• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PEMBINAAN DALAM KATEKESE UMAT MODEL

C. Shared Christian Praxis sebagai Alternatif Katekese Umat

2. Langkah-langkah Shared Christian Praxis

Shared Christian Praxis sebagai salah satu model katekese umat yang dapat diterapkan oleh umat kristiani sebagai pemandu katekese yang mempunyai lima

langkah yang saling berhubungan. Pemandu katekese mengusahakan agar kelima

langkah ini dapat mengalir bagaikan air, yang bersumber pada pengalaman hidup

peserta yang dikonfrontasikan dengan Tradisi dan visi kristiani sehingga dapat

menjadi dasar iman dan kebersamaan yang diterangi oleh iman kristiani. Langkah

Shared Christian Praxis adalah pengungkapan pengalaman hidup faktual, refleksi kritis atas sharing pengalaman hidup faktual, mengusahakan supaya tradisi dan visi

kristiani lebih terjangkau, interpretasi/tafsir dialektis antara tradisi dan visi kristiani

dengan tradisi dan visi peserta dan keterlibatan baru demi terwujudnya kerajaan

Allah di dunia ini (Sumarno Ds, 2009: 18-22).

a. Langkah pertama: pengungkapan pengalaman hidup faktual (mengungkap pengalaman hidup peserta)

Tujuan langkah pertama adalah membantu dan mendorong peserta supaya

menyadari pengalaman mereka, menginterprestasikan dan akhirnya

mengkomunikasikannya. Isi komunikasi adalah pengalaman hidup pribadi peserta

atau permasalahan yang terjadi dalam masyarakat atau gabungan keduanya. Karena

ini merupakan pengalaman nyata maka tidak boleh dinilai secara negatif. Pada

langkah ini semua peserta wajib berbicara namun boleh diam, karena diam bukan

berarti tidak terlibat, tetapi ia harus merenungkan dan meresapi pengalaman peserta

yang lain supaya iman mereka semakin diperteguh dan dikembangkan (Sumarno

Ds, 2009: 19).

Kekhasan pada langkah pertama adalah adanya kesadaran peserta pada

pengalaman pribadinya, memperkuat keyakinan bahwa mereka sebagai subyek

merencanakan hidupnya. Peserta juga diajak untuk memahami dan menyadari apa

yang terjadi dalam masyarakat dan Gerejanya, apa yang diperjuangkan dan yang

diprihatinkan (Groome, 1997: 11).

Pendamping berperan sebagai fasilitator yang menciptakan suasana pertemuan

yang hangat dan mendukung peserta untuk membagikan pengalaman hidupnya

berkaitan dengan tema dasar. Pendamping hendaknya tidak memaksa peserta untuk

membagikan pengalamannya, melainkan harus sabar, ramah, hormat, bersahabat,

peka terhadap latar belakang dan permasalahan peserta (Sumarno Ds, 2009: 19).

Dalam langkah ini peserta diajak untuk mengungkapkan pengalaman hidup

dalam bentuk cerita, nyanyian, puisi dan drama. Dalam proses ini peserta dapat

mengugkapkan perasaannya, sikap dan keyakinan yang melatarbelakanginya.

Dengan cara ini diharapkan peserta sadar dan bersikap kritis tentang pengalaman

hidupnya ataupun kejadian-kejadian yang ada disekitarnya.

Pengungkapan pengalaman faktual perlu dipahami baik oleh para pemuka

umat agar mereka yang bertugas memimpin katekese tidak memandang rendah

pengalaman peserta, dapat menyusun pertanyaan yang sesuai dan tidak

menyinggung perasaan seseorang serta mudah dipahami oleh peserta.

b. Langkah kedua: refleksi kritis atas sharing pengalaman hidup faktual

(mendalami pengalaman hidup peserta)

Tujuan utama langkah kedua ialah untuk memperdalam refleksi dan mengantar

peserta pada kesadaran kritis pengalaman hidup dan tindakkannya yang meliputi

segi pemahaman kritis dan kreatif, segi kenangan, dan segi imajinasi. Pemahaman

yang kritis dan kreatif akan memberi arti dan nilai pada kerterlibatan peserta pada

meliputi, alasan, minat, asumsi dan idiologi. Segi kenangan membantu peserta

menyadari sumbernya yaitu biografi seseorang, dan segi imajinasi membantu

peserta makin menyadari konsekuensi historis yang diharapkan serta

tanggungjawab dari praxis baik yang bersifat personal maupun sosial (Sumarno Ds, 2009: 20).

Kekhasan pada langkah ini bersifat analisis yang kritis karena langkah kedua

ini berupaya memperdalam refleksi dan mengantar peserta pada kesadaran kritis.

Kesadaran kritis meliputi keterlibatan peserta, motivasi, kepentingan dan

konsenkuensi yang disadari dan hendak diwujudkan. Katekese sungguh membantu

peserta supaya berdasarkan pengalaman hidup samapi pada tingkat kesadaran

supaya mengolah dan menemukan maknanya serta mendorong mereka untuk

melangkah pada praxis baru (Groome, 1997: 14).

