BAB II LANDASAN TEORI
2. Kurikulum 2013
a. Urgensi Pengembangan Kurikulum
Kunandar (2014:15) menjelaskan bahwa Indonesia sebagai bangsa dan negara akan terus menjalani sejarahnya. Ibarat sebuah organisme, negara Indonesia lahir, tumbuh, berkembang, dan mempertahankan kehidupannya untuk mencapai apa yang dicita-citakan di awal kelahirannya. Cita-cita luhur tersebut tercantum dalam UUD 1945 alinea ke empat, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam rangka mewujudkan kondisi di atas pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan terus melakukan pembaruan dan inovasi dalam bidang pendidikan. Salah satunya adalah pembaruan dan inovasi dalam bidang kurikulum, yakni lahirnya kurikulum 2013. Hidayat (2013:113) mengemukakan bahwa orientasi kurikulum 2013 adalah terjadinya peningkatan dan keseimbangan antara kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge). Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
Kunandar (2014:16) mengemukakan jikalau pemerintah berasumsi bahwa pengembangan kurikulum mutlak diperlukan untuk
menjawab tantangan masa depan yang dihadapi bangsa Indonesia. Berikut ini merupakan alasan pengembangan kurikulum menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tabel 2.1 Alasan Pengembangan Kurikulum
No. Tantangan Masa Depan Kompetensi Masa Depan
1. Globalisasi: WTO, ASEAN community, APEC, CAFTA
Kemampuan berkomunikasi
2. Masalah lingkungan hidup Kemampuan berpikir jernih dan kritis
3. Kemajuan tekhnologi informasi
Kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan 4. Konvergensi ilmu dan
tekhnologi
Kemampuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab
5. Ekonomi berbasis pengetahuan Kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda 6. Kebangkitan industri kreatif
dan budaya
Kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal 7. Pergeseran ekonomi dunia Memiliki minat luas dalam
kehidupan
8. Pengaruh dan imbas teknosains Memiliki kesiapan untuk bekerja 9. Mutu, investasi dan
transformasi pada sektor pendidikan
memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat / minatnya
10. Hasil TIMSS dan PISA Memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan
b. Karateristik Kurikulum 2013
Kunandar (2014:24) menjelaskan bahwa kurikulum 2013 dirancang dengan karateristik sebagai berikut.
1) Mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik.
2) Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari disekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyrakat sebagai sumber belajar
3) Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkannya dalam berbagai situasi disekolah dan masyarakat 4) Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan
berbagai sikap, pengetahuan dan keterampilan
5) Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran
6) Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasian (organizing elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran yang dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti.
7) Kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antarmata pelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horisontal dan vertikal).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum 2013, kompetensi yang harus dicapai pada tiap akhir jenjang kelas dinamakan kompetensi inti. Kompetensi inti merupakan anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi
lulusan jenjang SMP/MTs. Kompetensi inti bukan untuk diajarkan melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran berbagai kompetensi dasar dari sejumlah mata pelajaran yang relevan. Kompetensi inti bukan untuk diajarkan melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran berbagai kompetensi dasar dari sejumlah mata pelajaran yang relevan. Kompetensi inti menyatakan kebutuhan kompetensi peserta didik, sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi. Dengan demikaian, kompetensi inti berfungsi sebagai unsur pengorganisasi (organisasi elemen) kompetensi dasar.
Kemdikbud (dalam Kunandar, 2014:27) memaparkan bahwa pengembangan kurikulum didasarkan pada prinsip-prinsip berikut. 1) Kurikulum satuan pendidikan atau jenjang pendidikan bukan
merupakan daftar mata pelajaran. Atas dasar prinsip tersebut maka kurikulum sebagai rencana adalah rancangan untuk konten pendidikan yang harus dimiliki oleh seluruh peserta didik setelah menyelesaikan pendidikannya disatu satuan atau jenjang pendidikan tertentu.
2) Standar kompetensi kelulusan ditetapkan untuk satu satuan pendidikan, jenjang pendidikan, dan program pendidikan. Sesuai dengan fungsi dan tujuan jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta fungsi dan tujuan dari masing-masing satuan pendidikan pada setiap jenjang pendidikan maka pengembangan kurikulum didasarkan pula atas standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta standar kompetensi satuan pendidikan.
