• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Lansia

2.3.1 Pengertian lansia

Santrock (2013) menjelaskan bahwa usia lanjut merupakan manusia yang berada pada rentang usia 60-an atau 70-an sampai meninggal. Masa ini merupakan masa penyesuaian diri akan penurunan fungsi-fungsi tubuh baik itu secara fisiologis, kognitif atapun kesehatan, menatap kembali kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian dengan peran-peran sosial selepas pensiun. Hurlock (1999 dalam Daulay, 2015) mengatakan bahwa lansia merupakan priode terakhir atau penutup dalam rentang hidup seseorang. Hasan (2006 dalam Debora, 2009) tahap usia lanjut adalah tahap terjadi penuaan dan penurunan. Penuaan yang terjadi dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf, dan jaringan tubuh lainnya.

Menurut Erikson lansia merupakan tahap kehidupan saat seorang individu mencapai integritas, namun jika gagal dalam mencapai integritas akan menyebabkan kondisi keputusasaan (Pardosi, 2014).

Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan tahap perkembangan terakhir hidup manusia yang berada pada rentang usia 60-an atau 70-an sampai meninggal, pada tahap ini terjadi proses degenetarif dan penurunan fungsi-fungsi tubuh, dalam sosial lansia masuk pada tahap integrasi namun jika gagal masuk pada tahap putus asa.

2.3.2 Lansia muslim

Lansia muslim merupakan panggilan untuk lansia yang mempercayai agama Islam. Sebagaimana diketahui terdapat banyak agama di dunia ini salah satunya adalah Islam. Dalam Islam lansia muslim memiliki kedudukan yang

22

paling tinggi dalam masyarakat, lansia muslim sangat dihormati dan dipatuhi berdasarkan pengalaman dan ilmu yang dimiliki selama hidup, penuaan yang dialami oleh lansia dianggap sebagai simbol dari pengalaman hidup (Anggraini, 2017).

2.3.3 Golongan lansia

Dalam Papalia (2007) lansia digolongkan kedalam tiga golongan yaitu:

a. Young old, yaitu lansia yang berada pada rentang usia 60-an sampai 74 tahun.

b. Old old, yaitu lansia yang berada pada rentang usia 75-84 tahun c. Oldest old, yaitu lansia yang berada pada rentang usia 85 tahun keatas Newman membagi masa lansia kedalam dua priode, yaitu:

a. Later adulthoood (masa dewasa akhir), yaitu lansia yang berada pada rentang usia 60-75 tahun.

b. Very old age, yaitu lansia yang berada pada rentang usia 75 tahun sampai meninggal.

2.3.4 Ciri-ciri lansia

Hurlock (1999 dalam Daulay, 2015) terdapat beberapa ciri lanjut usia yaitu:

a. Periode kemunduran

Kemunduran yang dialami para lanjut usai berupa kemunduran fisik dan mental, kemunduran tersebut sebagian dipengaruhi oleh faktor fisik dan sebagaian dipengaruhi oleh faktor psikologis. Penyebab kemunduran fisik ini merupakan kemunduran pada sel-sel tubuh. Kemunduran dapat juga mempunyai penyebab

psikologis, sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan dan kehidupan.

b. Perbedaan individual pada efek menua

Perbedaan menjadi tua pada setiap individu dikarenakan oleh sifat bawaan, sosal ekonomi, latar belakang serta pola hidup yang berbeda satu sama lain.

Perbedaan ini akan sangat tampak terlihat pada lanjut usia yang memiliki jenis kelamin sama. Reaksi terhadap penuaan yang terjadi juga berbeda-beda setiap orang.

c. Berbagai streotip pada lanjut usia

Streotip dan kepercayaan tradisional terhadap lansia ini timbul dari berbagai sumber, ada sumber yang menggambarkan bahwa lansia itu tidak menyenangkan, ditambah dengan pendapat klise yang dikenal dalam masyarakat tentang usia lanjut bahwa lansia berada pada keadaan fisik maupun mental yang lemah, usang, pikun, dan sulit hidup berdampingan dengan siapapun. Namun streotip tersebut tidaklah sepenuhnya benar.

d. Menua membutuhkan perubahan peran

Pengaruh kebudayaan dewasa ini, dimana efisiensi, kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik sangat dihargai, mengakibatkan orang yang berusia lanjut sering dianggap tidak ada gunanya lagi. Lansia tidak dapat bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dalam bidang tertentu, sehingga sikap sosial seringkali menjadi kurnag menyenangkan.