Peran pendamping dalam langkah kedua adalah menciptakan suasana

pertemuan yang saling menghormati dan saling mendukung setiap gagasan dan

sumbangan peserta, mengundang refleksi kritis setiap peserta, mendorong peserta

agar terjadi dialog, tetapi tidak memaksa, menyiapkan pertanyaan yang menggali

pengalaman dan tidak mengintrogasi (Groome, 1997: 43-44).

Pada langkah kedua terdapat tiga perspektif yang harus diperhatikan peserta,

yaitu pemahaman kritis, kenangan analitis, dan imajinasi kreatif. Pemahaman kritis

adalah kemampuan memberi nilai dan arti pada keterlibatan dalam hidup konkrit.

Artinya, kritis terhadap diri sendiri untuk menemukan keterlibatan dalam hidup

sosial. Kenangan analitis ialah membantu peserta untuk melihat kembali bagaiman

sejarah hidupku, keberadaanku sebagai subjek dan perbuatan yang membentuk

Kepentingan personal mengarahkan peserta untuk meningkatkan kesadaran akan

identitas pribadi dan memperkokoh keterlibatan dalam hidup sosial dan taraf

tanggungjawab visi dan pelaksanaannya (Sumarno Ds, 2009: 20).

c. Langkah ketiga: mengusahakan supaya tradisi dan visi kristiani lebih terjangkau

(menggali pengalaman iman kristiani)

Tujuan langkah ketiga adalah mengkomunikasikan nilai-nilai Tradisi dan Visi

kristiani lebih terjangkau, lebih dekat, dan lebih mengena untuk kehidupan peserta

jaman sekarang. Pada kesempatan ini fasilitator memberi masukan bagi peserta

(Sumarno Ds, 2009: 21).

Kekhasan pada langkah ketiga adalah mengkonfrontasikan atau mendialogkan

tradisi dan visi hidup peserta dengan tradisi Gereja (Groome, 1997: 19). Tradisi

adalah pengungkapan iman hidup kristiani yang dihidupi Gereja sepanjang

sejarahnya. Tradisi Gereja tidak hanya terbatas pada pengajaran tetapi merangkum

Kitab Suci, spiritualitas, devosi, kebiasan hidup beriman, liturgi, kepemimpinan

dan hidup jemaat beriman (Sumarno Ds, 2009: 20-21). Bagi umat kristiani, tradisi

kristiani merupakan sumber utama untuk kehidupan dan penghayatan iman. Kita

yakin bahwa iman umat kristiani lahir dari tindakan Allah yang hadir di tengah

kehidupan jemaat. Tradisi kristiani merupakan pewahyuan Allah yang ditanggapi

oleh manusia, pewahyuan kehendak Allah bersifat universal tidak hanya terbatas

Gereja katolik (Groome, 1997: 19).

Langkah ketiga ini dapat dikatakan sebagai milik pendamping tetapi bukan

berarti peserta pasif, peserta tetap dituntut untuk aktif terlibat. Terlibat bukan

juga ikut terlibat. Keterlibatan juga dituntut supaya peserta dapat menjangkau

Tradisi dan Visi kristiani dan terdorong secara kritis dan kreatif. Peran utama

peserta adalah supaya Tradisi dan Visi kristiani dapat terjangkau dan dipraktekkan

dalam kehidupan nyata (Groome, 1997: 21). Peran pendamping sebagai

penghubung, mendorong partisipasi aktif dan kreatif. Pendamping harus

menghormati Tradisi dan Visi kristiani yang otentik dan normatif, tujuan tafsiran

adalah memberi informasi dan membantu peserta agar tradisi dan Visi kristiani

menjadi milik pribadi, mencari metode yang tepat atau tidak mengulang-ulang

rumusan lama, tidak mendikte peserta dan tafsiran pendamping sebaiknya

mengikut sertakan kesaksian iman dan harapan serta membuat persiapan matang

dan studi sendiri (Sumarno Ds, 2009: 21). Dalam penafsiran pendamping harus

menghubungkan makna Tradisi dan Visi kristiani dengan hasil langkah pertama

dan kedua, maka pendamping bersikap menolak pandangan kelompok liberal yang

mengacuhkan peran Tradisi dan Visi kristiani dan tidak menerima kelompok

fundamentalis yang mendewa-dewakannya, pendamping dituntut untuk bersikap

netral (Groome, 1997: 21). Pendamping harus yakin akan imannya pada Allah yang

senantiasa hadir dan berkarya atas dirinya dan di tengah kehidupan manusia.