3) Model kurikulum berbasis kompetensi ditandai oleh pengembangan kompetensi berupa sikap, pengetahuan, keterampilan berpikir, dan keterampilan psikomotorik yang dikemas dalam berbagai mata pelajaran.
4) Kurikulum didasarkan pada prinsip bahwa setiap sikap, keterampilan dan pengetahuan yang dirumuskan dalam kurikulum berbentuk kemampuan dasar dapat dipelajari dan dikuasai setiap peserta didik (mastery learning) sesuai dengan kaidah kurikulum berbasis kompetensi.
5) Kurikulum dikembangkan dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan perbedaan dalam kemampuan dan minat. Atas dasar prinsip perbedaan kmampuan individual perserta didik untuk memiliki tingkat penguasaan diaas standar yang telah ditentukan. Oleh karena itu, beragam program dan pengalaman belajar disediakan sesuai dengan minat dan kemampuan awal peserta didik
6) Kurikulum berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik berada pada posisi sentral dan aktif dalam belajar.
7) Kurikulum harus tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan budaya, teknologi dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, budaya, teknologi, dan seni berkembang secara dinamis. Oleh karena itu konten kurikulum harus selalu mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan, buadaya, dan seni; membangun rasa ingin tahu dan kemampuan bagi peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat hasil-hasil ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. 8) Kurikulum harus relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pendidikan
tidak boleh memisahkan peserta didik dari lingkungannya dan pengembangan kurikulum didasarkan kepada prinsip relevansi pendidikan dengan kebutuhan dan lingkungan hidup.
9) Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlansung sepanjang hayat. Pemberdayaan peserta didik untuk belajar sepanjang hayat dirumuskan dalam sikap, keterampilan dan pengetahuan dasar yang dapat digunakan untuk mengembangkan budaya belajar.
10) Kurikulum dikembangkan dengan memerhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dikembangkan melalui penentuan struktur kurikulum, standar kemampuan/SK dan Kemampuan Dasar/KD serta silabus.
11) Penilaian hasil belajar ditujukan untuk mengetahui dan memperbaiki pencapaian kompetensi. Instrumen penilaian hasil belajar adalah alat untuk mengetahui kekuarangan yang dimiliki setiap peserta didik atau sekelompok peserta didik.
c. Pendidikan karakter
Dalam kamus Bahasa Indonesia, karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang. Dumadi (dalam Adisusilo, 2012:76) menjelaskan bahwa karakter
berasal dari bahasa Yunani “charassein” yang berarti barang atau alat untuk menggores, yang kemudian dipahami sebagai setempel atau
“cap”, berarti sifat-sifat yang melekat pada seseorang. Kertajaya (dalam Hidayatullah, 2010:13) menjelaskan karakter merupakan ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu”. Gunawan (2012:3)
mengemukakan bahwa karakter merupakan keadaan asli dari dalam diri individu yang membedakannya dengan orang lain.
Berdasarkan pendapat ketiga ahli tersebut yakni Dumadi yang mengatakan karakter merupakan sifat-sifat yang melekat pada seseorang sedangkan Kertajaya berpendapat bahwa karakter ciri khas yang dimiliki oleh individu. Gunawan (2012:3) berpendapat karakter merupakan keadaan asli yang membedakan individual. Dapat disimpulkan dari ketiga pendapat tersebut bahwa karakter merupakan sifat-sifat atau budi pekerti yang menjadi ciri khas dari setiap individu yang membedakannya dengan orang lain. Ciri khas di sini dapat diartikan sebuah keutuhan kepribadian yang melekat dalam diri individu sebagai kekuatan moral dalam dirinya dan bertingkah laku sesuai dengan nilai yang terdapat di masyarakat.
