurut Tunggal (1995:42), self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang harus dibayar.

Sedangkan menurut Resmi (2009:12), self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang wajib pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif dan kegiatan menghitung serta pelaksanaan pemungutan pajak berada pada wajib pajak. Wajib pajak dianggap mampu memahami peraturan perpajakan yang sedang berlaku dan

mempunyai kejujuran yang tinggi serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk:

 Menghitung sendiri pajak yang terutang;  Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang;  Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang;  Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang;  Mempertanggungjawabkan pajak yang terutang.

Dengan demikian, berhasil tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada Wajib Pajak sendiri (peranan dominan ada pada Wajib Pajak).

Carl S. Shoup (Zain, 2005:110) menyatakan self assessment system merupakan tipe keenam dari tipe-tipe administrasi perpajakan. Dalam tipe keenam ini wajib pajak mendapat beban yang berat, karena wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam Surat Pemberitahuannya (SPT), menghitung dasar pengenaan pajaknya, mengkalkulasi jumlah pajak yang terutang dan melunasi pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang terutang.

Menurut Tunggal (1995:43) untuk mensukseskan self assessment system ini dibutuhkan beberapa prasyarat dari wajib pajak, antara lain: 1. Kesadaran wajib pajak (tax consciosness)

3. Kemauan membayar pajak dari wajib pajak (tax mindedness) 4. Kedisiplinan wajib pajak (tax disciplin)

2.2.6.1. Kesadaran Wajib Pajak

Dalam kamus Bahasa Indonesia (2002:975), kesadaran adalah keinsyafan, keadaan mengerti, tahu dan merasa. Jadi kesadaran wajib pajak adalah suatu sikap tahu dan mengerti yang dimiliki oleh wajib pajak untuk memahami arti dan fungsi dari pembayaran pajak.

Gunadi (2003) menyatakan bahwa kesadaran wajib pajak merupakan kunci dari sistem perpajakan yang ditetapkan di Indonesia yaitu self assessment system. Dalam sistem ini wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajaknya yang terutang. Oleh karena itu, apabila semakin tinggi kesadaran yang dimiliki oleh wajib pajak atas kewajiban perpajakannya maka tidak mustahil target penerimaan pajak akan tercapai.

Banyak masyarakat yang belum mengerti akan pentingnya arti pajak, hal ini disebabkan karena masih terdapat pandangan yang salah mengenai pajak. Dengan adanya hal tersebut dapat menyebabkan keengganan atau perasaan berat untuk membayar pajak. Pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak hanya karena dalam keadaan terpaksa atau karena adanya kepentingan yang mendadak, bukan sama sekali karena kesadaran akan membayar pajak (Tunggal,1995:7-8).

Untuk mencapai tingkatan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak, juga tergantung dari cara pemerintah memberi penerangan dan pelayanan bagi masyarakat pembayar pajak, agar kesan dan pandangan yang keliru tentang arti dan fungsi pajak dapat dihilangkan (Tunggal,1995:8).

Menurut Soemitro (1992:5) kesadaran wajib pajak akan kewajibannya dapat dipupuk melalui pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Dengan memiliki kesadaran akan pajak, maka wajib pajak juga harus mempunyai keinginan membayar pajak (tax minded) dan sekaligus ditanamkan kedisiplinan pajak (tax discipline) yang kuat dan didasari dengan kejujuran yang mantap.

Sesuai dengan self assessment system, kepatuhan wajib pajak ini meliputi kesadaran masyarakat untuk (Gunadi,2004) :

1. Mendaftarkan diri memperoleh NPWP

2. Menyampaikan SPT dengan perhitungan yang lengkap dan benar atas segenap objek pajaknya

3. Membayar pajak berdasarkan jumlah yang sebenarnya dan tepat waktu.

2.2.6.2. Kejujuran Wajib Pajak

Kejujuran merupakan hal yang sulit karena kejujuran bertalian erat dengan moral seseorang yang terbentuk dalam masa yang panjang.

Kejujuran adalah sifat (keadaan jujur) ketulusan hati, kelurusan hati (Kamus Bahasa Indonesia,2002:479).

