• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

D. Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)

5. Langkah-langkah pelaksanaan rational emotive behavior

REBT terdiri atas enam langkah yang ditujukan untuk mengatasi gangguan emosional dan gangguan perilaku yang dialami klien. Tahapan REBT berkaitan dengan model ABCD. Adapun langkah-langkah atau tahap-tahap pelaksanaan REBT yaitu antara lain, pertama REBT dimulai dengan memberi salam dan menyapa klien, membantu klien mengespresikan permasalahan mereka, kemudian mengajak klien mendiskusikan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam terapi serta menentukan aturan praktis yang mendasar seperti durasi dan frekuensi sesi terapi. Setelah melakukan ketiga hal tersebut, terapis selanjutnya disarankan untuk menggunakan keterampilan pemecahan masalah dan meminta klien untuk memilih masalah yang akan diselesaikan. Apabila klien memiliki banyak masalah yang ingin diselesaikan maka sebaiknya terapis membantu klien untuk membuat daftar masalah dan memilih mana

masalah yang menjadi prioritas untuk dicari solusinya terlebih dahulu (Dryden & Neenan, 2004).

Setelah permasalahan ditentukan terapis perlu menilai apakah permasalahan tersebut berkaitan dengan masalah meta emosional seperti merasa malu karena cemas, merasa bersalah karena marah dan sebagainya. Apabila masalah meta-emosional ini terkait dengan masalah utama yang akan dibahas, maka dengan persetujuan klien, masalah emosional ini harus diselesaikan atau diklarifikasi terlebih dahulu. Seperti halnya permasalahan lain, dalam REBT masalah meta-emosional dapat dinilai dengan menggunakan kerangka model ABC (Dryden & Neenan, 2004).

Dryden dan Neenan (2004) mengemukakan langkah-langkah utama dalam REBT yakni sebagai berikut:

a. Memilih dan menilai masalah

Pada tahapan ini terapis harus menyampaikan tiga pesan penting pada klien yaitu: 1) waktu klien sangat berharga oleh karena itu terapis harus benar-benar dapat mengikutinya dengan cepat namun efektif, 2) REBT sangat efisien namun singkat oleh karenanya fokus terhadap pemecahan masalah harus ditingkatkan, 3) memberi tanda pada klien bahwa terapis harus aktif selama proses terapi berlangsung dan direktif dalam menjaga proses terapi agar tidak keluar jalur. Dalam pemilihan masalah, terdapat dua strategi yang dapat digunakan terapis, yang pertama dengan memberikan pilihan pada klien dalam menentukan masalah yang

akan diselesaikan terlebih dahulu dan kedua dengan menanyakan pada klien masalah yang paling mengganggunya.

Setelah masalah utama ditentukan maka terapis diharapkan dapat menemukan masalah sekunder yang juga disebut masalah meta-emosional. Masalah meta-emosional didefinisikan secara literal sebagai masalah emosional yang menjadi penyebab dari masalah emosional lainnya. Setelah masalah meta-emosional terdeteksi, maka terdapat beberapa kriteria untuk menyeleksi mana yang akan diselesaikan terlebih dahulu. Kriteria tersebut antara lain: 1) apakah masalah meta-emosional sangat berkaitan secara signifikan dengan masalah utama klien, 2) apakah masalah meta-emosional dipandang lebih penting dari masalah utama, dan 3) apabila klien lebih nyaman untuk menyelesaikan masalah meta-emosional terlebih dahulu baru kemudian membahas mengenai masalah utama.

Ketika klien masih kesulitan atau gagal dalam menunjuk suatu masalah dengan cepat, maka terapis juga dapat menerapkan sejumlah cara dalam membantu klien memilih masalah yang ingin diselesaikan terlebih dahulu. Pertama, yakni dengan memberi tahu

klien bahwa ia tidak harus mengungkap secara langsung atau “to the point” pada masalah yang paling mengganggunya, terapis dapat menyarankan klien untuk memilih masalah yang lebih “dangkal”

dan meyakinkan klien bahwa semua orang memiliki area kehidupan yang ada di bawah optimal dengan demikian terapis

dapat memperoleh kesepakatan untuk membahas mengenai “rasa malu terhadap sesuatu” dalam diri klien terlebih dahulu sebelum

mendorong klien untuk mengungkap masalah sebenarnya.