Koesuma (dalam Muslich, 2013:70) memaparkan bahwa karakter sama dengan kepribadian. Dimana kepribadian merupakan ciri atau kharasteristik dari diri seseorang yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga dari masa kecil. Suyanto (dalam Muslich, 2013:70) juga menyatakan bahwa karakter adalah sebuah cara berpikir tiap individu untuk bekerjasama dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini dipahami oleh Muslich (2013:71) bahwa karakter
berkaitan dengan moral, berkonotasi “positif” bukan netral.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa karkter merupakan ciri khas atau kharaktersistik tiap individu yang diperoleh dari lingkungan keluarga sehingga individu tersebut terbentuk kepribadian yang bermoral sehingga individu dapat bekerjasama dengan masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Samani (dalam, Maksudin 2013:7) pendidikan karakter berpatok pada sikap jujur cerdas, punya cita-cita dan olahraga. Pendidikan karakter juga diperluas dengan budi pekerti luhur, kerja keras, dan disiplin. Menurut Lincona (dalam Salahudin dan Alkrienchie-chie, 2013:45) pendidikan karakter diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan akan membuat anak cerdas dalam emosinya. Adapun pendidikan karakter menurut Salahudin dan Alkrienchiechie (2013:45) adalah pendidikan budi pekerti yaitu, melibatkan aspek pengetahuan, perasaan dan tindakan.
Hill (dalam Muslich, 2013:38) mengatakan bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan berprilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Salahudin dan Alkrienchiechie (2013:45) menambahkan bahawa peran sekolah sangat penting dalam usaha pembentukan karakter. Dimana pendidikan karakter diartikan sebagai usaha sekolah yang dilakukan secara bersama oleh guru, pimpinan sekolah dan seluruh warga sekolah melalui semua kegiatan sekolah
untuk membentuk ahlak, watak melalui berbagai kebaikan yang terdapat dalam ajaran agama.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti yang mengembangkan kecerdasan emosional dan membantu membentuk kepribadian yang berahlak dan berwatak sehingga dapat bekerjasama dengan masyarakat dan bernegara dan mampu bertanggungjawab atas segala keputusan yang dibuatnya. Dalam pelaksanaan pendidikan karakter, sekolah berperan penting dalam menanamkan pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam semua kegiatan yang dilakukan. Peran penting sekolah dalam penanaman pendidikan karakter dapat membantu siswa untuk menjadi pribadi yang berwatak dan mengaplikasikannya dalam kehidupannya.
Muslich (2013:81) mengatakan tujuan pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia siswa secara utuh, terpadu dan seimbang. Ellen G. White (dalam Hidayatullah, 2010:17-18) mengemukan bahwa pembangunan karakter adalah usaha paling penting yang pernah diberikan kepada manusia. Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang benar. Santosa (dalam Hidayatullah, 2010:18) menambahkan dalam membentuk harga diri yang kukuh dalam jiwa pelajar meupakan tujuan tiap pendidikan yang murni.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter telah tercantum dalam sistem pendidikan
nasional (Sisdiknas). Dimana tujuan dari pendidikan karakter dapat mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bukan hanya cakap dalam pengetahuan namun memiliki kepribadian yang kukuh dan memiliki akhlak yang mulia.
Pendidikan karakter merupakan pendidikan penanaman nilai kepada siswa untuk memfasilitasi siswa agar menjadi manusia yang berahlak, berwatak dan berkepribadian tangguh. Menurut Salahudian dan Alkrienchiechie (2013:54) nilai pendidikan karakter bangsa berasal dari nilai-nilai luhur universal. Nilai- nilai universal tersebut yaitu, (1) cinta Tuhan dan ciptaan-Nya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran/ amanah dan diplomatis, (4) hormat dan santun, (5) dermawan suka tolong-menolong, gotong-royong, dan kerja sama, (6) percaya diri dan kerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi kedamaian dan kesatuan. Sementara itu, Muslich (2013:80) mengemukakan bahwa bangsa Indonesia menyepakati beberapa nilai yang dijadikan pandangan filosofis kehidupan bangsa. Nilai-nilai tersebut meliputi (1) ketuhanan yang Maha Esa, (2) kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) persatuan Indonesia, (4) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan (5) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selaras dengan nilai-nilai luhur tersebut, Muslich (2013:80) mengemukakan bahwa nilai-nilai luhur selaras dengan lima pilar karakter. Lima pilar karakter tersebut meliputi (1) Transendensi yaitu menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan tuhan yang maha esa, (2)
Humanisasi yaitu setiap manusia memiliki hakekat yang sama dimata Tuhan yang Maha Esa kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya, (3) Kebinekaan menyadari banyak perbedaan di dunia dan mampu mengambil kesamaan sebagai kekuatan, (4) liberalisai yaitu pembebasan atas penindasan sesama manusia, (5) keadilan merupakan kuci kesejahteraan. Definisi lain juga dikemukakan oleh Gaffar (dalam
Kesuma, 201:5), bahwa pendidikan karakter adalah “sebuah proses
transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuh kembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan
orang itu”. Kesuma dkk (2011:5) juga mendefinisikan pendidikan karakter dalam setting sekolah sebagai “pembelajaran yang mengarah
pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah”.