Yang diartikan dengan ‘jujur’ oleh masyarakat adalah keterbukaan dalam sikap dan tingkah laku, adanya keselarasan antara ucapan dan perbuatan yang tidak saling bertentangan, dan dengan sendirinya jujur dalam hal keuangan dan materi (Ma’arat,1982:148). Jadi kejujuran wajib pajak adalah suatu sikap ketulusan hati yang dimiliki oleh wajib pajak untuk jujur dan terbuka dalam memenuhi kewajiban perpajakan, terutama dalam pengisian SPT.

Kejujuran wajib pajak merupakan salah satu faktor terpenting dalam penerapan self assessment system. Dalam sistem ini wajib pajak harus akif memenuhi kewajiban perpajakannya mulai dari mendaftarkan diri, mengisi SPT dengan jujur, baik dan benar sampai melunasi pajak terutang tepat pada waktunya (Nurmantu,2003:148).

Menurut Tunggal (1995:62) wajib pajak menyembunyikan kekayaan atau penghasilannya dengan jalan memberikan keterangan yang tidak benar, atau mengajukan pernyataan yang tidak benar, dan memberikan data-data yang tidak benar atau keterangan palsu dalam dokumen.

2.2.6.3. Hasrat Membayar Pajak

Hasrat adalah keinginan kuat (Kamus bahasa Indonesia,1990:300). Jadi hasrat untuk membayar pajak adalah keinginan yang kuat untuk

melakukan kewajiban perpajakan yaitu membayar pajak. Hasrat membayar pajak dapat muncul dari hati wajib pajak yang telah memiliki kesadaran pajak.

Menurut Simatupang (2002) menyatakan bahwa adanya keinginan yang kuat dari sebagian masyarakat untuk tidak membayar, karena ketidakrelaan untuk mengalihkan sebagian kekayaan kepada Negara. Selain itu, ada satu yang menyebabkan rakyat belum secara sukarela membayar pajak yaitu adanya image ditengah – tengah masyarakat bahwa membayar pajak untuk orang pajak.

Proses dan prosedur pembayaran pajak yang berbelit – belit merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan hasrat membayar pajak. Untuk itu dibutuhkan modernisasi administrasi pajak. Menurut Perris (2004) menyatakan salah satu contoh modernisasi administrasi pajak adalah penerapan sistem administrasi baru yang memungkinkan seseorang atau badan usaha cukup melakukan pembayaran sekali dengan menggunakan Single Indentity Number (SIN) atau nomor identitas tunggal. Sistem ini diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan kewajibannya membayar pajak. Kemudahan ini dalam administrasi saat ini diharapkan akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk membayar pajak.

2.2.6.4. Kedisiplinan Wajib Pajak

Dalam kamus Bahasa Indonesia (2002:268) disiplin adalah tata tertib, ketaatan atau kepatuhan pada peraturan bidang studi yang memiliki objek sistem dan metode tertentu. Sedangkan menurut Ma’arat (1982:90) menyatakan bahwa disiplin adalah sikap peseorangan atau kelompok yang menjamin adanya kepatuhan terhadap perintah-perintah dan berinisiatif untuk melakukan suatu tindakan yang perlu seandainya tidak ada perintah.

Menurut Tunggal (1995:44) tax discipline adalah disiplin wajib pajak terhadap pelaksanaan peraturan pajak, sehingga pada waktunya wajib pajak dengan sendirinya memenuhi kewajiban–kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh undang-undang seperti memasukkan SPT pada waktunya, membayar pajak pada waktunya, tanpa diperingatkan untuk melakukan hal itu.

Jadi kedisiplinan pajak merupakan suatu sikap patuh, taat yang dimiliki oleh wajib pajak dalam melakukan kewajibannya dalam hal perpajakan, tanpa diperingatkan terlebih dahulu.

Menurut Tunggal (1995:45) dengan pemberian kepercayaan yang penuh kepada wajib pajak untuk melakukan self assessment system, memberikan konsekuensi yang berat bagi wajib pajak, yaitu apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajibannya dengan baik dan benar, maka kepada wajib pajak tersebut akan dijatuhkan sanksi. Jadi, untuk

meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya perlu dilakukan pengawasan oleh aparat perpajakan.