Peserta didorong untuk mengadakan refleksi kritis pada isi sharing yang telah

mereka ungkapkan pada langkah pertama. Dalam refleksi kritis peserta

menggunakan unsur pemahaman, kenangan, dan imajinasi yang kreatif untuk

menemukan poko-pokok pengalaman yang hendak diperteguh, dihindari dan

d. Langkah keempat: interpretasi/tafsir dialektis antara tradisi dan visi kristiani

dengan tradisi (menerapkan iman kristiani dalam situasi peserta konkrit)

Langkah keempat bertujuan memampukan peserta untuk secara kritis

mempersonalisasi dan mengintergrasikan nilai-nilai Tradisi dan Visi kristiani

dalam hidup mereka, mendorong peserta untuk mengadakan penegasan dan

penilaian. Penilaian mencakup pengalaman peserta maupun nilai Tradisi dan Visi

kristiani dengan cara memperteguh identitas kekristenan mereka (Groome, 1997:

29-30).

Kekhasan pada langkah keempat adalah peserta mendialogkan hasil

pengolahan pada langkah pertama dan kedua dengan isi pokok pada langkah ketiga.

Bagaimana nilai Tradisi dan Visi kristiani dapat meneguhkan, mengkritik dan

mengundang mereka pada kertelibatan baru dengan penuh semangat, nilai dan

iman yang baru demi terwujudnya kerajaan Allah (Sumarno Ds, 2009: 21).

Sikap-sikap negatif yang hendak dihilangkan dan nilai baru yang hendak dikembangkan.

Pada langkah ini peserta tidak hanya menyetujui atau menolak interprestasi

pendamping, tetapi sebagai tanggapan mereka harus berpikir, merasa serta

membayangkan apa yang akan dilakukan (Groome, 1997: 29).

Peran pendamping harus menghormati kebebasan dan hasil penegasan peserta,

menyakinkan peserta, mendorong peserta menyadari penafsiran bukan harga mati

dan mendengar dengan hati tentang tanggapan, pendapat dan pemikiran peserta.

Pendamping menciptakan suasana yang kondusif, penuh kepercayaan dan

keakraban. Pendamping harus menghormati kebebasan dan hasil penegasan

meyakinkan peserta bahwa mereka mampu mempertemukan nilai hidup dan visi

mereka dengan Tradisi dan Visi kristiani, mendorong peserta untuk terlibat aktif

dan mendengarkan dengan hati tanggapan, pendapat dan pemikiran peserta

(Sumarno Ds, 2009: 21-22). Pendamping diharapkan memberi peserta kebebasan

untuk mempertimbangkan, menilai, dan mengambil keputusan mengenai nilai dan

visi kristiani berdasar situasi konkrit dan kepentingan mereka. Peserta tetap

dihormati haknya untuk memperkembangkan nilai-nilai kristiani bagi imannya atau

menolaknya (Groome, 1997: 32-33).

Peserta mendialogkan hasil pengolahan pada langkah pertama dan kedua

dengan isi pokok pada langkah ketiga. Mareka mendialogkan perasaan, sikap,

intuisi, persepsi, evaluasi dan penegasan yang menyatakan kebenaran nilai serta

kesadaran yang diyakini (Sumarno Ds, 2009: 21). Langkah ini dapat dilaksanakan

dengan tulisan, penjelasan atau simbol.

e. Langkah kelima: keterlibatan baru demi makin terwujudnya kerajaan Allah di

dunia ini (mengusahakan suatu aksi konkrit)

Langkah kelima bertujuan mendorong peserta sampai pada tindakan dan niat

baru menyangkut pribadi maupun bersama. Mendorong peserta sebagai orang

Kristen yang mengusahakan pertobatan terus menerus, membantu peserta

mengambil keputusan secara moral, sosial dan politis sesuai dengan nilai iman

kristiani (Sumarno Ds, 2009: 22).

Kekhasan pada langkah kelima ialah mendorong peserta supaya sampai pada

keputusan konkrit yakni menghidupi dan menghayati iman kristiani yang telah

masyarakat. Dalam pengambilan keputusan hendaknya dipengaruhi oleh topik

utama yang menjadi pokok renungan dan oleh konteks pribadi dan sosial peserta

(Groome: 1997: 34). Artinya pertobatan yang merangkum segi personal meliputi

intelektual, moral dan mental, sedangkan segi sosial meliputi solidaritas, berpihak

pada yang miskin dan tertindas demi mewujudkan kerajaan Allah di tengah

masyarakat (Groome, 1997: 36).

Peran pendamping pada langkah ini perlu mengusahakan aktivitas yang

partisipatif dengan mempersiapkan beberapa pertanyaan yang berorientasi pada

tindakan praktis. Pendamping sendiri hendaknya mendorong peserta untuk

memanfaatkan imajinasi mereka (Groome, 1997: 37).

Peserta diharapkan semakin terlibat dan aktif mewujudkan keputusannya

secara konkrit demi terwujudnya kerajaan Allah. Peserta diajak untuk merayakan

liturgy sederhana atau mendoakan bersama keputusan yang telah mereka buat dan

mendorong mereka konsisten dengan keputusan yang telah mereka ambil (Groome,

1997: 50).

Dokumen terkait