Pentingnya pendidikan karakter ini bertujuan untuk memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah atau lulus.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai karakter bangsa Indonesia ialah memaknai nilai-nilai luhur universal dan nilai-nilai luhur Pancasila. Nilai-nilai luhur ini dijadikan sebagai pandangan filosofis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai tersebut selaras dengan nilai-nilai yang terdapat dalam lima pilar karakter.
Kementerian Pendidikan Nasional (dalam Salahudian dan Alkrienchiechie, 2013:54-56) menjelaskan ada 18 (delapan belas) butir
nilai karakter di antaranya (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab. Delapan belas butir nilai karakter ini ditanamkan pada siswa melalui pengintegrasian butir nilai karakter pada semua muatan pelajaran dan setiap pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh siswa.
d. Pendekatan tematik integratif
Pada Kurikulum 2013 pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran yaitu pendekatan tematik integratif. Pendekatan tematik
integratif menurut Ahmadi (2014:225) adalah “pembelajaran yang
menggunakan tema dalam mengaitkan beberapa materi ajar sehingga
dapat memberikan pengalaman yang bermakna pada siswa”. Daryanto
(2014:45-46) juga menjelaskan bahwa tematik integratif adalah pembelajaran terpadu yang menggunakan tema sentral untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran ke dalam topik-topik tertentu, sehingga topik tersebut dapat dikembangkan ke dalam konsep-konsep yang sesuai dengan tema sentralnya.
Kurikulum 2013 SD/MI menggunakan pendekatan pembelajaran tematik integratif dari kelas I sampai kelas IV. Pembelajaran tematik integratif merupakan pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran ke dalam berbagai tema (Majid, 2014:86).
Beberapa prinsip yang berkenaan dengan pembelajaran tematik integratif menurut Majid (2014:89) adalah sebagai berikut.
1) Pembelajaran tematik integrative memiliki satu tema yang actual, dekat dengan dunia siswa dan ada dalam kehidupan sehari-hari. Tema ini menjadi alat pemersatu materi yang beragam dari beberapa mata pelajaran.
2) Pembelajaran tematik integratif perlu memilih materi beberapa mata pelajaran yang mungkin saling terkait.
3) Pembelajaran tematik integratif tidak boleh bertentangan dengan tujuan kurikulum yang berlaku tetapi sebaliknya pembelajaran tematik integratif harus mendukung pencapaian tujuan utuh kegiatan pembelajaran yang termuat di dalam kurikulum.
4) Materi pembelajaran yang dapat dipadukan dalam satu tema selalu mempertimbangkan karakteristik siswa seperti minat, kemampuan, kebutuhan, dan pengetahuan awal.
5) Materi pelajaran yang dipadukan tidak terlalu dipaksakan, artinya materi yang tidak mungkin dipadukan tidak usah dipadukan.
Selain itu, Majid (2014:89-90) menjelaskan bahwa pembelajaran tematik di sekolah dasar memiliki karakteristik, sebagai berikut.
1) Berpusat pada siswa
Pembelajaran tematik berpusat pada siswa. Hal ini sesuai dengan pendekatan belajar modern yang lebih banyak menempatkan siswa sebagai subjek belajar sedangkan guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator.
Pembelajaran tematik dapat memberikan pengalaman langsung kepada siswa. Dengan pengalaman langsung, siswa dihadapkan pada sesuatu yang nyata sebagai dasar untuk memahami hal-hal yang lebih abstrak
3) Pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas
Dalam pembelajaran tematik, pemisahan antar mata pelajaran menjadi tidak begitu jelas. Fokus pembelajaran diarahkan kepada pembahasan tema-tema paling dekat berkaitan dengan kehidupan siswa.
4) Menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran.
Pembelajaran tematik menyajikan konsep-konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, siswa mampu memahami konsep tersebut secara utuh. Hal ini diperlukan untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
5) Bersifat fleksibel
Pembelajaran tematik bersifat luwes (fleksibel) di mana guru dapat mengaitkan bahan ajar dari satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya, bahkan mengaitkannya dengan kehidupan siswa dan keadaan lingkungan di mana sekolah dan siswa berada. 6) Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan.