2.2.7. Penghindaran Pajak

Dalam kamus Bahasa Indonesia (2002:402) penghindaran berarti proses, cara, perbuatan menghindarkan atau menghindari, pengelakan atau penyingkiran. Pembayaran pajak dapat dengan mudah dihindari dengan tidak melakukan perbuatan yang memberi alasan untuk dikenakan pajak, yaitu dengan meniadakan atau tidak melakukan hal-hal yang dikenakan pajak.

Penghindaran pajak juga disebut sebagai tax planning, yaitu proses pengendalian tindakan agar terhindar dari konsekuensi pengenaan pajak yang tidak dikehendaki (Zain, 2005:49).

Sedangkan menurut Ernest R. Mortenson (Zain, 2005:49) Penghindaran pajak berkenaan dengan pengaturan sesuatu peristiwa sedimikian rupa untuk meminimalkan atau menghilangkan beban pajak dengan memperhatikan ada atau tidaknya akibat-akibat pajak yang ditimbulkan.

Jadi penghindaran pajak adalah satu tindakan yang dilakukan oleh wajib pajak untuk menghindarkan diri dari pembayaran pajak dengan tujuan agar tidak terkena pajak atau untuk meminimalkan jumlah pajak yang terutang.

Berbagai upaya dilakukan oleh wajib pajak untuk menghindari pajak. Pasal 18 ayat (1), (2), (3) UU PPh mengatur pengenaan pajak dalam hal-hal tertentu yang memungkinkan terjadinya penghindaran pajak. Hal-hal yang diatur dalam pasal tersebut adalah penentuan besarnya perbandingan utang dan modal, penentuan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri, dan penentuan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa (Resmi, 2009:138).

Tax avoidance adalah salah satu cara penghindaran kewajiban dengan memanfaatkan celah-celah UU yang ada. Variabel tax avoidance adalah rasio perbandingan manfaat penundaan pembayaran PPh dengan ketetapan PPh-nya. Analisis dari studi tax avoidance atau penundaan pembayaran oleh wajib pajak, berdasarkan prinsip bahwa wajib pajak akan menunda pembayaran pajak, apabila keuntungan pembayaran pajak lebih besar dari pada kerugiannya (Kiryanto, 1999: 11)

Masyarakat sebagai wajib pajak menganggap pajak sebagai beban bukan sebagai kebutuhan karena mereka menganggap pajak tidak mendapatkan imbalan prestasi secara langsung layaknya dalam jual beli barang kebutuhan hidup.

Pada dasarnya tidak ada orang yang mau (rela) membayar pajak, setiap orang mempunyai kecenderungan untuk menghindari pembayaran pajak (Burton, 2005).

Perlawanan aktif terhadap pajak meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap fiskus dan bertujuan untuk menghindari pajak, diantaranya adalah (Marsyahrul, 2005: 16) :

- Penghindaran diri dari pajak

- Pengelakan atau Penyelundupan Pajak, dan - Melalaikan Pajak

Bentuk penghindaran pajak terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.

2. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang.

Nurmantu (2003:151) menyatakan bahwa tax avoidance dan tax evasion merupakan bentuk penghindaran pajak yang mempunyai akibat yang sama yaitu berkurangnya penyetoran dana pajak ke kas Negara, atau bahkan tidak ada dana pajak yang masuk ke kas Negara, tetapi keduanya mempunyai cara yang berbeda dalam hukum.

2.2.8. Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak dengan Penghindaran Pajak

Gunadi (2003) menyatakan bahwa kesadaran wajib pajak merupakan kunci dari sistem perpajakan yang ditetapkan di Indonesia yaitu self assessment system. Dalam sistem ini wajib pajak diberikan

kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajaknya yang terutang.

Kurang meratanya proses penyaluran pajak dapat menimbulkan avoidance (penghindaran) pada masyarakat. Hal ini dapat memacu masyarakat untuk malas membayar pajak.

Satu hal yang menyebabkan masyarakat belum secara sukarela membayar pajak adalah image ditengah–tengah masyarakat bahwa

Dokumen terkait