Kedua, terapis dapat menganjurkan klien mengidentifikasi perasaan dan perilaku yang ingin ditingkatkan atau dikurangi, serta sikap yang ingin dirubah atau diperoleh. Ketiga, terapis dapat menanyakan pada klien mengenai apa yang ingin mereka peroleh dari terapi serta hal-hal apa saja yang mungkin dapat menghambat mereka dari hal-hal yang diinginkan tersebut. Keempat, terapis

dapat menjadi lebih “friendly” terhadap klien dengan cara

merekonseptualisasikan peran sebagai pelatih atau konsultan, pertanyaan lebih difokuskan pada klien seperti “Apakah ada

tantangan-tantangan hidup yang ingin Anda diskusikan?” atau “Persoalan apa yang kiranya ingin Anda jadikan fokus dalam perbincangan kita?”

b. Penetapan tujuan

Waktu terbaik untuk mendiskusikan perihal penetapan tujuan adalah saat klien sudah mampu mengungkapkan situasi atau masalah yang dirasa mengganggunya. Informasi mengenai hal tersebut menjadi dasar bagi penetapan tujuan khusus yang akan disepakati. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan tujuan ini antara lain:

Tujuan jangka pendek melibatkan sedikit tugas dan mengurangi ketidaknyamanan namun membawa hasil yang cepat. Tujuan jangka pendek cenderung akan mengulang permasalahan klien.

2) Mencegah ketenangan dalam menghadapi kesulitan

Klien seringkali mengungkapkan tujuan bahwa mereka ingin lebih tenang atau rileks dalam menghadapi permasalahan terutama yang terkait peristiwa tidak menyenangkan dalam hidup. Tujuan seperti ini biasanya melibatkan penyangkalan diri didalamnya. Terapis dapat mendorong klien untuk menerima suatu peristiwa tersebut terlebih dahulu, lalu kemudian membedakan mana bagian dari peristiwa tersebut yang dapat diubah dan mana yang tidak dapat diubah.

3) Membantu klien menyatakan tujuan dalam istilah yang positif Tujuan dalam istilah yang positif lebih menggambarkan apa yang ingin klien lakukan dan rasakan, bukan apa yang tidak

ingin klien lakukan atau rasakan. Contohnya: “Saya ingin lebih percaya diri ketika berbicara di depan umum” bukannya “Saya

tidak mau merasa malu dan gugup ketika berbicara di depan umum.

4) Membantu klien untuk mengubah tujuan yang samar menjadi tujuan yang jelas dan spesifik

Tujuan yang samar atau sangat umum seperti “Saya ingin merasa bahagia” sangat tidak membantu dalam sesi terapi

karena tujuan tersebut tidak mengindikasikan kebahagiaan seperti apa yang ingin dicapai. Hal ini perlu diklarifikasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membuat tujuan

tersebut lebih spesifik seperti, ”Hal-hal apa saja yang dapat membawa kebahagiaan dalam hidupmu?” atau “Apa yang kamu perlukan agar bisa merasa bahagia?”.

5) Tujuan berfokus pada hasil bukan pada proses

REBT merupakan pendekatan yang berfokus kepada hasil, bukan pada proses. Oleh karena itu apabila klien tidak dapat mengubah fokus terapi dari eksplorasi diri atau instropeksi menjadi kesepakatan rencana pencapaian tujuan yang jelas maka disarankan untuk mengganti terapi pada pendekatan yang lain.

6) Menerapkan pedoman penetapan tujuan “SMART”

Pedoman penetapan tujuan SMART terdiri atas: a) simple and specific, tujuan diungkapkan dengan sesederhana dan sekhusus mungkin, b) measurable, tujuan harus terukur dengan kata lain klien harus mengetahui apakah mereka dapat mencapai tujuan tersebut atau tidak, c) agreed, harus ada kesepakatan antara terapis dan klien terkait tujuan yang ditetapkan, d) realistic, tujuan harus sesuai dengan kenyataan dan memungkinkan untuk dicapai, dan e) timebound, tujuan harus memiliki batas waktu karena menentukan seberapa panjang proses terapi yang akan ditempuh.