24

2.4 Hubungan antara Religiusitas dengan Kecemasan Kematian pada Lansia Muslim

Kematian berdasarkan Hoyer (2003) merupakan matinya fungsi otak pada waktu tertentu. Menurut Zubair (2001) kematian merupakan proses terpisahnya jiwa dan raga, dalam hal ini raga merupakan benda tubuh dari manusia akan hancur setelah datang kematian, sedangkan jiwa merupakan rohani dari manusia akan tetap abadi setelah kematian. Papalia (2007) mengemukakan bahwa kematian itu tidak diketahui kapan, dimana dan bagaimana akan terjadi, kematian merupakan ketidakpastian yang pasti akan terjadi pada setiap individu, semua individu pasti akan mengalaminya (Wijaya dan Safitri, 2012).

Hasan (2006, Debora, 2009) mengatakan kematian seringkali dianggap sebagai hal yang sangat menakutkan. Cavanaugh & Kail (2000) mengatakan perasaan takut akan kematian merupakan hal yang normal bagi setiap orang (Debora, 2009). Ketakutan yang berlebihan terhadap kematian dapat mengganggu fungsi emosional normal individu. Hal ini dijelaskan dengan penelitian yang menunjukkan keterkaitan antara ketakutan terhadap kematian dengan gangguan emosional seperti neurotik, depresi, gangguan psikosomatis memiliki hubungan yang positif (Feifel dan Nagy, 1981 dalam Wjaya dan Wicaksono, 2003).

Masa lansia adalah masa dimana semua orang berharap menjalani hidup yang tenang dan damai, serta menikmati masa tua bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Namun kenyataan tidak semua lanjut usia berkesempatan akan kehidupan yang tenang dan damai. Pada tahap akhir kehidupan lansia sering mengalami kecemasan, disertai dengan berbagai kemunduran yang dialami memunculkan perasaan takut yang berlebihan. Manurut

erikson, lanjut usia mengalami integritas versus keputusasaan (dalam Papalia, 2007). Mengalami integritas lansia mencapai penerimaan terhadap apa yang mereka lakukan selama kehidupan mereka dan dapat menyesuaikan diri dengan kehilangan akibat proses penuaan yang dialami serta menghadapi kematian dengan baik. Sedangkan lanjut usai yang mengalami keputusasaan saat dirinya tidak mampu menyesuaikan diri dengan kehilangan yang diterimanya akibat dari proses penuaan serta mengalami permasalahan menghadapi kematian. McCue (1995 dalam Pardosi, 2014) lansia memiliki perasaan yang bercampur aduk saat akan mengahadapi kematian. Kemunduran fisik dan berbagai masalah lainnya yang merupakan akibat dari proses penuaan membuat mereka kehilangan kenikmatan dalam kehidupan dan keinginan mereka untuk hidup. Proses penuaan dan penurunan kesehatan serta fungsi-fungsi fisik membuat kecemasan lansia akan kematian semakin besar ditambah jika dilihat dari kondisi ekonomi dan fungsi sosial dalam kehidupan lansia tidak mendukung akan semakin banyak kekhawatiran-kekhawatiran yang mungkin dialami. Lansia lebih banyak memikirkan kematian dan lebih banyak berbicara mengenai kematian daripada tahap perkembangan hidup lainnya (Hoyer, 2003).

Kecemasan terhadap kematian diartikan sebagai suatu kondisi psikologis baik pikiran-pikiran atau perasaan-perasaan yang tidak mnyenangkan saat memikirkan akan kematian dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Templer, 1970 dalam Muthoharoh dan Andriani, 2014). Schaie dan Willis mengatakan bahwa kecemasan terhadap kematian berhubungan dengan faktor seperti: usia, keyakinan agama, dan tingkat kepuasan hidup individu. Kecemasan terhadap kematian dihubungkan dengan kehilangan eksistensi didunia, kebersamaan

26

dengan keluarga, kerabat, serta teman yang disayangi jika kematian datang padanya (Hasan, 2006 dalam Debora, 2009).

Kecemasan terhadap kematian yang dialami lansia dapat menggaggu emosional dan kehidupan sosial mereka, sehingga perlu dilakukannya coping untuk membantu mengatasi kecemasan terhadap kematian yang dialami. Salah satu coping yang bisa dilakukan dalam menghadapi kecemasan terhadap kematian adalah dengan coping religiusitas. Individu yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi cenderung mengalami sedikit rasa takut terhadap kematian. Individu yang tidak religius mengalami kecemasan akan kematian pada level yang sedang, individu yang religius yang tidak melaksanakan ritual kepercayaan agama secara konsisten mengalami kecemasan kematian lebih tinggi (Lahey, 2013).

Agama dapat menambah kebutuhan psikologis yang penting dalam hidup lansia, yang dapat membantu dalam menangani kecemasan terhadap kematian, menentukan dan menjaga rasa kebermaknaan hidup, serta menerima kehilangan yang tak terelakkan dimasa tua (Koenig & Larson dalam santrok, 2013).

Dokumen terkait