Adapun karakteristik dari pembelajaran tematik ini menurut Hesty dalam (Majid, 2014:90) adalah sebagai berikut.
1) Holistik, suatu gejala atau peristiwa yang menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran tematik diamati dan dikaji dari beberapa bidang sekaligus.
2) Bermakna, pengkajian suatu fenomena dari berbagai macam aspek, memungkinkan terbentuknya semacam jalinan antara schemata yang dimiliki oleh siswa.
3) Autentik, pembelajaran tematik memungkinkan siswa memahami secara langsung konsep dan prinsip yang ingin dipelajari.
4) Aktif, pembelajaran tematik dikembangkan dengan berdasar pada pendekatan inquiry discovery di mana siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan beberapa penjelasan teori di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran tematik integratif adalah pembelajaran tematik terpadu yang memadukan beberapa mata pelajaran menggunakan tema sebagai pemersatu dengan mengintegrasikan konteks hasil belajar, pengalaman belajar, dan konten belajar, sehingga dapat memberikan pembelajaran bermakna kepada peserta didik.
e. Pendekatan Saintifik
Pendekatan saintifik merupakan suatu proses pembelajaran yang dirancang agar peserta didik secara aktif mengkonstruksi konsep, hukum atau prinsip, melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan
berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan (Hosnan, 2014:34).
Menurut Kemendikbud 2013 kriteria pembelajaran dengan pendekatan saintifik antara lain:
1) Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika ataua penalaran tertentu, bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2) Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta merta, pemikiran subjektif, atau penalaran menyimpang dari alur berpikir logis.
3) Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.
4) Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
5) Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.
6) Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7) Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
Selain merujuk pada kriteria pendekatan saintifik yang telah dipaparkan di atas, pembelajaran dengan pendekatan saintifik mempunyai langkah-langkah pembelajaran dengan mengacu pada tiga ranah pengembangan yaitu, sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar
peserta didik tahu tentang “mengapa”. Ranah pengetahuan menggamit
tranformasi subtansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang
“apa”. Ranah keterampilan menggamit tranformasi subtansi atau materi
ajar agar peserta didik tahu tentang “bagaimana”. Hasil akhirnya adalah
peningkatan dan kesimbangan antara kemampuan untuk memnjadi manusia yang baik (soft skill) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skill) dari peserta didik yang meliputi kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan (Kemendikbud, 2013).
Adapun langkah-langkah pembelajaran dalam pendekatan saintifik, antara lain:
1) Mengamati
Menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru. 2) Menanya
Pada saat kegiatan menanya guru dapat membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan , guru sebenarnya sedang menanamkan sikap kepada siswa agar menjadi penyimak dan pembelajar yang baik. 3) Menalar
Penalaran yaitu proses berpikir yang logis dan sistematis atas fakta-fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Dalam kegiatan ini peserta didik mencoba mengkoneksikan antara pengetahuan baru yang didapat dengan pengetahuan sebelumnya untuk menjadi sebuah temuan pengetahuan, baik untuk mengoreksi atau pun memperoleh pelajaran baru.
4) Mencoba
Dalam kegiatan ini peserta didik mencoba melakukan eksperimen terkait materi pembelajaran untuk menemukan kesimpulan dan mengetahui secara langsung apa yang sedang mereka pelajari. Selama proses ini berlangsung guru ikut membimbing peserta didik yang bertujuan untuk mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan menghambat kegiatan pembelajaran.
5) Membentuk jejaring
Membentuk jejaring merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai kerjasama untuk memudahkan suatu usaha demi mencapai tujuan bersama.
f. Penilaian outentik
Penilaian autentik (authentic assessment) adalah suatu proses pengumpulan pelaporan dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian, pelaksanaan berkelanjtan, bukti-bukti autentik, akurat dan konsisten sebagai akuntibilitas publik (pusat kurikulum, 2009). Hal ini sejalan dengan pendapat Johnson (dalam Majid, 2014:56), yang mengatakan bahwa
penilaian autentik memberikan kesempatan luas kepada siswa untuk menunjukan apa yang telah dipelajari dan apa yang telah dikuasai selama proses pembelajaran.