c. Mengajarkan hubungan antara B dan C serta menilai keyakinan irasional

Mengajarkan hubungan antara B dan C pada klien berarti mengajarkan konsep mengeni tanggung jawab emosional, yakni bahwa gangguan emosional pada umumnya terbentuk dikarenakan oleh pemikiran irasional, bukan disebabkan oleh suatu kejadian atau orang lain yang dianggap berkontribusi terhadap masalah yang dihadapi klien. Sementara itu untuk menilai keyakinan irasional, penggunaan pertanyaan dalam bentuk terbuka (open ended) dan berdasarkan teori (theory driven) akan sangat membantu.

d. Memeriksa keyakinan irasional dan keyakinan rasional

Pemeriksaan terhadap sistem keyakinan klien bertujuan untuk mendorong klien mengembangkan sistem keyakinan rasional dalam konteks yang spesifik, antar situasi dan menjadi filosofi hidup bergantung pada seberapa tinggi tingkat perubahan yang ingin dicapai oleh klien. Pemeriksaan biasanya dimulai pada konteks yang spesifik sebelum mengarah pada pandangan yang lebih luas mengenai kehidupan dan permasalahan klien. Pemeriksaan keyakinan ini dapat dilakukan dengan meninjau pada distorsi kognitif yang mungkin saja terjadi pada diri klien.

e. Menegosiasikan dan meninjau ulang tugas rumah

Pada akhir setiap sesi terapi, klien harus dipersiapkan untuk melakukan tugas rumah dalam rangka memperkuat kemunculan keyakinan rasionalnya. Tugas rumah merupakan aktivitas yang

dilakukan klien pada jeda antar sesi dengan tujuan untuk mempraktikkan hal-hal yang telah dipelajari pada sesi terapi. Tugas rumah terutama berguna bagi klien untuk mengembangkan kompetensi dan kepercayaan diri dalam proses menjadi terapis bagi dirinya sendiri. Tugas rumah dibagi menjadi tiga kategori yakni: 1) Tugas rumah berorientasi kognitif. Tugas rumah kognitif

membantu klien untuk lebih memahami teori dan praktik REBT serta membantu klien memperdalam pengetahuan terhadap permasalahan mereka, metode yang disarankan adalah berupa membaca literature self-helf, atau mendengarkan rekaman audio sesi terapi.

2) Tugas rumah berorientasi behavioral. Tugas rumah behavioral merupakan ciri utama REBT dimana klien belajar melawan keyakinan irasional mereka. Tugas rumah behavioral juga menunjukkan pada klien bahwa pencapaian insight dikarenakan oleh upaya mereka untuk menemukan efikasi dari keyakinan irasional dengan cara mempraktikkannya. Metode yang disarankan adalah berupa permainan bermain peran, kontrak kontingensi dan sebagainya.

3) Tugas rumah berorientasi imaginal (pencitraan). Tugas rumah ini meliputi penggunaan gambar atau citra mental sebagai bentuk gladi dimana klien dapat memperoleh kepercayaan diri dalam melakukan tugas-tugas terapi. Klien juga dapat menggunakan penggambaran atau pencitraan ini untuk

mencapai perubahan afektif (dari perasaan terganggu menjadi tidak terganggu) melalui restrukturisasi kognitif ketika membayangkan dengan jelas situasi yang menekan.

4) Tugas rumah berorientasi emotif. Tugas rumah ini dirancang untuk melibatkan klien secara penuh dalam upaya menghapus perasaan terganggunya melalui penantangan yang persisten dan kuat terhadap gagasan-gagasan irasional klien.

Dalam menegosiasikan tugas rumah terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh terapis REBT, yaitu antara lain:

1) Memastikan bahwa tugas rumah merupakan kelanjutan dari sesi terapi atau berhubungan dengan pokok bahasan yang dibahas dalam sesi terapi.

2) Bekerja sama dengan klien, yaitu dengan cara menjamin bahwa klien memahami relevansi antara masalah mereka dengan tugas rumah yang akan dilakukan, sepakat untuk mengerjakan tugas rumah dalam rangka pencapaian tujuan, memiliki keterampilan yang dapat diandalkan untuk melakukan tugas rumah dan memiliki kepercayaan diri untuk melakukan tugas rumah yang diberikan terapis.

3) Memberikan tugas rumah dengan kriteria yang menantang namun tidak memberatkan atau membebani klien.

4) Membantu klien mengidentifikasi hambatan dalam pengerjaan tugas rumah dan menganjurkan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

5) Merancang tugas rumah untuk beragam tujuan, tidak hanya terkait melawan keyakinan irasional dan memperkuat keyakinan rasional tetapi juga dapat digunakan untuk mengajarkan klien mengenai teori ABCDE dalam REBT. Setelah menerima hasil pengerjaan tugas rumah dari klien, terapis harus meninjau ulang tugas-tugas tersebut sebelum memulai setiap sesi terapi atau di awal setiap sesi terapi. Apabila terapis mengabaikan tugas-tugas yang telah dikerjakan oleh klien maka akan mengkomunikasikan pada klien bahwa tugas-tugas tersebut tidak penting dan hal semacam itu harus dihindari. Dalam meninjau ulang tugas rumah terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu antara lain:

1) Memastikan klien benar-benar menghadapi peristiwa pemicu yang mengganggunya.

2) Memastikan klien mengubah sistem keyakinannya (B) dari yang irasional menjadi rasional.

3) Menerima kegagalan klien dalam mengerjakan tugas rumah dan membantunya mengidentifikasi hambatan-hambatan yang membuatnnya gagal serta menganjurkan solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

f. Working trough atau penyelesaian

Langkah terakhir dalam REBT ini mengacu pada proses menginternalisasikan keyakinan rasional atau dikenal juga sebagai

E dalam model ABCDE. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan langkah penyelesaian ini:

1) Menyarankan klien untuk melakukan tugas rumah yang berbeda-beda untuk memeriksa keyakinan irasional yang sama. 2) Menjelaskan tentang model perubahan non-liniar pada klien

dengan tujuan untuk mempersiapkan klien dalam menghadapi beragam kesulitan yang mungkin mereka hadapi saat menantang atau mengubah keyakinan rasional. Perubahan dalam terapi meliputi upaya klien untuk membuat gangguan emosional dalam dirinya berkurang (bukan menjadi individu yang tidak mungkin terganggu sama sekali) ketika menghadapi kejadian yang tidak menyenangkan. Perubahan dapat diukur secara relatif dengan memperhatikan frekuensi (sering atau tidaknya gangguan emotional muncul), intensitas (intens atau tidaknya gangguan emosional yang dialami) dan durasi (lama atau singkatnya gangguan emosional berlangsung dalam diri klien).

3) Membantu klien menjadi terapis bagi diri sendiri. Guna dapat menjadi terapis bagi diri sendiri, klien harus a) mengambil tanggungjawab lebih dalam merancang, melakukan dan meninjau ulang tugas rumah, b) menggunakan model ABCDE untuk memahami dan mengatasi masalah emosional dan behavioral mereka, dan c) memilih teknik yang tepat untuk mencapai perubahan terapeutik. Untuk mendorong klien agar

lebih aktif dalam proses pemecahan masalah maka terapis dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan singkat yang dapat menggerakkan klien menelusuri model ABCDE. Adapun pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain:

a) Apa yang terjadi pada A?

b) Bagaimana perasaan atau tindakan Anda terhadap C? c) Dapatkah Anda menunjukkan mana A kritis (aspek

subjektif dari situasi yang mengganggu individu) yang Anda rasakan dalam situasi ini?

d) Apa yang Anda katakan pada diri Anda (B) agar dapat merasa atau bertindak demikian pada C?

e) Perlawanan apa (D) yang Anda gunakan untuk menantang keyakinan irasional Anda?

f) Apakah Anda dapat memikirkan tugas rumah yang relevan untuk menantang keyakinan irasional?

g) Keyakinan rasional seperti apa yang ingin Anda pertahankan?

h) Apa yang akan Anda lakukan untuk memperkuat keyakinan rasional?

i) Setelah menginternalisasikan sistem keyakinan Anda, efek apa yang Anda alami terkait pikiran, perasaan dan tindakan Anda?